Kamis, 27 Desember 2012

Usahakanlah Faktor-Faktor Kemenangan

Pertolongan Allah itu mahal dan tidak diberikan kepada sebarang muslim. Pertolongan dari Allah hanya diberikan kepada satu thaifah (kelompok) khusus yang memiliki sifat-sifat tertentu. Thaifah ini telah dipersiapkan oleh Allah untuk mendapatkan pertolongan dari-Nya dan untuk melaksanakan perintah-Nya. Allah mentarbiyah mereka dengan tarbiyah khusus sehingga nantinya mereka layak dikuasakan di muka bumi dan sanggup untuk menegakkan dien dengan segala keistimewaan dien itu.

Thaifah yang akan mendapatkan pertolongan inilah thaifah yang disebut oleh Rasulullah r dalam sabdanya,

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرَةً عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

Akan senantiasa ada satu thaifah dari umatku yang berdiri kukuh di atas kebenaran. Orang-orang yang menghinakan mereka tidaklah mendatangkan mudlarat bagi mereka. Sampai tiba keputusan Allah, mereka tetap dalam keadaan itu.[1]

Dalam memenangkan pertempuran melawan musuh, thaifah yang berdiri kukuh di atas kebenaran ini tidak pernah mendapatkan kemenangan itu dikarenakan jumlah mereka yang banyak. Sebaliknya, jumlah mereka selalu sedikit. Dan sepanjang zaman, ahlul-iman dapat mengalahkan musuh-musuh mereka bukan dengan jumlah dan bekal logistik mereka, tetapi mereka dapat memenangkannya dengan berbekalkan dien ini. Dien yang dengannya Allah memuliakan mereka, seperti yang dikatakan oleh ‘Abdullah bin Rawahah dalam perang Mu’tah.

وَمَا نُقَاتِلُ النَّاسَ بِعَدَدٍ وَلاَ قُوَّةٍ وَلاَ كَثْرَةٍ مَا نُقَاتِلُهُمْ إِلاَّ بِهَذَا الدِّيْنِ الَّذِيْ أَكْرَمَنَا اللهُ بِهِ

Kita tidak memerangi manusia dengan bilangan, kekuatan, dan jumlah kita. Kita hanya memerangi mereka karena dien ini. Dien yang Allah memuliakan kita dengannya.[2]

Bahkan, jika anda memperhatikan semua kancah peperangan antara kaum muslimin dengan musuh-musuh mereka Anda akan mendapati selalunya jumlah dan perbekalan kaum muslimin jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah dan perbekalan musuh. Kebenaran ada pada Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau menulis surat kepada panglima perangnya, ‘Amru bin ’Ash. Bunyinya, “Semoga keselamatan senantiasa dilimpahkan kepadamu! Suratmu yang mengabarkan bahwa Romawi telah mengumpulkan pasukannya yang jumlahnya sangat banyak telah sampai. Sesungguhnya Allah tidak memberikan kemenangan kepada kita kala bersama Nabi-Nya saw dengan banyaknya perbekalan dan jumlah pasukan. Dahulu, kita pernah berperang bersama Rasulullah saw sedangkan yang kita miliki hanyalah dua ekor kuda. Adapun kita sendiri, waktu itu hanya berjalan di belakang onta. Dalam perang Uhud yang disertai Rasulullah saw pun kami hanya membawa seekor kuda yang ditunggangi oleh beliau saw. Meski demikian, Allah tetap memenangkan dan menolong kita atas orang-orang yang menyelisihi kita. Juga, ketahuilah bahwa manusia yang paling taat kepada Allah adalah orang yang paling benci kepada kemaksiatan. Maka, taatilah Allah dan perintahkan sahabat-sahabatmu untuk mentaatinya!”[3]

Sungguh sunnatullah itu tidak berlaku bagi orang-orang tertentu saja. Baik untuk kemenangan atau pun kekalahan, keduanya ada sebabnya. Barangsiapa diberi taufiq oleh Allah berupa sebab-sebab kemenangan, niscaya Allah akan memenangkannya. Begitu pun sebaliknya, barangsiapa tidak diberi taufiq oleh Allah hendaknya ia tidak mencela selain mencela dirinya sendiri.

لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلاَ أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوْءًا يُجْزَ بِهِ

(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu. (QS.An-Nisa` : 123)

Jika sebuah jamaah Islam menghajatkan kemenangan atas musuh-musuhnya, maka ia harus memenuhi sebab-sebab datangnya kemenangan. Sama seperti yang dilakukan oleh para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Memerinci sebab-sebab kemenangan secara detail akan menghabiskan banyak halaman. Karenanya kita hanya akan menyebutkannya secara global. Sebab-sebab yang melatarbelakangi seluruh kemenangan agung yang dicapai oleh para sahabat dan para tabi’in.

Tersebut di dalam sirah, bahwa musuh-musuh para sahabat itu tidak pernah mampu bertahan lama di dalam peperangan melawan mereka. Bahkan ketika Heraclius mendengar kabar bahwa Romawi telah bertekuk lutut, ia berkata, “Celaka kalian! Coba ceritakan tentang musuh yang memerangi kalian itu! Bukankah mereka juga manusia seperti kalian?!” Mereka menjawab, “Benar..” “Jumlah kalian lebih banyak ataukah sebaliknya?”, tanyanya lagi. “Bahkan jumlah kami berlipat-lipat lebih banyak daripada jumlah mereka di dalam setiap kancah.”, jawab mereka. “Lalu, ada apa dengan kalian sehingga kalian menjadi pecundang?” Salah seorang pembesar mereka menjawab, “Karena mereka semua bangun menunaikan shalat malam, mereka berpuasa di siang hari, mereka menepati janji, mereka beramar makruf nahi munkar, serta mereka saling tolong-menolong. Juga karena kami semua meminum arak, berzina, melanggar yang haram, menyelisihi janji, berbuat ghashab, berbuat zhalim, menyebarkan perseteruan, meninggalkan hal-hal yang diridlai oleh Allah, serta membuat kerusakan di muka bumi.” “Benar yang kamu katakan.”, komentar Heraclius.[4]

Dengan kecerdasannya seorang pembesar Romawi telah menyimpulkan tentang sebab-sebab kemenangan dan kekalahan. Ia menjelaskan bahwa pasukan muslimin telah memenuhi semua sebab untuk mendapatkan kemenangan, total. Sebaliknya, Romawi telah memenuhi semua sebab untuk mendapatkan kekalahan, total. Maka Allah pun memberikan kemenangan bagi yang berhak dan menimpakan kekalahan bagi musuhnya.

Seorang mata-mata Romawi yang dikirim untuk mencari tahu kabar dan keadaan kaum muslimin, menguatkan pernyataan di atas. Waktu itu menjelang penaklukan kota Syam, sepulang dari memata-matai pasukan muslimin ia melaporkan semuanya. Ia berkata, “Mereka adalah pendeta di waktu malam dan ahli menunggang kuda di siang hari. Jika salah seorang anak raja mereka mencuri, mereka tetap memotong tangannya. Jika ia berzina ia pun akan dirajam, demi menegakkan kebenaran pada diri mereka.” Petinggi yang dilapori pun berkata, “Apabila yang kamu katakan itu benar, perut bumi jauh lebih baik daripada berjumpa mereka di permukaannya. Yang aku inginkan sekarang hanyalah, Allah membiarkanku bertempur melawan mereka, lalu Dia tidak menolongku, pun tidak menolong mereka.”[5]

Ada juga salah seorang pengikut setia Thulaihah al-Asadiy yang menceritakan tentang sebab-sebab kemenangan dan kekalahan. Ketika Thulaihah melihat banyak sekali pasukannya yang menjadi pecundang di medan perang, ia berkata, “Celaka! Apa yang membuat kalian kocar-kacir begini?!” Salah seorang pengikut setianya itu menjawab, “Saya beritahukan kepadamu apa yang membuat kita kalah total. Sesungguhnya tidak seorang pun dari mereka yang menginginkan sahabatnya terbunuh lebih dahulu. Kami benar-benar mendapati suatu kaum yang semuanya ingin kematiannya datang lebih dulu daripada kematian sahabatnya!”[6]

Ada pula seorang mata-mata Romawi yang diutus oleh penguasa Damaskus. Ketika itu pasukan muslimin datang dari arah Yordania. Mata-mata itu berkata, “Saya datang kepada Anda usai berjumpa dengan kaum yang tubuh mereka kurus kering, mereka mengendarai kuda-kuda pilihan, di malam hari mereka bagai pendeta, dan di siang hari mereka adalah penunggang kuda nan tangkas... Seandainya Anda mengajak bicara orang yang ada di samping Anda, niscaya ia tidak memahami apa yang mereka katakan karena begitu gegap gempita suara mereka oleh bacaan al-Qur`an dan dzikir.” Lalu penguasa Damaskus itu menoleh kepada sahabat-sahabatnya seraya berkata, “Mereka mengamalkan sesuatu yang tidak mungkin kalian mampu melakukannya.”

Setelah kita sama-sama mengerti keadaan tiap-tiap personal pasukan Islam, semoga Anda bisa mengerti bagaimana mereka meraih kemenangan demi kemenangan dan apa yang menjadi sebab dari semua itu.

Di dalam Tarikh at-Thabariy disebutkan, “Ketika kaum muslimin menaklukkan Madain mereka mengumpulkan semua harta rampasan perang. Ada seorang laki-laki membawa wadah untuk mengumpulkannya lalu ia serahkan kepada yang bertanggungjawab untuk selanjutnya dibagi. Orang-orang bertanya kepadanya, ‘Wow, kami belum pernah melihat yang seperti itu! Dari apa yang kami kumpulkan, tidak ada sesuatu pun yang senilai dengannya atau bahkan mendekatinya. Apakah kamu mengambilnya barang sebuah?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Demi Allah, jika bukan karena Allah aku tidak akan mengumpulkannya.’ Maka orang-orang pun mengerti bahwa orang itu bukan sembarang laki-laki. Mereka bertanya, ‘Siapakah Anda ini?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak akan memberitahukan kepada kalian karena aku khawatir akan pujian. Pun tidak akan kuberitahukan kepada selain kalian karena aku khawatir akan sanjungan. Sungguh, aku memuji Allah dan ridla terhadap pahala dari-Nya.’ Lalu mereka menyuruh seseorang untuk membuntutinya sampai ketika ia telah berkumpul dengan teman-temannya, suruhan itu bertanya kepada mereka. Laki-laki itu adalah ‘Amir bin ‘Abdu Qais.”[7]

At-Thabariy juga menyebutkan, “Ketika pedang, ikat pinggang, dan mahkota Kisra diserahkan kepada ‘Umar bin Khattab , beliau berkata, ‘Sungguh, kaum yang menyerahkan semua ini adalah kaum yang benar-benar beramanah.’ Mendengar hal itu ‘Ali  berkata, ‘Sesungguhnya Anda bersikap ‘iffah (menjaga diri) sehingga semua rakyat pun memilih sikap yang sama.’”[8]
maraji' :  Washiyyatul Musthafa Li Ahli Da'wah, DR. Abdullah Azzam Rahimahullah





[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhariy 11/33, Muslim 16/101, at-Tirmidziy 2872, Ibnu Majah 3990 (lafazh hadits di atas adalah riwayat beliau), dan Imam Ahmad 2/7 dari hadits ‘Abdullah bin ‘Umar ra
Hadits riwayat al-Bukhariy 13/293, Muslim 13/ 65-68, at-Tirmidziy 2192, 2229, Abu Dawud 4252, Ibnu Majah 6, 7, 1, 10, dan Imam Ahmad 5/34,269, 278 dari banyak sahabat; di antara mereka Mughirah bin Syu’bah, Tsauban, Jabir bin ‘Abdullah, Jabir bin Samurah, Qurrah bin Iyas, Abu Hurairah, Mu’awiyyah, dan yang lainnya. Adapun lafazh di atas adalah riwayat Muslim dari Tsauban.
[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq sebagaimana disebut oleh Ibnu Hisyam di dalam as-Siratun Nabawiyyah vol. 2/375, tanpa sanad.
[3] Diriwayatkan oleh at-Thayalisiy dari al-Waqidiy dari ‘Abdullah bin ‘Amru ra seperti yang tertera di dalam Kanzul ’Ummal 3/135. Diriwayatkan juga oleh at-Thabaraniy dalam al-Mu’jamul Awsath dari ‘Abdullah bin ‘Amru ra. Di dalam Majma’uz Zawaid 6/117, al-Haitsamiy berkata, “Di antara perawinya ada asy-Syadzakuniy dan al-Waqidiy, keduanya lemah.”
[4] Diriwayatkan oleh Ahmad bin Marwan al-Malikiy di dalam al-Mujalasah dari Abu Ishaq, seperti tersebut di dalam al-Bidayah 7/15. Diriwayatkan juga oleh Ibnu ‘Asakir dari Ibnu Ishaq 1/143.
[5] Diriwayatkan oleh al-Baihaqiy di dalam as-Sunanul Kubra 8/175 dari az-Zuhriy
[6] Diriwayatkan oleh Walid bin Muslim dari Yahya bin Yahya al-Ghassaniy dari dua orang kaumnya, al-Bidayah wan Nihayah 7/15. Diriwayatkan juga oleh Ibnu ‘Asakir 1/143 juga dari Yahya bin Yahya al-Ghassaniy.
[7] Diriwayatkan oleh at-Thabariy dari Abu ‘Abdah al-’Anbariy 3/128.
[8] Diriwayatkan oleh at-Thabariy dari Qais al-’Ajaliy 3/128.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar