Membaca judulnya, sekilas kita diingatkan pada sebuah sinetron tahun 80an. Tapi, kita ga bahas tentang itu. Kita hanya ngutip judulnya, yang menurut saya bersifat inspiratif.
Judul tsb mengajarkan bahwa kita harus selalu menyertakan Allah dalam hidup kita. Kita mesti selalu berbaik sangka kepada Allah. Kita yakin betul bahwa Allah pasti mengabulkan dan memenuhi apa yang kita butuhkan, bukan apa yg kita pinta.
Kisah berikut ini sarat dengan pelajaran tsb. Selamat membaca...
Suatau ketika ada kapal tenggelam akibat diterjang badai. Tak ada penumpangnya yang tersisa. Kecuali, satu orang yang berhasil mendapatkan pelampung. Namun, nasib baik belum seutuhnya berpihak kepada pria itu. Dia terdampar ke sebuah pulau kecil tak berpenghuni. Sendiri. Tanpa bekal makanan.
Orang itu berdoa kepada Allah minta diselamatkan. Usai berdoa, ia pandangi penjuru cakrawala. Berharap ada kapal datang. Tapi, tak ada tanda-tanda ada kapal yang di harapkan tiba. Ia berdoa lagi lebih khusyuk. Kemudian, menatap jauh kelaut lepas. Tidak ada kapal datang. Sekali lagi pria itu berdoa, tapi tak ada juga kapal yang diharapkan. Ya, pulau tempatnya terdampar telalu terpencil. Hampir tidak ada kapal lewat didekatnya.
Akhirnya, pria itu tidak berdoa lagi. Ia telah lelah berharap. Lalu, ia menghangatkan badan. Di kumpulkannya pelepah nyiur untuk membuat perapian. Setelah tubuhnya terasa nyaman, pria utu membuat rumah-rumahan sekedar tempat melepas lelah. Di susunnya semua nyiur dengan cermat agar bangunan itu kokoh dan dapat bertahan lama.
Keesokan harinya, pria malang ini mencari makanan. Di carinya buah-buahan untuk pengganjal perutnya yang lapar. Semua pelosok di jelajahi hingga kemudian ia kembali kegubuknya. Namun, ia terkejut. Semuanya telah hangus terbakar, rata dengan tanah. Hampir tak bersisa. Gubuk itu terbakar karena pria itu lupa memadamkan perapian. Asap membumbung tinggi ke angkasa. Hilanglah semua kerja keras semalaman.
Pria itu berteriak marah, “ya Allah, mengapa kau lakukan ini padaku. Mengapa? Mengapa…?” Teriaknya melengking menyesali nasib.
Tiba-tiba terdengar suara peluit. Tuittt…tuuitttt….Ternyata itu suara sebuah kapal yang sedang mendekat. Kapal itu merapat ke pantai. Beberapa orang turun menghampiri pria yang sedang menangisi gubuknya itu.
Tentu saja pria itu terkejut. “Bagaimana kalian bisa tahu kalau aku ada disini?” tanyanya penuh keheranan.
“Kami melihat simbol asapmu!” jawab salah seorang awak kapal.
Saudaraku.... itulah kita. Kita adalah orang manja dan pemarah saat ditimpa musibah. Bahkan, selalu menilai bahwa nestapa yang kita terima adalah penderitaan yang begitu berat dan tak pernah dirasakan oleh siapapun. Itulah sebabnya kenapa kita begitu mudah mengeluh, marah, bahkan mengumpat dan putus asa.
Tentu sikap itu tidak tepat. Seharusnya, musibah tidak boleh membuat kita kehilangan hati kita. Allah harus selalu ada di hati kita, walau dalam keadaan yang paling berat sekalipun. Sebab, Allah itu tidak tidur. Dia tahu betul kegelisahan dan jeritan hati kita. Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dan kasihNya selalu datang kepada kita. Pada saat dan cara yang tidak disangka-sangka. Hanya saja kita terlalu kerdil untuk memahaminya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar