Jika kita melihat api yang menyala-nyala, maka airlah yang dapat memadamkannya. Bukan dengan menghembuskan angin, karena itu akan membuatnya semakin berkobar. Begitupun kalau kita menghadapi seseorang yang hatinya yang beku, sikap yang keras, dan merasa benar sendiri seperti Fir’aun, maka redakanlah sejenak diri kita. Jangan mengobarkan kemarahan dengan perdebatan yang bersungut-sungut.
Sesungguhnya setiap tanaman memiliki tempatnya sendiri untuk tumbuh subur. Masing-masing perlu cara yang berbeda dan letak yang berbeda. Pun dengan berbicara, setiap orang memiliki watak yang berbeda. Kepada mereka yang keras hatinya dan tak terbantah ucapan dan pendapatnya, kita diperintahkan untuk berbicara dengan perkataan yang menyentuh (qaulan layyinan). Inilah yang diserukan Allah swt kepada nabi Musa as dan saudaranya Harun as ketika hendak berhadapan dengan Fir’aun. (surat Thaha ayat 43-44)
Qaulan Layyinan bermakna perkataan yang lemah lembut dan menyentuh hati. Inilah perkataan yang dapat meluluhkan jiwa yang keras dan menggerakkan hati yang beku. Menghadapi orang yang amat keras jiwanya dan tak terbantah ucapannya, tidak bisa dilakukan dengan cara yang keras. Kita juga tidak bisa menjinakkan hatinya dengan argumentasi-argumentasi yang sengit. Sebab semua itu hanya akan membuatnya semakin tidak mungkin untuk diajak berdialog. Karenanya, kita perlu menyentuh hatinya terlebih dulu. Kalo hatinya sudah tergerakkan, kata-kata berikutnya yang terucap akan lebih mudah diterima.
Tetapi, qaulan layyinan akan sulit kita lakukan kalau kita terbawa emosi. Kita tidak sanggup berbicara dengan tenang, memilih kata-kata yang menyejukkan dan menghadapi dengan bijak kalau emosi kita sendiri sedang meledak-ledak. Kita juga sulit untuk mengamalkan qaulan layyinan kepada mereka yang menyerang pendapat kita kalau kita masih dibelenggu oleh keinginan kita untuk menjatuhkan. Keinginan ini membuat kita terpancing untuk terus mengajukan bantahan yang bersifat telak. Inilah yang membuat kita tidak bisa mempertemukan pendapat dengan kepala dingin. Ini pula yang membuat kita kesulitan untuk menenangkan hati.
Terkadang, untuk menenagkan hati kita memang harus menahan diri untuk tidak memperpanjang adu argumentasi. Kita menahan diri bukan karena kehilangan keberanian. Tetapi karena kita lebih mementingkan tersentuhnya hati oleh sikap kita. Kita menahan diri juga bukan karena tak punya ketegasan. Boleh jadi, kita bahkan sangat mampu bersikap amat tegas dan sekaligus keras. Akan tetapi, kita memilih untuk berbicara dengan qaulan layyinan agar hati terbuka dan jiwa tersentuh, meski lawan bicara kita tetap tidak berubah sedikiitpun.
Tidak mudah memang. Meski sudah sering dicoba, sangat mungkin kita terpancing dan bahkan larut dalam gejolak emosi kita. Disinilah kita perlu untuk terus belajar mengolah jiwa agar dapat berbicara sesuai dengan org yang kita hadapi, saat yang kita lalui, serta sifat pembicaraan yang hendak kita sampaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar