Derajat berbuat baik
kepada keduanya lebih tinggi daripada derajat bersikap adil. Bahkan Allah
memposisikan perbuatan baik untuk keduanya setelah beribadah kepada-Nya,
langsung.
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ
تَعْبُدُوْا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya
kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya.
(QS.Al-Isra` : 23)
Allah SWT telah melarang pengucapan kata-kata ‘Ah!’ yang ditujukan kepada salah satu dari keduanya. Lalu bagaimana dengan yang lebih dari itu?
Meski begitu, kita masih
mendapati ada segelintir ikhwah ~yang belum lama beriltizam~ yang tidak
menunaikan kewajiban ini. Saya tidak mengatakan, berbuat baik kepada kedua
orang tua mereka, sebab berbuat adil pun tidak. Tetapi malah durhaka kepada
mereka. Kadang terdengar kabar ada yang berkata kasar kepada ayahnya,
mengeraskan suara di hadapannya, tidak mentaatinya dalam urusan yang wajib atau
yang mubah, bahkan pernah terdengar adanya seseorang yang menghardik atau
mencaci maki ibunya!
Kepada mereka saya
katakan, “Sesungguhnya berbakti kepada kedua orang tua adalah kewajiban agama
seperti halnya dakwah, amar makruf nahi munkar, jihad, dan shalat.. Durhaka
kepada keduanya merupakan salah satu dosa besar yang tidak berpaut jauh dari
dosa besar semacam zina, mencuri, atau yang lainnya, bahkan bisa jadi durhaka
kepada keduanya ini lebih besar. Nah, atas alasan apa Anda memilah-milah Islam,
menerima sebagiannya dan menolak sebagian yang lain? Bukankah Anda pula yang
telah mencela orang-orang Sekuler habis-habisan, dan bukankah Anda juga yang
menggemakan firman Allah.
أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ
الْكِتَابِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ
Apakah kalian beriman
kepada sebagian al-Kitab dan kufur kepada sebagian yang lain. (QS.Al-Baqarah : 85)
Mengapa Anda melarang orang lain tetapi Anda sendiri melakukannya?
لاَ تَنْهَ عَنْ خُلُقٍ وَتَأْتِيْ
مِثْلَهُ عَارٍ عَلَيْكَ إِذَا فَعَلْتَ عَظِيْمُ
Janganlah Anda melarang
suatu perilaku
tetapi Anda melakukan
yang semisal dengannya
Adalah aib yang sangat
besar
jika Anda nekat
melakukannya.”
Kepada mereka saya katakan juga, “Ingatlah juga bahwa Islam memuliakan kedua orang tua sampai-sampai Anda dibolehkan ~bahkan diharuskan~ untuk membatalkan shalat sunnah demi menyahut panggilan keduanya.”
Mereka mestinya juga
mengingat kisah Juraij, seorang ‘abid
dari kalangan Bani Israil dan ibunya yang dikisahkan langsung oleh Rasulullah SAW Imam al-Bukhariy dan Muslim meriwayatkan
dari Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW sabdanya,
“Juraij adalah seorang ‘abid. Ia menetap di sebuah sinagog. Suatu hari ketika ia sedang mengerjakan shalat, ibunya datang memanggilnya. ‘Juraij!’, panggil ibunya. Di dalam hati Juraij berkata, ‘Duhai Rabbku, ibuku atau shalatku?’ Juraij memilih shalatnya, dan ibunya pun pergi meninggalkannya. Keesokan harinya ibunya datang lagi dan ia pun sedang mengerjakan shalat. ‘Juraij!’, seru ibunya. Di dalam hati Juraij berkata, ‘Duhai Rabbku, ibuku atau shalatku?’ Juraij memilih shalatnya, dan ibunya pun pergi meninggalkannya. Keesokan harinya ibunya datang lagi dan lagi-lagi ia pun sedang mengerjakan shalat. ‘Juraij!’, seru ibunya. Di dalam hati Juraij berkata, ‘Duhai Rabbku, ibuku atau shalatku?’ Juraij memilih shalatnya, dan di saat itulah ibunya berdoa, ‘Ya Allah, janganlah Engkau sampaikan ajalnya ia sampai ia melihat wajah-wajah wanita jalang!’
Suatu hari di saat Bani Israil memperbincangkan Juraij dan ibadahnya, datang seorang pelacur yang sangat cantik. Wanita itu berkata, ‘Jika kalian menginginkan, aku akan menggodanya untuk kalian.’ Lalu wanita itu pergi menemui dan menggoda Juraij, namun Juraij bergeming, bahkan menoleh pun tidak. Maka wanita itu mendatangi seorang penggembala yang kebetulan berteduh di sinagog Juraij, digodanya, dan penggembala itu pun berzina dengannya. Akhirnya pelacur itu hamil. Setelah proses persalinan ia berkata, ‘Ini hasil hubunganku dengan Juraij.’ Maka orang-orang mendatangi Juraij, mengeluarkannya dari sinagog, merobohkan sinagognya, dan memukulinya. ‘Apa-apaan ini?!’, tanya Juraij. Orang-orang itu berkata, ‘Kamu telah berzina dengan wanita ini, dan ia telah melahirkan bayi hasil hubunganmu dengannya.’ ‘Mana anak itu?!’, tanya Juraij. Mereka membawa bayi itu kepada Juraij, lalu Juraij berkata, ‘Tunggu sebentar, biarkan aku mengerjakan shalat dulu!’ Juraij pun mengerjakan shalat. Seusai mengerjakannya, Juraij mendatangi bayi itu dan dipukulnya perut bayi itu seraya berkata, ‘Hei anak kecil, siapa bapakmu?’ Bayi itu menjawab, ‘Fulan, si penggembala.’ Orang-orang yang hadir terperangah dan mereka pun menciumi Juraij serta meminta berkah darinya. Mereka berkata, ‘Biarlah kami bangun kembali sinagogmu dari emas!’ ‘Tidak!’, kata Juraij ‘Bangunlah dari tanah liat seperti sedia kala!’ Maka mereka pun membangunnya kembali..”[1]
“Juraij adalah seorang ‘abid. Ia menetap di sebuah sinagog. Suatu hari ketika ia sedang mengerjakan shalat, ibunya datang memanggilnya. ‘Juraij!’, panggil ibunya. Di dalam hati Juraij berkata, ‘Duhai Rabbku, ibuku atau shalatku?’ Juraij memilih shalatnya, dan ibunya pun pergi meninggalkannya. Keesokan harinya ibunya datang lagi dan ia pun sedang mengerjakan shalat. ‘Juraij!’, seru ibunya. Di dalam hati Juraij berkata, ‘Duhai Rabbku, ibuku atau shalatku?’ Juraij memilih shalatnya, dan ibunya pun pergi meninggalkannya. Keesokan harinya ibunya datang lagi dan lagi-lagi ia pun sedang mengerjakan shalat. ‘Juraij!’, seru ibunya. Di dalam hati Juraij berkata, ‘Duhai Rabbku, ibuku atau shalatku?’ Juraij memilih shalatnya, dan di saat itulah ibunya berdoa, ‘Ya Allah, janganlah Engkau sampaikan ajalnya ia sampai ia melihat wajah-wajah wanita jalang!’
Suatu hari di saat Bani Israil memperbincangkan Juraij dan ibadahnya, datang seorang pelacur yang sangat cantik. Wanita itu berkata, ‘Jika kalian menginginkan, aku akan menggodanya untuk kalian.’ Lalu wanita itu pergi menemui dan menggoda Juraij, namun Juraij bergeming, bahkan menoleh pun tidak. Maka wanita itu mendatangi seorang penggembala yang kebetulan berteduh di sinagog Juraij, digodanya, dan penggembala itu pun berzina dengannya. Akhirnya pelacur itu hamil. Setelah proses persalinan ia berkata, ‘Ini hasil hubunganku dengan Juraij.’ Maka orang-orang mendatangi Juraij, mengeluarkannya dari sinagog, merobohkan sinagognya, dan memukulinya. ‘Apa-apaan ini?!’, tanya Juraij. Orang-orang itu berkata, ‘Kamu telah berzina dengan wanita ini, dan ia telah melahirkan bayi hasil hubunganmu dengannya.’ ‘Mana anak itu?!’, tanya Juraij. Mereka membawa bayi itu kepada Juraij, lalu Juraij berkata, ‘Tunggu sebentar, biarkan aku mengerjakan shalat dulu!’ Juraij pun mengerjakan shalat. Seusai mengerjakannya, Juraij mendatangi bayi itu dan dipukulnya perut bayi itu seraya berkata, ‘Hei anak kecil, siapa bapakmu?’ Bayi itu menjawab, ‘Fulan, si penggembala.’ Orang-orang yang hadir terperangah dan mereka pun menciumi Juraij serta meminta berkah darinya. Mereka berkata, ‘Biarlah kami bangun kembali sinagogmu dari emas!’ ‘Tidak!’, kata Juraij ‘Bangunlah dari tanah liat seperti sedia kala!’ Maka mereka pun membangunnya kembali..”[1]
Juraij yang sedang
mengerjakan shalat sunnah enggan untuk membatalkan shalatnya demi menjawab
panggilan ibunya. Ia mengira menyelesaikan shalat lebih baik daripada menjawab
panggilan ibunya, lebih baik daripada berbakti kepadanya. Ia melakukan hal itu
tiga kali pada hari yang berbeda. Dalam tiga kali itu ia tidak menyahut atau
menjawab seruan ibunya. Lalu sang ibu berdoa kepada Allah, dan Allah
mengabulkannya sebagai pelajaran agung bagi Juraij tentang prioritas amal dalam
dienullah, dan bahwa birrul walidain serta
berbuat baik kepada keduanya lebih agung dan lebih utama ~kelak saat ditimbang
di akhirat~ daripada semua shalat sunnah.
Berangkat dari urgensi
pelajaran agung yang telah dipelajari Juraij inilah Rasulullah r ingin mengajarkannya kepada ummatnya,
sebagai bukti rasa kasih beliau kepada mereka, dan supaya tidak terulang
kembali kesalahan yang pernah dialami Juraij, khususnya menyangkut orang-orang
shalih, para penegak dien, dan siapa saja yang melakoni hidup seperti Juraij.
Karena akibat yang akan menimpa mereka jauh lebih hebat daripada yang menimpa
orang-orang selain mereka.
Kepada beberapa ikhwah yang kurang berbakti kepada kedua orang tua mereka saya sarankan untuk mengingat kisah Uwais al-Qarniy, seorang tabi’in yang kedatangannya dikabarkan oleh Rasulullah r kepada ‘Umar bin Khathab, “Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama sekian penduduk Yaman, dari daerah Murad, Qaran. Ia pernah terjangkit penyakit kulit, lalu sembuh dan tersisa seukuran uang satu dirham. Ia memiliki seorang ibu hal mana ia sangat berbakti kepadanya. Apabila ia bersumpah, memohon kepada Allah, niscaya Allah akan mengabulkannya. Jika kamu dapat memintanya untuk beristighfar untukmu, lakukanlah!” Maka ‘Umar selalu bertanya-tanya tentangnya kepada orang-orang yang datang dari Yaman sampai ia bertemu dengan Uwais. ‘Umar membawakan hadits Nabi. ‘Beristighfarlah untukku!’, katanya kemudian. Dan Uwais pun memenuhinya.[2]
Saudara-saudaraku, tinggi dan mulia sekali derajat yang dicapai oleh sseorang tabi’in ini. Sungguh, sekiranya saya memaparkan ketinggiannya pada lembaran-lembaran kertas, hal itu tidak akan pernah mencukupinya. Cukuplah kiranya pujian dari Rasulullah SAW dan pemberitaan tentangnya kepada seorang sahabat. Apalagi beliau SAW menganjurkan ‘Umar bin Khathab supaya memintanya untuk beristighfar untuknya... Siapa yang tidak mengenal ‘Umar bin Khaththab, kedudukannya dalam dienullah, dan kedudukannya di sisi Allah?! Rasulullah menyatakan, jika tabi’in ini memohon sesuatu kepada Allah, Dia pasti akan mengabulkannya. Bahkan beliau juga menganjurkan para sahabat apabila berjumpa dengannya, hendaklah mereka memintanya supaya beristighfar bagi mereka. Dalam salah satu riwayat Imam Muslim disebutkan sabda beliau, “Siapa pun di antara kalian yang berjumpa dengannya, mintalah supaya ia beristighfar untuk kalian!” Dan dalam riwayat yang lain, “Maka suruhlah ia supaya beristighfar untuk kalian!” Semua kemuliaan dan kedudukan yang tinggi ini diraih oleh Uwais al-Qarniy karena baktinya kepada sang ibu.
Subhanallah! Berapa derajat yang akan diraihnya seandainya bapaknya masih hidup dan ia berbakti kepada keduanya?! Sungguh, ini adalah pelajaran yang agung bagi siapa-siapa yang punya hati, mau mendengar, dan mau menyaksikan.
Dalam pada ini saya
menyeru kepada semua ikhwah, saya katakan, “Sesungguhnya manusia yang paling
utama untuk kalian dakwahi adalah kedua orang tua, keluarga, dan kerabat.
Bukankah Allah telah berfirman
وَأَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ
اْلأَقْرَبِيْنَ
Dan berilah peringatan
kepada kerabat dekatmu! (QS.Asy-Syu’ara` : 214)
Apakah ada di antara kalian yang ingin masuk surga sementara dalam waktu yang sama ia ingin ibu atau bapaknya masuk neraka? Atau salah satunya disiksa pada hari kiamat akibat kekurangseriusannya dalam mengajaknya kepada kebenaran, petunjuk, dan cahaya?
Sebagaimana saya mengingatkan setiap aktivis untuk mengasihi manusia secara umum, saya pun mengingatkannya supaya mereka mengasihi kedua orang tua, keluarga, dan kerabat mereka. Saya katakan, “Jika Anda mendapati salah seorang dari keduanya ~atau keduanya~ tengah bermaksiat, hendaklah mengasihinya dan mengingatkannya dengan lemah lembut. Hendaknya Anda selalu ingat bahwa menurut aturan syara’ mengingkari kemungkaran yang dilakukan oleh kedua orang tua hanya boleh menggunakan pengingkaran tingkat pertama; mengingkarinya dengan bahasa yang halus, penuh kasih sayang, dan lemah lembut. Anda ‘cukup’ tidak mentaati keduanya dalam kemaksiatan. Tidak mentaati keduanya sepanjang masa hanya dikarenakan keteledorannya dalam pelbagai urusan dien, haram mutlak! Anda harus selalu mentaati keduanya dalam setiap perkara mubah, sunnah, atau wajib dari dien ini, meskipun keduanya termasuk ahli maksiat, atau bahkan kafir sekalipun. Anda harus menjalin hubungan yang baik dengan keduanya, mempergauli mereka dengan makruf, berkhidmat kepada keduanya, dan memenuhi kebutuhannya jika Anda mampu.
Jangan sekali-kali Anda
menyusahkan atau menyakiti keduanya. Jangan sekali-kali Anda beranggapan bahwa
bapak Anda telah menjadi gombal, kain
usang di dalam rumah, sedangkan Anda telah menjadi tuan rumah yang berkuasa,
menggantikannya. Jangan Anda memukul adik-adik Anda dengan atau tanpa sebab.
Jangan Anda berlaku congkak di hadapan semuanya atas nama mengusir kemungkaran
yang ada di dalam rumah.
Bisa jadi, kerusakan
yang Anda lakukan ini justru lebih besar dibandingkan kemungkaran yang
sebenarnya para ulama masih berselisih pendapat di dalamnya. Sekiranya Anda
menyeru mereka dengan seruan yang benar, beralaskan bashirah, dan Anda ajarkan dien dengan sebenarnya, niscaya Anda
akan mendapati keadaan yang sangat berbeda; segalanya berjalan sesuai dengan
keinginan Anda bahkan lebih! Bisa-bisa Anda menemukan seseorang dari anggota
keluarga Anda yang lebih baik daripada diri Anda sendiri dan lebih dekat kepada
Allah daripada diri Anda sendiri.
Menurut pengalaman
panjang dalam hidup saya, saya mendapati bahwa seorang pendurhaka kepada kedua
orang tuanya tidak akan lama bertahan di jalan kebenaran; ia hanya akan
berjalan bersama jamaah Islam beberapa langkah saja, lalu ia akan terfitnah
dengan dunia dan melangkah jauh entah ke mana. Mungkin rahasianya adalah
~wallahu a’lam~ “Barangsiapa tidak berbuat baik kepada kedua orang tuanya ia
pun tidak akan berbuat baik di dalam Islam dan jamaah Islam.”
Kepada para da’i dan pemimpin jamaah Islam hendaklah selalu bertanya kepada saudara-saudaranya dan anggotanya tentang hubungan mereka dengan orang tua dan keluarga mereka. Hendaknya mereka serius memanifestasikan firman Allah
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Dan berbuat baiklah
kepada kedua ibu bapak! (QS.Al-Isra` : 23)
Sungguh! Jika kemaksiatan sebesar durhaka kepada kedua orang tua meluas dan merajalela, ini dapat merobohkan jamaah Islam secara total dan bisa menjadi faktor utama datangnya kemurkaan Allah. Na’udzubillahi min dzalik.
Alhamdulillah, jika kita perhatikan keadaan kita di sini (bukan di Indonesia, pent.) kita saksikan ikatan yang kuat antara ikhwah dengan keluarga mereka. Kita temui kecintaan yang agung dan sikap saling menghargai. Kita dapati rata-rata keluarga ikhwah ~setelah setahun atau paling lama dua tahun sejak seorang aktivis menyatakan iltizam~ menyatakan iltizam kepada Islam secara total. Seringkali kita menjumpai di antara keluarga aktivis itu, seseorang yang lebih kuat iltizamnya, lebih baik, dan lebih kukuh daripada aktivis itu sendiri. Itulah fadllullah yang Dia berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Saya benar-benar telah
menyaksikan dengan sebenarnya…
Saya telah menyaksikan bapak, ibu, dan istri para aktivis turut merasakan penderitaan panjang di jalan Allah.. bertahun-tahun.. Mereka telah menampilkan satu tauladan terbaik dalam hal kesabaran, keteguhan di atas kebenaran, dan dukungan yang sangat kuat bagi para mujahidin.
Bukti yang paling nyata adalah adanya ratusan ibu-ibu, bapak-bapak, dan para istri yang berdiri berjam-jam setiap harinya, dibakar terik matahari musim panas, diguyur deras hujan musim penghujan, merasakan kesulitan, derita, dan beban melebihi yang diderita oleh para aktivis..
Mereka menunggu selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Mereka bersabar untuk berpisah dengan anak dan suami mereka. Mereka kehilangan nafsu makan, dan mereka ingin membawa makanan itu kepada anak-anak mereka. Sebagian mereka bahkan tertidur dengan perut kosong..
Mereka terus saja bersabar dan mengharapkan ridla Allah. Mereka berada dalam jihad yang tidak lebih kecil daripada jihad yang dilakukan anak dan suami mereka, jika bukan malah lebih besar. Dan apa yang mereka lakukan ini ternyata memberikan pengaruh yang sangat besar dalam diri anak-anak dan suami mereka, menambah kekuatan dan keteguhan mereka dalam menanggung beban derita di jalan Allah.
taujihat DR Abdullah Azzam rahimahullah...
[1]
Diriwayatkan oleh al-Bukhariy 6/476, Muslim 16/106, dan Ahmad 2/307 dari
Abu Hurairah ra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar