Kamis, 14 April 2016

Keshahihan Hadits itu hasil Ijtihad

Inilah Alasannya Mengapa 4 Imam Mazhab Tidak Pakai Hadis Bukhory Muslim

Pertanyaan :
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Saya tertarik dengan jawaban ustadz dalam tanya jawab sebelumnya, bahwa keshahihan suatu hadits itu ternyata hasil ijtihad. Mungkin buat saya yang awam ini, apa yang ustadz sampaikan masih agak membingungkan, jadi mohon penjelasan lebih lanjut.

Selama ini yang saya pahami bahwa kalau ada hadits shahih, kita wajib ikut. Malah teman saya bilang, tinggalkan semua pendapat ulama kalau sudah ada hadits shahih. Sebab menurutnya para ulama empat mazhab sendiri yang mengatakan bahwa kalau suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku.

Ternyata ustadz bilang bahwa keshahihan hadits itu sendiri justru hasil ijtihad manusia juga. Mohon penjelasan dari ustadz dalam masalah ini. Terima kasih sebelumnya.
Wassalam

Jawaban :
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Masalah keshahihan hadits ini memang banyak orang yang terkecoh, karena kurang mengerti dan belum memahami apa yang dimaksud dengan hadits shahih.

Banyak yang berpikir bahwa keshahihan suatu hadits itu adalah wahyu yang turun dari langit. Banyak orang awam yang belum pernah belajar ilmu hadits berimajinasi seolah-olah keshahihan hadits merupakan wangsit khusus yang diberikan kepada tokoh-tokoh tertentu secara ghaib. Seolah-olah informasi keshahihan hadits itu secara khusus Allah anugerahkan kepada sosok tertentu, rada mirip-mirip dengan sosok imam mahdi di akhir zaman.

Padahal sebenarnya 100% keshahihan hadits itu hasil ijtihad, yaitu merupakan hasil penilaian subjektif dari seorang peneliti hadits lewat analisa logis tapi tetap tidak bisa lepas dari subjektifitasnya sendiri. Oleh karena hanya sekedar ijtihad, maka apa yang dibilang shahih oleh seorang peneliti hadits, bisa saja disanggah dan ditolak oleh peneliti lain, bahkan bisa dikeluarkan hasil ijtihad lainnya yang justru bertentangan.

Imam Bukhari Berijtihad
Semua yang dituangkan Al-Bukhari (194-265 H) di dalam kitab Shahihnya adalah hasil ijtihad beliau. Jangan sekali-kali kita menduga bahwa beliau menerima wahyu dari Allah. Beliau melakukan penelitian atas tiap-tiap perawi dengan mengadakan perjalanan panjang dan jauh menelusuri berbagai pelosok negeri Islam. Seratus persen keshahihan hadits Bukhari itu dihasilkan lewat ijtihad dan bukan berdasarkan wahyu.

Tentu kita wajib menghargai dan menghormati hasil ijtihad seorang Bukhari, karena beliau memang ahli dan pakar di bidang itu. Dengan catatan, biar bagaimana pun tetap saja hasil ijtihad dan bukan wahyu.

Begitu juga hadits yang tertuang dalam kitab Shahih Muslim. Imam Muslim (204-261 H) sebagai penyusunnya tidak lain adalah seorang yang melakukan ijtihad, dalam arti penellitian ilmiyah untuk memilah mana yang beliau anggap shahih dan tidak. Pertimbangannya tanpa didasari wahyu dari langit. Hanya mengandalkan penilaian manusiawi semata.

Tentu kita wajib menghargai dan menghormati hasil ijtihad seorang Imam Muslim, karena beliau memang ahli dan pakar di bidang itu. Dengan catatan, biar bagaimana pun tetap saja hasil ijtihad dan bukan wahyu.

Tetapi menjadi keliru sekali ketika kita mengandalkan keshahihan hadits Bukhari dan Muslim sebagai satu-satunya rujukan dalam masalah agama. Mengapa? Karena selain hasil ijtihad keduanya, masih ada ribuan peneliti dan ahli hadits lain yang juga melakukan penelitian. Dan tidak sedikit yang kualitasnya malah lebih tinggi dari apa yang diijtihadkan oleh keduanya.

Penelitian Hadits Sebelum Zaman Bukhari dan Muslim
Sebagaimana kita ketahui bahwa Imam Bukhari dan Imam Muslim termasuk ulama yang hidup di abad ketiga hijriyah. Artinya, keberadaan dua kitab Shahih, yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim baru muncul di abad ketiga, atau setelah 200 tahun Rasulullah SAW wafat. Yang jadi pertanyaan adalah : Lalu umat Islam yang hidup di abad pertama dan kedua, sebelum Bukhari dan Muslim lahir, menggunakan hadits apa dalam beragama?

Jawabnya mereka menggunakan semua hadits nabi juga. Tentunya bukan hadits-hadits yang dishahihkan oleh Bukhari atau Muslim, sebab Bukhari dan Muslim belum lahir. Dan hadits-hadits di masa itu juga sudah diteliti dengan baik oleh para ahli hadits di zamannya.
Sebutlah misalnya Imam Malik rahimahullah yang menyusun kitab Al-Muwaththa’. Di zamannya, kitab Al-Muwaththa’ ini merupakan kitab hadits unggulan. Bahkan Al-Imam Asy-Syafi’i yang ingin belajar hadits kepada Imam Malik menghafal hadits-hadits di dalamnya.

Jadi jangan keliru beranggapan bahwa hadits shahih itu hanya hadits Bukhari dan Muslim saja. Maka tidak salah kalau kita katakan bahwa tidak ada satu pun shahabat nabi yang menggunakan hadits shahih riwayat Bukhari. Dan tidak satupun tabi’in yang menggunakannya juga. Mereka semua beragama tanpa menggunakan Shahih Bukhari dan Sahih Muslim.

Hal itu terjadi karena para shahabat dan para tabi’in hidup lebih dulu dari keduanya. Bagaimana mungkin orang yang hidup seabad sebelumnya bisa menggunakan hadits yang diriwayatkan pada abad-abad berikutnya?

Penelitian Hadits Dilakukan Oleh Empat Imam Mazhab
Para imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, sama sekali tidak pernah menggunakan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Mereka sama sekali tidak pernah menyentuh kitab Shahih Bukhari dan Muslim.

Kenapa?

Pertama, karena mereka lahir jauh sebelum Bukhari (194-265 H) dan Muslim (204-261 H) dilahirkan. Tidak mungkin mereka mengandalkan keshahihan hadits dari generasi berikutnya. Yang lebih logis adalah orang yang ada pada generasi berikutnya justru mengandalkan hasil penellitian hadits pada generasi sebelumnya.

Kedua, karena keempat imam mazhab itu sendiri justru merupakan pakar hadits paling top di zamannya. Tidak ada ahli hadits yang lebih baik dari mereka di zamannya. Apa urusannya pakar hadits paling top harus mengambil hadits dari kalangan yang lebih pantas menjadi murid atau cucu muridnya?

Ketiga, karena keempat imam mazhab itu hidup di zaman yang secara zaman lebih dekat ke Rasulullah SAW dari pada masa Bukhari atau Muslim sendiri. Maka kualitas periwayatan hadits mereka dipastikan lebih kuat dan lebih terjamin ketimbang kualitas di masa-masa berikutnya.

Kalau dalam bidang teknologi, memang semakin maju zamannya ke depan, ilmunya semakin lengkap dan sempurna. Karena penemuan yang dulu kemudian disempurnakan dengan penemuan terbaru.

Sebaliknya, dalam bidang penelitian hadits, semakin mundur dan mendekati sumber aslinya, akan semakin baik.

Dan semakin menjauhi zaman aslinya tentu akan semakin lemah hasil penelitiannya. Tidak akan ada lagi penemuan baru macam teknologi komputer dalam ilmu hadits. Karena yang dilakukan adalah penelitian keshahihan hadits dan bukan kesempurnaan produk pabrik.

Keempat, justru Bukhari dan Muslim sendiri malah bermazhab kepada para imam mazhab yang empat itu. Banyak kajian ilmiyah yang memastikan bahwa Bukhari sendiri dalam fiqihnya bermazhab Syafi’i.

Memang ada sementara tokoh saking antipatinya dengan mazhab fiqih, lalu mengarang-ngarang sebuah nama mazhab imaginer baru yang tidak pernah ada bukti kongkritnya dalam sejarah. Mereka sebut mazhab ‘ahli hadits’. Dari namanya saja sudah bermasalah. Dikesankan seolah-olah yang tidak bermazhab ahli hadits berarti tidak menggunakan hadits dalam mazhabnya. Padahal mazhab ahli hadits itu adalah mazhab para ulama peneliti hadits untuk mengetahui keshahihan hadits dan bukan dalam menarik kesimpulan hukum (istimbath).

Kalaulah benar pernah ada mazhab ahli hadits yang berfungsi sebagai metodologi istimbath hukum, lalu mana ushul fiqihnya? Mana kaidah-kaidah yang digunakan dalam mengistimbath hukum? Apakah cuma sekedar menggunakan sistem gugur, bila ada dua hadits, yang satu kalah shahih dengan yang lain, maka yang kalah dibuang?

Lalu bagimana kalau ada hadits sama-sama dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim, tetapi isinya bertentangan dan bertabrakan tidak bisa dipertemukan?

Al-Imam Asy-syafi’i sejak 13 abad yang lalu sudah bicara panjang lebar tentang masalah kalau ada beberapa hadits sama-sama shahihnya tetapi matannya saling bertentangan, apa yang harus kita lakukan? Beliau sudah menulis kaidah itu dalam kitabnya : Ikhtilaful Hadits yang fenomenal itu.
Cuma baru sampai mengetahui suatu hadits itu shahih, sebenarnya pekerjaan melakukan istimbath hukum belum selesai. Meneliti keshahihan hadits baru langkah pertama dari duapuluh tiga puluh langkah dalam proses istimbath hukum, yang hanya bisa dilakukan oleh para mujtahid.

Umat Terlalu Awam Dapat Informasi Diplintir
Sayangnya banyak sekali orang awam yang tersesat mendapatkan informasi yang sengaja disesatkan oleh kalangan tertentu yang punya rasa dengki. Seolah-olah imam mazhab yang empat itu kerjaannya cuma merusak agama dengan mengarang-ngarang agama dan menambah-nambahinya seenak udelnya. Sejelek itu para perusak agama melancarkan fitnah keji kepada para ulama.

Padahal keempat imam mazhab itu di zamannya justru merupakan para ulama peneliti hadits (muhaddits). Sebab syarat untuk boleh berijtihad adalah harus menguasai hadits dan mampu meneliti sendiri kualitas keshahihan haditsnya. Imam Malik itu penyusun Al-Muwaththa’ yang tiga khalifah memintahnya agar dijadikan kitab standar negara. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal sendiri lebih dikenal sebagai ahli hadits ketimbang sebagai mujtahid dalam ilmu fiqih.

Entah orientalis mana yang datang menyesatkan agama, tiba-tiba datang generasi yang awam agama dan dicuci otaknya, dengan mudahnya dan teramat lancang menuduh keempat imam mazhab itu sebagai orang-orang bodoh dengan ilmu hadits. Hadits shahih versi Bukhari dibanding-bandingkan secara zahir dengan pendapat keempat mazhab, seolah-olah pendapat mazhab itu buatan manusia dan hadits shahih versi Bukhari itu datang dari Allah yang sudah pasti benar.

Orang-orang awam yang kurang ilmu itu dengan seenaknya menyelewengkan ungkapan para imam mazhab itu dari maksud aslinya : “Bila suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku”. Kesannya, para imam mazhab itu bodoh dengan keshahihan hadits, lalu menggantungkan mazhabnya kepada orang-orang yang hidup dua tiga abad sesudahnya.
Padahal maksudnya bukan begitu.

Para ulama mazhab itu menolak suatu pendapat, karena menurut mereka hadits yang mendasarinya itu tidak shahih. Maka pendapat itu mereka tolak sambil berkata,”Kalau hadits itu shahih, pasti saya pun akan menerima pendapat itu. Tetapi berhubung hadits itu tidak shahih menurut saya, maka saya tidak menerima pendapat itu”. Yang bicara bahwa hadits itu tidak shahih adalah profesor ahli hadits, yaitu para imam mazhab sendiri. Maka wajar kalau mereka menolaknya.

Tetapi lihat pengelabuhan dan penyesatan dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Digambarkan seolah-olah seorang Imam Asy-Syafi’i itu tokoh idiot yang tidak mampu melakukan penelitian hadits sendiri, lalu kebingungan dan menyerah menutup mukanya sambil bilang,”Saya punya mazhab tapi saya tidak tahu haditsnya shahih apa tidak, jadi kita tunggu saja nanti kalau-kalau ada orang yang ahli dalam bidang hadits. Nah, mazhab saya terserah kepada ahli hadits itu nanti ya”.

Dalam hayalan mereka, para imam mazhab berubah jadi badut pandir yang tolol dan bloon. Bisanya bikin mazhab tapi tidak tahu hadits shahih. Sekedar meneliti hadits apakah shahih atau tidak, mereka tidak tahu. Dan lebih pintar orang di zaman kita sekarang, cukup masuk perpustakaan dan tiba-tiba bisa mengalahkan imam mazhab.

Cara penyesatan dan merusak Islam dari dalam degan modus seperti ini ternyata nyaris berhasil. Coba perhatikan persepsi orang-orang awam di tengah kita. Rata-rata mereka benci dengan keempat imam mazhab, karena dikesankan sebagai orang bodoh dalam hadits dan kerjaanya cuma menambah-nambahi agama.

Parahnya, setiap ada tradisi dan budaya yang sesat masuk ke dalam tubuh umat Islam, seperti percaya dukun, tahayyul, khurafat, jimat, dan berbagai aqidah sesat, sering diidentikkan dengan ajaran mazhab. Seolah mazhab fiqih itu gudangnya kesesatan dan haram kita bertaqlid kepada ulama mazhab.

Sebaliknya, orang yang harus diikuti adalah para ahli hadits, karena mereka itulah yang menjamin keshahihan hadits.

Bukhari dan Muslim Bukan Penentu Satu-satunya Keshahihan Hadits

Ini perlu dicatat karena penting sekali. Shahih tidaknya suatu hadits, bukan ditentukan oleh Bukhari dan Muslim saja. Jauh sebelum keduanya dilahirkan ke dunia, sudah ada jutaan ahli ahli hadits yang menjalankan proses ijtihad dalam menetapkan keshahihan hadits.

Dan boleh jadi kualitasnya jauh lebih baik. Kualitas keshahihannya jauh lebih murni. Hal itu karena jarak waktu dengan sumber aslinya, yaitu Rasulullah SAW, lebih dekat.

Hadits di zaman Imam Bukhari sudah cukup panjang jalur periwayatannya. Untuk satu hadits yang sama, jalur periwayatan Bukhari bisa sampai enam atau tujuh level perawi yang bersambung-sambung. Sementara jalur hadits Imam Malik cuma melewati tiga level perawi. Secara logika sederhana, kualitas keasliannya tentu berbeda antara hadits yang jalurnya tujuh level dengan yang tiga level. Lebih murni dan asli yang tiga level tentunya.

Bayangkan kalau Imam Bukhari hidup hari ini di abad 15 hijriyah, haditsnya bisa melewati 40-50 level perawi. Secara nalar kita bisa dengan mudah menebak bahwa kualitas periwayatannya jauh lebih rendah. Beda tiga sampai empat level saja sudah besar pengaruhnya, apalagi beda 50 level, tentu jauh lebih rendah.
Apalagi yang jadi ahli haditsnya bukan selevel Bukhari, tetapi sekedar mengaku-ngaku saja. Tentu kualitas haditsnya jauh lebih parah lagi.

Bukhari itu melakukan perjalanan panjang dan lama ke hampir seluruh dunia Islam. Tujuannya untuk bertemu langsung para perawi hadits yang masih tersisa. Maksudnya untuk mengetahui langsung seperti apa kualitas hafalan dan kualitas keislaman mereka.

Menurunnya Kualitas Periwayatan Seiring Dengan Semakin Jauhnya Jarak
Semakin jauh jarak waktu antara sumber hadits dengan zaman penelitiannya, maka kualitasnya akan semakin menurun. Sebab jalur periwayatannya akan menjadi semakin panjang. Jumlah perawi yang harus diteliti jelas lebih banyak lagi.

Seandainya seorang dengan kualitas Imam Bukhari hidup di abad kelima, tentu nilai kualitas penelitiannya akan jauh lebih rendah dibandingkan beliau hidup di abad ketiga. Dan bila beliau hidup di abad kelima belas, sudah bisa dipastikan kualitas penelitiannya akan jauh lebih rendah, bahkan beliau malah tidak bisa melakukan apa-apa.

Karena tidak mugkin lagi melakukan penelitian langsung bertemu muka dengan para perawi. Maka keistimewaan hadits Bukhari akan anjlog total. Untungnya beliau hidup di zaman yang tepat, yaitu di masa para perawi masih hidup dan bisa diwawancarai langsung.

Maka siapapun orangnya, kalau baru hari gini melakukan penelitian tentang para perawi, kelasnya rendah sekali. Semua hasil penelitian semata-mata mengandalkan data sekunder, yaitu hanya sekedar menelliti di tingkat literatur dalam perpustakaan. Sebuah pekerjaan yang sangat mudah, karena semua mahasiswa fakultas hadits semester pertama pun bisa mengerjakannya.

Dosen hadits bisa dengan mudah mengajarkan teknik takhrij hadits kepada anak-anak muda mahasiswa usia di bawah 20 tahunan, lalu menugaskan masing-masing melakukan takhrij untuk dapat nilai. Bahkan pekerjaan seperti itu bisa dilakukan oleh orang yang sama sekali tidak pernah belajar ilmu hadits di bangku kuliah. Cukup dengan otodidak, sedikit diberi pelatihan singkat, asalkan tekun tiap hari nongkrong di perpustakaan, bisa melakukan penelitian kelas-kelas rendahan. Siapapun bisa melakukannya dengan mudah.

Apalagi zaman sekarang sudah ada ratusan software hadits. Cukup masukkan keyword saja, maka semua data bisa keluar dalam hitungan detik saja.

Kalau baru sampai disitu kok tiba-tiba merasa lebih tinggi derajatnya dari Bukhari dan Muslim, rasanya ada yang salah dalam logika. Jangankan merasa lebih tinggi, merasa selevel saja pun sudah tidak sopan.
Maka kita tidak bisa menyamakan kualitas keshahihan hadits yang diteliti di abad kelimabelas ini, dengan kualitas penelitian hadits yang dilakukan di abad ketiga zaman Bukhari dan Muslim. Nilainya jauh berbeda. Dan kualitas penelitian hadits di abad pertama dan kedua tentu jauh lebih baik lagi.

Anehnya, jarang sekali umat Islam yang bisa membedakan, mana kualitas penelitian kelas tinggi dan mana kelas rendahan. Sebab sekarang ini kita hidup di zaman serba awam dan serba tidak tahu.
Kadang-kadang umat Islam terkecoh dengan mudah dengan penampilan fisik. Asalkan ada orang pintar ceramah, kebetulan jenggotnya panjang, bajunya gamis ala arab, pakai surban melilit kepala, tangannya sibuk memutar-mutar biji tasbih, suaranya diberat-beratkan, langsung kita anggap dia adalah ulama yang tahu segala-galanya. Padahal satu pun hadits tidak dihafalnya.

Lebih lucu lagi, kalau ada tokoh yang bisa menyalah-nyalahkan ulama betulan, melancarkan kritik ini dan itu, bahkan mencaci maki dengan kata-kata kasar, maka oleh pendukungnya yang sama-sama awam dijadikan seolah-olah dia adalah utusan Allah yang turun langsung dari langit, menjadi anugerah bagi alam semesta.

Seolah-olah kebenaran milik dia semata. Orang lain yang tidak setuju dengan seleranya dianggap bodoh semua. Ulama yang tidak sejalan dengannya akan dihujani cacian makian dan sumpah serapah.

Semoga Allah SWT mengampuni kita semua. Amiin ya rabbal alamin

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

Kamis, 07 April 2016

Sana-sama Masuk Surga

[Senyum dulu yuuk...]

Sama-sama masuk surga

Dikisahkan, ada laki-laki yg berparas biasa saja, menikah dengan seorang wanita sholehah nan cantik jelita.

Ketika mereka berdua bercermin, maka sang suami merasa bersyukur mendapatkan istri yg begitu jelita lagi sholehah, sembari berkata ' Subhanallah betapa beruntungnya diriku mendapatkan wanita sholehah nan cantik jelita seperi dirimu wahai istriku '

sembari tersenyum, sang istri pun berkata ' in syaa Alloh kita berdua masuk surga ....'

sang suami setengah terperanjat lalu bertanya ' apa maksudmu dengan ucapan bahwa kita berdua masuk surga?'

Sang istri pun menjawab ' karena engkau mendapatkan diriku lalu selalu bersyukur, adapun diriku mendapatkan dirimu maka aku selalu bersabar.... bukankah si syukur dan si sabar sama sama masuk surga '? ☺☺

Termasuk yg manakah kita ?
Apakah termasuk yg sabar atau yang bersyukur ?

Tenang...dua-duanya masuk surga ☺☺

Udah ya...jangan senyum2 terus...
Ayo kerja.... :)

💧💧📗📘📙📔📒💦💦
______________________
Bukan Sekadar Kata

http://bit.ly/1PzowxR

https://telegram.me/BukanSekadarKata

Selasa, 05 April 2016

Tawakkallah, engkau akan dicukupi oleh Allah




والتوكل من أعظم الأسباب التي تطلب بها الحوائج ، فإن الله يكفي من توكل عليه ، كما قال {ومن يتوكل على الله فهو حسبه} نور الاقتباس [٢١٢]
— قال الإمام ابن رجب

Tawakal adalah sebab yang agung untuk terwujudnya permohonan-permohonan. Karena Allah mencukupkan orang yang bertawakal kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya
— Ibnu Rajab Al Hambali, Nurul Iqtibas (212)

Andai Waktu Bisa Dibeli

Syaikh Ali Thantawi dalam kitab beliau “Dzikrayaat” mengisahkan tentang seorang ulama besar bernama Jamaludin Al-Qasimi.

Suatu ketika beliau ini melewati sekumpulan anak muda yang suka foya-foya dan menghabiskan waktu mereka dalam maksiat. Melihat keadaan seperti itu, Syaikh Jamaludin Al-Qasimi lantas berkata,

ليت أنَّ الوقت يباع ويشترى لاشتريت منهم أوقاتهم

Andai saja waktu itu bisa dijual dan dibeli, sungguh akan kubeli waktu mereka..”


Saking merasa sayangnya terhadap waktu yang pergi sia-sia; tanpa faedah, dan karena saking sibuknya beliau dalam mengajarkan ilmu dan menulis buku.

Dikatakan jumlah buku karya beliau melebihi umur beliau. Umur beliau 50 th, sedang kitab karangan beliau melebihi 50 judul kitab. Syaikh Muhammad Rasyid Ridho dalam majalah Al Manar menerangkan bahwa karya beliau mencapai 80 judul buku. Diantara karya beliau adalah “Mahaasinut Ta’wiil“; kitab tafsir setebal tujuh belas jilid.

Seandainya kita katakan beliau mulai mengarang kitab sejak tahun pertama beliau keluar dari perut ibu. Maka untuk mencapai 50 karya buku dalam usia yang 50 th; setiap tahunnya beliau menulis satu judul buku. Ini bila beliau mulai menulis di tahun pertama kelahiran beliau. Tentu ini suatu hal yang mustahil, anak bayi baru lahir bisa nulis buku.

Minimal secara kasat mataseorang mulai mampu menulis buku di usia dewasa, kisaran 14 atau 15 tahun. Ini baru hitungan-hitungan 50 buku, 80 judul buku?!

Anda bisa bayangkan, dalam setahun berapa buku yang beliau tulis. Inilah Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi..Sungguh umur yang diberkahi, kehidupan yang indah penuh dengan kebaikan;  mengajarkan ilmu dan berkarya..
Rahimahullah.. Semoga Allah merahmati beliau.

Mengapa Mesti Belajar Sirah Nabi ?

Banyak orang –di kalangan umat Islam- tertarik membaca biografi orang-orang terkenal dan sukses. Mereka membacanya dengan tujuan meneladani dan berusaha meniru mereka agar bisa menggapai kesuksesan serupa. Namun sayangnya, ketertarikan serupa tidak kita dapatkan pada buku-buku biografi Nabi Muhammad ﷺ. Sehingga sebagian besar umat ini, tidak mengenal seseorang yang mereka sebut dalam syahadat mereka. Mereka tidak mengenal orang nomor satu dalam agama yang mulia ini.

Mengapa kita harus membaca sirah atau biografi Nabi ﷺ? Setidaknya ada 4 alasan utama mengapa kita harus membaca sirah Nabi Muhammad ﷺ. 
Berikut keempat alasan tersebut:

Pertama
: Sirah Nabi ﷺ adalah sumber kedua dari syariat Islam.


Perlu kita tahu, sumber kedua dalam syariat Islam dapat kita pahami dengan baik ketika kita telah mempelajari sirah Nabi. Ada beberapa hal yang menjadi sumber syariat Islam. Yang pertama adalah Alquran. Dan yang kedua adalah sunnah Nabi ﷺ. Sunnah sendiri berarti segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi ﷺ.


Maksud dari ketetapan di sini adalah perbuatan sahabat yang dipuji atau didiamkan dan tidak ditegur Nabi ﷺ karena beliau menyepakatinya. Tentu hal ini sangat erat kaitannya dengan kajian sirah Nabi. Sehingga, sumber kedua hukum Islam tidak akan dipahami secara utuh kecuali dengan mempelajari sirah Nabi ﷺ.

Setelah mengetahui tingginya kedudukan sunnah Nabi ﷺ dalam syariat Islam, dari sini pula kita menyadari posisi kajian sirah Nabi ﷺ sebagai jalan untuk memahami sunnah. Allah ﷻ berfirman,

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan Kami turunkan kepadamu Alquran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS:An-Nahl | Ayat: 44).

Tanpa sirah dan tanpa sunnah, kita tidak akan mampu memahami Alquran.
Mempelajari sirah bukanlah semata-mata bacaan ringan atau hiburan, tapi mempelajari sirah adalah mengkaji agama. Karena ia menjadi penunjang memahami sumber pokok dari syariat ini.

Dengan mempelajari sirah Nabi ﷺ dan memahaminya dengan baik kita dapat mempraktikkan ubudiyah kepada Allah dengan cara benar.


Namun sayang, sebagian umat Islam ada yang meragukan periwayatan sunnah dan sirah Nabi ﷺ. Mereka mencukupkan diri dengan Alquran saja. Nabi ﷺ telah memperingatkan kita akan kelompk ini. Sebagaimana sabda beliau ﷺ:

عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَلا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ، أَلا إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ، أَلا يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ، يَقُولُ: عَلَيْكُمْ بِالْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلالٍ فَأَحِلُّوهُ، وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ، أَلا لا يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الأَهْلِيِّ وَلا كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السَّبُعِ ”

Dari al-Miqdaam bin Ma’dii Karib, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya telah diturunkan kepadaku al-Kitab dan yang semisalnya (as-Sunnah) bersamanya. Ketahuilah, sesungguhnya telah diturunkan kepadaku Alquran dan yang semisalnya (As-Sunnah) bersamanya. Ketahuilah, dikhawatirkan akan ada seseorang yang duduk kenyang di atas dipannya seraya berkata: ‘Wajib bagi kalian berpegang pada Alquran ini. Apa saja yang kalian dapati di dalamnya dari perkara halal, maka halalkanlah, dan apa aja yang kalian dapati di dalamnya dari perkara haram, maka haramkanlah’. Ketahuilah, tidak dihalalkan bagi kalian daging keledai jinak dan binatang buas yang mempunyai taring.” (HR. Abu Daawud no. 4604 dan Ibnu Hibbaan no. 12).


Alquran sendiri telah membantah mereka yang hanya menjadikan Alquran sebagai satu-satunya sumber syariat. Allah ﷻ berfirman,

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS:An-Nisaa | Ayat: 80).

فَلاَ وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS:An-Nisaa | Ayat: 65).


Dan firman-Nya juga,


وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS:Al-Hasyr | Ayat: 7).

Para sahabat Nabi ﷺ tidak membedakan Alquran dan sunnah. Terkadang mereka mengkaji Alquran dan terkadang pula mereka belajar al-hadits Nabi ﷺ.


Kedua: Mengenal sosok Nabi Muhammad ﷺ.

Rasulullah ﷺ adalah manusia terbaik. Beliau juga penutup para nabi dan rasul serta yang terbaik di antara mereka. Tokoh yang satu ini adalah tokoh terbesar dalam sejarah manusia, dari manusia pertama, Adam, hingga kelak terjadinya kiamat.

Tokoh satu ini sangat layak untuk dipelajari perjalanan hidupnya. 

Banyak alasan mengapa perjalanan hidup (sirah) beliau layak dipelajari. Alasan yang paling utama tentu saja, karena beliau seorang rasul, utusan Rab penguasa alam semesta. Jika Allah menghendaki, tentu Dia mampu berbicara kepada para hamba-Nya secara langsung. Namun Allah tidak menghendaki yang demikian, ia mengangkat seorang utusan yang menjadi perantara Dia dan hamba-hamba-Nya. Allah ﷻ memilih beliau ﷺ dari seluruh hamba-hamba-Nya.

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الهَوَى * إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Alquran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS:An-Najm | Ayat: 4).


Oleh karena itu, wajib bagi kita menerima hadits-hadits Nabi ﷺ. Konsekuensinya pula wajib bagi kita mempelajari sirahnya. Karena sirah adalah praktik nyata perintah Allah melalui diri Rasulullah ﷺ.

Ketiga: Menimbulkan Kecintaan Kepada Nabi ﷺ.

Seseorang wajib mengupayakan bagaimana agar ia bisa mencintai Nabi ﷺ. Karena mencintai beliau ﷺ adalah sebuah kewajiban. Cinta kepada beliau harus di atas cinta kepada seluruh makhluk lainnya. Nabi ﷺ bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Salah seorang di antara kalian tidak beriman (dengan sempurna) sampai aku lebih dicintainya dari anak dan kedua orang tuanya serta seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).


Kita pun telah mendengar dialog Nabi ﷺ dengan Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu,

قال عمر بن الخطاب: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، إِلاَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ : “لاَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ”. فَقَالَ عُمَرُ: وَاللَّهِ لأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ : “الآنَ يَا عُمَر

Umar berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku sendiri”. Maka Nabi ﷺ bersabda, “Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri”. Kemudian Umar berkata kepada beliau, “Sesungguhnya sejak saat ini, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri”. Maka Nabi ﷺ bersabda, “Sekarang (baru benar) wahai ‘Umar”. (HR. al-Bukhari no. 6632).

Ada tiga hal yang membuat seseorang cinta kepada orang lainnya: (1) Secara fisik orang tersebut menarik,
(2) orang tersebut memiliki perangai yang baik. Karena setiap orang akan memuji dan suka dengan sifat-sifat terpuji,
(3) orang tersebut berjasa terhadap dirinya. Ketika seseorang berjasa, maka ada penghormatan, kecintaan, dan keinginan untuk membahagiakannya pula.


Nabi ﷺ adalah seorang yang menarik secara fisik. Banyak riwayat yang menerangkan tentang ketampanan beliau. Beliau ﷺ seorang yang terbaik akhlaknya. Allah ﷻ memujinya sebagai pemilik akhlak mulia. Dan beliau ﷺ juga orang yang sangat berjasa terhadap umatnya bahkan kepada seluruh manusia, jin, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Semua itu tidak akan dapat kita ketahui kecuali dengan membaca sirah perjalanan hidup beliau ﷺ.

Dengan mempelajari sirah, seseorang akan semakin mengenal Nabi ﷺ. Semakin mengenal beliau, maka semakin bertambah kecintaan kepadanya.

Keempat: kita akan paham apa yang dimaksud dengan sikap hikmah.

Hikmah adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Hikmah tidaklah selalu berada di tengah-tengah. terkadang memihak pun disebut hikmah. Orang sering menyebut sikap hikmah ini dengan bijaksana. Buah dari sikap hikmah dan bijak Rasulullah ﷺ adalah:
  • Menaklukkan hati seseorang.
Nabi ﷺ tidak hanya mampu menaklukkan hati para sahabatnya saja, sehingga para sahabat jatuh hati padanya. Namun beliau juga mampu menaklukkan hati musuh-musuhnya.
  • Mengambil keputusan sesuai dengan situasi dan kondisi
Ini merupakan salah satu buah terpenting dari mempelajari sirah. Pada saat beliau diutus, setidaknya ada 360 berhala di sekitar Ka’bah. Beliau ﷺ tidak langsung bergerak menghancurkan berhala walaupun menentang kesyirikan adalah perintah pertama. Sampai tiba masanya. Beliau memiliki kekuatan. Tidak satu pun berhala tersisa di Jazirah Arab.

Beliau tinggal di Mekah selama 13 tahun pasca menerima wahyu. Kedai-kedai khamr dan kemah-kemah perzinahan menyebar, namun tidak pernah beliau mengadakan penggerebekan sekalipun. Kemudian di masa berikutnya, beliau menegakkan hokum had, walaupun terhadap wanita bangsawan Ghamidiyah.


Suatu waktu beliau mengadakan perjanjian damai dengan orang-orang Yahudi. Di waktu lainnya, beliau memerangi mereka karena berkhianat. Mengapa beliau tidak memerangi Yahudi di waktu damai? Dan mengapa tidak mengadakan perdamaian ketika terjadi sengketa? Semua karena sikap hikmah. Hikmah itu bisa tegas dan bisa lembut. Hikmah itu bisa dalam bentuk perdamaian bisa pula mengadakan peperangan. Tidak seperti yang dipahami orang-orang saat ini. Satu kelompok menginginkan damaiiii… terus, walaupun mengorbankan syariat. Satu pihak lagi menginginkan perangggg… terus, walaupun merugikan dakwah.

Ada masa beliau memerintahkan para sahabatnya bersabar. Ketika keluarga Yasir disiksa oleh Quraisy, beliau perintahkan sabar dan menjanjikan surga atas kesabaran tersebut. Beliau tidak angkat senjata membuat perhitungan kepada Quraisy. Di situasi lain, beliau menyiapkan pasukan untuk menghadapi Yahudi bani Qainuqa’ lantaran membunuh seorang muslim dan melecehkan kehormatan muslimah. Nabi juga memerangi negara adidaya Romawi karena membunuh dua orang muslim. Namun zaman ini dengan zaman Mekah adalah suatu yang berbeda.
Hikmah, tepat dalam menerapkan syariat, berkata dan berbuat seperti ini tidak akan kita pahami kecuali dengan mempelajari sirah.
  • Bertahap dalam penerapan amar makruf nahi mungkar dan pendidikan.
Nabi ﷺ menempuh metode bertahap dalam amar makruf nahi mungkar dan pendidikan. Seperti dalam penerapan hokum khamr, riba, dan jihad.
  • Pertengah dan Moderat
Di antara nikmat Allah kepada umat ini adalah ia menjadikan umat ini umat pertengahan. Sebagaimana firman Allah,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan.” (QS:Al-Baqarah | Ayat: 143).


Kita tidak boleh meremehkan dan juga tidak boleh kaku dan berlebihan. Contohnya dalam permasalahan pernikahan. Nabi ﷺ memerintahkan umatnya untuk menikah. Namun pernikahan tidak boleh menghalangi seseorang dari dakwah atau berjihad di jalan Allah, atau berinfak.


Sikap pertengahan dan moderat ini tidak akan tepat praktiknya jika kita tidak mengkaji sirah Nabi ﷺ. Dengan meneladani sikap pertengahan ini seseorang tidak akan menyia-nyiakan hak Allah ﷻ dan juga hak sesama hamba.

Ibunda Para Ulama

Seorang wanita, baik ibu maupun saudari perempuan adalah pilar masyarakat.Mereka memiliki peranan besar dalam mendidik dan mengawasi pertumbuhan anak-anak.Mereka pula yang membantu para suami fokus kala bekerja.

Di antara contoh idelanya adalah ibu kita, Khadijah radhiallahu ‘anha, istri Rasulullah ﷺ.
Beliau adalah seorang wanita super istimewa.Keistimewaannya adalah penghargaan terhadap peranan-peranannya.Ia adalah seorang wanita yang sukses dalam bisnis. Bertanggung jawab di rumah dan berperan untuk anak-anaknya.Lihatlah anak-anaknya, terwarisi karakter mulia dan luhur. Ia adalah orang yang terbaik bagi Rasulullah ﷺ.


Membaca kisah hidup para ulama, para pembimbing umat dan masyarakat, Anda akan menyaksikan bagaimana ibu mereka mendidik dan menanamkan karakter mulia kepada mereka. Ibu mereka menanamkan dasar-dasar agama dan pokok-pokok akidah islamiyah untuk buah hatinya.Lalu pribadi-pribadi mulia tertempa menjadi anak-anak akhirat bukan anak-anak dunia.
Ketika kita lupa dan lalai terhadap peranan ini, maka akan lahirlah generasi yang gamang akidah dan agamanya. Generasi yang mudah terombang-ambing tak berprinsip.Mereka tergerus mengalir bersama zaman, terbang bersama hembusan angin pemikiran.

Sejarah kita mencatat contoh ibu-ibu yang istimewa.Ibu-ibu yang melahirkan tokoh-tokoh besar ulama Islam.Mereka inilah yang terdepan untuk dijadikan teladan, wahai pemudi-pemudi Islam.

Pertama: al-Khansa, Tumadhar binti Amr bin al-Harits Ibu Para Mujahid

Ketika umat Islam bersiap dan menghitung jumlahpasukan menghadapi Perang Qadisiyah, saat itu pula al-Khansa bersama empat orang putranya siap berangkat bersama pasukan berjumpa dengan pasukan Persia.

Dalam sebuah kemah di tengah ribuan kemah lainnya, al-Khansa mengumpulkan keempat putranya.Ia berwasiat, “Anak-anakku, kalian memeluk Islam dengan penuh ketaatan dan hijrah dengan penuh kerelaan. Demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang hak kecuali Dia, sungguh kalian terlahir dari ibu yang sama. Aku tidak pernah mengkhianati ayah kalian.Tak pernah mempermalukan paman kalian.Tak pernah mempermalukan nenek moyang kalian.Dan takpernah pula menyamarkan nasab kalian.

Kalian semua tahu balasan besar yang telah Allah siapkan bagi seorang muslim dalam memerangi orang-orang yang kafir. Ketahuilah (anak-anakku), negeri yang kekal itu lebih baik dari tempat yang fana ini. Allah Ta’ala berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.”
(QS:Ali Imran | Ayat: 200).


Andaikata esok kalian masih diberi kesehatan oleh Allah, maka perangilah musuh kalian dengan gagah berani, mintalah kemenangan kepada Allah atas musuh-musuh-Nya”.


Ketika sinar pagi telah terbit, kedua pasukan pun bertemu.Gugurlah orang-orang yang ditakdirkan gugur. Dan mereka yang ditakdirkan hidup, akan tetap hidup walaupun berangkat mencari kematian.

Usai peperangan, al-Khansa mencari kabar tentang putra-putranya.Kabar syahid anak-anaknya sampai kepadanya.Ia berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan kematian mereka. Aku berharap Rabku mengumpulkanku bersama mereka dalam kasih sayang-Nya.”


Kedua: Ibu Sufyan ats-Tsaury

Sufyan ats-Tsaury adalah tokoh besar tabi’ at-tabi’in.Ia seorang fakih yang disebut dengan amirul mukminin fil hadits (pemimpin umat Islam dalam hadits Nabi). Di balik ulama besar generasi ketiga ini, adaseorang ibu yang shalihah.Ibu yang mendidik dan menginfakkan waktu untuk membimbingnya.Sufyan mengisahkan, “Saat aku berencana serius belajar, aku bergumam, ‘Ya Rab, aku harus punya penghasilan (untuk modal belajar pen.)’.Sementara kulihat ilmu itu pergi dan menghilang.Apakah kuurungkan saja keinginan belajar.Aku memohon kepada Allah agar Dia (Yang Maha Pemberi rezeki) mencukupiku”.


Beliau merasa bimbang jika menuntut ilmu, maka butuh modal dan bekal.Jika mencari modal dan bekal tidak bisa fokus belajar.Karena ilmu itu mudah pergi dan menghilang.


Datanglah pertolongan Allah melalui ibunya. Ibunya berkata, “Wahai Sufyan anakku, belajarlah..aku yang akan menanggumu dengan usaha memintalku”.


Ibunya menyemangati, menasihati, dan mewasiatinya agar semangat menggapai pengetahuan.Di antara ucapan ibunya adalah “Anakku, jika engkau menulis 10 huruf, lihatlah!Apakah kau jumpai dalam dirimu bertambah rasa takutmu (kepada Allah), kelemah-lembutanmu, dan ketenanganmu?Jika tidak kau dapati hal itu, ketahuilah ilmu yang kau catat berakibat buruk bagimu.Ia tidak bermanfaat untukmu”.

Inilah di antara bentuk perjuangan ibu Sufyan ats-Tausry.

Ketiga
: Ibu Imam Malik bin Anas


Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Uwais, “Aku mendengar pamanku, Malik bin Anas, bercerita, ‘Dulu, sewaktu aku kecil, ibuku biasa memakaikanku pakaian dan mengenakan imamah untukku. Kemudian ia mengantarkanku kepada Rabi’ah bin Abi Abdirrahman. Ibuku mengatakan, ‘Anakku, datanglah ke majelisnya Rabi’ah.Pelajari akhlak dan adabnya sebelum engkau mempelajari hadits dan fikih darinya’.”


Keempat: Ibu Imam asy-Syafi’i

Ayah Imam asy-Syafi’i wafat dalam usia muda. Ibunyalah yang membesarkan, mendidik, dan memperhatikannya hingga kemudian Muhammad bin Idris asy-Syafi’i menjadi seorang imam besar. Ibunya membawa Muhammad kecil hijrah dari Gaza menuju Mekah.


Di Mekah, ia mempeljari Alquran dan berhasil menghafalkannya saat berusia 7 tahun. Kemudian sang ibu mengirim anaknya ke pedesaan yang bahasa Arabnya masih murni. Sehingga bahasa Arab pemuda Quraisy ini pun jadi tertata dan fasih.

Setelah itu, ibunya memperhatikannya agar bisa berkuda dan memanah. Jadilah ia seorang pemanah ulung. 100 anak panah pernah ia muntahkan dari busurnya, tak satu pun meleset dari sasaran.

Dengan taufik dari Allah ﷻ kemudian kecerdasan dan kedalaman pemahamannya, saat beliau baru berusia 15 tahun, Imam asy-Syafi’i sudah diizinkan Imam Malik untuk berfatwa. Hal itu tentu tidak terlepas dari peranan ibunya yang merupakan seorang muslimah yang cerdas dan pelajar ilmu agama.

Imam asy-Sayfi’i bercerita tentang masa kecilnya, “Aku adalah seorang anak yatim.Ibukulah yang mengasuhku. Namun ia tidak memiliki biaya untuk pendidikanku… …aku menghafal Alquran saat berusia 7 tahun. Dan menghafal (kitab) al-Muwaththa saat berusia 10 tahun.Setelah menyempurnakan hafalan Alquranku, aku masuk ke masjid,duduk di majelisnya para ulama.Kuhafalkan hadits atau suatu permasalahan.Keadaan kami di masyarakat berbeda, aku tidak memiliki uang untuk membeli kertas.Aku pun menjadikan tulang sebagai tempat menulis”.
Walaupun memiliki keterbatasan materi, ibu Imam asy-Syafi’i tetap memberi perhatian luar biasa terhadap pendidikan anaknya.

Kelima: Ibu Imam Ahmad bin Hanbal

Ibu Imam Ahmad bernama Shafiyah binti Maimunah binti Abdul Malik. Ayahnya wafat di usia muda, 30 tahun. Ibunya pun hidup menjanda dan enggan menikah lagi, walaupun usianya belum mencapai 30 tahun.Ia hanya ingin fokus memenuhi kehidupannya untuk anaknya. Buah usahanya adalah yang kita tahu saat ini.Imam Ahmad menjadi salah seorang imam besar bagi kaum muslimin.ia adalah imam madzhab yang empat. Semoga Allah merahmati ibu Imam Ahmad.


Keenam: Ibu Imam al-Bukhari

Imam al-Bukhari tumbuh besar sebagai seorang yatim.Ibunyalah yang mengasuhnya.Ibunya mendidiknya dengan pendidikan yang terbaik.Mengurus keperluannya, mendoakannya, dan memotivasinya untuk belajar dan berbuat baik.

Saat berusia 16 tahun, ibunya mengajak Imam al-Bukhari bersafar ke Mekah.Kemudian meninggalkan putranya di negeri haram tersebut. Tujuannya agar sang anak dapat menimba ilmu dari para ualma Mekah. Dari hasil bimbingan dan perhatian ibunya, jadilah Imam al-Bukhari seperti yang kita kenal saat ini.Seorang ulama yang gurunya pernah mengatakan, “Tidak ada orang yang lebih hebat darinya (dalam ilmu hadits)”.

Ketujuh: Ibu Ibnu Taimiyah

“Demi Allah, seperti inilah caraku mendidikmu. Aku nadzarkan dirimu untuk berkhidmat kepada Islam dan kaum muslimin.Aku didik engkau di atas syariat agama.Wahai anakku, jangan kau sangka, engkau berada di sisiku itu lebih aku cintai dibanding kedekatanmu pada agama, berkhidmat untuk Islam dan kaum muslimin walaupun kau berada di penjuru negeri. Anakku, ridhaku kepadamu berbanding lurus dengan apa yang kau persembahkan untuk agamamu dan kaum muslimin. Sungguh –wahai ananda-, di hadapan Allah kelak aku tidak akan menanyakan keadaanmu, karena aku tahu dimana dirimu dan dalam keadaan seperti apa engkau. Yang akan kutanyakan dihadapan Allah kelak tentangmu –wahai Ahmad- sejauh mana khidmatmu kepada agama Allah dan saudara-saudaramu kaum muslimin”.


Inilah surat yang ditulis ibu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kepada dirinya, setelah beliau memohon izin kepada sang ibu untuk tetap tinggal di Mesir.


Surat ini memberikan kesan yang cukup mendalam kepada kita tentang bagaimana sosok ibunda Ibnu Taimiyah.Wanita shalihah yang berorientasi akhirat.Wanita kuat yang lebih senang anaknya bermanfaat bagi orang banyak ketimbang untuk dirinya sendiri.Wanita cerdas yang menjadikan anaknya investasi untuk kehidupan setelah kematian.

Ibunda Ibnu Taimiyah memberikan kesan bahwa ia adalah wanita yang teguh jiwa dan hatinya. Semoga Allah merahmatinya.

Kedelapan: Saudari Imam Ibnu Hajar al-Asqalani

Ia adalah seorang wanita yang cerdas dan senang menelaah buku-buku. Ibnu Hajar memujinya dengan mengatakan, “Ia adalah ibuku setelah ibuku (yang melahirkanku pen.)”.Ia adalah seorang wanita yang memiliki banyak ijazah dari ulama Mekah, Damaskus, Balbek, dan Mesir.

Ibnu Hajar mengatakan, “Ia mempelajari khat, menghafal banyak surat Alquran, termasuk orang yang banyak menelaah buku, dan ia pandai dalam hal itu”.Kata Ibnu Hajar pula, “Ia baik dan sangat sayang kepadaku”.
Karena begitu besar pengatuh saudarinya dalam kehidupannya, sampai-sampai Ibnu Hajar membuat syair tentangnya ketika ia meninggal.

Kesembilan: Ibu Abdurrahman bin an-Nashir

Amirul mukminin Abdurrahman bin an-Nashir adalah penguasa Andalusia yang kala itu tengah dilanda kegoncangan. Kemudian ia berhasil membuat wilayah itu stabil. Ia berhasil memimpin pasukannya masuk ke jantung wilayah Perancis dan sebagian wilayah Swiss. Kemudian menguasai Italia.Ia pun menjadi raja terbesar di Eropa.

Di belakangnya ada seorang wanita yang berhasil mendidik dan membinanya.Abdurrahman an-Nashir adalah seorang yatim yang dibesarkan ibunya. Sang ayah tewas dibunuh pamannya saat Abdurrahman masih kecil.

Kesepuluh: Ibu Sultan Muhammad al-Fatih

Setelah shalat subuh, Ibu Sultan Muhammad al-Fatih mengajarinya tentang geografi, garis batas wilayah Konstantinopel. Ia berkata, “Engkau –wahai Muhammad- akan membebaskan wilayah ini. Namamu adalah Muhammad sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ. Muhammad kecil pun bertanya, “Bagaimana aku bisa membebaskan wilayah sebesar itu wahai ibu?” “Dengan Alquran, kekuatan, persenjataan, dan mencintai manusia”, jawab sang ibu penuh hikmat.

Itulah ibu Muhammad al-Fatih, mendidik anaknya di waktu berkah pagi hari.Dia tidak membiarkan anaknya terbiasa dengan tidur di waktu pagi.Ia lakukan sesuatu yang menarik perhatian sang anak.Memotivasinya dengan sesuatu yang besar dengan dasar agama dan kasih sayang, bukan spirit penjajahan.

Sumber:
– islamstory.com/ar/امهات-خالدات-في-التاريخ-الاسلامي

Balasan KESABARAN

Abu Ibrahim bercerita:
Suatu ketika, aku jalan-jalan di padang pasir dan tersesat tidak bisa pulang. Di sana kutemukan sebuah kemah lawas… kuperhatikan kemah tersebut, dan ternyata di dalamnya ada seorang tua yg duduk di atas tanah dengan sangat tenang…
Ternyata orang ini kedua tangannya buntung… matanya buta… dan sebatang kara tanpa sanak saudara. Kulihat bibirnya komat-kamit mengucapkan beberapa kalimat..

Aku mendekat untuk mendengar ucapannya, dan ternyata ia mengulang-ulang kalimat berikut:

الحَمْدُ لله الَّذِي فَضَّلَنِي عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً .. الحَمْدُ للهِ الَّذِي فَضَّلَنِي عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَق تَفْضِيْلاً ..

Segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak manusia… Segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak manusia…


Aku heran mendengar ucapannya, lalu kuperhatikan keadaannya lebih jauh… ternyata sebagian besar panca inderanya tak berfungsi… kedua tangannya buntung… matanya buta… dan ia tidak memiliki apa-apa bagi dirinya…

Kuperhatikan kondisinya sambil mencari adakah ia memiliki anak yg mengurusinya? atau isteri yang menemaninya? ternyata tak ada seorang pun…
Aku beranjak mendekatinya, dan ia merasakan kehadiranku… ia lalu bertanya: “Siapa? siapa?”

“Assalaamu’alaikum… aku seorang yang tersesat dan mendapatkan kemah ini” jawabku, “Tapi kamu sendiri siapa?” Tanyaku.
“Mengapa kau tinggal seorang diri di tempat ini? Di mana isterimu, anakmu, dan kerabatmu? Lanjutku.
“Aku seorang yang sakit… semua orang meninggalkanku, dan kebanyakan keluargaku telah meninggal…” Jawabnya.
“Namun kudengar kau mengulang-ulang perkataan: “Segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak manusia…!! Demi Allah, apa kelebihan yang diberikan-Nya kepadamu, sedangkan engkau buta, faqir, buntung kedua tangannya, dan sebatang kara…?!?” Ucapku.

“Aku akan menceritakannya kepadamu… tapi aku punya satu permintaan kepadamu, maukah kamu mengabulkannya?” Tanyanya.

“Jawab dulu pertanyaanku, baru aku akan mengabulkan permintaanmu.” Kataku.

“Engkau telah melihat sendiri betapa banyak cobaan Allah atasku, akan tetapi segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia… bukankah Allah memberiku akal sehat, yang dengannya aku bisa memahami dan berfikir…?

“Betul.” jawabku. Lalu katanya, “Berapa banyak orang yang gila?”
“Banyak juga.” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia.” Jawabnya.

“Bukankah Allah memberiku pendengaran, yang dengannya aku bisa mendengar adzan, memahami ucapan, dan mengetahui apa yang terjadi di sekelilingku?” tanyanya.

“Iya benar.” Jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” Jawabnya.
“Betapa banyak orang yang tuli tak mendengar…?” Katanya.
“Banyak juga…” Jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” Katanya.

“Bukankah Allah memberiku lisan yg dengannya aku bisa berdzikir dan menjelaskan keinginanku?” Tanyanya.

“Iya benar” jawabku. “Lantas berapa banyak orang yg bisu tidak bisa bicara?” Tanyanya.
“Wah, banyak itu.” Jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas orang banyak tersebut.”  Jawabnya.

“Bukankah Allah telah menjadikanku seorang muslim yang menyembah-Nya… mengharap pahala dari-Nya… dan bersabar atas musibahku?” Tanyanya.

“Iya benar.” Jawabku. Lalu katanya, “Padahal berapa banyak orang yg menyembah berhala, salib, dan sebagainya dan mereka juga sakit? Mereka merugi di dunia dan akhirat…!!”
“Banyak sekali.” Jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” Katanya.

Pak tua terus menyebut kenikmatan Allah atas dirinya satu-persatu… dan aku semakin takjub dengan kekuatan imannya. Ia begitu mantap keyakinannya dan begitu rela terhadap pemberian Allah…


Betapa banyak pesakitan selain beliau, yg musibahnya tidak sampai seperempat dari musibah beliau… mereka ada yg lumpuh, ada yg kehilangan penglihatan dan pendengaran, ada juga yg kehilangan organ tubuhnya… tapi bila dibandingkan dengan orang ini, maka mereka tergolong ‘sehat’. Pun demikian, mereka meronta-ronta, mengeluh, dan menangis sejadi-jadinya… mereka amat tidak sabar dan tipis keimanannya terhadap balasan Allah atas musibah yg menimpa mereka, padahal pahala tersebut demikian besar…


Aku pun menyelami fikiranku makin jauh… hingga akhirnya khayalanku terputus saat pak tua mengatakan:


“Hmmm, bolehkah kusebutkan permintaanku sekarang… maukah kamu mengabulkannya?”

“Iya.. apa permintaanmu?” Kataku.

Maka ia menundukkan kepalanya sejenak seraya menahan tangis.. ia berkata: “Tidak ada lagi yang tersisa dari keluargaku melainkan seorang bocah berumur 14 tahun… dia lah yang memberiku makan dan minum, serta mewudhukan aku dan mengurusi segala keperluanku… sejak tadi malam ia keluar mencari makanan untukku dan belum kembali hingga kini. Aku tak tahu apakah ia masih hidup dan diharapkan kepulangannya, ataukah telah tiada dan kulupakan saja… dan kamu tahu sendiri keadaanku yang tua renta dan buta, yang tidak bisa mencarinya…”


Maka kutanya ciri-ciri anak tersebut dan ia menyebutkannya, maka aku berjanji akan mencarikan bocah tersebut untuknya…


Aku pun meninggalkannya dan tak tahu bagaimana mencari bocah tersebut… aku tak tahu harus memulai dari arah mana…

Namun tatkala aku berjalan dan bertanya-tanya kepada orang sekitar tentang si bocah, nampaklah olehku dari kejauhan sebuah bukit kecil yang tak jauh letaknya dari kemah si pak tua.

Di atas bukit tersebut ada sekawanan burung gagak yg mengerumuni sesuatu… maka segeralah terbetik di benakku bahwa burung tersebut tidak lah berkerumun kecuali pada bangkai, atau sisa makanan.


Aku pun mendaki bukit tersebut dan mendatangi kawanan gagak tadi hingga mereka berhamburan terbang.

Tatkala kudatangi lokasi tersebut, ternyata si bocah telah tewas dengan badan terpotong-potong… rupanya seekor serigala telah menerkamnya dan memakan sebagian dari tubuhnya, lalu meninggalkan sisanya untuk burung-burung…

Aku lebih sedih memikirkan nasib pak tua dari pada nasib si bocah…

Aku pun turun dari bukit… dan melangkahkan kakiku dengan berat menahan kesedihan yang mendalam…
Haruskah kutinggalkan pak Tua menghadapi nasibnya sendirian… ataukah kudatangi dia dan kukabarkan nasib anaknya kepadanya?
Aku berjalan menujuk kemah pak Tua… aku bingung harus mengatakan apa dan mulai dari mana?

Lalu terlintaslah di benakku akan kisah Nabi Ayyub ‘alaihissalaam…
maka kutemui pak Tua itu dan ia masih dalam kondisi yang memprihatinkan seperti saat kutinggalkan. Kuucapkan salam kepadanya, dan pak Tua yang malang ini demikian rindu ingin melihat anaknya… ia mendahuluiku dengan bertanya: “Di mana si bocah?”

Namun kataku, “Jawablah terlebih dahulu… siapakah yang lebih dicintai Allah: engkau atau Ayyub ‘alaihissalaam?”
“Tentu Ayyub ‘alaihissalaam lebih dicintai Allah” jawabnya.
“Lantas siapakah di antara kalian yg lebih berat ujiannya?” tanyaku kembali.
“Tentu Ayyub…” jawabnya.
“Kalau begitu, berharaplah pahala dari Allah karena aku mendapati anakmu telah tewas di lereng gunung… ia diterkam oleh serigala dan dikoyak-koyak tubuhnya…” jawabku.

Maka pak Tua pun tersedak-sedak seraya berkata, “Laa ilaaha illallaaah…” dan aku berusaha meringankan musibahnya dan menyabarkannya… namun sedakannya semakin keras hingga aku mulai menalqinkan kalimat syahadat kepadanya… hingga akhirnya ia meninggal dunia.


Ia wafat di hadapanku, lalu kututupi jasadnya dengan selimut yg ada di bawahnya… lalu aku keluar untuk mencari orang yang membantuku mengurus jenazahnya…


Maka kudapati ada tiga orang yg mengendarai unta mereka… nampaknya mereka adalah para musafir, maka kupanggil mereka dan mereka datang menghampiriku…


Kukatakan, “Maukah kalian menerima pahala yang Allah giring kepada kalian? Di sini ada seorang muslim yang wafat dan dia tidak punya siapa-siapa yg mengurusinya… maukah kalian menolongku memandikan, mengafani dan menguburkannya?”

“Iya..” Jawab mereka.

Mereka pun masuk ke dalam kemah menghampiri mayat pak Tua untuk memindahkannya… namun ketika mereka menyingkap wajahnya, mereka saling berteriak, “Abu Qilabah… Abu Qilabah…!!”


Ternyata Abu Qilabah adalah salah seorang ulama mereka, akan tetapi waktu silih berganti dan ia dirundung berbagai musibah hingga menyendiri dari masyarakat dalam sebuah kemah lusuh…

Kami pun menunaikan kewajiban kami atasnya dan menguburkannya, kemudian aku kembali bersama mereka ke Madinah…

Malamnya aku bermimpi melihat Abu Qilabah dengan penampilan indah… ia mengenakan gamis putih dengan badan yang sempurna… ia berjalan-jalan di tanah yang hijau… maka aku bertanya kepadanya:

“Hai Abu Qilabah… apa yg menjadikanmu seperti yang kulihat ini?”
Maka jawabnya: “Allah telah memasukkanku ke dalam Jannah, dan dikatakan kepadaku di dalamnya:

( سلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار )

Salam sejahtera atasmu sebagai balasan atas kesabaranmu… maka (inilah Surga) sebaik-baik tempat kembali


Kisah ini diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya: “Ats Tsiqaat” dengan penyesuaian.

Diterjemahkan oleh Abu Hudzaifah Al Atsary dari kitab: ‘Aasyiqun fi Ghurfatil ‘amaliyyaat, oleh Syaikh Muh. Al Arify.