Kamis, 20 Desember 2012

hendaknya kita bersikap Shidiq kepada Allah

Jika di dalam dakwahnya seorang hamba bersikap shidiq, jujur kepada Rabbnya dan ikhlas karena-Nya, sungguh itu akan berimplikasi terhadap dakwahnya dan orang-orang yang diserunya. Mereka akan dapat menyaksikan shidiq sang da’i dengan mata kepala mereka serta merasakannya  dengan hati dan jiwa mereka. Mereka dapat menyaksikan hal itu dalam jiwa tenang milik sang da’i yang dipenuhi dengan ketentraman, kerelaan, dan kekhusyu’an. Mereka dapat menyaksikan semua itu dari pancaran wajahnya. Kedua matanya jujur, lisannya dan kedua bibirnya juga jujur. Bahkan senyumannya pun demikian. Wajahnya… dalam keadaan apa pun tampak kejujuran menyeruak darinya.

Objek dakwah akan melihat pada wajah da’i yang shidiq kepada Rabbnya kharisma, wibawa, cahaya, dan sinar terang. Mereka akan melihat bahwa seluruh anggota badannya telah diliputi oleh kekhusyu’an dan ketenangan. Sampai-sampai seorang mad’u akan melihat wajah sang da’i lalu berkata, ‘Inilah seorang yang jujur.’ sebelum ia mendengarkan penuturannya, sebelum ia berbincang-bincang dengannya, sebelum ia berdiskusi dengannya…

Bukankah pernah seseorang datang menemui Rasulullah saw  lalu bertanya kepada beliau, “Andakah Muhammad bin Abdullah?” Beliau menjawab, “Akulah yang mereka tuduh-tuduh itu.” Kemudian orang itu berkata, “Demi Allah, ini bukanlah wajah seorang pendusta!”

Wahai saudaraku seislam, seberapa banyak Anda mengambil warisan Nabi saw ~kejujuran, keikhlasan, keimanan, dan amalnya yang agung~- sebanyak itu pulalah bagian Anda.

Sesungguhnya Nabi saw tidak meninggalkan warisan berupa dinar atau dirham. Yang beliau wariskan adalah dakwah yang diserukan, ilmu guna mentarbiyah diri pribadi dan orang lain, petunjuk, ketakwaan, iman, khusyu’, ikhlas, dan yakin.

Besarnya bagianmu dari warisan Nabi ini berbanding lurus dengan kemudahan orang menerima seruanmu. Semakin banyak kamu mengambilnya semakin mudah pulalah orang mendapatkan hidayah karenamu.

Sangat mungkin ada seorang mad’u yang beriltizam kepada islam dan aktif memperjuangkannya hanya karena melihatmu, yang lain hanya karena duduk sesaat bersamamu, yang lain lagi hanya karena kamu mengucapkan salam kepadanya dan ia menjawab salam itu, yang lainnya lagi hanya karena makan bersamamu atau karena senyumanmu untuknya, yang lainnya lagi hanya karena duduk sekitar satu jam atau kurang bersamamu dalam suatu perjalanan.

Bukankah ‘Addas, bekas budak ‘Utbah bin Rabi’ah masuk Islam di tangan Rasulullah saw hanya karena mendengar dua patah kata yang terucap oleh Rasulullah saw. Dua patah kata itu adalah ‘bismillah’ yang beliau ucapkan sebelum menjulurkan tangan mengambil anggur yang diberikannya kepada beliau. Ketika ia tahu bahwa beliau adalah seorang Nabi, ia tersungkur mencium kedua tangan dan kaki beliau seraya menyatakan ketundukannya kepada Islam yang hanif.[1]

Tidakkah kau lihat ketika Rasulullah saw meletakkan tangan beliau di atas dada seorang pemuda yang suka berzina dan ia meminta izin kepada Rasulullah saw untuk itu? Begitu Rasulullah mengangkat tangan beliau dari dadanya dan mendoakannya supaya ia menjadi pemuda yang bisa menjaga diri, maka zina pun menjadi sesuatu yang paling dibencinya; setelah sebelumnya menjadi sesuatu yang paling disukainya![2]

Begitu pula dengan seorang musyrik yang jauh-jauh datang dari Mekah yang bermaksud membunuh Rasulullah saw atas pesanan Shafwan bin Umayyah. Setelah Rasulullah menceritakan apa yang terjadi antara ia dan Shafwan, ia berkata, “Saya bersaksi bahwa Anda adalah utusan Allah.’[3]

Dan masih banyak lagi orang yang sekedar melihat Rasulullah saw saja, kecintaan kepada beliau pun bersemi di dalam dada mereka. Dan setelahnya mereka mengorbankan segalanya demi membela kecintaannya, Muhammad saw.

Anda pun demikian, semakin banyak Anda memiliki warisan nubuwwah ini akan semakin banyak pulalah bagian Anda dalam hal itu. Memandang wajah Anda saja bisa jadi menjadi sebab datangnya hidayah. Doa Anda bagi mad’u bisa jadi menjadi sebab perubahan pada dirinya. Bahkan begitu pula halnya dengan seulas senyum Anda; Anda tidak perlu berkata-kata selama berjam-jam atau berhari-hari untuk menjelaskan fikrah Anda; Anda juga tidak perlu menjelaskan pandangan-pandangan Anda dalam berbagai masalah penting. Anda hanya memerlukan beberapa detik untuk mengantarkan mad’u ke bawah sinaran cahaya hidayah dan warisan nubuwwah yang telah lebih dahulu memenuhi hati Anda. Anda tinggal men-charge baterai imannya yang kosong dengan baterai iman Anda yang berlimpah.

Seorang mukmin akan terus meningkatkan warisan nubuwwahnya sampai wangi iman, ikhlash, dan kejujurannya akan harum semerbak dan tumbuh di tempat dan masa yang dilaluinya. Bahkan pengaruhnya dapat dirasakan dari generasi ke generasi.

Bukankah orang-orang semisal Mush’ab bin ‘Umair, Zaid bin Haritsah, ‘Umar bin Khathab, Abu Bakar ash-Shiddiq, dan para sahabat yang lain… bukankah petuah mereka masih terus bergema di telinga ummat dari generasi ke generasi sampai hari ini dan bahkan sampai Allah mewarisi bumi seisinya?! Bukankah mereka sudah berkalang tanah?!

Bukankah hari ini kita dapat merasakan ~dengan hati dan perasaan~ kehidupan bersama Khalid bin Walid saat kita membaca biografinya? Bukankah kita dapat merasakan saat-saat bersamanya di medan pertempuran, kita berperang bersamanya, berjihad di bawah komandonya?! Bukankah sekedar membaca sejarah hidupnya saja dapat menggelorakan semangat jihad di dalam jiwa dan menjadikan seseorang mencintai syahadah di jalan Allah, seakan ia akan terbang disebabkan oleh rindu dendam kepada hari perjumpaan dengan para tercinta: Muhammad
saw dan para sahabatnya?

Apa sebenarnya rahasia lelaki ini sehingga sejarah hidupnya saja membawa pengaruh yang begitu dahsyat dalam jiwa? Bagaimana pula jika kita berkesempatan berjumpa dengannya dan berperang bersamanya di bawah panji-panji yang dikibarkannya?


Zaman yang telah berlalu 14  abad tidak menghapus pengaruh yang ditinggalkan oleh lelaki agung ini. Ia seakan-akan justru hidup dan terus bertempur dari atas kuda perangnya, menaklukkan dua super power: Romawi dan Persia…


Inilah ‘Umar bin ‘Abdul’aziz,  cucu dari ‘Umar bin Khathab, setiap kali seseorang dari kita membaca sejarah hidupnya setiap kali itu pula ia akan khusyu’, menitikkan air mata, dan akan hidup bersamanya seakan-akan duduk bersamanya, berbincang-bincang dengannya. Selanjutnya, ia akan diluapi keinginan untuk membacanya, lagi, dan lagi, tiada bosan sedikit pun.

Mereka dan orang-orang yang seperti mereka adalah orang-orang yang telah dipilih oleh Allah sehingga meski mereka telah berada di kubur masing-masing, mereka masih menjadi para da’i, penyeru kebenaran, dan pembawa petunjuk ke jalan Allah yang lurus. Manusia dari generasi ke generasi mendapatkan hidayah di tangan mereka meski mereka telah tiada, sama seperti ketika mereka masih hidup. Allah telah dan senantiasa memuliakan para wali-Nya saat mereka hidup atau pun mati, saat mereka di dunia atau pun di akhirat. Itulah fadllullah yang Dia curahkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Saya memohon kepada Allah, semoga kita mendapatkannya walau bagian terkecilnya. Berusahalah, niscaya Anda akan menjadi seperti mereka. Sesungguhnya siapa yang kehilangan kesempatan agung dan derajat yang tinggi ini, sungguh ia telah kehilangan kebaikan yang banyak.

Jika seseorang berlaku shidiq kepada Rabbnya, dan juga ikhlas dalam berusaha untuk mengembalikan kejayaan Islam, niscaya menjadi shidiqlah semua yang dilakukannya. Bukan hanya amal, lisan, anggota badan, jihad, dakwah, dan amar makrufnya saja; bahkan pedang, persenjataan, bekal, dan persiapannya pun akan menjadi shidiq.


Tercatat dalam sirah Ibnu Hisyam, ketika Rasulullah
saw sampai di rumah pasca perang Uhud, beliau menyodorkan pedangnya kepada putrinya, Fathimah. Beliau berkata, “Bersihkan ini dari darah yang menempel, wahai putriku! Demi Allah, hari ini ia telah berlaku shidiq kepadaku.” Ali bin Abu Thalib juga menyodorkan pedangnya kepada Fathimah, seraya berkata, “Ini juga, bersihkan dari darah yang menempel. Demi Allah, hari ini ia pun telah berlaku shidiq kepadaku.” Mendengar penuturannya Rasulullah saw bersabda, “Jika kamu benar-benar telah berlaku shidiq saat berperang, sungguh telah berlaku shidiq juga saat berperang: Sahal bin Hanif dan Abu Dujanah.”[4]

Hanyasanya  shidiqnya pedang itu tergantung kepada shidiqnya si empunya pedang.
Saya sempat kagum dengan bait-bait seorang penyair berikut ini,

 
            Pedang Shalahuddin itu tidak ada apa-apanya
            Yang ada adalah lengan Shalahuddin 
            Juga hati Shalahuddin
            hamba yang teramat fakir terhadap Allah ta’ala.



Pedang Ali bin Abu Thalib, Abu Dujanah, dan Sahal bin Hanif memang berbeda dengan pedang pada umumnya. Pedang-pedang itu telah mencari kejujuran dan keikhlasan pemiliknya. Begitu pun dengan pedang Shalahuddin.

Hari ini mungkin saja kita menjumpai pedang… namun kita tidak mendapati orang-orang yang shidiq seperti mereka untuk menjadikan pedang itu menjadi shidiq pula.

Sebatang senapan di tangan orang-orang seperti Khalid dan sahabat-sahabatnya berbeda dengan senapan-senapan lain, meski semua dibuat oleh pabrik yang sama. Peluru yang ditembakkan oleh orang-orang seperti mereka berbeda dengan peluru-peluru lainnya…

Bukankah telah terjadi; peluru ditembakkan oleh seorang mujahid yang lemah dari jarak yang sangat jauh tetapi dapat mengenai komandan musuh tepat di batang lehernya?!
Itulah peluru shadiq yang keluar dari senapan shadiq, dan ditembakkan oleh seorang yang shadiq terhadap Rabbnya dan mukhlis.

Ada
juga sebutir peluru ~hanya sebutir~ yang ditembakkan oleh seorang mujahid ke arah dedengkot kufur telah membuat para dokter dan orang-orang yang mengoperasinya geleng-geleng kepala. Tak jauh beda halnya dengan orang-orang di kehakiman. Mereka menyangka peluru yang ditembakkan bukan jenis peluru yang biasa kita kenal. Peluru dengan jenis khusus!

Mengapa? Sebab, bagaimana mungkin sebutir peluru dapat melukai dan merusak tubuh sampai separah itu?? Benar, itu adalah peluru shadiq yang keluar dari senapan shadiq yang dipanggul oleh seorang lelaki yang shadiq terhadap Rabbnya, lagi mukhlis.
Mungkin kita punya pedang. Namun di mana rijal semisal ‘Ali bin Abu Thalib, Khalid bin Walid, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah, ‘Amru bin ‘Ash, dan ‘Ikrimah bin Abu Jahal?
Mungkin kita punya pedang. Namun di mana Shalahuddin; hati Shalahuddin; keikhlasan dan kezuhudan Shalahuddin?
Mungkin kita punya pedang. Namun di mana Khalid dan sejawat-sejawatnya, kezuhudan mereka, keshidiqan mereka, keikhlasan mereka, sikap wara’ mereka, dan juga tawadlu’ mereka?
Pernah ada yang berucap, “Obatilah si Fulan dengan membacakan al-Fatihah, sebab ‘Umar pernah melakukannya dan si sakit pun sembuh!” Lalu orang yang diajak berbicara menimpali, “Ini al-Fatihahnya, lalu mana ‘Umarnya?”

Sesungguhnya pedang tidak akan pernah shadiq jika bukan di tangan seorang yang shadiq pula. Pedang tidak akan pernah ikhlas jika tidak dibawa ke medan jihad oleh seorang mukhlis. Pedang tidak akan membawa pengaruh apa-apa terhadap musuh-musuh Allah kecuali jika digenggam oleh wali-wali Allah yang sebenarnya. Pedang tidak akan berakhlak jika yang menyandangnya bukan seorang yang berjalan di atas jalan Nabi dan berakhlak dengan akhlak Nabi pula.


Saya sempat tertegun dengan penuturan Mushthafa Shadiq ar-Rafi’i. Ia berkata, “Sesungguhnya yang memiliki akhlak bukan saja orang-orang Islam, tetapi pedang-pedang mereka pun memiliki akhlak. Bukankah pedang mereka tidak membunuh anak-anak, orang tua, wanita, pepohonan, dan pohon kurma?!”
Benar kata Anda, demi Allah! Bahkan pedang-pedang itu tidak menebas dengan didasari oleh rasa sombong, ‘ujub, riya`, semena-mena, dan melampaui batas. Pedang-pedang itu hanya berperang dengan cinta karena Allah dan demi meninggikan kalimat-Nya, memuliakan Islam, serta menjadikan kalimat orang-orang kafir berada di paling bawah dan kalimat Allah sebagai yang teratas.
Seseorang benar-benar berlaku shidiq kepada Rabbnya; shidiq dalam dakwahnya, jihadnya, dan amar makruf nahi munkarnya, kemudian shidiq itu menjalar ke seluruh dimensi kehidupannya. Tidak berhenti pada pedang dan senjatanya saja, tetapi juga menjalar sampai kepada kendaraan yang ia naiki untuk berjihad dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain di jalan Allah dalam rangka meninggikan panji-Nya dan menyebarkan dien-Nya. Benar, seakan shidiq telah berpindah darinya menuju binatang tunggangan atau mobilnya, benda mati yang ia gunakan untuk bergerak di jalan Allah.

Jika Anda ingin lebih mendalami masalah ini lebih baik lagi, cobalah baca kisah Asyqar, kuda Khalid bin Walid. Pernah ada yang mengucapkan ini di hadapan Khalid, “Wah, pasukan Romawi banyak sekali, sedangkan pasukan muslimin sedikit sekali!” Maka Khalid pun berkata, “Justru pasukan Romawi sedikit dan pasukan muslimin banyak sekali! Hanyasanya pasukan perang itu menjadi banyak dengan kemenangan dan menjadi sedikit dengan kekalahan, bukan dengan jumlah personil. Demi Allah, aku ingin sekiranya Asyqar sembuh dari penyakitnya meski jumlah mereka dilipatgandakan sebagai tebusannya.” Saat itu kudanya sudah tidak kuat lagi berjalan.[5]

Asyqar telah mempelajari perilaku shidiq dalam jihad dari tuannya. Berdua mereka telah bertempur dan melalui ribuan mil dalam rangka jihad fi sabilillah. Bahkan Khalid telah menaklukkan Persia dan Romawi dengan mengendarainya. Ia telah berpindah dari ujung negeri ke ujung yang lain, dari satu kemenangan ke kemenangan yang lain, tanpa mengenal lelah dan istirahat. Khalid telah melalui saat-saat yang mencekam bersamanya. Khalid telah berjalan siang-malam bersamanya. Khalid telah melewati keramaian dan tempat-tempat yang lengang bersamanya. Khalid telah memporak-porandakan musuh bersamanya. Sampai-sampai kaki Asyqar merapuh karena terlalu banyak berjalan. Sungguh, di atas punggungnya Khalid telah menaklukkan Persia dan Powami, dua kekuatan super power saat itu. Dan karena perilaku shadiq si Asyqar terhadapnya, Khalid berharap sekiranya Asyqar sembuh dari penyakitnya, walau jumlah personil pasukan Romawi dilipatgandakan. Jumlah yang banyak tidak ada apa-apanya di hadapan keshadiqan Asyqar dalam jihad. Begitulah kuda dan kendaraan kaum muslimin.

Benarlah sabda Nabi
saw. Ketika para sahabat berkata, “Qashwa (unta Nabi) menderum!”, beliau menimpali, “Bukan Qashwa` yang menderum, karena itu bukan kebiasaannya. Akan tetapi ia ditahan masuk oleh Allah yang pernah menahan gajah”[6]

Sebaliknya, jika keshadiqan seseorang hanya secuil, sedangkan yang banyak hanyalah kemaksiatan dan keburukannya, niscaya akan berimplikasi pada segalanya, termasuk kendaraannya. Benarlah pernyataan seorang salaf, “Aku telah bermaksiat kepada Allah, dan aku merasakan pengaruhnya pada polah istri dan binatang tungganganku.”





Maraji' : Washiyyatul Musthafa Li Ahlid-Da'wah, DR Abdullah Azzam Rahimahullah

[1] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhiy, sebagaimana tersebut di dalam Sirah Ibnu Hisyam vol. I/421. Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim dalam Dalailun Nubuwwah dari ‘Urwah bin Zubeir hal. 103. Di situ tidak disebutkan bahwa ia masuk islam. Namun di dalam al-Ishabah 2/466, Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Sulaiman at-Taimiy mengatakan, ‘Addas berkata kepada Nabi saw, ”Saya bersaksi bahwa Anda adalah hamba Allah dan rasul-Nya.”
[2] Imam Ahmad 5/562 meriwayatkannya dari Abu Umamah ra, terjemahan lafaznya sebagai berikut: “Ada seorang pemuda menemui Nabi saw berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk berzina.’ Orang-orang berpaling darinya dan mencemoohnya, berkata, ‘Ck..ck..’ Nabi saw bersabda, ‘Beri jalan supaya ia mendekat ke sini!’ Maka pemuda itu mendekati beliau lalu duduk. Beliau bertanya, ‘Apakah kamu suka jika ibumu dizinai?’ Pemuda itu menjawab, ‘Demi Allah tidak! Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu!’ Beliau menimpali, ‘Tidak ada seorang pun yang suka itu terjadi pada ibu-ibu mereka.’ Beliau melanjutkan, ‘Apakah kamu suka jika anak perempuanmu dizinai?’ Pemuda itu menjawab, ‘Demi Allah tidak! Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu!’ Beliau menimpali, ‘Tidak ada seorang pun yang suka itu terjadi pada anak-anak perempuannya.’ Beliau melanjutkan, ‘Apakah kamu suka jika saudara perempuanmu dizinai?’ Pemuda itu menjawab, ‘Demi Allah tidak! Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu!’ Beliau menimpali, ‘Tidak ada seorang pun yang suka itu terjadi pada saudara-saudara perempuannya.’ Beliau melanjutkan, ‘Apakah kamu suka bibi dari jalur ayahmu dizinai?’ Pemuda itu menjawab, ‘Demi Allah tidak! Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu!’ Beliau menimpali, ‘Tidak ada seorang pun yang suka itu terjadi pada bibi-bibinya.’ Beliau melanjutkan, ‘Apakah kamu suka jika bibi dari jalur ibumu dizinai?’ Pemuda itu menjawab, ‘Demi Allah tidak! Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu!’ Beliau menimpali, ‘Tidak ada seorang pun yang suka itu terjadi pada bibi-bibinya.’ Kemudian nabi meletakkan tangan beliau padanya seraya berucap, ‘Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya.’ Setelah kejadian itu, tidak sekali pun pemuda itu tertarik untuk berzina.”
Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syekh Albani.
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq seperti tertera dalam Sirah Ibnu Hisyam 2/662, diriwayatkan juga oleh ath-Thabaraniy dalam al-Mu’jamul Kabir 17/58 dari Muhammad bin Ja’far bin Zubeir. Isnadnya bagus hanyasaja mursal. Lihat : Majma’uz Zawaid 8/285.
[4] Ibnu Hisyam menyebutnya dalam as-Siratun Nabawiyyah vol. 2/100 dari Ishaq. Al-Baihaqiy juga meriwayatkannya sebagaimana tersebut di dalam al-Bidayah wan-Nihayah 4/47 dari Ibnu ‘Abbas ra dengan tambahan “Dan ‘Ashim bin Tsabit serta Harits bin Shamah”
[5] Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tarikh beliau 2/594 dari ‘Ubadah dan Khalid.
[6] Dirwayatkan oleh al-Bukhariy 5/329, Abu Dawud 365, dan Ahmad 4/323,329 dari Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Hakam dari sejumlah sahabat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar