Sabtu, 27 Oktober 2012

Ka'ab bin Malik : "saya tidak punya alasan"


Implementasi al-wala' wal baro` dalam kehidupan nyata seringkali difahami salah atau tidak tergambar dalam benak kaum muslimin bagaimana sesungguhnya. Marilah kita tengok kisah nyata sebagai teladan yang baik bagi kita dalam hal ini.

Adalah Ka’ab bin Malik seorang shahabat mulia diantara 3 shahabat yang tertinggal dalam perang Tabuk. Ia sangat menyesal dengan absennya pada ibadah jihad yang mulia ini, rasa penyesalan yang tiada terkira karena ia benar-benar tertinggal dari pasukan yang berangkat akibat kelalaiannya dia sendiri dengan mengulur-ulur waktu dalam mempersiapkan keberangkatannya. Rasa sedih yang mendalam yang dia alami, ia pula merasa seakan sudah menjadi seorang munafik sebagaimana orang-orang munafik lainnya yang dengan sengaja menghindar dari “kewajiban” ini, apalagi jika ia teringat bahwa untuk perang yang satu ini Rasûlullâh saw sendiri menyerukan mobilisasi umum kepada kaum muslimin saat itu dan instruksi untuk mendermakan harta sebagai infâq fî sabîlillâh bagi perbekalan pasukan untuk perang yang besar ini. 

Disaat orang-orang munafik yang jumlahnya lebih dari 80 orang menghadap Rasûlullâh saw dan mengutarakan alasan-alasan mereka dengan kedustaan dan kebohongan. Ka’ab bin Malik datang menemui Nabi saw yang mulia guna menyampaikan alasan ketidak-ikutsertaannya. Ia sebenarnya bisa memberikan alasan yang bisa dibuat-buat dengan berdusta, dan Rasûlullâh saw akan membenarkan perkataanya. Tetapi ia bukanlah seorang munafik, ia sadar bahwa ALLÂH tidak mungkin untuk ditipu dan Rasûlullâh saw tidak semestinya dikhianati. Ia rela apapun yang akan terjadi dan hukuman yang bakal diterimanya, karena memang ia seorang mukmin dan mujahid sejati, sehingga dengan jujur dia berkata “…… Demi ALLÂH , saya tidak memiliki alasan apapun….”.

Inilah dia sekarang harus menerima sanksi yang diberikan Rasûlullâh saw dan para shahabatnya atas ketidak ikutsertaanya dalam perang Tabuk. Hari-hari yang membuatnya bertambah kesedihannya,bukan semata-mata dari hukumannya itu sendiri, akan tetapi sebagai seorang mukmin yang sesungguhnya, ia khawatir digolongkan orang-orang munafiq dan ALLAH Azza wa Jalla tidak mengampuni kesalahannya. Pekan-pekan berlalu ia lalui dengan tubuh yang gontai, jiwa yang selalu gelisah dan perasaan pilu karena Rasûlullâh saw tidak pernah menjawab lagi salam yang diucapkannya,… Demikian pula para shahabat yang lain, tidak satupun dari mereka menjawab salamnya atau walau hanya sekedar berbicara sepatah dua patah kata, mereka membisu dan membuang muka tidak menghiraukannya, seolah dia adalah sebongkah batu yang tidak layak diajak berbicara. Begitulah, karena hal itu memang atas perintah dari Rasûlullâh saw yang melarang untuk berbicara dengan mereka bertiga, Dan yang demikian membuat hati-hatinya terasa diiris-iris, karena dia khawatir sudah tidak digolongkan orang mukmin lagi.

Ka’ab bin Malik menceritakan sendiri apa yang dialaminya, ”kami tetap dalam keadaan seperti itu selama 50 hari. Kedua shahabatku tetap patuh tinggal dirumah masing-masing sambil selalu menangis, sedangkan aku adalah yang paling muda dan paling tabah. Maka akupun tetap keluar mengikuti shalat jama’ah bersama kaum muslimin dan berkeliling dipasar-pasar, akan tetapi tak ada seorangpun yang mengajak berbicara denganku, aku mendatangi Rasûlullâh saw, aku mengucapkan salam kepada beliau yang saat itu sedang duduk sehabis shalat. aku berkata dalam hati,”apakah beliau menggerakkan bibirnya untuk membalas salamku atau tidak ?”. Kemudian aku shalat didekat beliau, aku ikuti pandangan beliau sambil sambil, ternyata disaat aku shalat, beliau selalu memandangku, akan tetapi setelah aku shalat dan aku menoleh kepadanya, beliaupun membuang muka… “ 

Ia melanjutkan kisahnya “… demikianlah keadaan seperti itu berlangsung lama, dimana kaum muslimin tak mengacuhkan aku. Suatu hari aku berjalan kerumah Abu Qotadah dan memanjat pagar rumahnya, ia adalah anak pamanku dan orang yang paling aku cintai. Kemudian aku ucapkan salam kepadanya. Demi ALLÂH , ia sama sekali tidak menjawab salamku. Lalu kukatakan “ Hai Abu Qotadah, semoga ALLÂH membimbingmu, apakah engkau tahu sesungguhnya aku mencintai ALLÂH dan Rasul-Nya ?.... namun Abu Qotadah diam membisu. Selanjutnya kuulangi ucapanku yang pertama, namun ia tetap tidak menjawab. Maka hal itu kuulangi sekali lagi, tetaapi ia tidak memberikan jawaban. Lalu Abu Qotadah berujar “ALLÂH dan Rasul-Nya lebih mengetahui”….. Maka kedua mataku pun menangis mencucurkan air mata, lalu akupun pergi meninggalkan dinding itu…
Dan ketika berjalan dipasar Madinah, tiba-tiba ada seseorang dari penduduk syam (syiria) menawarkan makanan yang dijualnya di Madinah. Orang itu berkata, “siapakah yang dapat menunjukkan aku kepada Ka’ab bin Malik ?”. Maka orang-orangpun menunjukkannya dengan mengisyaratkan tangan kearahku. Maka iapun menemuiku dan menyerahkan surat dari raja Ghossan. akupun membacanya yang isinya : ….Amma ba’du, kami telah mendengar berita, bahwasannya shahabatmu (Muhammad) telah mengucilkanmu. Dan sesungguhnya ALLÂH tidak menjadikanmu dinegeri ini hina dan sia-sia. Oleh karenannya bergabunglah dengan kami, aku akan menolongmu”

Begitulah ia harus melewati hari-harinya yang pahit, waktu yang panjang yang harus dia lalui dalam kesedihan, rasa cemas dan gelisah. Sikap Rasûlullâh saw dan kaum muslimin kepadanya sudah membuatnya pilu. Bumi yang luas dirasakannya telah menjadi sempit baginya. Tiada hari yang ia lalui kecuali dengan jeritan hati kepedihan… tiada malam yang dilewati kecuali dengan perasaan sedih. Kini ujianpun bertambah pula, Ghossan, yang merupakan raja orang-orang nasrani di syam yang selama ini memusuhi kaum muslimin, turut memanfaatkan situasi ini. Kini ia dibujuk untuk bergabung dengan musuh yang selama ini pula ia berperang melawannya…. Rayuan yang halus dengan tawaran yang menjanjikan untuk kehidupannya… sebuah ujian berat yang semakin menambah ujian yang selama ini sudah ia derita.

Namun ia seorang mukmin sejati. Kejujurannya dihadapan Rasûlullâh saw atas ketidak ikutsertaannya dalam perang tabuk cukup menjadi modal untuk selalu mendahulukan ALLÂH ,Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Bujukan dunia dan materi yang menggiurkan tidak membuatnya goyah, ia tetap tegar menunggu keputusan ALLÂH dari atas langit apa yang akan dia terima dengan kesalahannya. Ia lebih mencintai orang-orang mukmin dan mengharap keridhaan ALLÂH dan Rasul-Nya. Dengarlah teladan kita ini apa yang dia katakan ketika selesai membaca surat itu. ia berkata, “Demi ALLÂH …! ini juga termasuk ujian”…. Subhaanallah, ucapan keteguhan dalam memegang prinsip-prinsip kecintaan dan permusuhan yang terpatri dalam jiwanya yang luhur…. dan tak cukup disitu, sejurus kemudian ia juga membakar surat itu diperapian. 

Setelah mereka bertiga ditempa dengan ujian demi ujian keimanan, ALLÂH pun menerima taubat mereka pada hari ke 50. Pengampunan dan sekaligus penghargaan yang datang dari atas langit ketujuh dengan turunnya ayat 118 surah at-taubah.

Pelajaran dan ‘ibroh yang besar bagi kita dari jiwa-jiwa yang agung dalam sejarah islam, seharusnya menjadi teladan yang senantiasa ada dalam kehidupan nyata kita hari ini. Hal itu tidaklah mustahil, asalkan kita tetap memegang prinsip-prinsip yang benar yang ditunjukkan oleh ajaran Islam. 

Selain contoh sikap al-wala' dan al-baro' diatas, contoh kejujuran dan keteguhan menjadi sorotan pelajaran yang harus ditiru. Disamping kita coba memahami kembali betapa besar dosa dan kesalahan bagi orang-orang yang meninggalkan jihad tanpa udzur syar'i dikala jihad fardlu ‘ain sebagaimana perang tabuk kala itu, yang seharusnya kita berkaca untuk memperhatikan kewajiban jihad hari ini yang juga sudah merupakan fardlu ‘ain, sampai kembalinya tanah terakhir kepangkuan islam dari tanah-tanah yang dahulunya ditegakkan syari’at islam.

Wallahu a’lam.

*** Rujukan : Tafsir Ibnu Katsir (surah attaubah : 118) ; Al-wala walbaro fil-islam (syekh Muhammad Said bin al-Qahthani) ; dan Dibawah Naungan surah at-taubah (syekh Abdullah Azzam rahimahullah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar