-Jangan Seperti Batu -
Suatu ketika dalam hidupnya, seorang murid pernah bertanya kepada gurunya tentang bagaimana seseorang harus bersikap di dalam hidup. Guru tersebut tidak menjawab dengan kata-kata belaka. Beliau mengajak muridnya masuk ke dapur. Ketika sang murid bingung menununggu, gurunya sudah asyik menyiapkan perapian dan mulai memasak air. Kala air mulai mendidih, sang guru keluar rumah dan kemudian masuk kembali sambil membawa sebongkah batu. Kemudian batu itu dimasukkannya ke dalam air yang mulai mendidih. Sang guru merebus batu!
Dalam hati sang murid bertanya-tanya tentang keanehan Sang Guru. Namun ia belum berani bicara dan diam menunggu. Selang beberapa waktu Sang Guru mengeluarkan sang batu dan menaruhnya diatas meja. Tiba-tiba dia berkata, “Kamu jangan seperti batu”. Mulut sang murid menganga, “Batu ini begitu keras, direbus di dalam air panas mendidih pun tak berkurang kerasnya. Orang yang seperti batu, sangat kaku, merasa paling benar, paling jagoan dan tidak bias berubah. Padahal kehidupan selalu berubah. Diatas pohon tinggi masih ada awan. Di atas awan masih ada langit. Dan diatas segalanya masih ada Allah. Bagaimana mungkin kita, manusia biasa, boleh merasa diri paling sempurna?”.
-Jangan Seperti Bola Salju –
Sang murid tersadar. Sang Guru sedang member pelajaran lewat contoh sederhana. Setelah merenung sejenak murid lalu bertanya. “Guru, saya harus bersikap bagaimana?”
Seperti tadi, kali ini Sang Guru pun tidak menjawab. Ditambahkannya kayu ke dalam perapian dan sekali lagi beliau beranjak ke luar rumah. Tak lama kemudian ia membawa sebongkah salju yang mengeras. Tanpa berkata-kata bongkahan salju itu dimasukkannya ke dalam air yang bergolak panas. Dalam hitungan detik, salju pun mencair. Hilang dari pandangan, luluh menjadi air. Lalu Sang Guru berkata, “Kamu jangan seperti bongkahan salju. Kellihatan keras, berkarakter, punya prinsip dan teguh pendirian, namun baru diuji sebentar saja semuanya lenyap tak berbekas. Suka mengecam orang lain yang tidak jujur, berlaku sok suci, namum ketika dihadapkan pada kehidupan nyata, semua idealismenya hancur tak berbekas dan akhirnya ikutan korup”/
Sang murid tersadar. Dia kini sudah dihadapkan dua ekstrim : keras kepala versus tak berpendirian. Punya prinsip kaku versus prinsip fleksibel banget. Dia kini ingat nasiha Sang Guru sebelumnya. Terlalu kiri tidak baik. Terlalu ke kanan juga tidak baik. Terlalu cepat tidak tepat. Terlalu lambat, juga tidak tepat. Terlalu maju, perlu direm. Terlalu lambat, perlu didorong.
-Jangan Menjadi Telur Rebus –
Ketika Sang Guru memandangnya sambil tersenyum. Sang Murid tersentak dari lamunannya, sambil menghormat, Sang murid kembali bertanya, “Saya memahami penjelasan Guru. Namun saya belum menemukan jawaban tentang bagaimana saya seharusnya menyikapi kehidupan. Mohon Guru berkenan memberikan petunjuk lebih lanjut”.
Seperti sebelumnya, Sang Guru juga tidak menjawab. Kini ia pun bangkit dari tempat duduknya dan segera beranjak. Tidak ke halaman depan rumah, melainkan ke belakang. Tak lama kemudian Sang Guru membawa dua butir telur ayam di tangannya. Telur yang satu kemudian dipecahkannya di depan Sang Murid. Segera sang Murid bias melihat airan telur yang telah meleleh membasahi meja. Cair namun kental. Telur kedua, kemudian dimasukkan ke dalam air yang mendidih.
Setelah berdiam cukup lama, tiba-tiba Sang Guru mengeluarkan telur yang sudah matan dan mengelupasnya. Segera tercium harum aroma telur rebus dan terlihat putih ranumnya telur matang. Maka telur yang semula cair dan kental di kala masih mentah, kini telah berubah menjadi lebih keras sesudah matang. Lalu Sang Guru pun berakata, “Kamu pun jangan menajdi telur rebus. Baru belajar sedikit, sudah merasa mampu menguasai semua. Baru paham secuil ayat suci, merasa sudah sah memonopoli kebenaran, sombong, ekstrem, takabur”
Cukup lama sang murid merenung. Betapa sulit mencari seorang pembelajar sejati. Yang tekun belajar tanpa kenal lelah, mampu menerapkan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari dengan baik dan tetap rendah hati.
-Jangan Menjadi Wortel Rebus
–
Sang Guru kembali bergegas ke belakang. Diambilnya sebuah wortel dari kebun. Seperti sebelumnya, wortel itu pun dimasakkannya ke dalam air mendidih. Selang beberapa waktu, wortel itu pun diangkatnya dari air rebusan. Bersamaan dengan itu. Sang Guru pun berkata, “Muridku, kamu pun tidak boleh menjadi wortel rebus”.
Sejenak sang murid tercenung. Dipegangnya wortel rebus itu sambil dipencet-pencet. Wortel yang semula keras, kini telah menjdi lunak. Namun ia tetap bias dikenali sebagai wortel. Mengapa guru mengatak seperti itu? Bukankah wortel melambangkan fleksibilitas, keluwesan, namun sekaligus kekuhuan untuk mempertahankan prinsip, sehingga tetap tidak kehilangan jati diri? Mulut murid ingin meluapkan banyak kata-kata, berjuta argument; namun entah mengapa seakan terkunci. Sang Guru tetap tersenyum. “Muridku, wortel memang luwes, fleksibel, mampu beradaptasi menyesuaikan diri. Hebatnya lagi ia tidak kehilangan jati dirinya. Lambang seseorang yang teguh memegan prinsip, namun tidak kaku. Bagus. Tapi, cobalah kamu lihat air ini. Air ini tetap tidak berubah. Tidak ada nilah tambah. Apa artinya? Pengorbanan wortel itu menjadi sia-sia. Tidak merubah apa-apa. “Mata sang murid membelalak lebar, wajahnya memancarkan rona kegembiraan. Sekali lagi ia mendapat pencerahan dari gurunya yang amat bijaksana.
-Jadilah Gula Batu
–
Sampai disini sang murid sdah tidak merasa penasaran lagi. Ia seakan sudah cukup terpuaskan dengan empat contoh yang diberikan gurunya. Dia tak sadar bahwa Sang Guru sudah mengganti airnya, menambah kayu bakar dan mulai merebus air kembali. Dia baru sadar kembali kala gurunya menaruh bongkahan gula batu ke dalam air mendidih.
Tak lama kemudian Sang Guru berkata, “Jadilah kamu gula batu, muridku. Tubuhnya memang hancur seperti bongkahan salju, tapi bukan karena ia tidak punya prinsip. Kelihatannya ia kalah, tapi sebenarnya dialah yang menang, yang menguasai, yang membuat air berubah manis. Biarkan orang menyangka diri merekalah yang menang, namun sesungguhnya telah dikalahkan secara cerdik dan halus. Bila kamu bisa meresapai dan menghayati makna filosofi gula batu ini, kamu akan bias menerapkannya di bidang apa pun di sepanjang hidupmu. Itulah jawaban atas pertanyaanmu semula, bagaimana sikap terbaik dalam kehidupan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar