Rabu, 19 Desember 2012

Perbaharui Imanmu


Wahai saudaraku yang mulia, perbaharuilah selalu imanmu dari waktu ke waktu... Pembaharuan ini sangat penting bagi setiap muslim umumnya dan para aktivis pada khususnya. Mengapa?

Karena seorang aktivis Islam sangat mungkin disibukkan dengan amal dakwah, manajemen berbagai urusan dan kebutuhan, serta memikirkan semuanya. Atau juga disibukkan dengan banyaknya kerja nyata dalam amal islami ataupun upaya untuk menghadapi musuh dengan bermacam metode yang disyariatkan Islam.


Amal-amal di atas sangat mungkin menyita waktu sehingga tiada lagi waktu bagi amal hati serta perhatian yang seharusnya diberikan kepadanya.

Sungguh, seorang muslim berjalan menuju Allah dengan hatinya, bukan dengan anggota badannya. Kedudukan anggota badan dalam kebaikan tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai reflektor dari shalihnya hati dan himmah (keinginan)nya untuk melakukan kebaikan itu. Tersitanya waktu ini tentunya dapat mengakibatkan taqshir, berkurangnya intensitas dan kualitas, sehingga akan berkuranglah sebagian dari makna iman batin dari hati, keihklasannya kepada Allah, misalnya. Mungkin saja pada suatu masa, seorang aktivis akan mencari-cari keikhlasan yang pernah dimilikinya di awal-awal iltizamnya.


Ada beberapa hal yang mungkin berkurang dari seorang aktivis; kejujuran, keyakinan, kezuhudan, tawakkal, khasyyah, inabah, ketundukan, dan mahabbahnya. Bisa saja seorang aktivis ~setelah masa berlalu beberapa saat~ mengandaikan kondisi hatinya dapat kembali seperti saat ia beriltizam pertama kali bersama para ikhwan. Semua ini hadir sebagai buah dari sikap meremehkan amalan hati. Anda akan melihat ~setelah masa berlalu beberapa saat~ ada aktivis yang terlalu banyak mengobrol tanpa ada urgensinya, ada yang terlalu banyak melakukan hal-hal yang mubah semisal banyak makan dan banyak gaul tanpa ada mashlahat diniyah, banyak tidur dan malas, tidak mengupayakan manajemen waktu, serta membiarkannya berlalu tanpa ada faedah atau mashlahat syar’iyyah. Ya, walaupun yang ia kerjakan bukan sesuatu yang haram atau makruh sekalipun. Ini semua penyebabnya adalah taqshir (kemalasan dan ketidakseriusan), termasuk hal mubah yang banyak menyita waktu tanpa imbalan dien dan bahkan dunia. Yaitu meremehkan perintah Rasulullah saw
yang telah menyeru kepada setiap muslim untuk memperbaharui imannya apapun kelas imannya, apa pun amalnya dan setinggi apa pun kedudukannya di dalam sebuah jamaah Islam. Beliau telah bersabda

جَدِّدُوْا دِيْنَكُمْ

Perbaharuilah dien kalian![1]

Beliau juga sering sekali bersumpah dengan mengucapkan kata
لاَ وَمُقَلِّبِ الْقُلُوْبِِ

Tidak, demi (Dzat) yang membolak-balikkan hati.[2]


Saya telah mendapati banyak sekali fenomena ‘futur’ pada diri sebagian aktivis Islam atau keterpurukan mereka dalam kubangan syubhat dan syahwat disebabkan mereka kurang memperbaharui iman. Dan ini adalah tanggungjawab bersama antara pribadi, qaid, dan jamaah itu sendiri..


Banyak pula kita jumpai aktivis-aktivis yang telah mencapai prestasi yang baik dalam beriltizam dan beramal di dalam Islam, pun telah pula menghabiskan sebagian dari umur mereka untuk sesuatu yang penuh arti, ... namun tiba-tiba saja mereka terpuruk, berbalik 180 derajat... Semua itu menjadi suatu kepastian dikarenakan oleh taqshir dalam amal hati. Ya, bagaimana mungkin ia dapat berjalan menuju Allah sementara hatinya diam tidak bergerak, berhenti di tengah jalan, dan bekal yang dimilikinya telah habis tanpa sempat mencari yang lainnya?!


Bekalnya terdahulu telah habis bersamaan dengan sampainya ia ke satu jenjang tertentu dari perjalanannya menuju Allah. Kini tiada yang tersisa dan tepuruklah sang hamba di atas ‘kesuksesan’ yang menjerumuskan: tipuan syubhat dan hinanya syahwat.


Lebih dari itu, kebanyakan ‘hambatan’ yang muncul begitu saja menghadang seorang aktivis di tengah jalan kebanyakannya kembali kepada kurangnya amal hati dan kurangnya perhatian untuknya berkait dengan makna-makna iman. Hambatan internal itu bisa berupa; cinta dunia, mementingkan diri sendiri yang menggantikan itsar, loba dan tamak yang menggantikan zuhud dan wara’, keras dan kasar kepada orang-orang yang beriman yang menggantikan kasih-sayang dan lemah-lembut kepada mereka, memberikan loyalitas kepada orang-orang zhalim yang menggantikan loyalitas kepada orang-orang yang beriman, ‘ujub dan kibr (sombong) yang menggantikan tawadlu’, serta tinggi hati yang menggantikan keikhlasan... Padahal tanpa makna iman ini hati tidak akan dapat hidup... Semua kembali kepada sikap meremehkan masalah pembaharuan iman, baik dari diri pribadi, qaid, maupun jamaah. Mereka semua bertanggungjawab bersama dalam masalah ini.

Adalah tafsir syekh ‘alim yang membuat saya terkagum-kagum berkaitan dengan firman Allah:
يَاءَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا ءَامِنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَالْكِتاَبِ الَّذِيْ نَزَّلَ عَلَى رَسُوْلِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِيْ أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. (QS.An-Nisa` : 136)

Dalam salah satu majelis beliau, di hadapan para ikhwan beliau mengatakan, “Bagaimana bisa al-Qur`an menuntut keimanan dari orang-orang yang beriman sedangkan mereka telah beriman? Bahkan khithab ayat tersebut berbunyi ‘Hai orang-orang yang beriman!’? Apa sebenarnya makna iman yang dituntut oleh al-Qur`an ini?” Lalu beliau melanjutkan, “Sesungguhnya ayat ini menuntut mereka untuk senantiasa memperbaharui iman. Yang demikian itu karena memang iman memerlukan pembaharuan dari waktu ke waktu.”




Maraji' : Washiyyatul Musthafa Li Ahlid-Da'wah, DR Abdullah Azzam Rahimahullah

[1] Hadits riwayat at-Tirmidziy 3522 dan Ahmad 6/294 dari Ummu Salamah ra. Dengan sedikit perbedaan, hadits ini diriwayatkan juga oleh at-Tirmidziy 2140 dan Ibnu Majah 3834 dari Anas bin Malik ra
[2] Hadits riwayat al-Bukhariy 11/523, at-Tirmidziy 1540, an-Nasa`iy 7/3, Ibnu Majah 2092, dan Ahmad di dalam Musnad 2/26 dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar