Jumat, 25 Januari 2013

Jangan Pernah Berhenti

Perang Ahzab atau perang Khandaq adalah salah satu pertempuran yang sangat melelahkan. Memang pertempuran dalam arti saling bunuh membunuh dalam jarak dekat tidak banyak terjadi. Namun, 10000 pasukan multinasional yang mengepung Madinah telah membuat kaum muslimin tidak sempat melakukan shalat Zhuhur, Ashar, dan Maghrib. Bahkan "hanya" sekedar pipis saja juga tidak sempat.


Selesai perang yang sangat melelahkan secara phisik dan psikis ini, Rasulullah saw hendak beristirahat barang sejenak. Karenanya, beliau sarungkan dan gantungkan pedang dan senjata beliau. Namun Allah swt tidak menginginkan beliau dan kaum muslimin beristirahat. Karenanya, Allah utus malaikat Jibril as untuk menemui Rasulullah saw. Sambil tetap berada di atas bighal, malaikat Jibril as berkata: "Sepertinya engkau sudah meletakkan senjatamu, wahai Rasulullah saw? Padahal para malaikat belum meletakkan senjata mereka ...". Rasulullah saw sadar bahwa Allah swt, melalui Jibril, telah memerintahkannya untuk melanjutkan jihad, kendatipun ia belum sempat beristirahat barang sejenak.(Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam).

Riwayat ini menggambarkan kepada kita agar kita "tidak berhenti" dalam dan dari berjihad. 

Pada suatu hari, ada beberapa orang Anshar sedang berkumpul-kumpul. Salah seorang diantara mereka, yaitu Abul Ayyub Al-Anshari, berkata: "Sekarang Islam telah jaya, telah eksis, dan telah kokoh. Sebaiknya kita kembali ke ladang-ladang kita, kebun-kebun kita, kita urus lagi harta kekayaan kita yang selama ini "terbengkalai" dan kita garap lagi lahan-lahan itu dengan serius, lahan yang selama ini telah kita "tinggalkan" dalam rangka berjihad fi sabilillah, dan hasilnya kita infaqkan fi sabilillah juga, sementara jihad di medan laga biar ditangani oleh saudara-saudara kita lainnya".
Pada saat itu pula Allah swt menurunkan firman-Nya: "Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS Al Baqarah: 195).

riwayat yang satu ini menggambarkan kepada kita bahwa kehancuran, atau kebinasaan, atau istilah Al Qur'annya tahlukah akan terjadi manakala kita meninggalkan jihad.
Kalau dua riwayat ini kita hubungkan dengan sirah Rasulullah saw lainnya, kita akan temukan data-data berikut:

Peperangan yang dipimpin oleh Rasulullah saw secara langsung (ghozwah) ada 26 ghozwah.
Peperangan yang tidak dipimpin oleh Rasulullah saw secara langsung (sariyyah) ada 38 sariyyah.

Maka kita akan dapat menarik satu kesimpulan bahwa manuver Rasulullah saw dan para sahabatnya itu tiada henti dan tanpa putus. Bagaimana tidak, waktu yang kurang lebih sepuluh tahun itu terisi oleh peperangan 64 kali peperangan.

kalau kita perhatikan, semua itu merupakan sebuah manuver yang menggambarkan betapa Rasulullah saw dan para sahabatnya senantiasa menumpahkan segala potensi dan kemampuan yang dimilikinya secara maksimal dan tiada henti, sehingga "tidak ada" waktu lagi untuk bersitirahat dan "meng-andai-andaikan" hal-hal yang sifatnya duniawi.

Kalau hal itu kita ibaratkan sebagai air yang mempunyai potensi besar untuk menerjang apa saja, maka aliran air itu tiada pernah berhenti.
Kalau Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 195 itu kita hubungkan dengan pengibaratan air ini, kita bisa katakan bahwa justru kalau air itu berhenti, dan tidak lagi mengalir, maka air itu akan menjadi rusak, kotor, sarang nyamuk, dan sumber penyakit, serta berubah warnanya.

Begitu juga dengan potensi jihad yang ada pada kita. Bila potensi jihad itu kita berhentikan, baik jihad da'awi, jihad ta'limi, jihad irsyadi, jihad tarbawi, jihad bina-I (jihad membina), jihad qitali dan jihad-jihad lainnya, maka potensi itupun akan bernasib sama dengan air itu. Karenanya wajar bila Allah swt memperingatkan para sahabat akan datangnya tahlukah kepada mereka bila mereka meninggalkan jihad, dan menyibukkan diri dengan urusan pertanian, kehutanan dan perkebunan.

Firman Allah swt diatas dipertegas juga oleh hadits Rasulullah saw yang menyatakan: "Jika kalian telah berjual beli secara 'ienah (rekayasa dan akal-akalan dalam praktek riba), kalian telah mengambil ekor sapi dan puas (asyik) dengan pertanian serta meninggalkan jihad, niscaya Allah swt akan menjadikan kehinaan menguasai kalian yang tidak akan dicabut sehingga kalian kembali kepada agama kalian." (HR Abu Daud dan Ahmad, dan Syekh Nashirud-Din Al Al Bani menilainya hasan).
Berkenaan dengan hal ini simaklah apa yang dikatakan oleh Sayyid Qutub dalam salah satu bukunya:

"Yang demikian ini karena, hakikat iman tidak akan sempurna dalam hati, melainkan setelah:

1. Bermujahadah dalam menghadapi orang banyak dalam urusan iman ini; Mujahadah dengan hati; bentuknya: membenci kebatilan mereka, jahiliyyah mereka dan bertekad memindahkan mereka dari kebatilan dan jahiliyyah itu kepada kebenaran dan Islam. Mujahadah dengan lisan; bentuknya: Tabligh.dan bayan (penerangan). Menolak kebatilan mereka yang merupakan kepalsuan itu. Menegaskan kebenaran yang dibawa Islam. Dan mujahadah dengan tangan atau pisik; bentuknya: menolak dan menyingkirkan mereka-mereka yang melakukan penghadangan terhadap jalan hidayah dengan mempergunakan kekuatan yang melampaui batas dan penghancuran yang curang.

2. Merasakan melalui mujahadah-nya itu: Ujian (ibtila' atau tribulasi) dan rasa sakit. Bersabar atas ibtila' dan rasa sakit itu. Bersabar atas kekalahan. Dan Bersabar atas kemenangan, karena, bersabar atas kemenangan lebih berat (sulit) dari pada bersabar atas kekalahan.

3. Tetap Tsabat (tegar) dan tidak ragu-ragu, istiqamah dan tidak menolah-noleh dan terus maju meniti jalan iman dengan terus menanjak dan tidak tersesat".


Selanjutnya Sayyid Qutub mengatakan:

"Dan hakikat iman tidak sempurna dalam hati sehingga menghadapkannya untuk mujahadah menghadapi orang banyak dalam urusan iman ini, sebab, saat ia mujahadah menghadapi orang banyak itu: Ia sendiri bermujahadah melawan dirinya sendiri. Dan akan terbuka baginya wawasan dan pemandangan keimanan yang belum pernah terbuka baginya selamanya bila ia hanya duduk (diam) dengan aman dan tenang. Akan jelas baginya hakekat-hakekat tentang manusia dan kehidupan yang belum pernah manjadi jelas baginya selamanya tanpa adanya wasilah (sarana) ini. Dan ia sendiri -dengan jiwanya, segala perasaannya, persepsi-persepsinya, kebiasaannya, tabiatnya, emosinya dan responnya- akan sampai pada sesuatu yang tidak mungkin sampai kepadanya tanpa pengalaman berat dan sulit ini".

Lebih lanjut Sayyid Qutub mengatakan: "Inilah sebagian dari yang diisyaratkan firman Allah swt : Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebagaian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. (QS Al Baqarah: 251).

Dan kerusakan yang pertama kali terjadi adalah kerusakan jiwa manusia (nafsul insan), kerusakan yang terjadi karena rukud (diam, tidak bergerak, atau istilahnya berharakah, tidak mengalir), rukud yang menyebabkan: Ruhnya membusuk akibat adanya stagnasi. Himmah (semangat)-nya istirkha' (mengendor, lembek, loyo, tidak kenceng). Nafs (jiwa)-nya rusak dikarenakan adanya rakha' (bergelimangnya harta dunia) dan tharawah (tidak teruji dan terlatihnya jiwa itu dengan hal-hal yang berat). Yang pada akhirnya seluruh kehidupanpun menjadi rusak gara-gara rukud tadi. Atau karena hanya bergerak pada bidang syahwat saja, sebagaimana yang terjadi pada bangsa-bangsa yang mendapatkan cobaan dalam bentuk kemewahan hidup".









Sebenarnya Kita Mampu...(belajar dari (detik) jam)

mungkin kita sdh berulangkali membaca kisah dibawah ini...
tapi ga ada salahnya kalo kita ulang lagi...
sambil berusaha mengambil hikmahnya...


Seorang pembuat jam berkata kepada jam yang sedang dibuatnya. “Hai jam, sanggupkah kamu berdetak 31.104.000 kali selama setahun?”
“Ha?! Sebanyak itukah?!” kata jam terperanjat, “Aku tidak akan sanggup!”

“Ya sudah, bagaimana kalau 86.400 kali saja dalam sehari?”

“Delapan puluh ribu empat ratus kali?! Dengan jarum yang ramping seperti ini?! Tidak, sepertinya aku tidak sanggup,” jawab jam penuh keraguan.

“Baik, bagaimana jika 3.600 kali dalam satu jam?”

“Dalam satu jam berdetak 3.600 kali? Tampaknya masih terlalu banyak bagiku.” Jam bertambah ragu dengan kemampuannya.

Dengan penuh kesabaran, tukang jam itu kembali berkata, “Baiklah kalau begitu, sebagai penawaran terakhir, sanggupkah kamu berdetak satu kali setiap detik?”

“Jika berdetak satu kali setiap detik, aku pasti sanggup!” Kata jam dengan penuh antusias. Maka, setelah selesai dibuat, jam itu berdetak satu kali setiap detik.

Tanpa terasa, detik demi detik terus berlalu dan jam itu sungguh luar biasa karena ternyata selama satu tahun penuh dia telah berdetak tanpa henti. Dan itu berarti ia telah berdetak sebanyak 31.104.000 kali dalam setahun, yang juga setara dengan berdetak 86.400 kali dalam sehari, yang setara pula dengan berdetak 3.600 kali dalam satu jam.

Kita sering meragukan dan underestimated terhadap kemampuan diri sendiri untuk mencapai goal, pekerjaan, dan cita-cita yang tampak sangat besar. Kita lantas menggangapnya sebagai hal sangat berat yang tidak mungkin dapat kita angkat. Namun sebenarnya apabila hal yang dianggap besar tersebut kita perkecil dan perkecil lagi, lantas kemudian kita realisasikan hal-hal kecil tersebut secara konsisten serta kontinu, niscaya hal besar yang semula kita anggap tidak mungkin tercapai itu akan terealisasikan.

Intinya, hal besar akan tercapai dengan konsistensi dan kontinuitas, atau dengan istilah lain yang sering digunakan masyarakat: istiqamah! Tentu melekatkan konsistensi dan kontinuitas kepada diri sendiri itu bukan hal yang mudah, karena akan menimbulkan kelelahan yang sangat.

Al-Mutanabbi berkata dalam syairnya yang masyhur,

وَإِذَا كَانَت النُّفُوْسُ كِبَارًا

تَعِبَتْ فِي مُرَادِهَا الْأَجْسَامُ


Dan sekiranya jiwa itu besar,
tentulah jasad itu akan letih dalam menggapai maksudnya. [Khizānah al-Adab I/251.]


Ingat, seribu langkah tidak akan ada tanpa adanya satu langkah pertama. Garis panjang hanyalah merupakan kumpulan dari titik-titik.

Wallahu a'lam

Selasa, 22 Januari 2013

Kehidupan Ini

Tidak ada gembok yang tidak ada kuncinya

Tidak pernah guru membuat soal yang tiada jawabannya

Tidak ada penyakit yang tiada obatnya


Tidak ada masalah yang tiada jalan keluarnya

Ikhtiar, Do'a, Pasrah, Tawakkal, husnudzon

Tidak ada yang perlu dikeluhkan tentang takdir

Tidak ada yang perlu dikeluhkan tentang hidup ini

Semua ada ukurannya
Semua sudah ada tulisnya
Tidak akan Allah keliru memberi takdir
Tidak pernah Allah memberi cobaan melebihi kemampuan hamba

Anak SD akan diberi soal ujian untuk SD
Anak SMP tentu diberi soal ujian untuk SMP
Anak SMU pasti diberi soal ujian untuk SMU
Tidak akan tertukar satu dengan yang lain

Cobaan bertujuan 3:
- menguji kesungguhan
- menghapus dosa
- mengangkat derajat

Cobaan berupa 2:
- Nikmat
- Musibah

Semoga kita semua diberi kekuatan, istiqomah dan kejernihan berpikir dalam setiap kondisi, terutama saat menerima cobaan, baik berupa cobaan nikmat maupun cobaan musibah.

Kamis, 17 Januari 2013

Dengan Syukur, Musibah pun menjadi Indah


Usianya sudah tua. Matanya buta. Wajahnya rusak. Hidungnya patah.

Saat itu d Majelis Khalifah Walid ibn Abdul Malik d Damaskus, pria itu diajak bicara oleh Urwah ibn Zubair, keponakan Rasulullah SAW, yg hanya memiliki satu kaki.

"Apa yg membuat keadaan engkau seperti ini?" tanya Urwah.

"Dulu aku tinggal d suatu kampung. Tidak ada d kampung itu orang yg kaya kecuali aku. Tidak ada yg lebih banyak hartanya, kekayaan halalnya, juga keluarganya yg melebihi diri. Lalu datanglah banjir d malam hari. Sekejap banjir itu melenyapkan keluargaku, hartaku dan kekayaanku. Hingga pagi matahari terbit, aku tidak lagi memiliki apa2 kecuali anakku yg masih kecil dan seekor unta. Tiba2 unta itu lari dan aku ingin sekali menangkapnya. Belum jauh aku mengejar, anakku yg masih kecil terdengar menangis keras. Aku membalik. Ternyata anak itu sudah dicabik2 oleh serigala. Aku tidak bisa menyelamatkan anakku. Ia tewas. Maka aku lari mengejar untaku. Tiba2 ia menyepak wajahku, melukai wajahku, mematahkan hidungku, dan membuatku buta."

Urwah bertanya, "Bagaimana perasaan engkau saat itu?"

"Aku hanya mengatakan, Ya Allah, segala puji hanya milik-Mu, Engkau masih menyisakan untukku hati yg subur dan lisan yg banyak berdzikir." jawab lelaki itu.

antara Da'i dan Air

Air adalah sumber kehidupan. Salah satu sifat alami air adalah mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang rendah, karena gaya gravitasi. Air juga dapat meresap ke benda-benda tertentu yang memiliki rongga-rongga.

Sifat inilah yang seharusnya dimiliki seorang da'i. Seperti air yang tak pernah diam menggenang, ketika ada celah sekecil apapun di wadahnya, maka air pun akan mengalir melalui celah itu. Begitu pun seorang da'i, ketika melihat potensi dakwah sekecik apapun, maka ia tidak akan tinggal diam.


Air yang diam dan menggenang, berpotensi besar menjadi sarang penyakit. Disana akan hidup bibit nyamuk, bakteri tumbuh subur, dan air semakin lama semakin keruh. Beda halnya dengan air yang mengalir, ia dapat membersihkan banyak hal, semakin kencang alirannya maka semakin kencang daya kikisnya.


Begitu pula layaknya seorang da'i. Ketika seorang da'i hanya diam, maka potensi keburukan akan tumbuh subur dalam dirinya. Sedangkan jika ia selalu bergerak, maka potensi kebaikan akan selalu mengalir, untuk dirinya dan orang lain.

 

Suami Para Bidadari

“Aku benar-benar melihat malaikat sedang memandikan Hanzhalah di antara langit dan bumi dengan air dari awan dalam sebuah tempat besar terbuat dari perak.” Sahabat Urwah ra menegaskan kesaksiannya tentang kesyahidan Hanzhalah di perang Uhud.

Mekkah menggelegak terbakar kebencian terhadap orang-orang Muslim karena kekalahan mereka di Perang Badar dan terbunuhnya sekian banyak pemimpin dan bangsawan mereka saat itu. Hati mereka membara dibakar keinginan untuk menuntut balas. Bahkan karenanya Quraisy melarang semua penduduk Mekah meratapi para korban di Badar dan tidak perlu terburu-buru menebus para tawanan, agar orang-orang Muslim tidak merasa di atas angin karena tahu kegundahan dan kesedihan hati mereka.


Hingga tibalah saatnya Perang Uhud. Di antara pahlawan perang yang bertempur tanpa mengenal rasa takut pada waktu itu adalah Hanzhalah bin Abu Amir. Nama lengkapnya Hanzhalah bin Abu ‘Amir bin Shaifi bin Malik bin Umayyah bin Dhabi’ah bin Zaid bin Uaf bin Amru bin Auf bin Malik al-Aus al-Anshory al-Ausy. Pada masa jahiliyah ayahnya dikenal sebagai seorang pendeta, namanya Amru.


Suatu hari ayahnya ditanya mengenai kedatangan Nabi dan sifatnya hingga ketika datang, orang-orang dengan mudahnya dapat mengenalnya. Ayahnya pun menyebutkan apa yang ditanyakan. Bahkan secara terang-terangan dirinya akan beriman dengan kenabian itu.


Ketika Allah turunkan Islam di jazirah Arab untuk menuntun jalan kebenaran melalui nabi terakhir. Justru dirinya mengingkarinya. Bahkan dirinya hasud dengan kenabian Muhammad. Tak lama kemudian Allah bukakan hati anaknya, Hanzhalah untuk menerima kebenaran yang dibawa Rasulullah. Sejak itulah jiwa dan raganya untuk perjuangan Islam.


Kebencian ayahnya terhadap Rasulullah membuat darahnya naik turun. Bahkan meminta izin Rasulullah untuk membunuhnya. Tapi Rasulullah tidak mengizinkan. Sejak itulah keyakinan akan kebenaran ajaran Islam semakin menancap di relung hatinya. Seluruh waktunya digunakan untuk menimba ilmu dari Rasulullah.


Di tengah kesibukkannya mengikuti da’wah Rasulullah yang penuh dinamika, tak terasa usia telah menghantarkannya untuk memasuki fase kehidupan berumah tangga. Disamping untuk melakukan regenerasi, tentu ada nikmat karunia Allah yang tak mungkin terlewatkan.


Hanzhalah menikahi Jamilah binti Abdullah bin Ubay bin Salul, anak sahabat bapaknya. Mertuanya itu dikenal sebagai tokoh munafik, menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keimanan. Dia berpura-pura membela Nabi saw dalam Perang Uhud; namun ketika rombongan pasukan muslim bergerak ke medan laga, ia menarik diri bersama orang-orangnya, kembali ke Madinah.


Sementara itu Madinah dalam keadaan siaga penuh. Kaum muslimin sudah mencium gelagat dan gerak-gerik rencana penyerangan oleh pasukan Abu Shufyan. Situasi Madinah sangat genting.


Namun walau dalam situasi seperti itu, Hanzhalah dengan tenang hati dan penuh keyakinan akan melangsungkan pernikahannya. Sungguh tindakannya itu merupakan gambaran sosok yang senantiassa tenang menghadapi berbagai macam keadaan.


Hanzhalah menikahi Jamilah, sang kekasih, pada suatu malam yang paginya akan berlangsung peperangan di Uhud. Ia meminta izin kepada Nabi saw untuk bermalam bersama istrinya. Ia tidak tahu persis apakah itu pertemuan atau perpisahan. Nabi pun mengizinkannya bermalam bersama istri yang baru saja dinikahinya.


Mereka memang baru saja menjalin sebuah ikatan. Memadu segala rasa dari dua lautan jiwa. Berjanji, menjaga bahtera tak akan karam walau kelak badai garang menghadang. Kini, dunia seakan menjadi milik berdua. Malam pertama yang selalu panjang bagi setiap mempelai dilalui dengan penuh mesra. Tak diharapkannya pagi segera menjelang. Segala gemuruh hasrat tertumpah. Sebab, sesuatu yang haram telah menjadi halal.


Langit begitu mempesona. Kerlip gemintang bagaikan menggoda rembulan yang sedang kasmaran. Keheningannya menjamu temaramnya rembulan, diukirnya do’a-do’a dengan goresan harapan, khusyu’, berharap regukan kasih sayang dari Sang Pemilik Cinta. Hingga tubuh penat itupun bangkit, menatap belahan jiwa dengan tatapan cinta. Hingga, sepasang manusia itu semakin dimabuk kepayang.
Indah…

Sungguh sebuah episode yang teramat indah untuk dilewatkan. Namun disaat sang pengantin asyik terbuai wanginya aroma asmara, seruan jihad berkumandang dan menghampiri gendang telinganya.


“Hayya ‘alal jihad… hayya ‘alal jihad…!!!”


Pemuda yang belum lama menikmati indahnya malam pertama itu tersentak. Jiwanya sontak terbakar karena ghirah. Suara itu terdengar sangat tajam menusuk telinganya dan terasa menghunjam dalam di dadanya. Suara itu seolah-olah irama surgawi yang lama dinanti. Hanzalah harus mengeluarkan keputusan dengan cepat. Bersama dengan hembusan angin fajar pertama, Hanzhalah pun segera melepaskan pelukan diri dari sang istri.


Dia segera menghambur keluar, dia tidak menunda lagi keberangkatannya, supaya ia bisa mandi terlebih dahulu. Istrinya meneguhkan tekadnya untuk keluar menyambut seruan jihad sambil memohon kepada Allah agar suaminya diberi anugerah salah satu dari dua kebaikan, menang atau mati syahid,


Dia berangkat diiringi deraian air mata kekasih yang dicintainya. Ia berangkat dengan kerinduan mengisi relung hatinya. Kerinduan saat-saat pertama yang sebelumnya sangat dinantikannya, saat mereka berdua terikat dalam jalinan suci. Namun semua itu berlalu bagaikan mimpi. Hanzalahpun akhirnya berangkat menuju medan laga untuk memenangkan cinta yang lebih besar atas segalanya. Bahkan untuk meraih kemenangan atas dirinya sendiri.


Kenikmatan yang bagai tuangan anggur memabukkan tak akan membuatnya terlena. Sehingga, iringan do’alah yang mengantar kepergiannya ke medan jihad. Dia bergegas mengambil peralatan perang yang memang telah lama dipersiapkan. Baju perang membalut badan, sebilah pedang terselip dipinggang. Siap bergabung dengan pasukan yang dipimpin Rasulullah saw.


Berperang bersama Hamzah, Abu Dujanah, Zubayr, Muhajirin dan Anshar yang terus berperang dengan yel-yel, seolah tak ada lagi yang bisa menahan mereka. Bulu-bulu putih pakaian Ali, surban merah Abu Dujanah, surban kuning Zubayr, surban hijau Hubab, melambai-lambai bagaikan bendera kemenangan, memberi kekuatan bagi barisan di belakangnya.


Tubuh Hanzhalah yang perkasa serta merta langsung berada di atas punggung kuda. Sambil membenahi posisinya di punggung kuda, tali kekang ditarik dan kuda melesat secepat kilat menuju barisan perang yang tengah bekecamuk. Tangannya yang kekar memainkan pedang dengan gerakan menebas dan menghentak, menimbulkan efek bak hempasan angin puting beliung.


Musuh datang bergulung. Merimbas-rimbas. Tak gentar, ia justru merangsek ke depan. Menyibak. Menerjang kecamuk perang. Nafasnya tersengal. Torehan luka di badan sudah tak terbilang. Tujuan utama ingin berhadapan dengan komandan pasukan lawan. Serang! Musuhpun bergelimpangan.


Takbir bersahut-sahutan. Lantang membahana bagai halilintar. Berdentam. Mendesak-desak ke segenap penjuru langit. Hanzhalah terus melabrak. Terjangannya dahsyat laksana badai. Pedangnya berkelebat. Suaranya melenting-lenting. Kilap mengintai. Deras menebas. Berkali-kali orang Quraisy yang masih berkutat dalam lembah jahiliyah itu mati terbunuh di tangannya.


Sementara itu, dari kejauhan Abu Sufyan melihat lelaki yang gesit itu. Dia ingin sekali mendekat dan membunuhnya, tetapi nyalinya belum juga cukup untuk membalaskan dendam kepada pembunuh anaknya di perang Badar itu. Situasi berbalik, kali ini giliran Hanzhalah mendekati Abu Sufyan ketika teman-temannya justru melarikan diri ketakutan. Abu Sufyan terpaksa melayaninya dalam duel satu lawan satu. Abu Sufyan terjatuh dari kudanya. Wajahnya pucat, ketakutan.


Pedang Hanzhalah yang berkilauan siap merobek lehernya. Dalam hitungan detik, nyawanya akan melayang. Tapi, dalam suasana genting itu, Abu Sufyan berteriak minta tolong, “Hai orang-orang Quraisy, tolong aku.”


Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Syadad bin Al-Aswad yang memang sudah disiagakan untuk menghabisi Hanzhalah, behasil menelikung gerakan hanzhalah dan menebas tengkuknya dari belakang. Tubuh yang gagah dan tegap itu jatuh berdebum ke tanah, boom!!! Para sahabat yang berada di sekitar dirinya mencoba untuk memberi pertolongan, namun langkah mereka terhenti.


Lantas orang-orang Quraisy di sekitarnya tanpa ampun mengayunkan pedangnya kepada Hanzhalah, dari kiri, kanan, dan belakang, sehingga Hanzhalah tersungkur. Dalam kondisi yang sudah parah, darah mengalir begitu deras dari tubuhnya, ia masih dihujani dengan lemparan tombak dari berbagai penjuru.


Tak lama kecamuk perang surut. Sepi memagut. Mendekap perih di banyak potongan tubuh yang tercerabut. Ia syahid di medan Uhud. Di sebuah gundukan tanah yang tampak masih basah, jasadnya terbujur.


Semburat cahaya terang dari langit membungkus jenazah Hanzhalah dan mengangkatnya ke angkasa setinggi rata-rata air mata memandang. Juga tejadi hujan lokal dan tubuhnya terbolak-balik seperti ada sesuatu yang hendak diratakan oleh air ke sekujur tubuh Hanzhalah. Bayang-bayang putih juga berkelebat mengiringi tetesan air hujan. Hujan mereda, cahaya terang padam diiringi kepergian bayang-bayang putih ke langit dan tubuh Hanzhalah kembali terjatuh dengan perlahan.


Subhanallah! Padahal sedari tadi hujan tak pernah turun mengguyur, setetes-pun. Para sahabat yang menyaksikan tak urung heran. Para sahabat kemudian membawa jenazah yang basah kuyup itu ke hadapan Rasulullah saw dan menceritakan tentang peristiwa yang mereka saksikan. Rasulullah meminta agar seseorang segera memanggil istri Hanzhalah.
Begitu wanita yang dimaksud tiba di hadapan Rasul, beliau menceritakan begini dan begini tentang Hanzhalah dan bertanya: “Apa yang telah dilakukan Hanzhalah sebelum kepergiannya ke medan perang?”


Wanita itu tertunduk. Rona pipinya memerah, dengan senyum tipis ia berkata: “Hanzhalah pergi dalam keadaan junub dan belum sempat mandi ya Rasulullah!”
Rasulullah kemudian berkata kepada yang hadir. “Ketahuilah oleh kalian. Bahwasannya jenazah Hanzhalah telah dimandikan oleh para malaikat. Bayang-bayang putih itu adalah istri-istrinya dari kalangan bidadari yang datang menjemputnya.”

Dengan malu-malu mereka (para bidadari) berkata; “Wahai Hanzhalah, wahai suami kami. Lama kami telah menunggu pertemuan ini. Mari kita keperaduan.”


Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (QS 61:10-12).


Sumber dari ‘Yas’alunaka Fiddiini wal Hayaah’ yang diterjemahkan menjadi “Dialog Islam” karya Dr. Ahmad Asy-Syarbaasyi (dosen Universitas Al-Azhar, Cairo), Penerbit Zikir, Surabaya, 1997, cetakan pertama

Selasa, 15 Januari 2013

ketika kita berbuat salah

Sebagai manusia yang penuh dengan kelemahan, kita pasti pernah melakukan kesalahan.
Jika hal itu terjadi, sikap terbaik yang diajarkan Rasulullah Saw. adalah segera meminta maaf. Itulah yang dilakukan Abu Badzar terhadap Bilal (semoga Allah meridoi mereka) dalam kisah berikut.

Pada suatu hari, Abu Dzar Al-Ghifari terlibat percekcokan dengan Bilal. Karena kesal, Abu Dzar berkata, “Engkau juga menyalahkanku wahai anak perempuan hitam?” Mendengar dirinya disebut dengan anak perempuan hitam, Bilal tersinggung, sedih, dan marah. Ia kemudian melaporkan hal itu kepada Rasulullah Saw. Beliau kemudian menasihati Abu Dzar, “Hai Abu Dzar, benarkah engkau mencela Bilal dengan (menghinakan) ibunya? Sungguh dalam dirimu ada perilaku jahiliyah.”

Mendengar nasihat Rasulullah Saw. itu, Abu Dzar tersadar dari kesalahannya. Segera ia menemui Bilal. Abu Dzar kemudian meletakkan pipinya di tanah seraya mengatakan, “Aku tidak akan mengangkat pipiku dari tanah hingga kau injak pipiku ini agar engkau memaafkanku.” Namun Bilal tidak memanfaatkan momentum ini untuk membalas dendam. Bilal malah berkata, “Berdirilah engkau, aku sudah memaafkanmu.” Begitulah Abu Dzar dengan mudah dan berani mengakui kesalahan yang ia lakukan bukan dengan sengaja untuk menghinakan Bilal.

Sikap seperti itulah yang seharusnya ada pada diri kita saat kita berinterkasi dengan pihak lain, terutama orang-orang terdekat kita seperti suami, isteri, anak, orangtua, saudara, dan seterusnya. Orang yang tidak belajar mengakui kesalahan tidak akan belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.


Ketika kita memang berbuat salah, Tak perlu sibuk banyak alasan membela diri hanya karena takut kemarahan makhluk atau takut jatuh kedudukan di sisi makhluk

Akui saja dengan jujur,
Segera mohon ampunan Allah,
minta maaflah dengan tulus
Jangan takut untuk memikul resiko sebagai tanggung jawab atas kesalahan

Lalu fokus tafakuri dan sungguh-kesalahan serta gigihlah perbaiki diri, sebagai tebusannya

Agar benar-benar diterima Allah, Semuanya harus karena-Nya, bukan untuk mencari simpati atau penilaian manusia

Sesungguhnya Allah amat mencintai orang yang bertobat, dan mencintai orang yang memperbaiki/mensucikan diri.


Allah sendiri mengatakan bahwa salah satu ciri orang-orang bertakwa adalah mau mengakui kesalahan dan minta ampun kepada Allah, kemudian dia tidak lagi mengulanginya, Dan (salah satu dari orang yang bertakwa itu) adalah orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu (QS Ali Imran [3]: 135).

Mengaku bersalah tidak membuat seseorang kehilangan kehormatan, bahkan sebenarnya merupakan upaya paling efektif menyelamatkan nama baik. Menyadari dosa dan bertekad tidak akan mengulangi lagi adalah salah satu pintu masuk menjadi manusia terbaik. Itulah yang dilakukan oleh para sahabat Nabi yang umum telah berbuat kejahatan di masa lalu.

Orang yang tidak mau mengakui kesalahannya berarti menjeratkan dirinya pada mata rantai dosa yang tiada berujung. Perbuatan menutupi kesalahan pasti akan diikuti dengan kesalahan yg lain, seperti berdusta, memfitnah, dll.

Orang bersalah akan terus diburu kesalahannya. Hanya taubat yang membuat semua itu berakhir. Bagi pelaku dosa, dunia menjadi semakin sempit dan tidak ada tempat yang nyaman. Memang tidak enak hidup dalam kurungan yang dibikin sendiri.

semoga kita bisa menjadi orang yg ksatria nan pemberani, dengan mengakui kesalahan, jika kita memang melakukan kesalahan...

Senin, 14 Januari 2013

Golongan Manusia Yang Sia-Sia Shalatnya

Berikut ini adalah deretan manusia yang shalat mereka sia-sia alias tidak diterima oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala. Sia-sianya shalat mereka bukanlah faktor intrinsik seperti salahnya atau mereka meninggalkan syarat dan rukun shalat. Tetapi faktor ekstrinsik yakni perbuatan mereka di luar shalat, yaitu perbuatan yang melanggar aturan Allah dan RasulNya.

Di sini kita tidak membicarakan amal seorang muslim yang menjadi kafir, murtad, dan musyrik, karena untuk mereka semua amalnya sia-sia, bukan hanya shalat. Begitu pula orang yang tidak ikhlas dalam beramal, tentu yang sia-sia adalah amal yang dia lakukan secara tidak ikhlas itu, tidak terbatas pada shalat. Ada pun di sini, kita hanya membatasi siapa saja dan sebab apa saja yang membuat shalat seorang muslim menjadi sia-sia. Tentunya dalam hal ini kita hanya menggunakan dasar dan rujukan yang bisa dipercaya.

1. Orang yang mendatangi dukun dan mempercayainya
Mereka adalah orang yang mendatangi peramal, paranormal, “orang pintar”, cenayang, atau apa pun istilahnya. Mereka mendatangi dalam berbagai kepentingan; seperti meramal nasib, meminta perlindungan, pengobatan, pesugihan, jodoh, supaya bisnis dan karir lancar, pelet (teluh), sihir, dan sebagainya. Di antara dukun-dukun ini ada yang mengelabui pasiennya dengan menambahkan dan membungkus amal sihir mereka dengan berbagai ayat dan dzikir agar terkesan apa yang dilakukannya adalah benar. Padahal itu hanya bagian dari jenis talbisul iblis (perangkap syetan) kepada manusia. Justru ini lebih bahaya dibanding dukun yang tidak memakai ayat-ayat dan dzikir, sebab dengannya banyak orang awam tertipu olehnya. Sayangnya mereka merasa berjalan di atas kebenaran!

Allah Ta’ala berfirman:


قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأَخْسَرِينَ أَعْمَالا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al Kahfi: 103-104)

Dari Shafiyah Radhiallahu ‘Anha, dari sebagian istri nabi, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

Barang siapa yang mendatangi peramal, lalu dia menanyainya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam. (HR. Muslim No. 2230, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 16287, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 12/182)

Menurut Imam An Nawawi maksud shalatnya tidak diterima adalah shalatnya tidak mengandung pahala. Begitulah yang dikatakan mayoritas Syafi’iyah. Para ulama sepakat bahwa orang tersebut tidak wajib mengulangi shalatnya yang empat puluh malam tersebut, tetapi wajib baginya taubat. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/227)

2. Para peminum khamr

Golongan selanjutnya adalah para peminum khamr (minuman keras). Baik dia meminumnya hingga mabuk atau tidak, baik meminumnya sedikit atau banyak. Semua keadaan ini, baik yang mabuk atau tidak, diterangkan secara tegas bahwa keadaan mereka sama saja.

Ada beberapa riwayat yang menerangkan hal itu dari beberapa sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Di antaranya sebagai berikut:

Dari Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاةُ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ، فَإِنْ تَابَ ، تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، فَإِنْ عَادَ ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاةُ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ، فَإِنْ تَابَ ، تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، فَإِنْ عَادَ ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاةُ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ، فَإِنْ تَابَ ، تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، فَإِنْ عَادَ الرَّابِعَةَ ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ، فَإِنْ تَابَ ، لَمْ يَتُبِ اللَّهُ عَلَيْهِ ، وَكَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُسْقِيَهُ مِنْ طِينَةِ الْخَبَالِ ، قَالُوا : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، وَمَا طِينَةُ الْخَبَالِ ؟ قَالَ : صَدِيدُ أَهْلِ النَّارِ

Barang siapa yang meminum khamr maka shalatnya tidak diterima empat puluh malam, lalu jika dia bertaubat maka Allah terima taubatnya, lalu jika dia kembali minum maka shalatnya tidak diterima empat puluh malam, lalu jika dia taubat maka Allah terima taubatnya, lalu jika dia kembali minum maka shalatnya tidak diterima empat puluh malam, lalu jika dia taubat maka Allah terima taubatnya, jika keempat kalinya dia minum lagi, maka tidak akan diterima shalatnya empat puluh malam, dan jika dia bertaubat tidak akan diterima taubatnya oleh Allah. Dan, Allah akan meminumkan dia dengan Thinatul Khabaal. Mereka bertanya: “Wahai Abu Abdirrahman (Ibnu Umar), apakah Thinatul Khabaal?” Beliau menjawab: “Nanah yang bercampur darah dari penduduk neraka.” (HR. At Tirmidzi No. 1785, katanya: hasan, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 11/357-358. Katanya: hasan)

Ada pun dari Abdullah bin Amru Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ وَسَكِرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا وَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَإِنْ عَادَ فَشَرِبَ فَسَكِرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا فَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَإِنْ عَادَ فَشَرِبَ فَسَكِرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا فَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَإِنْ عَادَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ رَدَغَةِ الْخَبَالِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا رَدَغَةُ الْخَبَالِ قَالَ عُصَارَةُ أَهْلِ النَّارِ

Barang siapa yang meminum khamr dan dia mabuk, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh pagi, jika dia mati maka akan masuk neraka, jika dia bertaubat akan Allah terima taubatnya. Jika dia kembali mengulanginya, dia minum dan mabuk lagi, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh pagi, jika dia mati maka akan masuk neraka, jika dia bertaubat akan Allah terima taubatnya. Jika dia kembali mengulanginya, dia minum dan mabuk lagi, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh pagi, jika dia mati maka akan masuk neraka, jika dia bertaubat akan Allah terima taubatnya. Jika dia kembali mengulanginya, maka Allah akan menuanginya dengan Radaghatul Khabaal pada hari kiamat nanti. Mereka bertanya: Wahai Rasulullah apa itu Radaghatul Khabaal? Beliau bersabda: air keringat penduduk neraka. (HR. Ibnu Majah No. 3377, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 13206, 13227. Al Bazzar No. 2429, dengan lafaz: “empat puluh malam,” dan ‘Ainul Khabaal atau Nahrul Khabaal. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam beberapa kitabnya seperti Ash Shahihah No. 709, Ta’liq ‘Ala Ibni Khuzaimah No. 939, dll)

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

كُلُّ مُخَمِّرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ وَمَنْ شَرِبَ مُسْكِرًا بُخِسَتْ صَلَاتُهُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَإِنْ عَادَ الرَّابِعَةَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ طِينَةِ الْخَبَالِ قِيلَ وَمَا طِينَةُ الْخَبَالِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ صَدِيدُ أَهْلِ النَّارِ وَمَنْ سَقَاهُ صَغِيرًا لَا يَعْرِفُ حَلَالَهُ مِنْ حَرَامِهِ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ طِينَةِ الْخَبَالِ

Semua khamr dan semua yang memabukkan adalah haram, dan barang siapa yang minum dan dia mabuk, maka shalatnya akan lepas selama empat puluh pagi, dan jika dia taubat maka Allah akan terima taubatnya, lalu jika dia mengulangi keempat kalinya maka Allah akan menuanginya dengan Thinatul Khabaal. Ada yang bertanya: “Apa itu Thinatul Khabaal? Beliau bersabda: “Nanah yang bercampur darah dari penduduk neraka.” Barang siapa yang meminumkannya kepada anak kecil, dan anak itu tidak tahu kehalalan dari yang haram itu, maka Allah akan menuanginya dengan Thinatul Khabaal. (HR. Abu Daud No. 3680, Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah No. 2039)

3. Budak yang lari dari majikannya sampai dia kembali lagi

Dari Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

....ثَلَاثَةٌ لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ آذَانَهُمْ الْعَبْدُ الْآبِقُ حَتَّى يَرْجِع

“Tiga golongan manusia yang shalatnya tidak sampai telinga mereka, yakni: budak yang kabur sampai dia kembali …

Apa maksud “shalatnya tidak sampai telinga mereka” ? Berkata Syaikh Abul Hasan Al Mubarkafuri Rahimahullah:

وهو كناية عن عدم القبول

Itu adalah kiasan dari tidak diterimanya shalat. (Mir’ah Al Mafatih, 4/55)

4. Istri yang tidur sementara suami marah kepadanya

Lanjutan hadits di atas:

....وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِط

Isteri yang tidur sementara suaminya marah kepadanya

Bahkan ini merupakan dosa besar. Syaikh Waliyuddin At Tibrizi, mengutip dari Imam Asy Syaukani Rahimahullah, katanya:

إن اغضاب المرأة لزوجها حتى يبيت ساخطاً عليها من الكبائر. وهذا إذا كان غضبها عليها بحق

Sesungguhnya wanita yang membuat marah suaminya sampai dia tertidur masih marah kepadanya, ini adalah termasuk dosa besar. Ini jika marahnya disebabkan alasan yang haq (benar). (Misykah Al Mashabih, 4/109)

Marah kenapa? Yaitu marah disebabkan alasan yang syar’i, marah karena buruknya perangai istri, tidak mentaati Allah, tidak mentaati suaminya dalam kebaikan, dan semisalnya. Sedangkan marahnya suami dengan sebab yang tidak benar, misalnya istri menolak ajakan keburukan suami lalu suami marah kepadanya, maka ini bukan termasuk yang dimaksud hadits di atas. Justru wajib menolak ketaatan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Allah Ta’ala.

Imam Ali Al Qari Rahimahullah mengatakan:

هذا إذا كان السخط لسوء خلقها أو سوء أدبها أو قلة طاعتها. أما إن كان سخط زوجها من غير جرم فلا إثم عليها

Marahnya ini jika disebabkan buruknya akhlak istri, atau jeleknya adab, atau sedikit ketaatannya. Ada pun jika kemarahan suaminya itu bukan karena kejelekan ini maka tidak ada dosa bagi si istri. (Misykah Al Mashabih, 4/109)

5. Pemimpin yang dibenci kaumnya

Lanjutan hadits di atas:

وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ

dan pemimpin sebuah kaum yang kaum itu membencinya (HR. At Tirmidzi No. 360, dan At Tirmidzi berkata: hasan gharib. Syaikh Al Albani menghasankan dalam beberapa kitabnya, Misykah Al Mashabih No. 1122. Shahih At Targhib wat Tarhib, 1/117/487, Shahihul Jami’ No. 3057)

Yaitu kebencian yang disebabkan bukan urusan dunia antara pemimpin dengan kaumnya itu, tetapi urusan agama. Baik karena pemimpin itu fasik, suka bermaksiat, koruptor, ahli bid’ah, dan sebagainya.

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah berkata:

لأمر مذموم في الشرع وإن كرهوا لخلاف ذلك فلا كراهة قال بن الملك كارهون لبدعته أو فسقه أو جهله أما إذا كان بينه وبينهم كراهة عداوة بسبب أمر دنيوي فلا يكون له هذا الحكم

Yaitu disebabkan urusan tercela dalam pandangan syariat. Jika kaumnya membencinya pada masalah yang diperselisihkan maka tidak dibenci (kepemimpinannya itu). Ibnu Al Malik berkata: mereka membencinya karena kebid’ahannya, atau kefasikannya, atau kebodohannya. Ada pun jika antara dirinya dan kaumnya ada kebencian yang disebabkan urusan duniawi, maka dia tidak terkena hukum ini. (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/288)

Misal seseorang berkata: “Saya tidak menyukai dia menjadi imam bagi saya karena dia sudah dua bulan belum bayar kontrakan rumah kepada saya ..,” maka ini alasan kebencian yang tidak syar’i. Tetapi jika seseorang berkata: “Saya tidak menyukai dia menjadi imam bagi saya karena dia laki-laki pemabuk dan penjudi ..”, maka ini kebencian yang syar’i.

Hadits ini menunjukkan, menurut para ulama, dimakruhkannya seorang menjadi imam dalam keadaan dia dibenci oleh kaumnya. Tetapi jika pemimpin tersebut bukan orang zhalim, maka kaumnyalah yang berdosa. Sementara Ahmad dan Ishaq mengatakan seandainya yang membenci pemimpin tersebut hanya satu, dua, atau tiga orang maka tidak mengapa pemimpin tersebut shalat bersama mereka, kecuali jika yang membenci lebih banyak. (Sunan At Tirmidzi No. 360)

6. Orang yang memutuskan silaturrahim

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ثَلَاثَةٌ لَا تَرْتَفِعُ صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ

“Ada tiga manusia yang Shalat mereka tidaklah naik melebihi kepala mereka walau sejengkal: yakni seorang yang mengimami sebuah kaum tetapi kaum itu membencinya, seorang isteri yang tidur sementara suaminya sedang marah padanya, dan dua orang bersaudara yang saling memutuskan silaturahim.” (HR. Ibnu Majah No. 971, Imam Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi mengatakan sanadnya shahih dan semua rijalnya tsiqat (kredibel). Lihat Hasyiyah As Sindi ‘ala Ibni Majah, 2/338. Syaikh Al Albani mengatakan hasan. Lihat Misykah Al Mashabih, 1/249/1128. Imam Al ‘Iraqi juga mengatakan hasan. Lihat Tuhfah Al Ahwadzi, 2/289. Syaikh Ala’uddin bin Qalij bin Abdillah Al Hanafi mengatakan sanad hadits ini laa ba’sa bihi (tidak apa-apa). Abu Hatim berkata: Aku belum melihat ada orang yang mengingkarinya. Dalam sanadnya terdapat ‘Ubaidah, berkata Ibnu Namir: dia tidak apa-apa. Ad Daruquthni berkata: baik-baik saja mengambil ‘ibrah darinya. Abu Hatim mengatakan: menurutku haditsnya tidak apa-apa. Sanadnya juga terdapat Al Qasim. Menurut Al ‘Ijili dan lainnya dia tsiqah (kredibel), Lihat dalam Syarh Sunan Ibni Majah No. 172, karya Syaikh Ala’uddin Al Hanafi. Al Maktabah Al Misykat)

Imam Al Munawi Rahimahullah memberikan penjelasan:

 وأخوان ) من نسب أو دين ( متصارمان ) أي متهاجران متقاطعان في غير ذات الله تعالى

(Akhwaani - dua orang bersaudara) baik dari saudara karena nasab atau agama (mutashaarimaani) yaitu saling memboikot (hajr) dan memutuskan hubungan bukan karena Allah Ta’ala. (At Taisir bisy Syarhil Jaami’ Ash Shaghiir, 1/969)

Hal ini adalah jika terjadi karena urusan dunia, seperti merebutkan warisan, persaingan bisnis, dan semisalnya, yang membuat mereka memutuskan silaturrahim.

Namun, jika memutuskan hubungan karena faktor kepentingan agama, seperti memutuskan hubungan terhadap ahli bid’ah dan ahli maksiat, dalam rangka memberikan pelajaran kepada mereka, maka ini tidak apa-apa. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat pernah memboikot tiga sahabat nabi yang tidak ikut perang tabuk, yaitu Ka‘ab bin Malik, Murarah bin Ar Rabi‘ dan Hilal bin Umaiyah. Para sahabat mendiamkannya, tidak menegurnya, tidak mengajaknya bercakap-cakap, bahkan tidak menjawab salamnya. Ini berlangsung sampai lima puluh hari lamanya. Hingga akhirnya mereka bertaubat dan Allah Ta’ala menerima taubat mereka dengan turunnya ayat:

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka nyaris berpaling (tergelincir), namun kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesunguhnya Allah Mahaya Penyayang terhadap mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubatnya) sehingga bumi yang luas ini mereka rasakan amat sempit, dan jiwa mereka pun dirasa sempit oleh mereka, kemudian mereka menyadari bahwa tidak ada temapt lari dari (siksaan) Allah selain kepada-Nya, kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap bertaubat. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hari orang-orang yang beriman, tetapi bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang selalu benar“.(QS At-Taubah(9):117-119).

Demikian. Was Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shabihi ajmain …

sumber :
http://www.ustadzfarid.com/2012/11/golongan-manusia-yang-sia-sia-shalatnya_12.html
http://www.ustadzfarid.com/2012/11/golongan-manusia-yang-sia-sia-shalatnya.html

Uban Da'i uban Syar'i

Anda mulai beruban ?
atau malah sudah banyak ubannya ?
ga perlu cemas... karena, ternyata uban yg tumbuh di kepala seorang da'i akan berubah menjadi cahaya di hari kiamat kelak, insya ALlah....

Dalam kesempatan ini, kita akan coba kupas sedikit tentang uban ini...
Selamat menikmati....
dan selamat beruban....  :)

Abu Bakar ra pernah bertanya: "Wahai Rasulullah, sungguh rambutmu telah ditumbuhi uban." Rasul menjawab: "Surat Hud dan saudara-saudaranya yang telah menyebabkan aku beruban." (HR. Turmudzi).

Ada syair Arab yang isinya memuji kemunculan uban di rambut orang-orang yang sudah mulai berumur. Syair itu menganalogikan tumbuhnya uban yang menyelingi hitamnya rambut seseorang, sebagai cahaya dan tanda kemuliaan, Kata syair itu, "maa khairu lailin laisafiihi nujuum", malam takkan menjadi indah tanpa cahaya bintang. Bintang yang dimaksud adalah uban. Malam yang kelam itu, adalah warna rambut yang dominan masih hitam.

Dengarkanlah kisah uban-uban putih di rambut Rasulullah saw seperti yang dituturkannya sendiri.
Abu Bakar ra pernah bertanya: "Wahai Rasulullah, sungguh rambutmu telah ditumbuhi uban." Rasul menjawab: "Surat Hud dan saudara-saudaranya yang telah menyebabkan aku beruban" (HR. Turmudzi). Helai-helai rambut putih yang muncul di antara rambut hitam Rasulullah saw, menandakan bobot perhatian dan pikiran Rasul yang begitu terkuras untuk urusan keimanan.

Surat Hud dan saudara-saudaranya, menurut tafsir Ibnu Katsir adalah surat Al-Waqi'ah, surat Al-Mursalat, surat An Naba dan surat At Takwir. Seluruh surat itu bercerita tentang dahsyat dan kerasnya hari kiamat yang sudah pasti tiba. Rasulullah saw sangat dalam menyelami kandungan firman-firman Allah swt itu. Maka, tumbuhnya uban, selama dalam urusan keimanan, adalah simbol yang patut dibanggakan. Seperti kebanggaan Rasulullah yang jelas diterangkan dalam sabdanya, "Barang siapa yang tumbuh uban di dalam keislaman, ia akan memperoleh cahaya di hari kiamat." (HR, Turmudzi dan Nasa-i, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih al Jami').

Berbahagialah bagi yg sudah beruban.....
saya sendiri belum tumbuh....
pernah ada 1-2 lermbar, tapi akhirnya ilang...

Rasulullah dalam hadits lainnya juga menyebutkan ungkapan yang hampir mirip. Katanya, "Barangsiapa yang tumbuh uban di jalan Allah, ia pasti akan mendapatkan cahaya di hari kiamat." (HR. Ahmad, Turmudzi dan Nasa-i).

Perhatikanlah bagaimana Rasulullah saw dalam sabda-sabdanya, mengibaratkan uban putih dalam rambut di kepala orang beriman itu sebagai cahaya di tengah gelapnya hari kiamat. Cahaya itu, adalah uban yang tumbuh dari orang yang mencurahkan pikiran, tenaga, jiwa dan raganya untuk jalan iman.

Bahkan Rasulullah juga yang menegaskan bahwa di antara bentuk penghormatan Allah kepada hamba-Nya adalah, memuliakan dzii syaibatil muslim atau orang Muslim yang beruban, orang yang hafal Al Qur'an, dan memuliakan penguasa yang adil (HR. Abu Daud). Maka, biarkanlah jika uban yang sudah pasti tumbuh itu kelak atau telah menghiasi kepala kita. Selama kita berada dalam golongan orang beriman dan tumbuh berjuang dalam keimanan, kita tidak perlu terlalu menghiraukan tumbuhnya uban demi uban yang kelak menjadi cahaya di kegelapan itu.

Uban kerap diidentikkan dengan usia lanjut. Usia lanjut yang menandakan orang sudah tidak lagi bisa berperan seperti mereka yang masih muda usia. Fisik yang menua lalu dianggap tidak mampu lagi memainkan fungsinya seperti mereka yang masih muda dan fisiknya tampak segar.

Benarkah begitu ???

Mari kita lihat prestasi besar para tokoh lanjut usia yang penuh uban di kepalanya itu dalam lembar-lembar sejarah kita. Lihatlah bagaimana Abu Ayyub Al Anshari, laki-laki penuh uban di rambutnya, dalam usia 80 tahun tetap terlibat dalam ekspansi dakwah Islam ke berbagai wilayah. Saat jatuh sakit menjelang wafat di antara pasukan Muslimin yang tengah dalam perjalanan berperang, ia dengan sepenuh keyakinan mengatakan, "Jika aku mati maka bawalah jenazahku. Jika kalian bertemu dengan musuh, kuburkanlah jasadku di sana. Aku ingin jasadku dikubur di tengah medan pertempuran atau yang dekat dengannya, sehingga rohku bergerak di atas medan tempur." Abu Ayyub menginginkan kehidupan akhiratnya dalam keadaan berjihad sebagaimana semasa hidupnya di dunia, Jenazah Abu Ayyub akhiniya memang dibawa oleh pasukan kaum Muslimin. Dan di jantung Konstantinopel, ketika pasukan Islam berperang melawan pasukan musuh, di sanalah jasad Abu Ayyub yang mulia itu dimakamkan.

Lihatlah bagaimana tokoh sepuh Yusuf bin Tasyfin, yang memimpin peperangan saat ia berusia 80 tahun. Ketika itu, uban juga telah menghiasi kepala dan janggutnya. Adalagi, Musa bin Nushair yang menaklukkan Andalus saat usianya 74 tahun. Itu terjadi saat kepemimpinan Al Walid bin Abdul Malik. Ketika Al Walid bin Abdul Malik menjenguknya di akhir usianya, 95 tahun, Musa bin Nushair telah mempunyai 120 anak dan cucu yang masih kecil. Musa bin Nushair lah yang mengatakan, "Tak pernah ada panji-panji pasukanku yang direbut oleh musuh sejak aku terlibat berjihad pada usia 40 tahun hingga 80 tahun."
Masih banyak deretan para tokoh besar dan pemikir yang memutih rambutnya tapi mereka telah menyumbangkan perjuangan luar biasa untuk kita.

Seorang salafushalih bernama Tsabit Al Bunani, usianya 86 tahun. Bakr Al Mazni mengatakan, "Siapa yang ingin melihat orang yang paling banyak ibadah lihatlah kepada Tsabit Al Bunani. Tak ada orang yang lebih abid daripada dia." Bahkan, Anas bin Malik ra mengatakan, "Sesungguhnya setiap kebaikan itu punya kunci-kunci. Dan Tsabit Al Bunani adalah kunci-kunci kebaikan." Seorang ulama bernama An Naisaburi bahkan menuliskan sebuah kitab berjudul "Al Mustadrak Ala Shahihain" pada saat ia berusia lebih dari 90 tahun. Mereka telah menjadi manusia yang hidup di "alam lain" dan tak lagi terbelenggu dengan jerat-jerat usia yang biasanya membelenggu banyak orang.

Kita sudah banyak merugi dengan anggapan bahwa orang yang usianya mencapai 60 tahun sudah tinggal menanti ajal. Karena anggapan itu, tidak sedikit orang yang berasumsi, bahwa mereka sudah selesai peran-perannya dalam hidup.

Uban sebagai bagian tanda keletihan berpikir, atau pertanda usia bertambah tua, tidak pernah menjadi alasan untuk berhenti dan memutuskan peran-peran besar dalam hidup ini. Jika kita mau, meski berusia lanjut dan banyak ditumbuhi uban, kita bisa melukiskan sejarah agung dalam hidup ini dengan pertolongan Allah swt. Jika desakan cita-cita telah meninggi, didukung semangat yang kuat, tidak ada lagi yang membedakan orang muda ataupun orang berusia tua..
Wallahu a'lam...
#bukansekedarkata







Senin, 07 Januari 2013

ketika kita Bercukur



saya yakin sekali, setiap kita ---terutama kaum laki--- pasti pernah bercukur di tukang cukur.
kebetulan akhir pekan lalu saya juga bercukur...
sudah menjadi ‘ritual rutin’, setiap bulan bercukur..

ketika kita bercukur, pernahkah kita perhatiakan suasana disana ?
 apa yg kita rasakan ketika duduk didepan tukang cukur yg membawa pisau dan gunting ?
pernahkah kita merasa takut dan atau khawatir ?
bahkan yg terjadi adalah kita begitu taat pada perintah tukang cukur..
disuruh nunduk, kita nunduk.
disuruh ndongak, kita ndongak.. (ndongak bhs indonesianya apa ya... )
disuruh miring kanan atau kiri, kita pun  nurut aja...
sama sekali kita ga merasa takut...
kita ga pernah suuzhon kepada tukang cukur...
“waduh...jangan2 ntar kuping saya dipotong...”
“ waah...kalo leherku digorok bgm ?”
kalimat2 tsb dan yg semacamnya pastinya ga pernah muncul dalam pikiran kita.
Padahal kita bisa jadi ga kenal dg sang tukang cukur...
saya belum pernah nemuin org yg datang ke tukang cukur kemudian ngajak kenalan tukang cukurnya dulu...

lantas, mengapa kita bisa tenang dan nurut dg perintah tukang cukur ?
jawabnya jelas : karena kita YAKIN.
ya...keyakinan akan melahirkan ketenangan dan ketaatan.
kita yakin bahwa tukang cukur hanya akan mencukur rambut kita, ga akan melukai atau mencederai kita...
sehingga kita nurut dan bisa tenang...bahkan kadang sampe tertidur, saking tenangnya...

pun demikian dengan ajaran Islam...
ketika kita yakin dg Islam, pastinya kita akan mentaati semua perintah Allah dan Rasul-Nya, dan kita pun akan merasa tenang, tanpa khawatir dan takut menjalani hidup ini..