Ketahuilah bahwa dien
ini hanya tegak di atas pundak orang-orang yang memiliki ‘azam yang kuat. Ia tidak akan tegak di atas pundak orang-orang
yang lemah dan suka berhura-hura, tidak akan pernah!
Dien (=agama) yang agung ini
hanya akan tegak di pundak orang-orang yang agung pula. Tanggung jawab besar
yang sempat dienggani oleh langit dan bumi, pasti hanya akan dipikul oleh
ahlinya, rijalnya.
Bagaimana mungkin Islam akan tegak tanpa ‘azam seteguh ‘azam Anas bin Nadlar yang pernah berkata,
“Sekiranya Allah memberi
kesempatan kepadaku untuk memerangi orang-orang musyrik, niscaya Dia akan
melihat apa yang aku lakukan.”
Lalu ia mengikuti perang
uhud, berperang, dan gugur di sana.
Pada tubuhnya didapati lebih dari 80 luka bekas anak panah, pedang, dan tombak.
Tubuhnya terkoyak tak terkenali lagi. Hanya saudara perempuannya yang
mengenalinya, dari jari-jemarinya.[1]
Bagaimana mungkin Islam
akan tegak dan kembali jaya dan mulia tanpa ‘azam
sekokoh ‘azam Abu Bakar ash-Shiddiq
saat terjadi gerakan murtad massal. Saat itu, ia yang telah lanjut usia dan
sangat gampang menangis, dengan ketegaran batu karang berkata, “Demi Allah, aku
akan memerangi siapa pun yang memisahkan antara shalat dan zakat. Sesungguhnya
zakat adalah hak harta. Demi Allah sekiranya mereka tidak membayarkan satu iqal
yang mereka bayarkan kepada Rasulullah r niscaya aku akan benar-benar memerangi mereka karenanya.”[2]
Ia juga berkata, “Demi
Allah yang tiada Ilah yang haq selain Dia, kalaupun anjing-anjing menyeret kaki
istri-istri Rasulullah saw, aku tidak akan menarik mundur pasukan yang telah
diberangkatkan oleh Rasulullah r dan aku pun tidak akan melipat panji yang telah dikibarkan oleh
Rasulullah r”[3]
Bagaimana mungkin Islam
akan tegak dan kembali mendapatkan kemuliaan dan ‘izzahnya tanpa tekad baja
seperti tekad Mush’ab bin ‘Umair. Tekad yang membuatnya meninggalkan kehidupan
masa muda, masa hura-hura[4],
menuju kehidupan yang keras, fakir, dan bersahaja. Tekad yang telah menjadikan
Mush’ab sebagai pintu masuk Islamnya kebanyakan penduduk Madinah.
Bahkan Anda akan
merasakan bahwa Mush’ab adalah seorang pemilik tekad, sampai di saat
kematiannya! Ia yang memegang panji dalam perang Uhud, tangan kanannya
terputus, sehingga ia memegangnya dengan tangan kiri. Tangan kirinya pun
terputus, maka ia memegang panji dengan kedua lengannya. Dalam keadaan seperti
itu, Ibnu Qum’ah ~yang terlaknat~ menyabetkan pedangnya, dan Mush’ab pun gugur,
semoga Allah merahmatinya. Bahkan lagi, mungkin Anda akan merasakan betapa
tekad Mush’ab melekat erat padanya. Mush’ab, seorang pemuda perlente … para
sahabat tidak mendapati kain yang cukup untuk mengkafaninya selain secarik
kain, jika bagian atasnya ditutup akan tampaklah kakinya, dan jika kakinya yang
ditutup akan tampaklah kepalanya! Maka Rasulullah saw memerintahkan mereka
supaya menutup bagian kepalanya, dan menutupi kedua kakinya dengan rumput idzkhir.
Bagaimana mungkin Islam
akan tegak dan kembali mendapatkan kemuliaan dan ‘izzahnya tanpa tekad baja
seperti tekad Shalahuddin al-Ayyubi. Tekad yang telah memporak-porandakan
pasukan salib di Hithin dan mengembalikan ummat Islam kepada aqidah yang benar…
setelah hampir saja tenggelam di kegelapan lautan Syi’ah dan kesesatan
Bathiniyyah.
Betapa kita sangat
membutuhkan tekad yang dimiliki oleh Shalahuddin al-Ayyubi. Tekad yang telah
menjadikan Sultan yang agung ini meninggalkan kemewahan hidup para raja, dan
justru memilih kehidupan di bawah kemah yang terombang-ambing ditiup angin di
tengah gurun sahara. Seluruh hidupnya dia habiskan di bawah terpaan terik dan
keringnya gurun pasir di musim panas serta dinginnya angin yang bertiup dan salju
yang turun di musim dingin… Ia bersama para mujahidin.
Betapa indah penuturan
seorang sejarawan, Ibnu Syidad tentangnya, “Kecintaan dan rindu dendamnya
terhadap jihad telah meluapi hati dan seluruh persendiannya. Semua
pembicaraannya tentang jihad. Semua kajiannya tentang perlengkapan jihad. Semua
perhatiannya tentang pasukan tempur. Semua kecenderungannya terhadap
orang-orang yang mengingatkan dan mendorong kepada jihad. Demi cintanya kepada
jihad fi sabilillah, ia telah meninggalkan keluarga, anak-anaknya, kampungnya,
tempat tinggalnya, dan seluruh negerinya dan rela memilih hidup di bawah kemah
yang bergoyang ke kanan dan ke kiri dihembus angin.”[5]
Jikalau bukan karena
Allah menganugerahkan tekad Shalahuddin al-Ayyubi kepada ummat ini, niscaya
dien ummat ini dan juga buminya akan sama rata, tidak tersisa tempat untuk
hidup baginya.
Bagaimana mungkin Islam
akan tegak dan kembali mendapatkan kemuliaan dan ‘izzahnya tanpa tekad baja
seperti tekad ‘Umar bin ‘Abdul‘aziz, yang lewat tangan ‘Umar Allah memperbaharui
kondisi ummat dalam waktu dua setengah tahun saja; sampai-sampai dikatakan
bahwa seekor serigala pun berdamai dengan seekor kambing pada masanya![6]
Ini bukanlah suatu hal yang aneh atau asing kecuali bagi orang-orang yang
ilmunya tentang Allah dan sunnah-Nya terhadap wali-wali-Nya hanya sedikit.
Betapa Islam sangat membutuhkan tekad semacam tekad ‘Umar
bin ‘Abdul‘aziz yang pernah dikirimi surat ‘protes’ oleh salah seorang
pegawainya. Isi surat
itu, “Sesungguhnya reformasi keuangan yang dilakukan oleh khalifah dan
penghapusan jizyah dari orang-orang Barbar yang masuk Islam pasti akan
mengakibatkan defisit pada kas negara.”
Maka ‘Umar pun
membalasnya sebagai berikut, “Demi Allah, aku benar-benar menginginkan andai
semua orang masuk Islam, lalu aku dan kamu ke sawah, membajak, dan makan dari
hasil jerih payah tangan kita.”[7]
Pada kesempatan lain
‘Umar berkata, “Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad sebagai pembawa petunjuk,
bukan penarik pajak.”[8]
Sehubungan dengan
urgensi tekad inilah Rasulullah r memohon kepada Rabb-nya, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon
kepada-Mu keteguhan dalam melaksanakan perintah dan tekad yang utuh untuk
memberi petunjuk.”
Ini adalah pengajaran
bagi kita, pendidikan bagi ummat Islam pada umumnya, dan bagi para aktivis pada
khususnya. Untuk itu, hendaknya kita banyak-banyak memanjatkan doa yang agung
ini disertai dengan memenuhi faktor-faktor pendukungnya.
Himmah, semangat yang tinggi benar-benar menggelegak di dalam dada
orang-orang yang memilikinya seperti air mendidih dalam kuali. Ia akan
mendorong pemiliknya untuk terus-menerus bekerja dari pagi hingga sore hari,
sehingga terwujudlah penuturan Imam Syafi’i, “Bagi rijal, istirahat itu sama saja dengan lalai.”
Pemilik himmah yang tinggi akan menjadikan syair
yang selalu digemakan oleh Imam Syafi’i berikut ini sebagai motto hidupnya.
أَنَا إِنْ عِشْتُ لَسْتُ أَعْدِمُ
قُوْتًا وَإِذَا مِتُّ لَسْتُ أُحْرَمُ قَبْرًا
هِمَّتِي هِمَّةُ الْمُلُوْكِ
وَنَفْسِي
نَفْسُ حُرٍّ تَرَى الْمَذَلَّةَ كُفْرًا
Aku, jika aku masih hidup aku pasti akan bisa…
makan. Dan jika aku mati aku pasti kebagian kuburan.
Semangatku adalah semangat para raja, jiwaku adalah …
jiwa yang merdeka, yang memandang kehinaan adalah kekafiran
Betapa rijal harakah Islamiyyah membutuhkan himmah yang tinggi itu. Himmah yang tidak mengenal kata
mustahil, yang tidak berhenti karena adanya aral melintang; apa pun itu..
Bukankah himmah telah menjadikan dua orang
sahabat Nabi r ~keduanya adalah
saudara kandung dan terluka parah dalam perang Uhud~ sebagai … kita biarkan
salah seorang dari keduanya mengisahkan sendiri tentang himmahnya yang tinggi, “Aku dan saudara kandungku sama-sama
mengikuti perang Uhud bersama Rasulullah r. Kami berdua pulang dalam keadaan terluka parah. Ketika seorang
utusan Rasulullah r mengumandangkan seruan
untuk keluar kembali mengejar musuh, aku katakan kepada saudaraku ~atau ia
katakan kepadaku~, ‘Apakah kita akan kehilangan kesempatan berperang bersama
Rasulullah r?!’ Demi Allah, kami
tidak memiliki tunggangan untuk berangkat padahal kami berdua benar-benar
terluka parah. Kendati demikian, kami tetap berangkat bersama Rasulullah r. Lukaku lebih ringan daripada luka
saudaraku. Ketika ia benar-benar tidak mampu lagi berjalan, maka aku
mengendongnya. Jika aku kelelahan menggendongnya, ia pun berjalan
tertatih-tatih, dan begitu seterusnya sampai kami berdua tiba di tempat
pemberhentian kaum muslimin.”[9]
Perlu diketahui bahwa
Hamra`ul Asad, tempat pemberhentian yang ditetapkan oleh Nabi r berjarak lebih dari delapan mil dari kota Madinah!
Saya sendiri sangat
takjub dengan himmah Waraqah bin
Naufal. Seorang yang telah lanjut usia, lemah jasadnya, rapuh tulangnya,
bungkuk punggungnya, dan memutih rambutnya… kepada Rasulullah r ia ber’azam,
“Sungguh, jika aku nanti mendapati harimu, aku akan menolongmu dengan
sebenar-benarnya!”[10]
Lalu ia mendekatkan kepala Nabi kepadanya dan menciumnya.
Waraqah yang telah renta
itu pernah berharap mendapati masa turunnya wahyu sehingga ia berkesempatan
untuk membantu dakwah Rasulullah r
Sebenarnyalah, kata-kata
Waraqah bin Naufal ini menyisakan pengaruh yang sangat kuat dalam diri saya dan
banyak ikhwah. Seorang yang sudah sangat tua menantang dunia seisinya demi
menolong Rasulullah r. Bahkan ia sempat
berharap menjadi orang yang pertama kali masuk Islam dan yang pertama kali
mengikuti Rasul r yang mulia, sampai
‘walau Mekah terguncang’. Itu pun tidak cukup! Ia masih meneriakkan dengan
lantang di hadapan orang-orang musyrik, sekiranya Allah memanjangkan umurnya
sampai hari itu tiba, niscaya akan dapat disaksikan upaya dahsyat darinya demi
menegakkan kebenaran dan membela Rasul r meski orang-orang kafir menghalangi. Ia tidak takut kepada celaan
selagi berada di jalan Allah.
Kalimat-kalimat Waraqah
benar-benar mengalirkan ‘darah muda’ dan semangatnya di dalam dada saya, sesuatu yang selama ini
saya dan para aktivis selalu mencari-carinya, padahal saya masih muda. Saya
merasa, Waraqah benar-benar siap untuk memerangi dunia seisinya sendirian demi
menjaga dan membela Rasul r yang mulia. Masih banyak sekali pelajaran yang dapat diambil dari
kisah Waraqah bin Naufal. Saya berharap semoga Allah memberikan kesempatan
kepada saya untuk menampilkannya dalam sebuah risalah khusus.
Benarlah kata orang,
إِذَا كَانَتِِِ النُّفُوْسُ كِبَارًا
تَعِبَتْ فِيْ مُرَادِهَا اْلأَجْسَامُ
Apabila jiwa-jiwa itu besar
Tubuh ‘kan
lelah memenuhi keinginannya
Semoga Allah merahmati orang yang telah mengucapkan kalimat
berikut, “Wahai orang yang meminang bidadari surga tetapi tidak memiliki
‘sepeser’ pun semangat, jangan Anda bermimpi, jangan Anda bermimpi! Telah sirna
manisnya masa muda dan yang tersisa tinggallah pahitnya penyesalan.”
Benar juga Ibnul Qayyim yang telah berkata, “Wahai orang
yang bersemangat banci! Ketahuilah, yang paling lemah di papan catur adalah bidak.
Namun jika ia bangkit, ia bisa berubah menjadi menteri.”
Maraji' : Washiyyatul Musthafa Li Ahlid-Da'wah, DR Abdullah Azzam Rahimahullah
Maraji' : Washiyyatul Musthafa Li Ahlid-Da'wah, DR Abdullah Azzam Rahimahullah
[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhariy 6/21,
Muslim 13/48, at-Tirmidziy 3200, an-Nasa`iy, dan Ahmad dalam Musnad 3/194 dari
Anas bin Malik ra. Di akhir hadits, Anas
berkata, “Kami menyangka berkenaan dengannya dan orang-orang yang semisal
dengannya ayat ini turun.
مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوْا
مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ
Di antara orang-orang beriman ada
rijal yang memenuhi janji mereka kepada Allah.
[2] Diriwayatkan oleh al-Bukhariy
13/14, Ahmad dalam Musnad 3/11 dari Abu Hurairah ra.
[3]
Diriwayatkan oleh al-Baihaqiy seperti tertera dalam al-Bidayah wan
Nihayah, Ibnu Katsir 6/11.
[4] Ibnu
Sa’ad meriwayatkan dalam ath-Thabaqat 3/82 dari Muhammad al-‘Abdari dari
ayahnya katanya, “Mush’ab bin ‘Umair dulu adalah seorang pemuda Mekah yang
paling ganteng.”
[5] Biografi Shalahuddin berjudul ‘an-Nawadir
as-Sulthaniyyah wal Mahasin al-Yusufiyyah’ karya Baha`uddin yang lebih dikenal
dengan Ibnu Syidad (633 H.) hal. 16 cet. Muhammad Shabih th. 1346 H.
[6] Berkenaan dengan ini ada tiga atsar; dari
Malik bin Dinar, Hasan al-Qishar, dan Musa bin A’yun.
Dari Malik bin Dinar katanya,
“Ketika ‘Umar bin ‘Abdul‘aziz
memerintah, para penggembala kambing di puncak-puncak gunung pernah
bertanya, ‘Siapa khalifah shalih yang sedang memimpin manusia saat ini?’ Maka
ada yang balik bertanya, ‘Bagaimana kamu bisa tahu tentang hal itu?’ Mereka
menjawab, ‘Begini, jika seorang khalifah yang shalih memerintah, kami mendapati
serigala dan singa enggan memangsa ternak kami.’”
Atsar ini setidaknya berderajat
hasan. Di antara para perawinya ada Ja’far adl-Dlab’iy yang kabarnya cenderung
kepada Syi’ah. Hanyasaja para imam ahli jarh wa ta’dil lebih cenderung
untuk menguatkan hadits-haditsnya dan mengkategorikannya sebagai hadits hasan.
Atsar ini dan dua atsar tersebut di
atas dapat dibaca dalam Hilyatul Auliya` karya Abu Nu’aim 5/255 dan dalam Sirah
‘Umar bin ‘Abdul‘aziz karya Ibnul Jauzi hal. 70 cet. Al-Muayyad th. 1331 H. dan
dalam ath-Thabaqatul Kubra, Ibnu Sa’ad 5/386-387.
[7] Ibnul Jauzi menyebutkan ini dalam Sirah ‘Umar
bin ‘Abdul‘aziz hal. 99 dari Jabir bin Hanzhalah adl-Dlab’iy. Disebutkan bahwa
yang menulis surat itu adalah ‘Adi bin Artha`ah.
[8] Diriwayatkan oleh Abu Yusuf dalam kitab
al-Kharaj hal. 142 dari para ulama Kufah dengan sedikit perbedaan lafazh.
[9] Diriwayatkan
oleh Ibnu Ishaq dari ‘Abdullah bin Kharijah bin Zaid bin Tsabit dari Saib bekas
budak ‘Aisyah binti ‘Utsman. Sirah Ibnu Hisyam vol. 2/101. Dari al-Waqidiy,
Ibnu Sa’ad dalam kitab ath-Thabaqat 3/21 menyebutkan bahwa ‘Abdullah bin Sahal
dan saudaranya Rofi’ bin Sahal ra adalah dua orang
yang turut keluar sampai di daerah Hamra`ul Asad dalam keadaan terluka parah.
Salah satu dari mereka menggendong yang lain. Keduanya tidak memiliki binatang
tunggangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar