Jika di dalam dakwahnya seorang hamba
bersikap shidiq, jujur kepada Rabbnya
dan ikhlas karena-Nya, sungguh itu akan berimplikasi terhadap dakwahnya dan
orang-orang yang diserunya. Mereka akan dapat menyaksikan shidiq sang da’i
dengan mata kepala mereka serta merasakannya
dengan hati dan jiwa mereka. Mereka dapat menyaksikan hal itu dalam jiwa
tenang milik sang da’i yang dipenuhi dengan ketentraman, kerelaan, dan
kekhusyu’an. Mereka dapat menyaksikan semua itu dari pancaran wajahnya. Kedua
matanya jujur, lisannya dan kedua bibirnya juga jujur. Bahkan senyumannya pun
demikian. Wajahnya… dalam keadaan apa pun tampak kejujuran menyeruak darinya.
Objek dakwah akan melihat pada wajah da’i
yang shidiq kepada Rabbnya kharisma, wibawa, cahaya, dan sinar terang. Mereka
akan melihat bahwa seluruh anggota badannya telah diliputi oleh kekhusyu’an dan
ketenangan. Sampai-sampai seorang mad’u akan melihat wajah sang da’i lalu
berkata, ‘Inilah seorang yang jujur.’ sebelum ia mendengarkan penuturannya, sebelum
ia berbincang-bincang dengannya, sebelum ia berdiskusi dengannya…
Bukankah pernah seseorang datang menemui
Rasulullah saw lalu bertanya kepada
beliau, “Andakah Muhammad bin Abdullah?” Beliau menjawab, “Akulah yang mereka
tuduh-tuduh itu.” Kemudian orang itu berkata, “Demi Allah, ini bukanlah wajah
seorang pendusta!”
Wahai saudaraku seislam, seberapa banyak Anda
mengambil warisan Nabi saw ~kejujuran, keikhlasan, keimanan, dan amalnya yang agung~-
sebanyak itu pulalah bagian Anda.
Sesungguhnya Nabi saw tidak meninggalkan warisan berupa dinar atau dirham. Yang beliau
wariskan adalah dakwah yang diserukan, ilmu guna mentarbiyah diri pribadi dan
orang lain, petunjuk, ketakwaan, iman, khusyu’, ikhlas, dan yakin.
Besarnya bagianmu dari warisan Nabi ini berbanding lurus dengan
kemudahan orang menerima seruanmu. Semakin banyak kamu mengambilnya semakin
mudah pulalah orang mendapatkan hidayah karenamu.
Sangat mungkin ada seorang mad’u yang beriltizam kepada islam dan
aktif memperjuangkannya hanya karena melihatmu, yang lain hanya karena duduk
sesaat bersamamu, yang lain lagi hanya karena kamu mengucapkan salam kepadanya
dan ia menjawab salam itu, yang lainnya lagi hanya karena makan bersamamu atau
karena senyumanmu untuknya, yang lainnya lagi hanya karena duduk sekitar satu
jam atau kurang bersamamu dalam suatu perjalanan.
Bukankah ‘Addas, bekas budak ‘Utbah bin
Rabi’ah masuk Islam di tangan Rasulullah saw hanya karena mendengar dua patah kata yang terucap oleh
Rasulullah saw. Dua patah kata itu
adalah ‘bismillah’ yang beliau ucapkan sebelum menjulurkan tangan mengambil
anggur yang diberikannya kepada beliau. Ketika ia tahu bahwa beliau adalah
seorang Nabi, ia tersungkur mencium kedua tangan dan kaki beliau seraya
menyatakan ketundukannya kepada Islam yang hanif.[1]
Tidakkah kau lihat ketika Rasulullah saw meletakkan tangan beliau di atas dada
seorang pemuda yang suka berzina dan ia meminta izin kepada Rasulullah saw untuk itu? Begitu Rasulullah mengangkat
tangan beliau dari dadanya dan mendoakannya supaya ia menjadi pemuda yang bisa
menjaga diri, maka zina pun menjadi sesuatu yang paling dibencinya; setelah
sebelumnya menjadi sesuatu yang paling disukainya![2]
Begitu pula dengan seorang musyrik yang
jauh-jauh datang dari Mekah yang bermaksud membunuh Rasulullah saw atas pesanan Shafwan bin Umayyah. Setelah
Rasulullah menceritakan apa yang terjadi antara ia dan Shafwan, ia berkata,
“Saya bersaksi bahwa Anda adalah utusan Allah.’[3]
Dan masih banyak lagi orang yang sekedar
melihat Rasulullah saw saja, kecintaan kepada
beliau pun bersemi di dalam dada mereka. Dan setelahnya mereka mengorbankan
segalanya demi membela kecintaannya, Muhammad saw.
Anda pun demikian, semakin banyak Anda
memiliki warisan nubuwwah ini akan semakin banyak pulalah bagian Anda dalam hal itu.
Memandang wajah Anda saja bisa jadi menjadi sebab datangnya hidayah. Doa Anda
bagi mad’u bisa jadi menjadi sebab perubahan pada dirinya. Bahkan begitu pula
halnya dengan seulas senyum Anda; Anda tidak perlu berkata-kata selama
berjam-jam atau berhari-hari untuk menjelaskan fikrah Anda; Anda juga tidak
perlu menjelaskan pandangan-pandangan Anda dalam berbagai masalah penting. Anda
hanya memerlukan beberapa detik untuk mengantarkan mad’u ke bawah sinaran
cahaya hidayah dan warisan nubuwwah yang telah lebih dahulu memenuhi hati Anda.
Anda tinggal men-charge baterai
imannya yang kosong dengan baterai iman Anda yang berlimpah.
Seorang mukmin akan terus meningkatkan
warisan nubuwwahnya sampai wangi iman, ikhlash, dan kejujurannya akan harum
semerbak dan tumbuh di tempat dan masa yang dilaluinya. Bahkan pengaruhnya
dapat dirasakan dari generasi ke generasi.
Bukankah orang-orang semisal Mush’ab bin
‘Umair, Zaid bin Haritsah, ‘Umar bin Khathab, Abu Bakar ash-Shiddiq, dan para
sahabat yang lain… bukankah petuah mereka masih terus bergema di telinga ummat
dari generasi ke generasi sampai hari ini dan bahkan sampai Allah mewarisi bumi
seisinya?! Bukankah mereka sudah berkalang tanah?!
Bukankah hari ini kita dapat merasakan ~dengan hati dan perasaan~ kehidupan bersama Khalid bin Walid saat kita membaca biografinya? Bukankah kita dapat merasakan saat-saat bersamanya di medan pertempuran, kita berperang bersamanya, berjihad di bawah komandonya?! Bukankah sekedar membaca sejarah hidupnya saja dapat menggelorakan semangat jihad di dalam jiwa dan menjadikan seseorang mencintai syahadah di jalan Allah, seakan ia akan terbang disebabkan oleh rindu dendam kepada hari perjumpaan dengan para tercinta: Muhammad saw dan para sahabatnya?
Apa sebenarnya rahasia lelaki ini sehingga sejarah hidupnya saja membawa pengaruh yang begitu dahsyat dalam jiwa? Bagaimana pula jika kita berkesempatan berjumpa dengannya dan berperang bersamanya di bawah panji-panji yang dikibarkannya?
Zaman yang telah berlalu 14 abad tidak menghapus pengaruh yang ditinggalkan oleh lelaki agung ini. Ia seakan-akan justru hidup dan terus bertempur dari atas kuda perangnya, menaklukkan dua super power: Romawi dan Persia…
Inilah ‘Umar bin ‘Abdul’aziz, cucu dari ‘Umar bin Khathab, setiap kali seseorang dari kita membaca sejarah hidupnya setiap kali itu pula ia akan khusyu’, menitikkan air mata, dan akan hidup bersamanya seakan-akan duduk bersamanya, berbincang-bincang dengannya. Selanjutnya, ia akan diluapi keinginan untuk membacanya, lagi, dan lagi, tiada bosan sedikit pun.
Mereka dan orang-orang yang seperti mereka
adalah orang-orang yang telah dipilih oleh Allah sehingga meski mereka telah
berada di kubur masing-masing, mereka masih menjadi para da’i, penyeru
kebenaran, dan pembawa petunjuk ke jalan Allah yang lurus. Manusia dari
generasi ke generasi mendapatkan hidayah di tangan mereka meski mereka telah
tiada, sama seperti ketika mereka masih hidup. Allah telah dan senantiasa
memuliakan para wali-Nya saat mereka hidup atau pun mati, saat mereka di dunia
atau pun di akhirat. Itulah fadllullah
yang Dia curahkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Saya memohon kepada
Allah, semoga kita mendapatkannya walau bagian terkecilnya. Berusahalah,
niscaya Anda akan menjadi seperti mereka. Sesungguhnya siapa yang kehilangan
kesempatan agung dan derajat yang tinggi ini, sungguh ia telah kehilangan
kebaikan yang banyak.
Jika seseorang berlaku shidiq kepada Rabbnya, dan juga ikhlas dalam berusaha untuk mengembalikan kejayaan Islam, niscaya menjadi shidiqlah semua yang dilakukannya. Bukan hanya amal, lisan, anggota badan, jihad, dakwah, dan amar makrufnya saja; bahkan pedang, persenjataan, bekal, dan persiapannya pun akan menjadi shidiq.
Tercatat dalam sirah Ibnu Hisyam, ketika Rasulullah saw sampai di rumah pasca perang Uhud, beliau menyodorkan pedangnya kepada putrinya, Fathimah. Beliau berkata, “Bersihkan ini dari darah yang menempel, wahai putriku! Demi Allah, hari ini ia telah berlaku shidiq kepadaku.” Ali bin Abu Thalib juga menyodorkan pedangnya kepada Fathimah, seraya berkata, “Ini juga, bersihkan dari darah yang menempel. Demi Allah, hari ini ia pun telah berlaku shidiq kepadaku.” Mendengar penuturannya Rasulullah saw bersabda, “Jika kamu benar-benar telah berlaku shidiq saat berperang, sungguh telah berlaku shidiq juga saat berperang: Sahal bin Hanif dan Abu Dujanah.”[4]
Hanyasanya shidiqnya pedang itu tergantung kepada shidiqnya si empunya pedang.
Saya sempat kagum dengan bait-bait seorang
penyair berikut ini,
Pedang Shalahuddin itu tidak ada apa-apanya
Yang ada adalah
lengan Shalahuddin
Juga hati Shalahuddin
hamba yang teramat fakir terhadap Allah ta’ala.
Juga hati Shalahuddin
hamba yang teramat fakir terhadap Allah ta’ala.
Pedang Ali bin Abu Thalib, Abu Dujanah, dan Sahal bin Hanif memang berbeda dengan pedang pada umumnya. Pedang-pedang itu telah mencari kejujuran dan keikhlasan pemiliknya. Begitu pun dengan pedang Shalahuddin.
Hari ini mungkin saja kita menjumpai pedang…
namun kita tidak mendapati orang-orang yang shidiq seperti mereka untuk
menjadikan pedang itu menjadi shidiq pula.
Sebatang senapan di tangan orang-orang seperti Khalid dan sahabat-sahabatnya berbeda dengan senapan-senapan lain, meski semua dibuat oleh pabrik yang sama. Peluru yang ditembakkan oleh orang-orang seperti mereka berbeda dengan peluru-peluru lainnya…
Bukankah telah terjadi; peluru ditembakkan
oleh seorang mujahid yang lemah dari jarak yang sangat jauh tetapi dapat
mengenai komandan musuh tepat di batang lehernya?!
Itulah peluru shadiq yang keluar dari senapan
shadiq, dan ditembakkan oleh seorang yang shadiq terhadap Rabbnya dan mukhlis.
Ada juga sebutir peluru ~hanya sebutir~ yang ditembakkan oleh seorang mujahid ke arah dedengkot kufur telah membuat para dokter dan orang-orang yang mengoperasinya geleng-geleng kepala. Tak jauh beda halnya dengan orang-orang di kehakiman. Mereka menyangka peluru yang ditembakkan bukan jenis peluru yang biasa kita kenal. Peluru dengan jenis khusus!
Mengapa? Sebab, bagaimana mungkin sebutir
peluru dapat melukai dan merusak tubuh sampai separah itu?? Benar, itu adalah
peluru shadiq yang keluar dari senapan shadiq yang dipanggul oleh seorang
lelaki yang shadiq terhadap Rabbnya, lagi mukhlis.
Mungkin kita punya pedang. Namun di mana rijal semisal ‘Ali bin Abu Thalib, Khalid bin Walid, Abu ‘Ubaidah
bin Jarrah, ‘Amru bin ‘Ash, dan ‘Ikrimah bin Abu Jahal?
Mungkin kita punya pedang. Namun di mana Shalahuddin; hati
Shalahuddin; keikhlasan dan kezuhudan Shalahuddin?
Mungkin kita punya pedang. Namun di mana Khalid dan
sejawat-sejawatnya, kezuhudan mereka, keshidiqan mereka, keikhlasan mereka,
sikap wara’ mereka, dan juga tawadlu’ mereka?
Pernah ada yang berucap, “Obatilah si Fulan
dengan membacakan al-Fatihah, sebab ‘Umar pernah melakukannya dan si sakit pun
sembuh!” Lalu orang yang diajak berbicara menimpali, “Ini al-Fatihahnya, lalu
mana ‘Umarnya?”
Sesungguhnya pedang tidak akan pernah shadiq
jika bukan di tangan seorang yang shadiq pula. Pedang tidak akan pernah ikhlas
jika tidak dibawa ke medan
jihad oleh seorang mukhlis. Pedang tidak akan membawa pengaruh apa-apa terhadap
musuh-musuh Allah kecuali jika digenggam oleh wali-wali Allah yang sebenarnya.
Pedang tidak akan berakhlak jika yang menyandangnya bukan seorang yang berjalan
di atas jalan Nabi dan berakhlak dengan akhlak Nabi pula.
Saya sempat tertegun dengan penuturan
Mushthafa Shadiq ar-Rafi’i. Ia berkata, “Sesungguhnya yang memiliki akhlak
bukan saja orang-orang Islam, tetapi pedang-pedang mereka pun memiliki akhlak.
Bukankah pedang mereka tidak membunuh anak-anak, orang tua, wanita, pepohonan,
dan pohon kurma?!”
Benar kata Anda, demi Allah! Bahkan
pedang-pedang itu tidak menebas dengan didasari oleh rasa sombong, ‘ujub,
riya`, semena-mena, dan melampaui batas. Pedang-pedang itu hanya berperang
dengan cinta karena Allah dan demi meninggikan kalimat-Nya, memuliakan Islam,
serta menjadikan kalimat orang-orang kafir berada di paling bawah dan kalimat
Allah sebagai yang teratas.
Seseorang benar-benar berlaku shidiq kepada
Rabbnya; shidiq dalam dakwahnya, jihadnya, dan amar makruf nahi munkarnya,
kemudian shidiq itu menjalar ke seluruh dimensi kehidupannya. Tidak berhenti
pada pedang dan senjatanya saja, tetapi juga menjalar sampai kepada kendaraan
yang ia naiki untuk berjihad dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain di
jalan Allah dalam rangka meninggikan panji-Nya dan menyebarkan dien-Nya. Benar,
seakan shidiq telah berpindah darinya menuju binatang tunggangan atau mobilnya,
benda mati yang ia gunakan untuk bergerak di jalan Allah.
Jika Anda ingin lebih mendalami masalah ini
lebih baik lagi, cobalah baca kisah Asyqar, kuda Khalid bin Walid. Pernah ada
yang mengucapkan ini di hadapan Khalid, “Wah, pasukan Romawi banyak sekali,
sedangkan pasukan muslimin sedikit sekali!” Maka Khalid pun berkata, “Justru
pasukan Romawi sedikit dan pasukan muslimin banyak sekali! Hanyasanya pasukan
perang itu menjadi banyak dengan kemenangan dan menjadi sedikit dengan
kekalahan, bukan dengan jumlah personil. Demi Allah, aku ingin sekiranya Asyqar
sembuh dari penyakitnya meski jumlah mereka dilipatgandakan sebagai
tebusannya.” Saat itu kudanya sudah tidak kuat lagi berjalan.[5]
Asyqar telah mempelajari perilaku shidiq
dalam jihad dari tuannya. Berdua mereka telah bertempur dan melalui ribuan mil
dalam rangka jihad fi sabilillah. Bahkan Khalid telah menaklukkan Persia dan
Romawi dengan mengendarainya. Ia telah berpindah dari ujung negeri ke ujung
yang lain, dari satu kemenangan ke kemenangan yang lain, tanpa mengenal lelah
dan istirahat. Khalid telah melalui saat-saat yang mencekam bersamanya. Khalid
telah berjalan siang-malam bersamanya. Khalid telah melewati keramaian dan
tempat-tempat yang lengang bersamanya. Khalid telah memporak-porandakan musuh
bersamanya. Sampai-sampai kaki Asyqar merapuh karena terlalu banyak berjalan.
Sungguh, di atas punggungnya Khalid telah menaklukkan Persia dan
Powami, dua kekuatan super power saat itu. Dan karena perilaku shadiq si Asyqar
terhadapnya, Khalid berharap sekiranya Asyqar sembuh dari penyakitnya, walau
jumlah personil pasukan Romawi dilipatgandakan. Jumlah yang banyak tidak ada
apa-apanya di hadapan keshadiqan Asyqar dalam jihad. Begitulah kuda dan
kendaraan kaum muslimin.
Benarlah sabda Nabi saw. Ketika para sahabat berkata, “Qashwa (unta Nabi) menderum!”, beliau menimpali, “Bukan Qashwa` yang menderum, karena itu bukan kebiasaannya. Akan tetapi ia ditahan masuk oleh Allah yang pernah menahan gajah”[6]
Sebaliknya, jika keshadiqan seseorang hanya secuil, sedangkan yang banyak hanyalah kemaksiatan dan keburukannya, niscaya akan berimplikasi pada segalanya, termasuk kendaraannya. Benarlah pernyataan seorang salaf, “Aku telah bermaksiat kepada Allah, dan aku merasakan pengaruhnya pada polah istri dan binatang tungganganku.”
Maraji' : Washiyyatul Musthafa Li Ahlid-Da'wah, DR Abdullah Azzam Rahimahullah
[1] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari
Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhiy, sebagaimana tersebut di dalam Sirah Ibnu Hisyam
vol. I/421. Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim dalam Dalailun Nubuwwah dari
‘Urwah bin Zubeir hal. 103. Di situ tidak disebutkan bahwa ia masuk islam.
Namun di dalam al-Ishabah 2/466, Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Sulaiman
at-Taimiy mengatakan, ‘Addas berkata kepada Nabi saw,
”Saya bersaksi bahwa Anda adalah hamba Allah dan rasul-Nya.”
[2] Imam Ahmad 5/562 meriwayatkannya
dari Abu Umamah ra, terjemahan lafaznya sebagai
berikut: “Ada seorang pemuda menemui Nabi saw
berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk berzina.’ Orang-orang berpaling
darinya dan mencemoohnya, berkata, ‘Ck..ck..’ Nabi saw
bersabda, ‘Beri jalan supaya ia mendekat ke sini!’ Maka pemuda itu mendekati
beliau lalu duduk. Beliau bertanya, ‘Apakah kamu suka jika ibumu dizinai?’
Pemuda itu menjawab, ‘Demi Allah tidak! Semoga Allah menjadikanku sebagai
tebusanmu!’ Beliau menimpali, ‘Tidak ada seorang pun yang suka itu terjadi pada
ibu-ibu mereka.’ Beliau melanjutkan, ‘Apakah kamu suka jika anak perempuanmu
dizinai?’ Pemuda itu menjawab, ‘Demi Allah tidak! Semoga Allah menjadikanku
sebagai tebusanmu!’ Beliau menimpali, ‘Tidak ada seorang pun yang suka itu
terjadi pada anak-anak perempuannya.’ Beliau melanjutkan, ‘Apakah kamu suka
jika saudara perempuanmu dizinai?’ Pemuda itu menjawab, ‘Demi Allah tidak!
Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu!’ Beliau menimpali, ‘Tidak ada
seorang pun yang suka itu terjadi pada saudara-saudara perempuannya.’ Beliau
melanjutkan, ‘Apakah kamu suka bibi dari jalur ayahmu dizinai?’ Pemuda itu
menjawab, ‘Demi Allah tidak! Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu!’
Beliau menimpali, ‘Tidak ada seorang pun yang suka itu terjadi pada
bibi-bibinya.’ Beliau melanjutkan, ‘Apakah kamu suka jika bibi dari jalur ibumu
dizinai?’ Pemuda itu menjawab, ‘Demi Allah tidak! Semoga Allah menjadikanku
sebagai tebusanmu!’ Beliau menimpali, ‘Tidak ada seorang pun yang suka itu
terjadi pada bibi-bibinya.’ Kemudian nabi meletakkan tangan beliau padanya
seraya berucap, ‘Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan jagalah
kemaluannya.’ Setelah kejadian itu, tidak sekali pun pemuda itu tertarik untuk
berzina.”
Hadits ini dinyatakan shahih oleh
Syekh Albani.
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq
seperti tertera dalam Sirah Ibnu Hisyam 2/662, diriwayatkan juga oleh
ath-Thabaraniy dalam al-Mu’jamul Kabir 17/58 dari Muhammad bin Ja’far bin
Zubeir. Isnadnya bagus hanyasaja mursal. Lihat : Majma’uz Zawaid 8/285.
[4]
Ibnu Hisyam menyebutnya dalam
as-Siratun Nabawiyyah vol. 2/100 dari Ishaq. Al-Baihaqiy juga
meriwayatkannya
sebagaimana tersebut di dalam al-Bidayah wan-Nihayah 4/47 dari Ibnu
‘Abbas ra dengan tambahan “Dan ‘Ashim bin Tsabit serta Harits
bin Shamah”
[5] Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam
Tarikh beliau 2/594 dari ‘Ubadah dan Khalid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar