Pertolongan Allah itu mahal dan tidak
diberikan kepada sebarang muslim. Pertolongan dari Allah hanya diberikan kepada
satu thaifah (kelompok) khusus yang
memiliki sifat-sifat tertentu. Thaifah
ini telah dipersiapkan oleh Allah untuk mendapatkan pertolongan dari-Nya dan
untuk melaksanakan perintah-Nya. Allah mentarbiyah mereka dengan tarbiyah
khusus sehingga nantinya mereka layak dikuasakan di muka bumi dan sanggup untuk
menegakkan dien dengan segala keistimewaan dien itu.
Thaifah yang akan mendapatkan pertolongan inilah thaifah yang disebut oleh Rasulullah r dalam sabdanya,
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ
أُمَّتِيْ ظَاهِرَةً عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى
يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
Akan senantiasa ada satu
thaifah dari umatku yang berdiri kukuh di atas kebenaran. Orang-orang yang
menghinakan mereka tidaklah mendatangkan mudlarat bagi mereka. Sampai tiba
keputusan Allah, mereka tetap dalam keadaan itu.[1]
Dalam memenangkan pertempuran melawan musuh, thaifah yang berdiri kukuh di atas
kebenaran ini tidak pernah mendapatkan kemenangan itu dikarenakan jumlah mereka
yang banyak. Sebaliknya, jumlah mereka selalu sedikit. Dan sepanjang zaman, ahlul-iman dapat mengalahkan musuh-musuh
mereka bukan dengan jumlah dan bekal logistik mereka, tetapi mereka dapat
memenangkannya dengan berbekalkan dien ini. Dien yang dengannya Allah
memuliakan mereka, seperti yang dikatakan oleh ‘Abdullah bin Rawahah dalam
perang Mu’tah.
وَمَا نُقَاتِلُ النَّاسَ
بِعَدَدٍ وَلاَ قُوَّةٍ وَلاَ كَثْرَةٍ مَا نُقَاتِلُهُمْ إِلاَّ بِهَذَا
الدِّيْنِ الَّذِيْ أَكْرَمَنَا اللهُ بِهِ
Kita tidak memerangi
manusia dengan bilangan, kekuatan, dan jumlah kita. Kita hanya memerangi mereka
karena dien ini. Dien yang Allah memuliakan kita dengannya.[2]
Bahkan, jika anda memperhatikan semua kancah
peperangan antara kaum muslimin dengan musuh-musuh mereka Anda akan mendapati
selalunya jumlah dan perbekalan kaum muslimin jauh lebih sedikit dibandingkan
jumlah dan perbekalan musuh. Kebenaran ada pada Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau
menulis surat kepada panglima perangnya, ‘Amru bin ’Ash. Bunyinya, “Semoga
keselamatan senantiasa dilimpahkan kepadamu! Suratmu yang mengabarkan bahwa
Romawi telah mengumpulkan pasukannya yang jumlahnya sangat banyak telah sampai.
Sesungguhnya Allah tidak memberikan kemenangan kepada kita kala bersama
Nabi-Nya saw dengan banyaknya
perbekalan dan jumlah pasukan. Dahulu, kita pernah berperang bersama Rasulullah saw sedangkan yang kita
miliki hanyalah dua ekor kuda. Adapun kita sendiri, waktu itu hanya berjalan di
belakang onta. Dalam perang Uhud yang disertai Rasulullah saw pun kami hanya membawa seekor kuda yang
ditunggangi oleh beliau saw. Meski demikian, Allah tetap memenangkan dan menolong kita atas
orang-orang yang menyelisihi kita. Juga, ketahuilah bahwa manusia yang paling
taat kepada Allah adalah orang yang paling benci kepada kemaksiatan. Maka,
taatilah Allah dan perintahkan sahabat-sahabatmu untuk mentaatinya!”[3]
Sungguh sunnatullah
itu tidak berlaku bagi orang-orang tertentu saja. Baik untuk kemenangan atau
pun kekalahan, keduanya ada sebabnya. Barangsiapa diberi taufiq oleh Allah
berupa sebab-sebab kemenangan, niscaya Allah akan memenangkannya. Begitu pun
sebaliknya, barangsiapa tidak diberi taufiq oleh Allah hendaknya ia tidak
mencela selain mencela dirinya sendiri.
لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلاَ
أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوْءًا يُجْزَ بِهِ
(Pahala
dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula)
menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya
akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu. (QS.An-Nisa` : 123)
Jika sebuah jamaah Islam menghajatkan
kemenangan atas musuh-musuhnya, maka ia harus memenuhi sebab-sebab datangnya
kemenangan. Sama seperti yang dilakukan oleh para sahabat dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik.
Memerinci sebab-sebab kemenangan secara
detail akan menghabiskan banyak halaman. Karenanya kita hanya akan
menyebutkannya secara global. Sebab-sebab yang melatarbelakangi seluruh
kemenangan agung yang dicapai oleh para sahabat dan para tabi’in.
Tersebut di dalam sirah, bahwa musuh-musuh
para sahabat itu tidak pernah mampu bertahan lama di dalam peperangan melawan
mereka. Bahkan ketika Heraclius mendengar kabar bahwa Romawi telah bertekuk
lutut, ia berkata, “Celaka kalian! Coba ceritakan tentang musuh yang memerangi
kalian itu! Bukankah mereka juga manusia seperti kalian?!” Mereka menjawab,
“Benar..” “Jumlah kalian lebih banyak ataukah sebaliknya?”, tanyanya lagi.
“Bahkan jumlah kami berlipat-lipat lebih banyak daripada jumlah mereka di dalam
setiap kancah.”, jawab mereka. “Lalu, ada apa dengan kalian sehingga kalian
menjadi pecundang?” Salah seorang pembesar mereka menjawab, “Karena mereka
semua bangun menunaikan shalat malam, mereka berpuasa di siang hari, mereka
menepati janji, mereka beramar makruf nahi munkar, serta mereka saling
tolong-menolong. Juga karena kami semua meminum arak, berzina, melanggar yang
haram, menyelisihi janji, berbuat ghashab, berbuat zhalim, menyebarkan
perseteruan, meninggalkan hal-hal yang diridlai oleh Allah, serta membuat
kerusakan di muka bumi.” “Benar yang kamu katakan.”, komentar Heraclius.[4]
Dengan kecerdasannya seorang pembesar Romawi
telah menyimpulkan tentang sebab-sebab kemenangan dan kekalahan. Ia menjelaskan
bahwa pasukan muslimin telah memenuhi semua sebab untuk mendapatkan kemenangan,
total. Sebaliknya, Romawi telah memenuhi semua sebab untuk mendapatkan
kekalahan, total. Maka Allah pun memberikan kemenangan bagi yang berhak dan
menimpakan kekalahan bagi musuhnya.
Seorang mata-mata Romawi yang dikirim untuk
mencari tahu kabar dan keadaan kaum muslimin, menguatkan pernyataan di atas.
Waktu itu menjelang penaklukan kota Syam, sepulang dari memata-matai pasukan
muslimin ia melaporkan semuanya. Ia berkata, “Mereka adalah pendeta di waktu
malam dan ahli menunggang kuda di siang hari. Jika salah seorang anak raja
mereka mencuri, mereka tetap memotong tangannya. Jika ia berzina ia pun akan
dirajam, demi menegakkan kebenaran pada diri mereka.” Petinggi yang dilapori
pun berkata, “Apabila yang kamu katakan itu benar, perut bumi jauh lebih baik
daripada berjumpa mereka di permukaannya. Yang aku inginkan sekarang hanyalah,
Allah membiarkanku bertempur melawan mereka, lalu Dia tidak menolongku, pun
tidak menolong mereka.”[5]
Ada juga salah seorang pengikut setia
Thulaihah al-Asadiy yang menceritakan tentang sebab-sebab kemenangan dan
kekalahan. Ketika Thulaihah melihat banyak sekali pasukannya yang menjadi
pecundang di medan perang, ia berkata, “Celaka! Apa yang membuat kalian
kocar-kacir begini?!” Salah seorang pengikut setianya itu menjawab, “Saya
beritahukan kepadamu apa yang membuat kita kalah total. Sesungguhnya tidak
seorang pun dari mereka yang menginginkan sahabatnya terbunuh lebih dahulu.
Kami benar-benar mendapati suatu kaum yang semuanya ingin kematiannya datang
lebih dulu daripada kematian sahabatnya!”[6]
Ada pula seorang mata-mata Romawi yang diutus
oleh penguasa Damaskus. Ketika itu pasukan muslimin datang dari arah Yordania.
Mata-mata itu berkata, “Saya datang kepada Anda usai berjumpa dengan kaum yang
tubuh mereka kurus kering, mereka mengendarai kuda-kuda pilihan, di malam hari
mereka bagai pendeta, dan di siang hari mereka adalah penunggang kuda nan
tangkas... Seandainya Anda mengajak bicara orang yang ada di samping Anda,
niscaya ia tidak memahami apa yang mereka katakan karena begitu gegap gempita
suara mereka oleh bacaan al-Qur`an dan dzikir.” Lalu penguasa Damaskus itu
menoleh kepada sahabat-sahabatnya seraya berkata, “Mereka mengamalkan sesuatu
yang tidak mungkin kalian mampu melakukannya.”
Setelah kita sama-sama mengerti keadaan
tiap-tiap personal pasukan Islam, semoga Anda bisa mengerti bagaimana mereka
meraih kemenangan demi kemenangan dan apa yang menjadi sebab dari semua itu.
Di dalam Tarikh at-Thabariy disebutkan,
“Ketika kaum muslimin menaklukkan Madain mereka mengumpulkan semua harta
rampasan perang. Ada seorang laki-laki membawa wadah untuk mengumpulkannya lalu
ia serahkan kepada yang bertanggungjawab untuk selanjutnya dibagi. Orang-orang
bertanya kepadanya, ‘Wow, kami belum pernah melihat yang seperti itu! Dari apa
yang kami kumpulkan, tidak ada sesuatu pun yang senilai dengannya atau bahkan
mendekatinya. Apakah kamu mengambilnya barang sebuah?’ Laki-laki itu menjawab,
‘Demi Allah, jika bukan karena Allah aku tidak akan mengumpulkannya.’ Maka
orang-orang pun mengerti bahwa orang itu bukan sembarang laki-laki.
Mereka bertanya, ‘Siapakah Anda ini?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Demi Allah, aku
tidak akan memberitahukan kepada kalian karena aku khawatir akan pujian. Pun
tidak akan kuberitahukan kepada selain kalian karena aku khawatir akan
sanjungan. Sungguh, aku memuji Allah dan ridla terhadap pahala dari-Nya.’ Lalu
mereka menyuruh seseorang untuk membuntutinya sampai ketika ia telah berkumpul
dengan teman-temannya, suruhan itu bertanya kepada mereka. Laki-laki itu adalah
‘Amir bin ‘Abdu Qais.”[7]
At-Thabariy juga menyebutkan, “Ketika pedang,
ikat pinggang, dan mahkota Kisra diserahkan kepada ‘Umar bin Khattab , beliau berkata, ‘Sungguh, kaum yang
menyerahkan semua ini adalah kaum yang benar-benar beramanah.’ Mendengar hal
itu ‘Ali berkata, ‘Sesungguhnya
Anda bersikap ‘iffah (menjaga diri) sehingga semua rakyat pun memilih
sikap yang sama.’”[8]
maraji' : Washiyyatul Musthafa Li Ahli Da'wah, DR. Abdullah Azzam Rahimahullah
maraji' : Washiyyatul Musthafa Li Ahli Da'wah, DR. Abdullah Azzam Rahimahullah
[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhariy
11/33, Muslim 16/101, at-Tirmidziy 2872, Ibnu Majah 3990 (lafazh hadits di atas
adalah riwayat beliau), dan Imam Ahmad 2/7 dari hadits ‘Abdullah bin ‘Umar ra
Hadits riwayat al-Bukhariy 13/293,
Muslim 13/ 65-68, at-Tirmidziy 2192, 2229, Abu Dawud 4252, Ibnu Majah 6, 7, 1,
10, dan Imam Ahmad 5/34,269, 278 dari banyak sahabat; di antara mereka Mughirah
bin Syu’bah, Tsauban, Jabir bin ‘Abdullah, Jabir bin Samurah, Qurrah bin Iyas,
Abu Hurairah, Mu’awiyyah, dan yang lainnya. Adapun lafazh di atas adalah
riwayat Muslim dari Tsauban.
[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq
sebagaimana disebut oleh Ibnu Hisyam di dalam as-Siratun Nabawiyyah vol. 2/375,
tanpa sanad.
[3] Diriwayatkan oleh at-Thayalisiy
dari al-Waqidiy dari ‘Abdullah bin ‘Amru ra
seperti yang tertera di dalam Kanzul ’Ummal 3/135. Diriwayatkan juga oleh
at-Thabaraniy dalam al-Mu’jamul Awsath dari ‘Abdullah bin ‘Amru ra. Di dalam Majma’uz Zawaid 6/117, al-Haitsamiy
berkata, “Di antara perawinya ada asy-Syadzakuniy dan al-Waqidiy, keduanya
lemah.”
[4] Diriwayatkan oleh Ahmad bin Marwan
al-Malikiy di dalam al-Mujalasah dari Abu Ishaq, seperti tersebut di dalam
al-Bidayah 7/15. Diriwayatkan juga oleh Ibnu ‘Asakir dari Ibnu Ishaq 1/143.
[5] Diriwayatkan oleh al-Baihaqiy di
dalam as-Sunanul Kubra 8/175 dari az-Zuhriy
[6] Diriwayatkan oleh Walid bin Muslim
dari Yahya bin Yahya al-Ghassaniy dari dua orang kaumnya, al-Bidayah wan
Nihayah 7/15. Diriwayatkan juga oleh Ibnu ‘Asakir 1/143 juga dari Yahya bin
Yahya al-Ghassaniy.
[7] Diriwayatkan oleh at-Thabariy dari
Abu ‘Abdah al-’Anbariy 3/128.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar