Rabu, 05 Desember 2012

tentang TAWADHU'

seringkali kita mendengar istilah Tawadhu'. bahkan  sikap tawadhu' ini merupakan sifat yg mesti dimiliki oleh setiap insan.
Membahas Tawadhu’ (rendah hati), bukan soal tidak dimengertinya manfaat atau kemuliaannya. Kemanfaatan dan kemuliaannya sudah sangat kita mengerti. Kenistaan sombong –lawan kata tawadhu’- juga sudah kita mengerti. Meski demikian rendah hati tetap tidak mudah dicapai dan dimiliki setiap orang.


Tawadhu’ berasal dari kata tawadha'a-yatawadha'u-tawadhu'an yang artinya merendahkan diri, rendah hati, atau meletakkan di bawah. Pengertian terakhir itu senada dengan wadha'a yang artinya tempat atau letak. Secara istilah, tawadhu' berarti menganggap orang lain lebih mulia dari diri kita dan tidak merendahkan mereka. Tawadhu' lebih dekat dengan istilah rendah hati dalam bahasa Indonesia, tetapi ia bukan sikap minder atau rendah diri.

Rendah Hati berada di antara 2 (dua) titik ekstrem, sombong dan minder. Kedua titik ekstrem ini lebih mudah dimiliki oleh kebanyakan kita. Untuk sombong dan minder, kita tidak perlu bersusah payah sebagaimana susahpayahnya seseorang untuk tawadhu’.
 
Ketika berhadapan dengan orang yang kita pandang lebih rendah –dengan ukuran apapun- kita kerap tergoda untuk sombong. Dan kita merasa sebagai orang kecil, miskin, atau orang yang tidak cukup berkelas, kita mudah untuk minder. Tawadhu’ memang ada di antara 2 kutup itu, sombong dan minder.

Meski sulit, rendah hati bisa dimiliki oleh setiap orang. Sebab kerendahanhatian setiap kita bersumber dari akhlaq dan keluhuran jiwa. Miskin, rendah, dan tak cukup berkelas bukan alas an untuk minder dan tidak tawadhu’. Kaya dan berkuasa bukan contoh alasan untuk sombong dan tidak tawadhu’. 

Rasulullah saw bersabda ; ‘Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik maupun rupa kalian. Tetapi melihat hati kalian’. (HR Muslim)

Meski bisa dimiliki oleh semua orang, rendah hati tidak mudah untuk dimiliki. Bahkan oleh seorang ahli ibadah sekalipun. Justru rasanya kita bisa rasakan bahwa ketaatan yang tidak diiringi keterjagaan hati, menjadikan seseorang –mungkin juga kita- merasa lebih hebat dari orang lain. Merasa super taat (thugyan at tha’ah) adalah salah satu sebab yang bisa ditunjuk dari adanya fenomena meremehkan perbuatan baik, ibadah, dan amal orang lain. Fenomena ini semakin nyata ketika seseorang yang merasa super taat berhadapan dengan pihak alin yang dianggap pendosa serta terlihat tidak serius memperbaiki diri.

Maka, benar rasanya jika rendah hati diukur dari kedalaman jiwa yang nantinya akan memancar keluar menggiring perilaku pemilik kerendahan hati.

Memandang kecil atau remeh perbuatan baik, amal, dan ibadah orang lain adalah penyakit yang berbahaya. Ini bisa menjerumuskan pelakunya melakukan ujub dan menutup indera untuk melihat kekurangan diri sendiri. Maka, bisa dimengerti jika rasulullah saw mengingatkan ; ‘Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi kesombongan’.

Rendah hati adalah alat untuk meneropong kekurangan diri. Perasaan bahwa diri ini punya banyak kekurangan bagaikan radar yang dapat mendeteksi setiap detil dosa. Tentu ini hal yang sangat bermanfaat untuk hidup ini. Apalagi di dunia modern seperti ini. Dunia yang sangat mengagungkan gengsi dan prestise.
Kendati soal pengagungan gengsi ini -sejatinya-  bukan cuma masalah bagi manusia modern saja. Keduanya adalah ujian sepanjang sejarah kemanusiaan.


Hati yang jernih oleh sikap tawadhu' seakan membuka tabir kepekatan hati yang menjadikan pemiliknya semakin mengenal kesejatiannya di hadapan Allah swt. Sangat wajar jika Rasulullah Muhammad saw adalah pribadi yang banyak istigfar, taubat, amal baik. Meskipun dosa beliau sudah pasti diampuniNya. Pengampunan adalah hak Allah dan hak ALlah tidak bisa diintervensi oleh makhluk. Termasuk oleh beliau. Maka tak layak membanggakan kepatuhan, meskipun kenyataannya adalah manusia yang paling taat.

Tawadhu' itu adalah tidak sombong. Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.

Bagaimana kiat agar kita mudah tawadhu'? Intinya adalah bagaimana kita bisa melihat sisi-sisi kebaikan dan keunggulan orang lain sehingga kita dapat belajar dari kemuliannya sekaligus tidak merasa lebih mulia darinya.

Ketika bertemu dengan orang yang lebih muda, katakan pada diri kita: "Orang ini lebih muda dariku, tentu dosa-dosanya lebih sedikit dibandingkan denganku. Kemaksiatannya belum sebanyak diriku."


Ketika bertemu dengan orang yang lebih tua, katakan pada diri kita: "Orang ini lebih tua dariku, tentu amal-amalnya lebih banyak dariku. Ia telah beribadah lebih lama dari diriku."


Ketika bertemu dengan orang yang lebih kaya, katakan pada diri kita: "Orang ini lebih kaya dariku, Ia telah dikaruniai sesuatu yang dengannya. Ia bisa berzakat dan bersedekah. Infaq dan jihad hartanya tentu lebih banyak dariku."


Ketika bertemu dengan orang yang lebih miskin, katakan pada diri kita: "Orang ini lebih sedikit hartanya dibandingkan diriku. Ia lebih mudah dan lebih singkat hisabnya dari diriku, dan lebih besar pahala sabarnya dibandingkan denganku."


Ketika bertemu dengan orang yang pandai, katakan pada diri kita: "Orang ini lebih banyak ilmunya dariku. Ia lebih alim dari diriku dan dengan ilmunya Allah meninggikan derajatnya."


Ketika bertemu dengan orang yang bodoh, katakan pada diri kita: "Ketika orang ini bermaksiat, dosanya lebih ringan dariku. Sebab ia bermaksiat dalam kebodohannya, sedangkan aku bermaksiat padahal aku mengetahui ilmunya."


Ketika bertemu dengan anak muda yang telah bergabung dengan dakwah, katakan pada diri kita: "Pemuda ini sungguh luar biasa. Ia telah mendapatkan hidayah dan aktif berdakwah sejak muda. Sungguh pahalanya telah mengalir sejak usia muda yang saat di usia itu aku belum ada apa-apanya."


Ketika bertemu dengan orang tua yang baru bergabung dengan dakwah, katakan pada diri kita: "Orang tua ini sungguh beruntung. Ia mendapatkan hidayah Allah di penghujung usianya. Sedangkan diriku, sanggupkah aku istiqamah hingga di usia senja sepertinya?"


Ketika bertemu dengan orang yang tilawahnya banyak, katakan pada diri kita: "orang ini tilawahnya lebih banyak dariku. Pahala dan kebaikannya juga lebih banyak dariku karena tiap huruf diganjar sepuluh kebaikan."


Ketika bertemu dengan sahabat  yang tilawahnya sedikit, katakan pada diri kita: "orang ini tilawahnya lebih sedikit dariku. Mungkin ia mentadabburi ayat demi ayat yang dibacanya, maka ia lebih utama karena kualitasnya daripada kuantitas tilawahku."


  Wallaahu a'lam


* dari berbagai sumber




Tidak ada komentar:

Posting Komentar