Diantara perkara yang penting untuk diketahui adalah permasalahan
talak, oleh karena itu pada kesempatan ini kami bawakan sedikit
penjelasan seputar talak yang di rangkum dari beberapa kitab fiqih
dengan harapan semoga bermanfaat bagi diri penulis pribadi dan kaum
muslimin.
Pembahasan Pertama: Pengertian talak dan dalil disyari’atkannya.
Talak secara bahasa : ( التخلية) Melepaskan.
Secara syar’i : ( حل قيد النكاح أو بعضه)
Melepaskan ikatan pernikahan secara menyeluruh atau sebagiannya.
(Taudihul Ahkam:5/476-Al-mulakhos Al-Fiqhiy, hlm. 410)
Pembahasan Kedua: Tentang Dalil disyari’atkannya talak dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma.
Dalil dari Al-Qur’an,
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Thalak (yang dapat dirujuki) dua
kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik.” (Al Baqarah : 229)
Dalil dari Sunnah
Diantaranya sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Umar rahiyallahu anhuma bahwasannya dia menalak
istrinya yang sedang haidh. Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda :
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا
ثُمَّ لْيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ
إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ
فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُطَلَّقَ
لَهَا النِّسَاءُ
“Perintahkan kepadanya agar dia
merujuk istrinya, kemudian membiarkan bersamanya sampai suci, kemudian
haid lagi, kemudian suci lagi. Lantas setelah itu terserah kepadanya,
dia bisa mempertahankannya jika mau dan dia bisa menalaknya
(mencraikannya) sebelum menyentuhnya (jima’) jika mau. Itulah iddah
seperti yang diperintahkan oleh Allah agar para istri yang ditalak dapat
langsung menhadapinya (iddah)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ijma
Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan: “Sungguh telah dihikayatkan adanya ijma’ atas di syariat-kannya talak (cerai) lebih dari satu ulama.” (Al-Mulakhos Al-Fiqhiy, hlm 411)
Pembahasan Ketiga: Tentang Hukum Talak
Berkata Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan: “Adapun
hukumnya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan, terkadang
hukumnya mubah, terkadang hukumnya makruh, terkadang hukumnya mustahab
(sunnah), terkadang hukumnya wajib, dan terkadang hukumnya haram.
Hukumnys sesuai dengan hukum yang lima.” (Al-Mulakhos Al-Fiqhiy, hlm 410)
- Makruh
Talak yang hukumnya makruh yaitu ketika
suami menjatuhkan talak tanpa ada hajat (kebutuhan) yang menuntut
terjadinya perceraian. Padahal keadaan rumah tangganya berjalan dengan
baik.
- Haram
Talak yang hukumnya haram yaitu ketika di
jatuhkan tidak sesuai petunjuk syar’i. Yaitu suami menjatuhkan talak
dalam keadaan yang dilarang dalam agama kita. dan terjadi pada dua
keadaan:
Pertama : Suami menjatuhkan talak ketika istri sedang dalam keadaan haid
Kedua : Suami menjatuhkan talak kepada istri pada saat suci setelah digauli tanpa diketahui hamil/tidak.
- Mubah (boleh)
Talak yang hukumnya mubah yaitu ketika
suami berhajat atau mempunyai alasan untuk menalak istrinya. Seperti
karena suami tidak mencintai istrinya, atau karena perangai dan kelakuan
yang buruk yang ada pada istri sementara suami tidak sanggup bershabar
kemudian menceraikannya. Namun bershabar lebih baik.
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa’ : 19)
- Sunnah
Talak yang hukumnya sunnah ketika di
jatuhkan oleh suami demi kemaslahatan istrinya serta mencegah
kemudharatan jika tetap bersama dengan dirinya, meskipun sesungguhnya
suaminya masih mencintainya. Seperti sang istri tidak mencintai
suaminya, tidak bisa hidup dengannya dan merasa khawatir tidak bisa
menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. Talak yang dilakukan suami
pada keadaan seperti ini terhitung sebagai kebaikan terhadap istri. Hal
ini termasuk dalam keumuman firman Allah subhaanahu wata’ala :
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ المُحْسِنِينَ
“Dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al Baqarah :195)
- Wajib
Talak yang hukumnya wajib yaitu bagi
suami yang meng-ila’ istrinya (bersumpah tidak akan menggauli istrinya,
-ed.) setelah masa penangguhannya selama empat bulan telah habis,
bilamana ia enggan kembali kepada istrinya. Hakim berwenang memaksanya
untuk menalak istrinya pada keadaan ini atau hakim yang menjatuhkan
talak tersebut. (Silahkan lihat Taudiihul Ahkam : 5/488, Al-Mulakhos
Al-Fiqhiy, hlm. 410, Fiqih Muyyasar, hlm. 306)
Pembahasan Keempat: Talak hanya Jatuh jika diucapkan adapun hanya niat semata tidak jatuh.
Talak hanya jatuh jika di ucapkan. Adapun niat semata dalam hati tanpa di ucapkan, tidak terhitung talak.
Asy-Syaikh Ibnu Baaz pernah ditanya oleh
seorang suami yang pernah berniat menalak istrinya namun tidak
diucapkan, apakah istrinya tertalak hanya dengan niat semata. Berkata
asy-Syaikh Ibnu Baaz:
“Niat (semata –ed) tidak menyebabkan terjadinya talak, berdasarkan sabda Rasulullah didalam hadits shahih
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ ، أَوْ تَتَكَلَّمْ
“Sesunggunya Allah memaafkan dari ummatku apa yang dikatakan oleh jiwanya selama tidak di lakukan dan di ucapkan.”
Maka niat tidak menyebabkan terjadinya
talak, pembebasan budak dan tidak pada hukum yang lain dari sisi
akad-akad, maka harus diucapkan…” (Fatawa Nurun ‘ala ad-Darb, 22/85)
Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih
Al-Fauzan hafidzahullah : “Tidak jatuh talak darinya dan tidak juga dari
yang mewakilinya kecuali dengan di ucap-kan dengannya, walaupun
meniatkan dalam hatinya; tidak jatuh talak. Sampai lisannya bergerak
mngucapkannya. Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi
wasallam:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ ، أَوْ تَتَكَلَّمْ
“Sesunggunya Allah memaafkan dari ummatku apa yang dikatakan (terbesik) oleh jiwanya selama tidak di lakukan dan di ucapkan.” (HR. al-Bukhari no 5269 dan Muslim no 127) (Mulakhos Al-Fiqhy, hlm 414)
Pembahasan Kelima: Tentang yang Berwenang Menjatuhkan Talak
Talak sah jika dari suami yang baligh,
berakal, mumayyiz yang mengerti dengan apa yang dipilih (mengerti makna
talak –ed), atau orang yang mewakilinya. Talak tidak jatuh (tidak sah)
dari selain suami, anak kecil, orang gila, orang mabuk, orang yang
dipaksa, dan orang yang dalam keadaan marah yang sangat yang tidak sadar
dengan apa yang di ucapkannya.” (Fiqih Muyyasar, hlm 305)
diantara dalilnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ
ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى
يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
“diangkat pena dari tiga orang, dari
orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak kecil sampai dia baligh,
dari orang gila sampai dia berakal” (HR. Abu Dawud no 4450, at-Tirmidzi no 1423 dan Ibnu Majah no 2041)
Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إن اللَّهُ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah memaafkan dari
umatnya tersalah, lupa dan apa yang mereka dipaksa atasnya.” (HR. Ibnu
Majah, no 1662 dinyatakan shahih oleh syikh al-Albani di irwa’ no 42)
Pembahasan Keenam: Apakah talak jatuh dengan bercanda
Orang yang bercanda mengucapkan talak
adalah seseorang yang mengucapkan talak memaksudkan untuk
mengucapkannya, memahami maknanya namun tidak menginginkan untuk
menjatuhkannya (tidak ingin menlak istrinya –ed), dia mengucapakannya
hanya untuk bercanda atau bersendau gurau.
Seseorang yang mengatakan kepada istrinya
dengan sekedar bercanda, “kamu saya talak” atau “kamu saya cerai” maka
jatuh talaknya. Dia terhitung telah menjatuhkan talak kepada istrinya
walaupun dia hanya bercanda/bersendau gurau. Hal ini berdasarkan sebuah
hadits. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alihi wasallam bersabda:
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ
“Tiga perkara yang sungguhnya mereka
dianggap sebagai kesungguhan dan yang bercandanya dianggap sebagai
sungguhan, nikah, talak dan rujuk” (HR. Abu Dawud no 2129, at-Tirmidzi no 1184 dan Ibnu Majah no 2039 dan dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani di Irwa’ no 1826)
asy-Syaikh Ibnu Baaz pernah ditanya tentang hukum seorang suami menalak istrinya dengan bercanda. Beliau berkata:
“Iya, teranggap satu kali talak,
terhitung sebagai satu kali talak, diambil pernyataannya itu, talak
sungguh-sungguhnya merupakan sungguhan, bercandanya dianggap sungguhan,
tidak boleh baginya bermain-main dengan hal itu…” (Fatawa Nurun ‘ala
ad-Darb, 22/73)
Permasalah Ketujuh: Hukum seorang istri meminta talak (cerai) tanpa alasan syar’i
Tidak boleh seorang istri meminta untuk
ditalak (cerai) tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’i. Hal ini
berdasarkan hadits. Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ ، فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
”Setiap isteri yang meminta cerai
kepada suaminya dengan sesuatu yang tidak dibolehkan maka diharamkan
baginya bau harumya surga ” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majjah)
Berkata Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz:
Adapun apabila (seorang istri -ed) meminta talak tanpa alasan yang
dibolehkan, tidak boleh baginya untuk melakukan hal itu. Rasulullah
shallallahu ‘alihi wasallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ ، فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
”Setiap isteri yang meminta cerai
kepada suaminya dengan sesuatu yang tidak dibolehkan maka diharamkan
baginya bau harumya surga ” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majjah)
Maka meminta talaknya istri tanpa alasan
syar’iyah tidak boleh, wajib baginya untuk shabar, mengharap pahala
Allah dan tidak meminta talak…” (Fatawa Nurun ‘ala ad-Darbi, Syaikh Ibnu Baaz:22/26)
Pembahasan Kedelapan: Hukum seorang istri meminta pisah dengan alasan syar’i
Boleh bagi seorang istri meminta untuk
pisah dengan suaminya jika disana ada alasan yang dibenarkan oleh
syari’at. Hal ini sebagaimana di tunjukkan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radiyallahu ‘Anhu, menuturkan:
جَاءَتِ امْرَأَةُ
ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ ، وَلاَ
خُلُقٍ إِلاَّ أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله
عليه وسلم فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ
عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا
“Datang isteri dari Tsabit bin Qais bin Syammas kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan berkata: ”Wahai
Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama dan akhlaknya,
tetapi aku takut kekufuran.” (pada riwayat lain, “sesungguhnya aku tidak
mencela Tsabit dalam hal agama dan akhlak tetapi aku tidak sanggup
bersamanya.”) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya:
“apakah kamu sanggup mengembalikan kebunnya?. berkata (isterinya
Tsabit-penj): Iya. Ia lalu mengembalikan kebunya kepada Tsabit dan Nabi
shalallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan Tsabit untuk memisahkannya.
Dia pun memisahkannya.” (HR. Bukhari)
Pembahasan Kesembilan: Tentang Lafadz-lafadz talak
Talak bisa jatuh dengan setiap lafadz yang menunjukkan kepadanya yaitu :
- Lafadz yang sharih, yaitu lafadz yang tidak dipahami darinya
selain dari talak. Seperti lafadz talak (cerai) atau pecahan dari kata
itu atau yang semisalnya. Seperti suami yang mengatakan kepada istrinya
kamu saya cerai.
Berkata al-Hafidz Ibnu Hajar:
لفظ الطلاق أو ما تصرف منه صريح
Para ulama sepakat bahwa lafadz talak dan pecahan dari kata itu, sharih (lafadz talak yang jelas –ed) (Fathul Bari:9/369)
- Dengan kinayah (kiasan) lafadz yang mengandung makna talak
dan makna yang lainnya, jatuh sebagai talak jika di niatkan sebagai
talak. Seperti suami mengatakan kepada istrinya pergi sana atau kembali
sana kepada keluargamu.” (silahkan lihat Manhajus Saalikiin, Syaikh
As-Sa’di hlm 274, Mulakhos Al-Fiqhy, Syaikh Shalih Al-Fauzan hlm 413,
Fiqih Muyyasar hlm ).
Dalil lafadz talak dengan kinayah (kiasan) jatuh sebagai talak jika diniatkan talak, adalah dalam sebuah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu anha
أَنَّ ابْنَةَ الْجَوْنِ
لَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَدَنَا مِنْهَا
قَالَتْ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ فَقَالَ لَهَا لَقَدْ عُذْتِ بِعَظِيمٍ
الْحَقِي بِأَهْلِكِ
“Saat Ibnatul Jaun Hendak dipertemukan
dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau
mendekatinya, ia (ibnatul jaun) berkata: Aku berlindung kepada Allah
darimu. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, sungguh,
engkau telah berlindung kepada Dzat Yang Maha Agung. Kembalilah kepada
keluargamu.” (HR. Bukhari no 5254)
Adapun dalil bahwa talak tidak jatuh dengan lafadz kinayah jika tidak diniatkan
talak adalah hadits Ka’b bin Malik yang panjang yang mengisahkan
tentang dirinya yang tertinggal tidak ikut perang Tabuk sehingga ia di
hajr (boikot) oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama kaum
muslimin, ia bercerita di tengah-tengah berlangsungnya boikot itu, atang
utusan Rasulullah membawa perintah beliau untuk nya agar mengasingkan
diri dari istrinya tanpa menalaknya, maka Ka’ab berkata kepada
isterinya,
الْحَقِي بِأَهْلِكِ فَتَكُونِي عِنْدَهُمْ حَتَّى يَقْضِيَ اللَّهُ فِي هَذَا الأَمْرِ
“Kembalilah kerumah keluargamu dan tinggalah bersama mereka sampai Allah memberi keputusan atas urusan ini.” (Mutafaqun alaih)
Pembahasan Kesepuluh: Tentang Talak di tinjau dari Ta’liq dan Tanjiz
Talak bisa jatuh dengan
- Munjazah (secara langsung tidak terikat syarat). yaitu talak yang
sejak diucapkan perkataan tersebut bermaksud untuk menalak, sehinga
seketika itu jatuhlah talak. Seperti perkataan “kamu saya talak (cerai)”
- Atau terikat dengan syarat, seperti perkataan “jika datang waktu
begini, maka kamu saya cerai”. Apabila terjadi sesuatu yang
disyaratkannya maka jatuh talak (cerai). yaitu seseorang suami
menjadikan jatuh talak tergantung pada syarat tertentu. Seperti
perkataan suami kalau kamu tetap pergi ketempat itu kamu tertalak. (Manhajus Saalikiin, Syaikh As-Sa’di :274)
Catatan:
Yang penting untuk diperhatikan, jika
yang diinginkan oleh seorang suami dengan mengucapkan kalimat talak
mu’alaq (terikat syarat) adalah untuk menganjurkan agar sang istri
melakukan sesuatu atau melarang dari melakukan sesuatu, bukan dalam
rangka untuk menjatuhkan talak maka ucapan itu adalah sumpah. Jika tidak
terjadi apa yang dijadikan objek sumpah maka sang suami tidak ada
kewajiban apa-apa; dan jika terjadi, maka ia wajib membayar kafarah
sumpah.
Pembahasan Kesebelas: Tentang apakah jatuh talak dengan tulisan
Tulisan adalah sarana untuk
mengungkapkan/menerangkan apa yang ada didalam hati sebagaimana
diungkapkan/diucapkan dengan lisan. Ketika seseorang berniat menalak
istrinya kemudian dia ungkapan dengan tulisan, seperti dengan menulis di
kertas bahwa dia menalak istrinya maka talak dianggap jatuh
(sah/terhitung) dengan tulisan walaupun dilakukan oleh orang yang bisa
berbicara, ini pendapatnya jumhur (mayoritas) ulama dan difatwakan oleh
Ibnu Baaz dan Ibnu Utsaimin merajihkan pendapat ini.
Pembahasan Keduabelas: Tentang seseorang yang ragu-ragu apakah dirinya sudah menalak istrinya
Berkata Asy-Syaikh al-Allamah Shalih
Al-Fauzan: “Apabila ragu-ragu telah terjadi talak, dan yang di inginkan
dari ragu-ragu apakah telah terjadi talak darinya, atau ragu-ragu
bilangan talak, atau ragu-ragu apakah telah terjadi syaratnya :
- Apabila ragu-ragu telah terjadinya talak darinya, maka istrinya
tidaklah tertalak hanya semata-mata ragu-ragu. Dikarenakan pernikahannya
dibangun diatas keyakinan dan tidak bisa gugur hanya karena ragu-ragu.
- Apabila ragu-ragu terjadinya syarat yang dia syaratkan dalam
talaknya seperti dia berkata, “Apabila kamu masuk rumah maka kamu saya
talak (cerai).” Kemudian ragu-ragu tentang masuknya istri ke rumah.
Sesungguhnya dia tidak tertalak hanya karena ragu-ragu sebagaimana
penjelasan yang lalu.
- Apabila yakin terjadinya talak darinya dan ragu-ragu tentang
bilangannya tidaklah jatuh kecuali satu dikarenakan dia yakin terjadinya
talak, adapun lebih dari itu dia ragu-ragu. Dan keyakinan tidak dapat
dihilangkan dengan keraguan. (Mulakhos Al-Fiqhy, Syaikh Shalih Al-Fauzan, hlm 415).
Pembahasan Ketigabelas: Tentang talak sunnah dan talak bid’ah
Pengertian talak sunnah dan talak bid’ah
- Talak sunnah adalah talak yang terjadi sesuai dengan syar’i.
Yaitu seorang suami menceraikan istrinya satu kali talak dalam keadaan
suci yang mana dia pada saat itu belum mencampurinya, dan membiarkannya
serta tidak mengikuti dengan talak yang berikutnya sampai habis masa
iddahnya. Para ulama sepakat bahwa talak sunnah jatuh sebagai talak.
(Fiqih Muyyasar, hlm 305, Mulakhos Al-Fiqhy, hlm 413).
- Talak bid’ah adalah talak yang dijatuhkan oleh pelakunya
dalam bentuk yang haram. Seperti mengucapkan talak tiga dengan satu kali
ucapan (lafadz). Atau mentalak istrinya dalam keadaan haid atau
mentalak istrinya dalam keadaan suci namun telah digauli yang tidak
diketahui hamil tidaknya. Hukum talak seperti ini haram. (Fiqih
Muyyasar, hlm 305, Mulakhos Al-Fiqhy, hlm 413).
Pembahasan Keempatbelas:
Hukum talak dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci namun setelah
digauli yang tidak diketahui hamil atau tidaknya, apakah jatuh sebagai
talak?
Tentang hal ini para ulama berselisih
pendapat, kebanyakkan para ulama berpendapat talak seperti ini jatuh,
dan berdosa orang yang melakukannya. Dan ini pendapat yang benar,
berdalil dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan Ibnu Umar yang menalak istrinya ketika haid untuk
merujuknya. Tidaklah rujuk kecuali setelah terjadinya talak. Syaikh
al-Albani dan Syaikh Muqbil merajihkan pendapat yang mengatakan talak
jatuh.
Pembahasan Kelimabelas: Hukum talak dengan lafadz tiga sekaligus apakah jatuh talak tiga atau talak satu.
Seorang suami menjatuhkan talak kepada
istrinya dengan berkata “kamu saya talak (cerai) tiga sekaligus” atau
“kamu saya talak, kamu saya talak, kamu saya talak” apakah
jatuh/terhitung sebagai talak tiga atau jatuh/terhitung sebagai talak
satu. Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini, pendapat yang
benar insya Allah pendapat yang mengatakan hal ini adalah talak yang haram dan jatuh/teranggap sebagai talak satu.
Pendapat ini dinukilkan dari sekelompok salaf dan khalaf dari kalangan
shahabat, dan ini pendapat kebanyakkan dari tabi’in dan yang setelah
mereka dan ini pendapatnya sebagian shahabatnya Abu Hanifah, Malik dan
Ahmad. Pendapat inilah yang dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim,
ash-Shan’ani, Ibnu Baaz, Al-Albani, Ibnu Utsiamin dan Syaikh Muqbil
rahimahullah. Diantara dalil mereka adalah hadits Ibnu Abbas berkata:
كَانَ الطَّلاَقُ عَلَى
عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبِى بَكْرٍ وَسَنَتَيْنِ
مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ طَلاَقُ الثَّلاَثِ وَاحِدَةً فَقَالَ عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ إِنَّ النَّاسَ قَدِ اسْتَعْجَلُوا فِى أَمْرٍ قَدْ كَانَتْ
لَهُمْ فِيهِ أَنَاةٌ فَلَوْ أَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِمْ. فَأَمْضَاهُ
عَلَيْهِمْ
“Dahulu pada zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, kekhalifahan Abu Bakr dan dua tahun
pertama dari kekhalifahan ‘Umar , talak yang dijatuhkan tiga kali
sekaligus dihitung satu kali talak. Lantas umar mnyampaikan:
‘ssungguhnya orang telah tergesa-gesa pada urusan talak mreka yang
mengandung tahapan (ingin menjatuhkan sbagai talak tiga sekaligus), maka
bagaimana jika kami berlakukan saja bagi mereka hal itu? Umarpun
mmberlakukannya bagi mereka.” (HR. Muslim no 3746) (Silahkan lihat Taudihul Ahkam: 5/496 )
Pembahasan Keenambelas: Tentang Talak Raj’i dan Talak Ba’in
- Seorang suami yang merdeka mempunyai kesempatan untuk mentalak istri
yang telah digaulinya sebanyak tiga kali, baik istrinya wanita merdeka
atau berstatus budak.Para ulama sepakat bahwa talak itu ada dua macam.
- Talak raj’i adalah talak yang setelah dijatuhkan
sang suami masih mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya selama
dalam masih menjalani masa iddah, tanpa tergantung persetujuannya dan
tanpa akad yang baru. Yaitu talak pertama dan kedua yang sang suami
mempunyai hak untuk rujuk pada masa iddah kapan saja dia mau walaupun
istri tidak rela dirujuk.
- Talak bain
Talak bain ada dua macam :
Pertama : Talak ba’inunah shugra
(perpisahan yang kecil) adalah talak yang setelah dijatuhkan oleh suami
tidak memiliki peluang untuk rujuk kembali kepada istrinya, kecuali
dengan persetujuan istrinya dan dengan akad yang baru, dan tidak harus
dinikahi dulu oleh laki-laki lain. Yaitu terjadi ketika masa iddah istri
dalam talak raj’i (talak satu dan dua) telah selesai, dan sang suami
belum merujuknya. Atau contoh yang lain yaitu talak yang dijatuhkan
kepada istrinya yang belum pernah digauli (berhubungan suami istri) maka
hukum perceraiannya adalah ba’inunah sughra. Tidak halal baginya untuk
merujuknya, jika ingin kembali kepada istrinya itu (baca : mantan istri)
harus dengan akad nikah yang baru. Karena hak rujuk ada pada masa iddah
sedangkan ini (wanita yang dicerai yang belum pernah digauli) tidak ada
masa iddahnya.
Kedua : Talak ba’inunah kubra
(perpisahan yang besar) adalah talak yang setelah dijatuhkan oleh suami
yang tidak ada kesempatan/peluang untuk rujuk (kembali) kepada istrinya.
Kecuali dengan persetujuan istri, dengan akad yang baru. dan setelah
mantan istrinya menikah dengan laki-laki lain dan telah melakukan
hubungan suami istri (jima’), lalu mantan istrinya itu dicerai atau
suaminya meninggal dan masa iddahnya telah selesai. Contohnya seorang
suami mentalak istrinya, kemudian merujuknya dalam masa iddah atau
menikahinya setelah habis masa iddahnya. Lalu mentalak lagi, kemudian
merujuknya dalam masa iddah atau menikahinya setelah habis masa
iddahnya, lalu dia mentalaknya lagi yang ketiga kalinya. Inilah talak
ba’inah Qubra yang menjadikan istrinya tidak bisa dirujuk lagi.
RUJUK
Pembahasan Pertama: Pengertian rujuk dan dalil disyariatkannya
Rujuk adalah
إعادة زوجته المطلقة طلاقاً غير بائن إلى ما كانت عليه قبل الطلاق بدون عقد
Rujuk adalah mengembalikan istrinya yang
tertalak yang bukan pada talak bain kepada keadaan sebelum terjadinya
talak tanpa adanya akad. (al-Fiqih al-Muyyasar hlm 308)
Pembahasan Kedua: Dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma
Dari Al-Qur’an
أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا
“…dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.” (Al-Baqarah : 228)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda :
مره فيراجعها ثم ليطلقها طاهرا أو حاملا
“Suruh dia merujuk kembali istrinya, kemudian silahkan dia menalaknya dalam keaadaan suci atau sedang hamil.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Ijma
Berkata Asy-Syaikh al-Allamah Shalih Al-Fauzan hafidzahullah:
وأما الإجماع؛ فقال ابن المنذر: “أجمع أهل العلم على أن الحر إذا طلق دون الثلاث والعبد إن طلق دون أثنتين،أن لهما الرجعة في العدة”
“Adapun Ijma’ berkata Ibnul Mundzir “Para
ulama sepakat bahwa seorang suami yang merdeka apabila mentalak yang
bukan talak tiga dan seorang budak apabila mentalak yang bukan talak dua
maka baginya ada hak untuk rujuk pada masa iddah.” (Al-Mulakhos Al-Fiqhiy hlm 416)
Pembahasan Ketiga: Talak yang bisa dirujuk dan beberapa macam keadaan wanita yang tertalak
- Talak yang ada kesempatan seorang suami untuk rujuk adalah talak
kepada istri yang sudah pernah digauli pada talak pertama atau kedua dalam masa iddah.
Adapun talak ketiga tidak ada kesempatan seorang suami untuk rujuk
begitu juga istri yang tertalak dalam keadaan belum pernah digauli.
- Wanita yang tertalak pada talak pertama dan kedua yang pernah digauli statusnya masih sebagai istrinya yang sah selama dalam masa iddah.
Dia masih berhak menerima nafkah, tempat tinggal dan dia harus berada
pada rumah suaminya. Begitu juga wajib baginya mentaati suaminya, boleh
baginya membuka aurat, berdandan untuknya, bercanda dan hal-hal yang
lainnya.
Pembahasan Keempat: Tata cara rujuk
Rujuk adalah hak mutlak suami di masa iddah wanita yang ditalak raj’i. Hak mutlak ini tanpa ada syarat kerelaan istri.
Tatacara merujuk harus sesuai syar’i
- Niat untuk merujuk istrinya dalam rangka untuk memperbaiki kembali
hubungan yang retak. Sehingga rujuk diharamkan dengan niat memudharatkan
- Prosesnya
- Dengan ucapan, yaitu setiap lafadz yang menunjukkan makna rujuk disertai niat.
Contohnya: aku telah merujuk
(mengembalikan) isteriku, atau aku telah mengembalikan isteriku
kesisiku. Aku telah menginginkan isteriku lagi.
- Mengaulinya disertai niat rujuk menurut pendapat yang benar.
Oleh karena itu seorang suami yang menalak istrinya dengan talak raj’i
tidak boleh menggaulinya tanpa niat rujuk. Berkata asy-Syaikh Shalih
al-Fauzan hafidhahullah: “Rujuk terjadi juga dengan menggauli istrinya apabila meniatkan dengannya untuk rujuk menurut pendapat yang benar.” (Al-Mulakhos al-Fiqhy hlm 418).
Pembahasan Kelima: Mempersaksiakan talak dan rujuk
Berkata asy-Syaikh Al-Allamah Abdurrahman
Nashir as-Sa’di rahimahullah: “Dan disyariatkan mengumumkan nikah,
talak dan rujuk dan mempersaksikan hal itu, berdasarkan firman Allah
Ta’aala
{وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ} [الطلاق: 2]
“Serta persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil (istiqamah, bukan orang fasik –ed) di antara kalian.” (ath-Thalaq : 2) (Manhajus Saalikin, hlm 184)
- Disyariatkan mempersaksiakan talak yang dijatuhkan kepada dua saksi
pria yang adil; istiqamah (tidak fasik). Adapun tentang hukumnya para
ulama berselisih pendapat, ada pendapat ulama yang mengatakan hukumnya
wajib, dan ada pendapat yang mengatakan hukumnya sunnah dan ini
pendapatnya jumhur. Yang jelas mempersaksikan talak dapat dilakukan saat
menjatuhkan talak atau disusulkan setelah talak jatuh.
- Disyariatkan juga mengumumkan dan mempersaksiakan rujuk kepada dua
saksi pria yang adil; istiqamah (tidak fasik). Adapaun tentang hukumnya
para ulama berselisih pendapat, ada yang mengatakan wajib, ada juga yang
berpendapat sunnah, dan ini pendapatnya jumhur. Yang jelas
mempersaksikan rujuk dapat dilakukan saat merujuk atau setelah rujuk.
IDDAH
Pembahasan Pertama: Pegertian iddah dan dalil disyariatkannya
Iddah adalah sebuah nama untuk waktu
tertentu seorang wanita menunggu dalam rangka beribadah (menjalankan
perintah Allah –ed), bersedih atas suami, atau memastikan kosongnya
rahim.” (al-Fiqh al-Al-Muyasar, hlm 317)
Atau iddah adalah sebuah nama untuk
jangka waktu tertentu seorang istri menunggu dari menikah lagi setelah
ditinggal mati oleh suaminya atau setelah dirinya ditalak. Dengan
menunggu tiga kali haid, atau dengan tiga bulan atau dengan empat bulan
sepuluh hari
Pembahasan Kedua: Dalil disyariatkanya iddah
Dalil dari Al-Qur’an
Allah Ta’aala berfirman :
وَالمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” (Al-Baqarah :228)
Dalil dari Sunnah
عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ
مَخْرَمَةَ أَنَّ سُبَيْعَةَ الأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ
زَوْجِهَا بِلَيَالٍ فَجَاءَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم
فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ
Dari Miswar bin Makhramah, bahwasannya
Subai’ah Al-Aslamiyyah radhiyallahu ‘anha mengalami nifas setelah di
tinggal wafat oleh suaminya beberapa hari, maka dia datang kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam untuk minta ijin menikah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengijinkannya. Maka menikahlah dia.” (HR. Bukhari no 5320)
Pembahasan Ketiga: Hikmah di Syariatkan iddah
Banyak hikmah disyariatkannya iddah, diantaranya:
– Untuk memsatikan kosongnya rahim dari janin, sehingga tidak tercampurnya nasab
– Untuk memberikan waktu bagi suami yang mencerai istrinya untuk rujuk apabila dia menyesal jika pada talak raj’i
– Menjaga hak seorang wanita/istri yang hamil apabila terjadi talak pada saat hamil.
– Untuk memperlihatkan betapa
besarnya dan terhormatnya permasalahan pernikahan dan memberikan
pemahaman bahwa akad nikah mengungguli akad-akad yang lainnya.
– Memperlihatkan rasa sedih
karena baru kehilangan suami/ditinggal mati suami. Jadi kalau wanita
menahan diri untuk tidak berdandan, hal itu membuktikan kesetiaannya
kepada suaminya yang telah meninggal. (silahkan lihat Mulakhos Fiqhiy,
Syaikh Al-Fauzan, hlm 419-420, Fiqih Muyasar, hlm 317)
Pembahasan Keempat: Macam-macam wanita dengan iddahnya
- Wanita yang di talak yang masih mengalami haid, maka iddahnya tiga kali haid sempurna.
Berkata asy-Syaikh Sa’di rahimahullah:
Apabila masih mengalami haid maka iddahnya tiga kali haid sempurna, berdasarkan firman Allah Ta’aala
وَالمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” (Qs. Al-Baqarah :228) (Manhajus Saalikin, hlm 188)
Apakah yang dimaksud quru’ pada ayat ini haid atau suci?
Para ulama berselisih pendapat tentang makna quru’ (menurut syar’i).
Pendapat pertama: Quru’ adalah haid ini pendapatnya Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud dan sekelompok shahabat.
Pendapat kedua: yang dimaksud quru’ adalah suci, bukan haidh. Ini pendapatnya ‘Aisyah, Ibnu Umar , Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit dan yang lainnya.
Wallahu a’lam bish shawwab insya Allah yang rajih tentang makna quru’ adalah haid.
Diantara dalilnya adalah berdasarkan firman Allah Ta’aala:
وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ المَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي
لَمْ يَحِضْنَ
“Dan perempuan-perempuan yang tidak
haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu
ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga
bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (Ath-Thalaq : 4)
Ayat ini menujukkan ketika seseorang
sudah tidak haid lagi atau belum mengalami haid maka iddahnya tiga
bulan, hal ini menunjukkan asal iddah adalah haid. Wallahu a’alam bish
shawwab. Pendapat ini yang dirajihkan oleh Ibnul Qayyim.
- Wanita yang di talak dalam keadaan tidak haid lagi (monoupose) atau yang belum haid karena masih kecil iddahnya dengan tiga bulan
Berkata asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah:
“Dan bagi wanita yang belum haid seperti anak kecil dan yang wanita
yang sudah tidak haid lagi seperti wanita yang sudah tua (moneupouse)
maka iddahnya tiga bulan, berdasarkan firman Allah:
وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ المَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي
لَمْ يَحِضْنَ
“dan perempuan-perempuan yang tidak
haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu
ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga
bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (Ath-Thalaq : 4) (Manhajus Saalikin, hlm 188)
- Wanita yang ditalak atau di tinggal mati suaminya dalam keadaan hamil iddahnya sampai melahirkan.
Berkata asy-Syaikh As-Sa’di: “Apabila
dalam keadaan hamil maka iddahnya sampai melahirkan semua apa yang ada
di perutnya, berdasarkan firman Allah Ta’aala:
وَأُولاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Sedangkan permpuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya” (ath-Thalaq:4)
Dan ini umum pada perpisahan dengan kematian atau dalam keadaan hidup (talak –ed).” (Manhajus Saalikiin, hlm 188)
- Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan tidak
hamil iddahnya empat bulan sepuluh hari. Baik wanita tersebut sudah
pernah diaguli atau belum.
Berdasarkan, firman Allah Ta’aala:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Orang-orang yang meninggal dunia di
antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.” (al-Baqarah:234)
- Wanita yang ditalak yang belum pernah digauli tidak ada iddahnya
Seorang istri yang ditalak dalam keadaan
belum pernah digauli sama sekali tidak ada iddah baginya. Berdasarkan
firman Allah Ta’aala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ المُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ
قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ
تَعْتَدُّونَهَا
“Wahai orang-orang yang beriman!
Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa iddah atas mereka
yang perlu kamu perhitungkan.” (al-Ahdzab: 49). Wallahu ‘alam bish shawwab
Sumber bacaan
Manhajus Saalikiin Syaikh ‘Aburrahman As-Sa’di
Mulakhos Al-Fiqhy Syaikh Shalih Al-Fauzan
Fiqih Muyyasar kumpulan para ulama
Dan yang lainnya