Jumat, 30 November 2012

Mengenal Hukum Syara'

Ditinjau dari segi ethymologi, ushul fiqh terdiri dari mudhaf (lafazh ”ushul”) dan mudhaf ilaih (lafazh ”fiqh”).

Fiqh (secara ethymologi) berarti pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan .

Fiqh secara terminologi adalah ”Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia, yang diambil dari dalil-dalil yang terinci (mendetail)”.

Adapun ’ashl (jamaknya: ”ushul”) menurut ethymologi adalah dasar (fundamen) yang diatasnya dibangun sesuatu. Pengertian ini sama dengan pengertian ushul secara terminologi, karena ushul fiqh secara terminologi adalah ”dasar yang dijadikan pijakan oleh ilmu Fiqh”.
1 Hukum Syara’

Ushul Fiqh meninjau hukum syara’ dari segi methodologi dan sumber- sumbernya, sementara ilmu Fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara’, yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa iqtidha’ (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadh’i (sebab akibat).

Hukum syara’ yang berupa iqtidha’ (perintah dan larangan), dan takhyir (pilihan) disebut hukum taklifi, sedang hukum yang menghubungkan antara keduanya disebut hukum wadh’i.
Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah ketetapan Allah tentang perintah, larangan atau takhyir (pilihan). Hukum taklifi terbagi menjadi lima:
1. Wajib,
2. Mandub,
3. Haram,
4. Makhruh, dan
5. Mubah.

Wajib
Wajib adalah suatu perintah yang harus dikerjakan, dimana orang yang meninggalkannya berdosa. Pengertian wajib disini sama dengan pengertian fardhu, mahtum dan lazim.

Wajib terbagi menjadi beberapa bagian, dan setiap bagian dapat ditinjau dari segi tertentu, misalnya dari segi waktu, segi dzatiyah hukum yang diperintahkan, segi umum dan khususnya perintah, dan segi kadar/ukuran perintah, dan lain-lain.

Dari segi pelaksanaanya wajib terbagi menjadi dua macam, pertama wajib muthlaq (bebas) yang pelaksanaanya tidak dibatasi pleh waktu tertentu, sehingga seandainya dilaksanakan sampai batas akhir masa kemampuan untuk melaksanannya tidak berdosa (contoh: qadha’ puasa).

Kedua adalah wajib yang harus dilaksakan pada waktu-waktu tertentu (contoh: shalat).

Dari segi tertentunya tuntutan, maka wajib dibagi menjadi dua macam, yaitu: wajib mu’ayyan dan wajib mukhayyar.

Wajib mu’ayyan ialah suatu kewajiban yang hanya mempunyai satu tuntutan, seperti membayar hutang, memenuhi akad, zakat, dsb. Wajib mukhayyar tidak mempunya satu macam tuntutan, tetapi mempunya dua atau tiga alternatif pilihan (contoh:imam boleh memilih membebaskan tawanan perang atau menerima tebusan mereka).

Ditinjau dari segi kadar/ukurannya, wajib terbagi menjadi dua macam, yaitu: wajib yang mempunyai ukuran-ukuran tertentu, seperti dalam pembagian harta pusaka, dan wajib yang tidak mempunyai ukuran-ukuran yang konkrit, seperti kadar mengusap kepala (ketika berwudhu’), ukuran waktu ruku’ dan sujud dalam shalat, ukuran dalam memberikan nafkah/biaya hidup sebelum ada hukum yang konkrit yang menjelaskan ukuran tersebut yang ukurannya relatif tergantung kemampuan setiap individu.

Dari segi pelaksanaannya, wajib terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Wajib ’aini (fardhu ’ain) ialah suatu kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap orang mukallaf, sehingga jika ditinggalkan, berdosalah ia dan berhak disiksa. Contoh: shalat, zakat, memenuhi janji, dll.
2. Wajib kafa’i (fardhu kifayah) ialah suatu kewajiban yang hanya menuntut terwujudnya suatu pekerjaan dari sekelompok masyarakat. Contoh: jihad, menshalati mayat, membentuk kepemimpinan yang kuat, dll.
Mandub atau SUNNAH

Mandub ialah perbuatan yang dianjurkan oleh Syari’ (Allah) untuk dikerjakan. Atau suatu perintah yang apabila dilaksanakan maka akan diberi pahala, apabila ditinggalkan tidak disiksa/dicela. Juga dinamakan nafilah, sunnah, tathawwu’, mustahab dan ihsan.

Mandub mempunyai beberapa tingkatan:
1. Sunnah mu’akkadah, yaitu suatu sunnah yang dijalankan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu, tetapi beliau menjelaskan bahwa itu bukan fardhu yang harus dikerjakan. Contoh: witir, shalat dua rakaat sebelum Shubuh, setelah Zhuhur, setelah Maghrib dan setelah Isya’, membaca ayat al-Quran setelah Fatihah didalam shalat.

2. Sunnah ghairu mu’akkadah, yaitu sunnah yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu. Contoh: shalat empat rakaat sebelum Zhuhur, sebelum Ashar, dan sebelum Isya, bershadaqah tidak fardhu, kecuali kepada orang yang sangat membutuhkan.

3. Sunnah yang tingkatannya dibawah dua tingkatan di atas, ialah kebiasaan Rasulullah yang tidak ada hubungannya dengan tugas tabligh (penyampaian ajaran) dari Allah. Contoh: cara berpakaian, makan dan minum, memelihara jenggot, menggunting (merapikan) kumis. 
 

Haram

Haram ialah larangan Allah yang pasti terhadap suatu perbuatan, baik ditetapkan dengan dalil yang qath’i maupun dalil zhanni (mazhab Hanafi menyebut haram yang berdasarkan dalil zhanni sebagai makhruh tahrim. Contoh: makan bangkai, minum khamr, berzina, membunuh seseorang yang diharamkan Allah tanpa hak, makan harta benda orang lain secara batil. Dasar yang dijadikan landasan hukum haram adalah karena adanya bahaya yang nyata yang tidak diragukan lagi. Setiap perbuatan yang diharamkan syara’ pasti mengandung bahaya, sedangkan perbuatan yang diperbolehkan syara’ pasti mengandung kemanfaatan yang banyak.

Atas dasar ini, hukum haram terbagi menjadi dua macam yaitu:

1. Haram li-dzatih: yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah karena bahaya tersebut terdapat dalam perbuatan itu sendiri. Seperti makan bangkai, minum khamr, berzina, mencuri yang bahayanya berhubungan langsung dengan lima hal yang harus dijaga, yakni badan, keturunan, harta benda, akal dan agama.

2. Haram li-ghairih/’aridhi : yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara’, dimana adanya larangan tersebut bukan terletak dari perbuatan itu sendiri, tetapi perbuatan tersebut dapat menimbulkan haram li-dzatih. Seperti melihat aurat perempuan, dapat menimbulkan zina, sedang zina diharamkan karena dzatiyahnya sendiri. Jual beli barang-barang secara riba diharamkan, karena menimbulkan riba yang diharamkan dzatiyahnya. Hutang dengan memberikan bunga diharamkan, karena dapat menimbulkan riba yang dimakan oleh orang yang menghutangi, sedang makan riba diharamkan dzatiyahnya.


Makruh
Makruh adalah suatu larangan syara’ terhadap suatu perbuatan, tetapi larangan tersebut tidak bersifat pasti, lantaran tidak ada dalil yang menunjukkan atas haramnya perbuatan itu.

orang yang meninggalkannya adalah terpuji.

Ada beberapa pendapat ulama dalam mendefinisikan makruh.

Dari segi bahasa, dapat diartikan sebagai hal yang dibenci, atau yang tidak disukai.

Tentu saja kita tidak ingin dibenci oleh siapapun, terutama Allah. Bagaimana mungkin kita mengaku beriman, cinta, dan taat pada Allah, namun kita justru lebih menyukai hal-hal yang dibenci oleh Allah.

Para fuqaha Islam menyebutkan bahwa hukum makruh ada dua macam, yakni Makruh Tanzih dan Makruh Tahrim.

Makruh Tanzih adalah makruh yang mendekati mubah (boleh).
Makruh Tahrim adalah makruh yang medekati haram.

kita ga boleh merasa aman jika melakukan sesuatu yang makruh. Sudah seharusnya kita meninggalkan sesuatu yang dibenci oleh Allah.

Mubah
Mubah adalah suatu hukum, dimana Allah SWT memberikan kebebasan orang mukallaf untuk memilih antara mengerjakan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Pelakunya tidak tercela maupun terpuji. Seperti makan, minum, bergurau, dsb. selama tiak berlebihan.

’Azimah dan Rukhshah’Azimah ialah suatu hukum yang mula-mula harus dikerjakan lantaran tidak ada sesuatu yang menghalang-halanginya. Sedang rukhshah ialah suatu hukum yang dikerjakan lantaran ada suatu sebab yang memperbolehkan untuk meninggalkan hukum yang asli.
1.2 Hukum Wadh’i

Hukum wadh’i terbagi menjadi tiga macam, yaitu: sebab, syarat, dan mani’ (penghalang). Contoh: ”waktu” jika dihubungkan dengan shalat, maka ia merupakan sebab bagi wajibnya shalat, tetapi sebagai syarat sahnya adalah wudhu’. Dan bilamana ”waktu” telah tiba, sedang seseorang itu dalam keadaan gila (ada mani’), maka perkerjaan shalat tidak wajib baginya.

1.2.1 Sebab

Sebab adalah sesuatu yang lahir dan jelas batasan-batasannya, yang oleh Allah dijadikan sebagai tanda bagi wujudnya hukum. Sebab dibagi menjadi dua: pertama, sebab yang bukan berasal dari perbuatan mukallaf (contoh: waktu, keadaan terpaksa, dll), dan kedua, sebab yang berasal dari perbuatan mukallaf (contoh: bepergian jauh bagi yang berpuasa, akad nikah, akad jual beli, dll).

1.2.2 Syarat

Syarat adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti pasti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarat tidak pasti wujudnya hukum. Bedanya dengan sebab: ditemukannya syarat tidak memastikan adanya hukum, namun ditemukannya sebab memastikan adanya hukum, terkecuali bila ada mani’ (penghalang). Contoh: wudhu’ yang merupakan syaratnya shalat tidak menentukan/tidak mengakibatkan wajibnya shalat.

1.2.3 Al-Mani’

Al-Mani’ (penghalang) ialah perkara syara’ yang keberadaannya menafikan tujuan yang dikehendaki oleh sebab atau hukum. Contoh: sebab wajibnya dikeluarkan zakat adalah nishab, dan termasuk penghalangnya (mawani’, jamak dari mani’) adalah bahwa orang yang bernishab itu ternyata mempunyai hutang yang jumlahnya sebanding dengan nishab atau sebagainya. Al-Mani’ (penghalang) terbagi dua: pertama, mani’ yang berpengaruh terhadap sebab, dan kedua, mani’ yang mempengaruhi hukum sekaligus menghilangkannya. Contoh yang pertama adalah hutang seperti diatas, contoh yang kedua: adanya hubungan kebapakan merupakan penghalang (mani’) dikenakan hukum qishas, dan perzinaan yang syubhat merupakan penghalang (mani’) bagi pelaksanaan hukuman had.

1.2.4 Sah, Rusak, dan Batal (Ash-Shihhah, Al-Fasad, Al-Buthlan)

Sah, rusak dan batal merupakan sifat-sifat yang ada dalam hukum syara’, baik itu hukum taklifi maupun hukum wadh’i. Oleh karena itu, shalat yang termasuk dalam lingkup hukum taklifi misalnya, dituntut keabsahannya, dimana melaksanakannya merupakan suatu kewajiban ketika telah ditemukan (ada) sebabnya serta syarat-syaratnya telah terpenuhi. Shalat menjadi tidak sah jika syarat-syaratnya tidak dipenuhi, dan karenanya kewajiban mengerjakannya belum gugur, dan berdosa jika seseorang tidak mengulangi shalat itu pada waktunya. Demikian juga hukum-hukum wadh’i, mempunyai sifat sah, rusak dan batal.




 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar