Sabtu, 27 Oktober 2012

antara Kelaziman dan Kezhaliman



Dalam hidup ini, sering kali kita melakukan hal2 yg sudah dianggap Lazim.
Datang telat, ga disiplin, dusta atau bohong, ngutang, ngerjain org, dsb…
Pernah saya hadir dalam satu acara yg dalam undangan dimulai pukul 9. Dan sayapun hadir sebelum pukul 9. Tapi sampe jelang pukul 10, acara belum juga dimulai. Saya bertanya kpd salah seorang panitia perihal tsb. Alih2 mendapat jawaban yg bisa menenangkan, malah mengagetkan.
"yg begini memang sudah biasa ust…”

sepertinya sudah menjadi suatu kelaziman ketika melaksanakan rapat ga pernah on time…

Saya menjadi bertanya2 sendiri, ini kelaziman atau kezaliman ?

kita mungkin juga pernah --bahkan sering-- memberi janji kpd anak2..

sudah menjadi kelaziman bahwa salah satu memotivasi anak2 adalah dg memberikan janji2...

namun, seringkali kelaziman tsb berubah menjadi kezaliman, karena ternyata kita berat memenuhi janji2 tersebut dg alasan yg memang bisa kita buat-buat..


Yang paling sering terjadi adalah dalam dunia muamalat, khususnya terkait dg Utang - PIUTANG dan jual beli..

Utang piutang & jual-beli yg semestinya bisa menjadi ladang pahala bagi pelakunya, bisa berubah menjadi 'petaka'.

watak manusia yang cenderung cinta dunia dan tidak amanah, menjadikan aktivitas bernama utang piutang dan jual beli itu kerap ternoda. 


Sesuatu yang lazim dalam kehidupan anak manusia ini pun menjadi sesuatu yang zalim manakala adab atau akhlak tidak dijunjung tinggi. 


Dalam masalah utang piutang, kasus yang sering dijumpai adalah seringnya pengutang mengulur-ulur waktu jatuh tempo tanpa ada itikad baik untuk bersegera melunasinya.

Atau ada yang sama sekali tidak meminta tangguh atau udzur kepada pihak yang meminjamkan. Ketika bertemu saudaranya yang meminjamkan, hanya diam seribu bahasa atau bahkan mengalihkan pembicaraan ke hal lain. Seakan-akan ia lupa bahwa dirinya masih memiliki tanggungan atau kewajiban.

Sudah menjadi gejala umum, keadaan ini tentu bertolak belakang ketika peminjam menyampaikan hajatnya. Dengan beragam tutur, calon peminjam akan berusaha meyakinkan bahwa dirinya akan melunasi tepat waktu. Tergambar, ia demikian membutuhkan pinjaman detik itu juga. Ucapan"segera"atau"insya AllahTpun begitu ringannya dilontarkan. 

Namun giliran jatuh tempo, dengan entengnya pula kata "maaf..." diucapkan. Bahkan tak jarang sampai ada yang dibumbui kedustaan, melontarkan segala alasan yang intinya mengarah pada dusta. Kalau sudah begini, tak peduli kerabat, teman, bahkan sahabat karib sekalipun. Tak ada kamus tenggang rasa, tak ada kesadaran bahwa ia tengah mempermainkan bahkan menzalimi saudaranya.

Cara lain, adalah dengan mengajak menanam modal dalam sebuah usaha yang dilukiskan demikian mudah dalam memetik untung. Namun setelah hal itu berjalan, jangankan untung, modal saja lenyap tak berbekas. Usut punya usut, ternyata modal itu bukan diputar, namun justru digunakan untuk keperluan pribadi pengelola modal atau hal-hal lain di luar akad.

contoh lain yg sering kita alami adalah dalam forum2 atau majelis yg penuh berkah, seperti halaqah atau liqa.
agenda liqa yg semestinya bisa dimulai pukul 8 misalnya, menjadi molor karena yg hadir baru 1-2 orang...
Lebih miris lagi karena sang murabbi juga termasuk 'golongan kelaziman' ini...

Seakan tidak pernah menyadari, bahwa keterlambatan yg terjadi secara ga langsung telah menzalimi saudaranya yg berusaha utk disiplin dg hadir tepat waktu..

Diantara contoh kelaziman yg sejatinya adalah kezaliman adalah : 

meminjam buku, tapi terlambat atau bahkan tidak mengembalikannya kalau tidak diingatkan.
atau dikembalikan, tapi kondisi bukunya dalam keadaan 'menyedihkan'.
nyadar ga sih, bahwa kelaziman yg dilakukan tsb berubah menjadi kezaliman...
dan bukankah kezaliman itu suatu dosa ?
lantas, mengapa kita susah sekali merubahnya ?

Mari kita membiasakan hal-hal  yang benar, bukan membenarkan hal-hal  yg (sudah) biasa..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar