“Maha suci Allah, ya Rasulullah!” seru mereka dalam ketidakpuasan setelah memperhatikan rancangan perjanjian itu. “Bagaimana mungkin jika seorang Quraisy datang kepada engkau karena hendak mengikut Islam, namun engkau harus menolaknya? Sementara jika seorang dari kaum muslimin datang kepada mereka orang-orang musyrik Quraisy karena hendak murtad, mereka tidak harus mengembalikannya kepada engkau?”

Hari ini di bulan Dzulqadah tahun keenam selepas hijrah.
Di Tsanuyyatul Mirar rombongan ihram itu berhenti. Tak kurang 1.400 orang Muhajirin dan Anshar berpakaian serba putih mengelilingi lelaki kinasih itu pada sebuah lembah bernama Hudaibiyah, laksana sekawanan malaikat bersayap cahaya terbang bercengkerama mengitari matahari. Setiap hati telah berazam untuk membela agama Allah hingga titik darah penghabisan. Setiap diri telah bersiap untuk siap bertempur, pantang mundur setapak pun, dan mati berkalang tanah. Satu demi satu, tanpa kecuali, mereka telah berikrar dalam Bai’atur Ridhwan di bawah sebuah pohon Sidr* di tempat ini. 

“Barangsiapa pergi dari kita kepada mereka, maka Allahlah yang akan menjauhkannya,” jawab lelaki agung itu penuh kearifan. “Dan barangsiapa dari mereka datang kepada kita, lalu kita mengembalikannya kepada mereka, maka Allahlah yang akan menjadikan keluasaan dan keringanan untuknya.”

Seperti singa lapar yang sedang terlepas talinya, Umar bin Khaththab melompat dari tempat duduknya ketika mendengar pasal pertama rancangan perjanjian itu. Ia lantas mendapati Abu Bakar, berdiri di hadapannya, seperti hendak menerkamnya bulat-bulat.
”Ya, Abu Bakar! Bukankah beliau itu Rasulullah?” tanyanya penasaran tak habis mengerti.
”Benar, wahai Umar!” jawab sahabat terkasih itu. “Beliau adalah Rasulullah!”
”Bukankah kita ini kaum muslimin?”
”Ya, kita ini kaum muslimin.”
”Bukankah mereka, kaum Quraisy itu, musyrikin?”
”Ya, benar. Mereka itu musyrikin.”
”Mengapa kita suka menerima kerendahan dan kehinaan dalam agama kita?”
Abu Bakar menghela napas sebentar. Menjinakkan sepuluh kuda liar padang pasir mungkin masih lebih mudah ketimbang mengendalikan lelaki di depannya ini ketika sedang naik darah.
”Wahai, Umar,” kata Abu Bakar sesaat kemudian, ”tetaplah engkau di tempat dudukmu, karena aku menyaksikan bahwa beliau itu Rasulullah!”
”Aku pun menyaksikan bahwa beliau itu adalah Rasulullah, wahai Abu Bakar!” kata Umar. Namun, ia lantas berlalu mencari Rasulullah. Baginya, rancangan perjanjian dengan Suhail bin Amr, utusan orang Quraisy itu, banyak merugikan kaum muslimin.
”Ya Rasulullah! Bukankah engkau itu Rasulullah?” tanya Umar.
”Benar,” jawab Rasulullah Saw. ” Aku ini Rasulullah.”
”Bukankah kami ini kaum muslimin?”
”Ya, benar.”
”Bukankah mereka itu musyrikin?”
”Ya, betul.”
”Mengapa kami diberi kerendahan dalam agama kami?”

Rasulullah Saw. terdiam sesaat. “Aku ini hamba Allah dan utusan-Nya,” sabda lelaki agung itu sesaat kemudian. “Sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya dan Dia tidak akan menyia-nyiakanku.”

Umar masih menyela sekali lagi. Lelaki putra al-Khaththab itu belum puas dengan jawaban Nabi. ”Bukankah engkau pernah bersabda kepada kami bahwa kita akan datang bersama-sama ke Baitullah dan berthawaf di sana serta mengerjakan ibadah haji dengan aman dan tenteram?”
Sang Rasul pun tersenyum. ”Ya, engkau benar, wahai Umar,” katanya dengan lembut. ”Tetapi, aku tidak mengatakan kepada engkau bahwa kita akan datang ke Mekah sana pada tahun ini.”
Kali ini, Umar terdiam dan tak bertanya lagi.

***

”Tulislah olehmu ’Bismillâhirrahmânirrahîm’ wahai Ali!”
Ali menggerakkan pena di tangannya.
”Aku tidak mengerti ini,” Suhail bin Amr langsung menggerakkan tangannya, memotong ucapan lelaki agung itu. Tangan Ali pun berhenti bergerak. ”Tetapi tulislah ’Bismikallôhumma’.”
Nabi melirik utusan Quraisy Mekah itu. Benar kata orang, Suhail seorang yang cakap, berpembawaan tenang, dan seorang juru runding pilihan. Lalu Rasul pun bersabda, ”Tulislah olehmu ’Bismikallôhumma’ya Ali.”

Ali meneruskan tulisannya sesuai perintah Nabi.
Lelaki kinasih itu lalu melanjutkan sabdanya kepada Ali. ”Tulislah olehmu ’Inilah perjanjian perdamaian antara Muhammad Rasulullah dan Suhail bin Amr’.”
Suhail kembali menggerakkan tangannya. Ia terlihat tidak senang dengan kalimat ’Muhammad Rasulullah’ itu. ”Demi Allah!” katanya tenang tetapi penuh penekanan, kata demi kata. ”Jika kami mengakui bahwa engkau itu Rasulullah, niscaya kami tidak menghalang-halangimu ke Baitullah dan tidak pula kami memerangimu.”

Angin mengalir perlahan. Segenap yang hadir berkeringat dingin. Di sini, di tempat ini, sebuah peperangan tanpa pedang sedang berlangsung.
Lelaki juru runding Quraisy itu pun melanjutkan kata-katanya, “Karena itu, tulislah ’Muhammad bin Abdullah’.”
“Demi Allah ! Sesungguhnya aku ini benar-benar Rasulullah,” sahut Baginda Nabi seketika, “meskipun kamu mendustakanku sekalipun.”
Sesaat udara seperti berhenti mengalir. Tangan-tangan segera memegang hulu pedang lebih kuat lagi. Keringat berjatuhan setetes demi setetes.

Perintah Rasul pun segera memecah ketegangan. “Hapuskanlah tulisan Rasulullah itu, wahai Ali!”
Ali terhenyak. Juga sekalian sahabat yang hadir. ”Tidak!” kata Ali meski tak berkehendak membantah lelaki agung itu. ”Demi Allah, saya tidak akan mengubahnya, ya Rasulullah!”
Rasul pun mendekati suami Fathimah itu. ”Tunjukkan kepadaku tempatnya, Ali.”
Pemuda itu dengan berat tangan menunjukkan tempat dituliskannya ’Muhammad Rasulullah’ itu kepada Nabi. Tulisan itu kemudian dihapus Nabi dengan tangannya sendiri. Lalu Ali menulis penggantinya ’Muhammad bin Abdullah’.

Rasul pun memerintahkan Ali menuliskan isi perjanjian itu.
”Dengan nama Engkau, ya Allah. Inilah perjanjian perdamaian yang dilaksanakan antara Muhammad bin Abdullah dan Suhail bin Amr. Keduanya telah berjanji menghindari peperangan atas segala manusia selama sepuluh tahun. Pada masa itu, orang-orang memperoleh keamanan dan sebagian mereka menahan diri atas sebagian yang lain. Barangsiapa dari orang Quraisy yang datang kepada Muhammad dengan tidak seizin walinya, hendaklah Muhammad mengembalikannya kepada mereka; dan barangsiapa dari orang yang beserta Muhammad datang kepada orang Quraisy, kaum Quraisy tidak berkewajiban mengembalikannya kepada Muhammad ….”
Suhail menambahkan, ”Engkau pada tahun ini harus kembali, maka tidak boleh masuk Mekah kepada kami. Tahun depan, kami akan keluar dari Mekah, maka engkau boleh masuk dengan para sahabatmu, lalu berdiam di sana selama tiga hari ….”

***

Orang Jawa boleh jadi benar. Kata mereka, wani ngalah luhur wekasane. Barangsiapa berani mengalah, maka pada akhirnya ia akan mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan.
Falsafah ini begitu melekat dalam masyarakat Jawa, terutama generasi tua mereka. Mungkin karena ia hari-hari didendangkan sebagai tembang mijil di segala tempat; sawah, sungai, hutan-hutan, pendapa, serambi rumah, bahkan ketika mendorong si kecil yang sedang tumbuh dalam ayunan kayu di atas rerumputan hijau samping rumah. Dengarkan bait-bait tembang itu:

Dedalane guna lawan sekti
Kudu andhap asor
Wani ngalah luhur wekasane
Tumungkula yen dipun dukani
Bapang den simpangi
Ana catur mungkur


Kemuliaan diri itu bisa diraih jika memiliki kesalehan yang tinggi, mau mengalah untuk sesuatu yang lebih mulia, bersikap merunduk bagai padi, tidak suka dipuji, dan menjaga diri dari hal yang tidak berguna. 

Mengalah bukan berarti kalah atau terkalahkan. Mengalah justru sebuah sikap yang penuh kedewasaan: melihat sesuatu jauh ke depan, melihat sesuatu bukan pada lahiriahnya saja. Mengalah adalah sikap seorang yang telah matang dalam mengarungi samudera kesulitan, kenyang akan asam-garam dan pahit-getir kehidupan. Ia seorang yang futuristik. Mengalah boleh jadi memang mundur selangkah, tetapi setelah itu maju menghentak dan melesat jauh ke depan. Tentu bukan mengalah dalam arti semata-mata karena lemah dan penuh keterbatasan, melainkan dalam konteks stratak, strategi dan taktik dalam perjuangan.

Inilah sikap yang dipraktekkan Rasul ketika perjanjian Hudaibiyah diteken. Secara lahiriah, akad perjanjian itu sangat merugikan kaum muslimin. Bagaimana tidak? Penduduk Mekah yang datang ke Madinah harus dikembalikan ke Mekah. Namun, tidak berlaku sebaliknya. Kaum muslimin yang sudah siap berpakaian ihram harus kembali ke Madinah saat itu juga dan ditolak memasuki Baitullah. Mereka baru boleh berziarah ke tanah suci pada tahun berikutnya. 

Tidak heran orang seperti Umar sampai mempertanyakan, ”Bukankah engkau itu Rasulullah? Bukankah kita ini kaum muslimin?”
Namun tidak demikian dengan Rasulullah. Ia memang dihinakan. Direndahkan, sedemikian hingga menulis dirinya sebagai utusan Allah saja ditolak oleh kaum Quraisy. Tetapi, lelaki agung itu tidak meladeninya dengan gelegak kemarahan. Justru ia mengedepankan kelemahlembutan dan cinta kasih, sehingga seperti mengiyakan begitu saja apa yang menjadi kemauan Suhail bin Amr, juru runding pihak Quraisy. Ia mengalah. Apakah ia kalah?
Di atas kertas, orang-orang Quraisy Mekah jelas merasa menang. Tetapi, di sebalik kertas, di tengah lapangan, kenyataan yang terjadi sungguh sangat berkebalikan.

***

Setahun telah lewat. Bulan Dzulqadah tahun ketujuh hijriyah pun hadir.
Rombongan itu kini berjumlah tak kurang dari 2000 orang Muhajirin dan Anshar. Berpakaian ihram serba putih, mereka berbondong dengan penuh kegembiraan menuju gerbang kota Mekah. Rindu yang tertahan akan Baitullah yang telah ditinggalkan selama tujuh tahun serasa membuncah menunggu tumpah. Masjidil Haram pun menjadi lautan putih dipenuhi sekalian kaum muslimin. Dan talbiyah pun mengalun syahdu memenuhi langit Mekah,
Labbaikallôhumma labbaik
Labbaika lâ syarîka laka labbaik
Innal hamda wanni’mata laka wal mulka
Lâ syarîka laka

Dari atas Bukit Abi Qubais, Bukit Hira, dan tempat tinggi lainnya di sekeliling Mekah, kaum Quraisy menyaksikan perhelatan akbar itu. Orang yang dulu dihinakan, disakiti, dianiaya, dikejar-kejar, diboikot, diancam bunuh, kini telah kembali dengan kemenangan yang besar. Perjanjian yang mereka buat setahun lalu di Hudaibiyah ternyata tidak membuat cahaya itu redup. Justru sebaliknya, kini makin berpijar menerangi sekalian jazirah Arab.
***