Kamis, 29 November 2012

antara Tabayyun dan Menuduh


''Siapa yang mengajarkan surah (Alquran) yang kamu baca ini?'' Umar bertanya kepada Hisyam. ''Rasulullah,'' jawab Hisyam. Umar kaget dengan jawaban Hisyam, karena ia merasa, Rasulullah mengajarkannya bukan dengan bacaan seperti itu. Dengan tegas dan keras Umar berkata, ''Dusta kamu! Apa yang diajarkan Rasulullah SAW kepadaku berbeda dengan cara kamu membaca.''

Umar merasa marah dengan ulah Hisyam. Ia ingin membuktikan bahwa Hisyam bersalah. Umar menyeretnya menemui Rasulullah SAW. Setelah menghadap Rasulullah, Umar pun mengadu tentang perihal ini. Apa kata Rasulullah kepada Umar? Rasulullah SAW bersabda, ''Lepaskan dia, Umar! Bacalah, Hisyam!''

Dari sini Rasulullah menghendaki agar Umar melepaskan Hisyam dan menyuruh Hisyam untuk membaca Alquran. Rasulullah menyuruh Umar melepaskan Hisyam sebagai upaya agar Hisyam dapat menjawab dengan tenang tanpa tekanan. Sedangkan Rasulullah menyuruh Hisyam untuk membaca Alquran agar Hisyam membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Kemudian, Hisyam membaca Alquran menggunakan dialek yang berbeda dengan dialek Umar.

Setelah mendengar bacaan Alquran Hisyam, Rasulullah SAW bersabda, ''Begitulah ia diwahyukan.'' Artinya, benarlah apa yang dibacakan Hisyam.

Setelah mengetahui bacaan Hisyam benar, Rasulullah menyuruh Umar membacanya, takutnya dialek Umarlah yang salah. Lagi-lagi di sini Rasulullah tabayun. Sekalipun Umar adalah sahabat yang terdekat dengannya, beliau tak peduli. Beliau hanya taat kepada kebenaran, sekali lagi agar tidak timbul fitnah di kemudian hari. Sebab, bisa jadi, hanya karena hal sepele, Islam menjadi rusak dan umat terpecah belah.

Setelah memastikan bahwa bacaan Umar juga benar, Rasulullah SAW kemudian bersabda, ''Begitu pulalah ia diwahyukan. Alquran diwahyukan untuk dibacakan dengan tujuh cara (qira'ah as-sab'ah), maka bacalah dengan cara yang mudah bagimu.''

Rasulullah menghendaki agar umatnya mau tabayun (mencari informasi yang benar) atas kejadian yang menimpa saudaranya. Sehingga kelak, tidak timbul fitnah dan ghibah.

Mencari informasi yang benar atau tabayun, merupakan sikap yang sudah seharusnya melekat pada diri orang-orang beriman. Dengan cara seperti itulah umat Islam tidak mudah diadu domba oleh pihak yang tidak menginginkan Islam dan umatnya jaya.

Allah SWT berfirman, ''Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.'' (QS Al-Hujurat [49]: 6).


ketika mendengar berita yg dirasa 'aneh', yg pertama dilakukan adalah menanyakan kpd si pembawa berita... dari mana ia dpt info tsb...
kalo masih katanya dan katanya... dan sumbernya ga jelas, maka menurut saya mendingan ga usah diperhatikan...
jika si pembawa berita 'bisa membuktikan' apa yg diberitakannya, ---misalnya punya bukti2 atau saksi yg melihatnya--- maka langkah kita selanjutnya adalah tabayun kepada Yang Diberitakan...

kesalahan selama ini, ketika kita menerima berita miring ttg seseorang, maka kita langsung klarifikasi kpd ybs...---syukur2 ga sampe men-judge--- 


Tabayyun adalah mengecek kebenaran suatu berita, agar tidak simpang siur dan menimbulkan fitnah. Setiap usaha utk membelokkan kebenaran dianggap fitnah, jadi yang namanya gosip, walaupun gak berbahaya, tetap saja fitnah, dan ini lebih kejam dari pembunuhan, jadi masalah ini sangat sensitif dalam Islam.

Suatu ketika, Abdullah bin Ubay, seorang pemuka kaum di Madinah yang merasa 'tersingkir' akibat keberadaan Nabi Muhammad saw. pernah berkata-kata buruk tentang umat Islam. Dia bicara di depan para pendukungnya yang tidak lebih dari 10 orang.

Zaid bin Arqam, yang waktu itu belum baligh (masih anak-anak), kebetulan lewat dan mendengarnya. Karena masih anak2, dia dibiarkan saja oleh Abdullah bin Ubay dan konco-konconya.

kemudian Zaid bin Arqam datang kepada Rasulullah saw. dan menyampaikan kata-kata buruk Abdullah bin Ubay tersebut. Rasulullah saw. memberikan 3 pertanyaan :

"Mungkin kamu marah padanya?" Zaid menjawab "tidak"

"Mungkin kamu tidak jelas mendengarnya?" Zaid menjawab "tidak"

"Mungkin ada kata-katanya yang kamu lupa?" Zaid kembali menjawab "tidak"

Disini ada pelajaran penting, tiga pertanyaan di atas mewakili tiga kemungkinan penyebab kesalahpahaman di tubuh umat. Tiga kemungkinan itu adalah :

Tidak objektifnya orang yang mendengar berita, mungkin karena marah, sedih, atau perasaan-perasaan subjektif lainnya, sehingga ia menanggapi suatu berita tidak sebagaimana mestinya. Itu sebabnya Rasulullah bertanya apakah Zaid sedang marah kepada Abdullah bin Ubay.

Pendengar tidak mendengar seluruh kata-kata sang pembicara (mungkin karena hanya sepintas lalu atau ada suara ribut di sekitarnya), sehingga makna yang ia tangkap pun sangat berbeda. Itu sebabnya Rasulullah bertanya apakah Zaid mendengar kata-kata Abdullah bin Ubay dengan sangat jelas atau hanya samar-samar.

Pendengar tidak mendengar seluruh kata-katanya si pembicara, hingga maknanya bisa sangat berubah. Kalimat "aku benci pada perbuatan dia" sangat berbeda dengan kalimat "aku benci pada dia". Karena itu Rasulullah bertanya apakah ada kata-kata Abdullah bin Ubay yang lupa ia sampaikan kepada Rasulullah.

Zaid menjawab ketiga pertanyaan dengan mantap. Rasulullah saw. mengenal anak itu sebagai anak yang jujur. Tapi apa yang beliau lakukan selanjutnya? apakah beliau mengutus orang utk memenggal leher Abdullah bin Ubay?

Tidak. Beliau menunggu Abdullah bin Ubay untuk datang padanya dan menyampaikan penjelasannya sendiri. Dan Abdullah bin Ubay benar-benar datang karena takut akan diusir dari Madinah. Ia menyampaikan sumpah palsu bahwa ia tidak pernah mengatakan kata-kata buruk tersebut. Tapi kemudian turun ayat Al-Qur'an yang menyampaikan kebenaran berita Zaid bin Arqam teresbut. Barulah Rasulullah saw. benar-benar percaya. Sejak itu, beliau memalingkan wajahnya dari Abdullah bin Ubay.

Begitulah tabayyun. Apakah Anda objektif? Apakah Anda mendengar dengan jelas? Apakah Anda mendengar secara lengkap? Kalau ketiga pertanyaan ini sudah dijawab, maka mintalah penjelasan, baru ambil keputusan. 
 
Antara Tabayun dan Menuduh
Islam amat menjunjung tinggi akhlak mulia dalam penyebaran informasi. Al Qur’an telah mengingatkan bahkan memerintahkan tradisi tabayyun (recheck) apabila ada informasi agar tidak menyebabkan kerugian pada orang lain:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS. Al Hujurat: 6).

Dalam kitab Lisanuil Arab dijelaskan, al fusuq, al ‘ishyan wat tarku li amrillahi ‘Azza wa Jalla, wal khuruj ‘an thariqil haq. Fusuq (akar kata fasik) adalah durhaka dan meninggalkan perintah Allah dan keluar dari jalan kebenaran. Dengan demikian, orang fasik adalah mereka yang durhaka kepada Allah, meninggalkan perintahNya, dan keluar dari kebenaran.
 
Al Qur’an mengkhawatirkan umatnya jatuh ke dalam perbuatan an tushibu qauman bijahalatin --menimpakan musibah pada suatu kaum, komunitas, partai, atau negara tertentu tanpa mengetahui keadaan yang sesungguhnya. Pagi-pagi telah diingatkan fatabayyanu, lakukanlah tabayun atau pemeriksaan dengan teliti. Inilah salah satu akhlak dalam informasi Islam. Berita-berita yang disadur dari berbagai sumber, harus dicermati agar tidak ada distorsi dan disinformasi di dalamnya.

Akhlak Islam dalam pemberitaan bisa juga kita cermati dari cara penyajian ayat-ayat Al Qur’an maupun Hadits Nabi saw. Al Qur’an pernah memberitakan kejadian ajakan perselingkuhan yang dilakukan isteri raja terhadap Nabi Yusuf. Dalam pola pemberitaan Al Qur’an tentang kejadian aib tersebut, nama isteri raja tidak disebutkan. Peristiwanya penting untuk diungkapkan dalam rangka peringatan dan keteladanan bagi seluruh umat manusia, namun tentang wanita yang menggoda Yusuf, tidak dirincikan jati dirinya.

“Dan wanita yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu... Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu, andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya” (QS. Yusuf: 23 – 24).

Al Qur’an hanya menyebutkan bahwa ia adalah isteri raja (imra’atu Al Aziz), tanpa disebutkan nama raja yang berkuasa pada waktu itu. Mahasuci Allah dari segala kealpaan, tidak disebutkan nama wanita tersebut jelas dengan maksud pembelajaran bagi umat manusia dalam memaparkan sebuah informasi. 
 
Banyak hadits Nabi yang berpola seperti itu. Pelaku-pelaku peristiwa tidak mesti disebutkan nama atau identitas dirinya. Misalnya ada ungkapan, “Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw....”, atau, “Datang seorang wanita kepada Nabi saw...” Bahwa nama laki-laki dan wanita yang datang kepada Nabi tidak disebutkan namanya, bukan karena kelupaan, akan tetapi ada maksud-maksud tertentu yang merupakan akhlak dalam informasi.

Jangankan informasi yang salah, sedangkan informasi yang jelas benar saja, seperti kisah wanita yang menggoda Nabi Yusuf, tidak seluruhnya bisa disampaikan bulat-bulat. Ada rahasia pelaku kejahatan yang perlu dilindungi, karena dampak dari pemberitaan yang menyebut nama dengan jelas akan mengenai bukan hanya kepada personal yang menjadi obyek berita, namun juga menimpa seluruh keluarga dan bahkan kaum kerabatnya. Mereka ikut menanggung beban moral padahal tidak tahu menahu tentang kejahatan yang dilakukan tersebut. 
 
Sayang sekali saat ini banyak informasi yang disuguhkan dengan sangat vulgar di media massa, tanpa melindungi tersangka pelaku kejahatan yang belum tentu kebenarannya. Bahkan banyak yang menjual berita gosip tentang selebritis dan politisi kondang untuk menaikkan rating dan oplah media. Di berbagai media massa, banyak acara sekitar selebritis telah menyajikan informasi secara sangat vulgar dengan mengabaikan asas praduga tak bersalah.

Inilah bahaya penyampaian informasi yang tidak dilakukan tabayun. Seseorang atau sekelompok orang bisa dijatuhkan kemuliaan dan harga dirinya, bahkan bisa dimatikan karakternya, lewat penyampaian informasi yang tidak tepat dan proporsional. Semestinyalah semua pihak mewaspadai agar tidak melakukan kezhaliman secara langsung ataupun secara tidak langsung, karena tidak mengindahkan etika menyampaikan informasi.
 
 
 

1 komentar:

  1. Na'am pak, kita masih sering menghakimi sebelum konfirmasi...
    Jazakallah tulisannya
    (Kisah Umar ra paling atas, baru pertama kali saya dengar... jazakallah pak)

    BalasHapus