Jumat, 30 November 2012

TAWAKKAL, bukan Malas

“Kalau seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya Dia akan memberi kalian rizqi sebagaimana memberi rizqi kepada burung. (yang) pergi di pagi hari dalam keadaan perut kosong dan pulang di sore hari dengan perut kenyang” (Hr. Ahmad, dalam Musnadnya I/52)

Allah berfirman memberi kabar gembira kepada hamba-Nya yang bertawakkal;
“Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya” (At-Tholaq:3)

Di kalangan ulama salaf, Imam Syutair berkata kepada Masruq; Sesungguhnya di dalam al-Qur’an yang paling membuat kami bahagia adalah ayat ini. Lalu sahabatnya pun berkata; ‘engkau benar” (Hilyatul auliya’ : 2/95)(Tarjamah Tawakkal, Ibnu Abid dunya:126) 
Jika hari berganti, rizqipun berganti. Takkan lepas jatah rezqi seorang hamba meskipun masih di ujung langit yang tinggi. Karena Allah maha pemberi rezqi. Dia malu manakala ada hamba-Nya yang memohon belas kasih lantas Dia tega membiarkannya tanpa memberi. Percayalah……..Tiada kehidupan kecuali pasti ada rezqi. Sebagaimana firman-Nya : “Dan tiada satu binatang melatapun di
bumi kecuali Allah yang menjamin rezqinya” (QS.Huud:22)

Tawakkal memiliki 2 unsur, yaitu yakin dan ridho.
Yakin bahwa usahanya diperkenankan Allah...
Ridho dengan hasil akhir yang ia peroleh setelah berusaha.
Sebagaimana sabda Rosulullah SAW ;“Sesungguhnya Allah menjadikan kelapangan dan kebahagiaan ada pada keyakinan dan keridhoan.
Dan menjadikan kesusahan dan kesengsaraan ada pada keraguan dan kebencian (terhadap qodho’).(Madarijus salikin II/150).

Bertawakkal dengan benar merupakan sebab dalam mendapatkan rezqi
dan manfaat. Bertawakkal dengan benar adalah meyakini bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih menjamin dari pada sebab usaha itu sendiri. 
Manisnya tawakkal menjadikan seseorang menjadi ridho dengan apa yang diberikan Allah. Ia yakin Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untuknya. Jika ia tidak diberi rezqi, bukan berarti Allah benci. Kekayaan bukanlah pertanda bahwa Allah memuliakan, begitu pula kemiskinan bukanlah tanda kebencian kepada seseorang.
Karena ada hal-hal yang Allah tidak memberi jatah kepada manusia karena untuk kemashlahatan manusia itu sendiri. Seperti; tidak terbang layaknya burung, tidak hidup di air sepeti ikan dan sebagainya.

Barang siapa yang berdo’a ;”Dengan nama Allah saya bertawakkal, tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah. Maka akan dikatakan kepadanya di saat itu pula; engkau telah dilindungi, dicukupi, dijaga, dan dijauhkan dari syetan” (HR. At-Tirmidzi)

Betapa banyak manusia yang bersandar kepada kekuatannya sendiri lalu Allah membiarkannya binasa. Betapa banyak orang yang tidak ridho kepada qodho’ Allah, sehingga Allah menghalangi rahmat-Nya, lalu ia dibiarkan kecewa pada akhirnya. Dan betapa banyak pula manusia yang bertawakkal sehingga Allah menyayangnya dan menjadikan dunia ini bertekuk lutut, datang kepadanya secara tunduk dan patuh. Orang yang bertawakkal dalam segala hal akan dijadikan manusia yang dibutuhkan. Bagaimana tidak dibutuhkan, sedangkan angan-angan dan harapannya hanya kepada Allah yang maha kaya lagi terpuji. 
Sejak seorang muslim bertawakkal, ia tidak akan gusar dengan rejeki yang datang terlambat, atau tidak kalap dengan ekonomi yang seret.

Tawakkal bukan malasAkan tetapi, pada akhir-akhir ini ada pemahaman yang salah yang disusupkan kepada kaum muslimin akan arti tawakkal yang benar. Yakni, berdalih tawakkal untuk melegitimasi kemalasannya. Bahkan kita dapatkan ada yang menuduh bahwa Islam adalah dogma kemalasan, mengajarkan umatnya berpangku tangan, ongkang-ongkang kaki, apitis dan tidak peka dalam tanggung jawab.

Dengan bukti kemiskinan, kebodohan, kekalahan dan keterbelakngan umat islam dalam konstelasi peradaban. Jika tuduhan ini yang terjadi, maka tentu sangat berbahaya.

Tuduhan di atas sangat tidak benar. Justru Islam dengan mengajarkan tawakkal menjadikan para sahabat dan para pendahulu Islam ini jaya. Tawakkal merupakan sebuah prinsip yang wajib dipegang oleh setiap muslim. Dengan tawakkal ini Allah menangkan mereka dalam berbagai pertempuran, memimpin peradaban selama berabad-abad lamanya meskipun mereka dahulu berasal dari kalangan orang rendah, serta menjawab berbagai tantangan dan kesulitan hidup. 

Tawakkal bukan justru menyerah sebelum usaha. Tawakkal bukan justru mewariskan sifat lesu, loyo, malas dan statis. Karena beriman kepada qodho’ dan qodar justru membuat seorang muslim lebih aktif berusaha menggapai kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Karena Allah berfirman ; “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaknya setiap orang melihat apa yang akan diperbuatnya besok……..” (Al-Hasyr : 13) 
Dari ayat tersebut jelaslah bahwa anggapan orang bahwa iman kepada qodho’ dan qodar sebagai penyebab terpinggirnya umat Islam dari peradaban modern tidaklah benar.

Beriman kepada taqdir Allah justru melahirkan sikap antisipatif, sikap penuh strategi perencanaan dan berpandangan menembus masa depan (visioner). Orang yang bertawakkal bukanlah orang yang hanya berpangku tangan.

Dan hendaknya siapapun harus kreatif berkarya dan bukan menganggur. Sekecil dan seremeh apapun pekerjaan apabila hal itu halal hendaknya tetap ditempuh. 
Terbukti saat Umar melihat seseorang yang hanya berdo’a dan menengadahkan tangan di masjid dengan alasan tawakkal namun ia tidak bekerja, maka Umar melempar dia dengan seraya berucap; bekerjalah dan jangan hanya menengadahkan tangan, karena langit tidak serta merta menurunkan emas. 

Tawakkal tidak lantas berarti meninggalkan sebab-sebab datangnya rezqi. Rosulullah SAW menempuh strategi dan perencanaan dalam hidupnya. Beliau bekerja dan berdagang. Beliau membuat baju besi agar terlindungi di saat pertempuran, menggali parit khondaq untuk pertahanan, menguasai mata air Badar dalam perang Badar, menempatkan pasukan pemanah di puncak bukit di kala perang Uhud, menikahi beberapa wanita dari lintas suku agar dakwahnya diterima, dan masih banyak lagi.

Sebagaimana dalam riwayat, ada seseorang datang menghadap beliau namun ontanya tidak diikat dengan menyatakan tawakkal. Rosulullah kemudian bersabda; “ikat dulu baru tawakkal” (HR. Ibnu Hibban dari Amr bin umayyahad-darimi) (Hr. At-Thobrony dari Amr bin umayyah) (Al-Hikyah 8/390) Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan; “tidak dinamakan tawakkal kecuali setelah adanya upaya dan ditempuhnya sebab”.

Menempuh sebab tidak berarti mengurangi arti tawakkal. Dan tentu sebab yang ditempuh haruslah syar’i. bukan sembarang sebab. Kalau orang yang meninggalkan sebab-sebab rezqi dengan alasan tawakkal, berarti sama saja ia mengingkari sunnatullah. Seperti bagaimana bisa segera sembuh dari penyakit sementara ia tidak berobat. Bagaimana bisa kenyang dengan tanpa makan, ingin pandai dengan tanpa belajar, ingin kaya tapi berpangku tangan, ingin punya anak tanpa menikah, ingin mulia tapi tanpa upaya, dan seterusnya.

Nabi bersabda;
“Berobatlah wahai anak cucu Adam, sesungguhnya Allah tidak membuat suatu penyakit kecuali dibuatkan pula obatnya. Kecuali penyakit pikun” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dll) (Aljami’us shoghir No.3271)

Allah juga berfirman;
“Jika sholat telah ditunaikan, maka bertebaranlah ke pelosok bumi dan kaislah rezqi Allah dan berdzikirlah kepada-Nya banyak-banyak agar kalian beruntung” (Al-Jum’ah : 10)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar