Jumat, 07 Desember 2012

KRITIK dalam kehidupan berjamaah

Dalam berinteraksi, seringkali kita mendapati kritik dari org lain, disamping kita juga sering memberi/melakukan kritik utk/kepada org lain.
Sejatinya kritik bukanlah suatu aib atau hal yg dianggap tabu, jika memang kritik tersebut mesti /perlu disampaikan...

Kritik hanya akan efektif memperbaiki seseorang atau suatu keadaan apabila anasir-anasirnya terpenuhi.

Pertama, ada niat yang benar dari orang yang mengeritik bahwa ia melakukan itu semata-mata sebagai pelaksanaan dari kewajiban munashahah sesama muslim, dan untuk itu ia mengharapkan pahala dengan melaksanakan kewajiban itu.

Kedua, memang ada kesalahan objektif yang harus dikritik, baik kesalahan personal maupun kesalahan kebijakan.

Ketiga, kritik itu disampaikan dengan cara yang benar dan tepat sesuai dengan adab-adab munashahah dalam Islam. 
 
Kita akan mendapat begitu banyak keuntungan dengan menumbuhkan sikap kritis secara merata sebagai sebuah kultur dalam kehidupan berorganisasi. Tidak terkecuali organisasi dakwah. Asasnya adalah bahwa manusia secara individual menyimpan kelemahan bawaan, dan karenanya ia secara terus menerus membutuhkan kontrol, pengendalian dan perbaikan berkesinambungan.

Jamaah dakwah juga memerlukan kontrol, pengendalian dan perbaikan berkesinambungan atas dirinya sendiri. Karena ia juga komunitas manusia, bukan komunitas malaikat, dan karenanya kelemahan-kelemahan bawaan yang ada pada manusia juga ada pada jamaah dakwah. Proses pembelajaran kita, sebagai manusia, sebagiannya terjadi melalui interaksi dalam masyarakat; dimana terjadi penerimaan dan penolakan, pujian dan kritik, aksi dan reaksi; dimana ada kontras antara suka dan tidak suka, cinta dan benci, sedih dan gembira, marah dan damai, kecewa dan bahagia. Dalam pergesekan itu manusia mengalami perubahan-perubahan internal dalam pikiran, perasaan dan perilakunya. 
 
Itulah sebabnya mengapa sikap kritis dan kultur introspeksi menjadi instrumen penting dalam proses penyempurnaan kehidupan organisasi atau kehidupan berjamaah. Itulah sebabnya mengapa Umar bin Khattab mengucapkan terima kasih kepada siapa pun. yang menghadiahkan "aibnya" kepadanya. Karena itu merupakan proses penyempurnaan diri, dan orang yang sempurna, kata seorang penyair Arab, Al-Mutanabbi, adalah orang yang "aibnya dapat dihitung."

Akan tetapi juga tidak sedikit syubhat yang melekat dalam proses implementasi sikap kritis tersebut, terutama dalam situasi dimana sikap kritis bertemu dengan suasana keterbukaan dan kebebasaan menyampaikan pendapat. Akibatnya adalah bahwa keuntungan yang semestinya kita peroleh dari sikap kritis tersebut berubah menjadi masalah baru. 
 
Pertama, apabila sikap kritis itu bersumber dari kebencian, bukan dari semangat saling memperbaiki. Kebencian selalu membuat orang jadi kritis, bahkan sangat kritis, terhadap orang yang dibencinya. Sebaliknya, cinta membuat orang jadi longgar dan mudah memaafkan orang yang dicintainya. Benci dan cinta selalu menyulitkan orang "menilai" dan "menyikapi" seseorang atau suatu masalah secara objektif dan fair.

Itulah sebabnya Rasulullah saw selalu berdoa agar diberikan kemampuan bersikap adil ketika sedang suka dan ketika sedang benci. Sikap kritis yang lahir dari kebencian hanya akan mendapatkan sambutan kebencian yang sama, atau penolakan, atau reaksi yang dingin, dan hanya orang mempunyai kelapangan dada yang "tidak terbatas" yang dapat menerima kritik dari kebencian itu. 
 
Kedua, apabila sikap kritis itu lahir dari keinginan untuk berbeda dengan orang lain dan dijadikan sarana untuk memperjelas identitas diri sendiri. Itulah ungkapan yang sangat terkenal dalam pepatah Arab: "Berbedalah, supaya kamu dikenal." Menjadi kritis adalah sebuah citra yang baik, dan banyak orang membangun citra dirinya atau bahkan popularitasnya dari sikap seperti itu. Mereka mungkin menggunakan kesalahan orang lain sebagai jembatan untuk memperbaiki citra dirinya. Walaupun kenyataan ini lebih banyak terjadi dalam dunia politik, tapi ia juga bisa terjadi dalam dunia dakwah. Disamping itu merupakan niat yang salah, cara seperti itu juga sebenarnya hanyalah memberi beban utang yang harus dibayar; bahwa kritik anda harus bisa anda buktikan. 
 
Ketiga, apabila sikap kritis itu dijadikan cara untuk mendapatkan "image" sebagai seorang pemberani; bahwa dirinya tidak takut pada siapa-siapa, termasuk pada atasan, bahwa dirinya berani menanggung resiko dari sikap kritisnya, apapun resiko itu. Citra sebagai pemberani tentu saja menggoda banyak orang, tapi dengan begitu kita sebenarnya tidak melakukan perbaikan apaapa, dan hanya akan memancing munculnya sikap defensif dari orang yang dikritik dengan niat seperti itu. 
 
Keempat, apabila sikap kritis itu dijadikan kedok untuk merusak nama baik orang lain atau membuka aib sesama. Misalnya mengeritik seseorang di depan umum. Mengritik seseorang di depan umum secara umum tidak dianjurkan dalam Islam. Bahkan ketika Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk memberi peringatan kepada Fir’aun, Allah justru menyuruhnya berkata yang lembut. Imam Syafii juga mengatakan bahwa seandainya ada orang yang mengeritiknya di depan maka beliau tidak akan menerima kritik itu. Kritik dengan niat seperti ini tidak akan efektif memperbaiki orang yang dikritik, bahkan hanya akan merusak hubungan persaudaraan. 
 
Kelima, apabila sikap kritis itu berkembang menjadi ghibah. Misalnya ketika seseorang mengeritik orang secara tidak langsung, tapi mengeritiknya dengan cara membuka kesalahan atau aib seseorang kepada orang lain yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan orang yang dikritik tersebut. Cara seperti ini hanya akan memperbanyak jumlah majlis ghibah dimana kritik-kritik - yang boleh bermuatan kebenaran - tapi disampaikan tidak pada orang yang tepat. Sehingga orang-orang yang merasa kritis itu merasa tidak "terdengar" atau terabaikan. Mereka merasa sudah mengeritik, tapi tetap saja tidak ada yang berubah. 
 
Tentu saja ghibah tidak akan mengantar kritik sampai ke alamatnya dengan cara yang tepat dan karenanya tidak akan efektif dalam memperbaiki seseorang atau suatu keadaan. Sebab sebagaimana Islam tidak menghalalkan ghibah, maka kebebasan, keterbukaan dan demokrasi juga tidak akan pernah menghalalkan ghibah.

Dengan demikian sebuah kritik hanya akan efektif memperbaiki seseorang atau suatu keadaan apabila anasir-anasirnya terpenuhi. Pertama, ada niat yang benar dari orang yang mengeritik bahwa ia melakukan itu semata-mata sebagai pelaksanaan dari kewajiban munashahah sesama muslim, dan untuk itu ia mengharapkan pahala dengan melaksanakan kewajiban itu. Kedua, memang ada kesalahan objektif yang harus dikritik, baik kesalahan personal maupun kesalahan kebijakan. Ketiga, kritik itu disampaikan dengan cara yang benar dan tepat sesuai dengan adab-adab munashahah dalam Islam.

Semoga Allah swt memberikan kelapangan dada untuk mendengar dan menerima nasihat yang baik, dan memberikan kekuatan untuk menyampaikan nasihat dengan cara yang benar dan tepat
 
 
 
 
 
 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar