Rabu, 19 Desember 2012

'Aktifis' dakwah banyak, tapi yang AKTIF sedikit

Hari ini kita melihat jumlah ikhwah multazimin yang banyak sekali, sampai-sampai kita bisa melihat di satu kota, ada ratusan ikhwah di sana! Meski jumlah mereka luar biasa, namun jika Anda mencoba untuk menghitung jumlah personal yang aktif, bersungguh-sungguh, dan penuh semangat, sehingga pantas disebut sebagai aktivis Islam, niscaya anda akan mendapati jumlah mereka tidak mencapai seratus orang. Bahkan Anda dapat menghitung dengan mudah dan menyebutkan nama-nama mereka..

Lalu, mana kerja, usaha, dan sumbangsih sekian ribu multazim itu?! Mana dakwah, hisbah, dan jihad mereka?!

Mereka mengambil peran sebagai penonton, tak lebih. Mereka merasa cukup sekedar telah berpindah dari jahiliyah kepada Islam.. Setelah itu, mereka berhenti di titik ini, tidak ingin meninggalkannya, tidak berhasrat untuk meningkat ke titik berikutnya, bahkan untuk sekedar mempersiapkan diri mereka sendiri sehingga nantinya mereka sanggup melangkah dan memberikan sumbangsih dalam pelbagai bidang amal islami.

Jika salah seorang dari mereka Anda tanyai; apa sumbangsih mereka kepada Islam, apa amal yang telah mereka kerjakan di jalan dien ini, dan apa yang telah mereka persembahkan kepada jamaah sejak mereka beriltizam sampai hari ini, mereka pun diam seribu bahasa.

Kita dapati mereka merasa cukup dengan menjadi pendengar saja. Merasa cukup dengan menghadiri halaqah, pertemuan, muktamar, membaca edaran, dan buletin yang diterbitkan, lalu sudah.

Atau menjadi seorang yang pasif tanpa sumbangsih.

Dilihat dari sisi amal islami mana pun, mereka tetap menjadi sosok yang benar-benar tidak serius dalam mempersiapkan diri.. Beberapa tahun berlalu mereka hanya menyelesaikan sebuah atau dua buah buku Islam yang semestinya diselesaikan dalam waktu ~paling lama~ satu pekan oleh orang-orang yang serius dan tekun.

Problem seperti inilah yang membuat tak tergalinya berbagai potensi untuk Islam dan dien. Potensi yang semestinya tampak nyata di semua bidang amal islami; dakwah, hisbah, dan jihad…

Orang-orang yang hanya menyumbangkan sisa waktu, membelanjakan sedikit sekali dari kekayaan, serta mengerahkan upaya yang sangat minim untuk Islam ini mestinya tahu bahwa Allah itu Maha Baik, tidak menerima kecuali yang baik’[1]. Sebagaimana Allah tidak menerima sedekah yang buruk, Allah pun tidak menerima amal yang buruk, jika itu sengaja dipilih untuk Islam.

وَلاَ تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ

Dan janganlah kalian pilih yang buruk-buruk darinya untuk kallian infakkan (QS.Al-Baqarah : 267)

Sesungguhnya yang dikehendaki oleh Islam adalah sebagian besar waktumu, hampir seluruh hartamu, dan segarnya masa mudamu. Islam menghendaki dirimu, seluruhnya. Islam menghendakimu saat kamu bertenaga, bukan saat telah loyo. Islam menghendaki masa mudamu, masa kuatmu, masa sehatmu, dan masa perkasamu, bukan masa rentamu. Islam menghadapi semua yang terbaik, termulia, dan teragung darimu.

Tidakkah kau lihat Abu Bakar ash-Shiddiq r.a menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah dan demi dakwah Islam, lalu ketika Rasulullah SAW bertanya, “Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu, wahai Abu Bakar?”, beliau menjawab, “Aku tinggalkan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya.”

Tidakkah kau lihat ‘Utsman bin ‘Affan membekali seluruh pasukan perang Tabuk sendirian[2]? Coba bayangkan, seorang diri membekali seluruh pasukan perang;  senjata, perlengkapan, bekal, kuda, onta, dan kebutuhan logistiknya.. Padahal jumlah pasukan saat itu lebih dari 10.000 personil
.
Coba bandingkan sumbangsih agung ini dengan realita kita hari ini. Kita bisa mendapati banyak orang islam yang kaya hari ini ~bahkan dari kalangan multazimin~ namun kita kesulitan untuk mendapati seseorang yang menanggung seluruh ‘budget’ dakwah. Saya katakan ‘dakwah’ bukan ‘jihad’. Mengapa? Sebab jihad membutuhkan harta yang tak terbatas.

Kita bisa mendapati seorang ikhwah yang bekerja di salah satu negara di kawasan Teluk selama empat atau lima tahun, hidup berkecukupan, dan ia pun tahu persis apa yang dibutuhkan oleh amal islami dan saudara-saudaranya. Ia pun tahu bahwa kebanyakan keluarga ikhwah yang diuji di jalan Allah ~jumlah mereka ribuan~ sangat membutuhkan bantuan. Namun demikian, ia tidak berpikir untuk berjihad dengan hartanya di jalan Allah ~setidaknya sebagai ganti atas ketidakhadirannya untuk berjihad dengan nyawanya~ selama sekian tahun itu. Ia pun tidak berpikiran untuk membantu keluarga para mujahid, meninggalkan bagi keluarga mereka sesuatu yang baik. Ia tidak memikirkan hal itu sedikit pun. Jika ada yang mengingatkannya ia pun menginfakkan beberapa rupiah yang tidak cukup sekedar untuk mengusir rasa lapar.. Jumlah yang lebih baik ditolak dari pada diterima… Jumlah yang jauh dari jumlah yang dikeluarkannya untuk keperluan bahan bakar kendaraannya dalam satu hari!!

Sesungguhnya Islam membutuhkan orang yang memberikan segalanya untuk diennya; kehidupannya, waktunya, hartanya, tenaganya, ruhnya, rumahnya, mobilnya, dan semua yang dimilikinya. Kita menghendaki seseorang yang ‘menjual dirinya kepada Allah’ dengan keutuhan makna kalimat ini. Kita menghendaki seseorang yang setiap harinya membawa sesuatu yang baru untuk dipersembahkan kepada Islam.

Bukankah Mush’ab bin ‘Umair, seorang pemuda perlente yang selalu wangi dan mengenakan pakaian terbaik, seorang pemuda yang ditunggu-tunggu oleh setiap gadis Quraisy karena ketampanannya, penampilannya, kemuliaannya, dan nasabnya; bukankah ketika ia memeluk Islam ia persembahkan semuanya, ia berikan semuanya, tanpa ada sesuatu pun yang disimpannya? Sampai-sampai ia memakai baju yang penuh tambalan saat hidup, dan di saat mati, kaum muslimin tidak mendapati kain untuk mengkafaninya?

Sepanjang hidupnya Mush’ab selalu menghadirkan sumbangsih untuk Islam di bidang dakwah dan jihad. Ia adalah da’i Islam yang pertama di Madinah. Ia adalah orang yang menyebabkan kebanyakan penduduk Madinah mendapatkan hidayah. Ia adalah peletak batu pertama bangunan daulah Islam di Madinah. Selain itu ia juga seorang pejuang agung, pembawa panji di medan Uhud, sekaligus salah satu syuhada` teragung di sana… Itulah sumbangsih yang sebenarnya bagi Islam, dien, dan jamaah Islam.

Selayaknya setiap muslim bertanya kepada dirinya sendiri setiap waktu…

Berapa orang yang telah mendapatkan hidayah dari Allah dengan perantara dirinya pekan ini?

Berapa desa yang telah dimasukinya guna menyeru penduduknya kepada Allah? 

Sudahkah kerabat dekat, tetangga, dan kedua orang tua didakwahi?

Adakah langkah ini maju menuju pemahaman dan pengamalan Islam yang lebih baik?

Berapa banyak harta yang telah diinfakkan bagi kaum muslimin di jalan Allah dalam sepekan ini?

Berapa banyak keluarga dari keluarga mereka yang tengah diuji sudah mendapatkan bantuan; tenaga, harta, materi, dan dorongan moral?

Berapa banyak keluarga syuhada yang telah dipenuhi kebutuhannya?

Berapa malam dihabiskan untuk memikirkan amal Islami secara umum, di kota atau desa tempat tinggal secara khusus? Atau kota dan desa terdekat?

Berapa kali telah beramar makruf nahi munkar?

Berapa kali telah berperang menghadapi musuh-musuh Islam dan meninggalkan sesuatu yang berarti pada mereka?!

Berapa kali memperjuangkan hukum Allah dan membela kaum muslimin; darah dan kehormatan mereka?

Berapa kali mengunjungi orang sakit dan mengajak mereka kepada Islam? Atau memperbaiki hubungan yang renggang antara dua orang yang tengah berseteru? Atau mengunjungi ikhwah fillah? Atau menyerunya kepada Allah dalam pekan ini?… Dan masih banyak lagi pertanyaan untuk berintrospeksi dari waktu ke waktu.

Dengan menjawab secara jujur, Anda akan tahu seberapa serius kelalaian dan peremehan yang Anda lakukan berkenaan dengan hak Allah Dan dengan itu pula Anda dapat mencoba untuk memperbaikinya sebelum Allah terlanjur menjatuhkan hukuman-Nya kepadamu dan menghalangimu dari kemuliaan beramal bagi dien-Nya dan menjadi bagian dari jalan yang penuh izzah ini

قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ 

Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".(QS.Yusuf : 108) 

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ وَاللّهُ رَؤُوفٌ بِالْعِبَادِ

Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (QS.Al-Baqarah : 207)

Bagaimana pendapat anda jika ada seorang buruh pabrik, ia tidak mengerjakan apa-apa, tidak menghasilkan apa-apa, kerjanya cuma mengisi daftar hadir di pagi hari lalu pulang di sore hari. Ia tidak menghabiskan waktunya di pabrik bersama teman-temannya yang bekerja dengan giat penuh semangat. Kira-kira apa yang akan dilakukan oleh pemilik pabrik terhadap buruh yang satu ini? Pasti ia akan memecatnya seketika.. begitu pun dengan ikhwah yang tidak memahami Islam selain memakai baju gamis dan memanjangkan jenggot, ia pasif dan tidak mempersembahkan sesuatu pun untuk Islam, kalau pun memberi hanya sedikit atau yang tidak baik..

Segelintir tokoh dan ikhwah yang aktif beramal islami dengan giat dan sungguh-sungguh, tidak akan pernah mampu menegakkan daulah Islam sendirian, seberapa pun usaha dan tenaga yang mereka kerahkan. Pun tidak akan mampu mengemban seluruh beban amal islami di negeri yang luas ini. Apalagi semuanya tahu tindakan yang diambil oleh thaghut untuk menghadapi para aktivis Islam. Tindakan yang menjadikan sekian ikhwah dihadapkan pada ujian yang berat dari waktu ke waktu, sehingga mereka meninggalkan ruangan kosong yang semestinya diisi. Operasi yang mereka lakukan membuat gerakan ikhwah tersendat dan terbatas, mengharuskan setiap ikhwah untuk lebih mengerahkan tenaga lagi, lebih meningkatkan diri dalam medan amal islami dan mengupayakan sumbangsih supaya ia lebih mampu mengemban tanggung jawab, tanggung jawab amal Islami, dan belajar bagaimana berdakwah, mentarbiyah, menegakkan hisbah, jihad, dan menggerakkan orang lain, dan semua skill yang dibutuhkan.

Seorang ikhwah selayaknya tidak berdiam diri di rumah, mengandalkan orang lain yang akan mengambil peran itu. Sebab siapa yang akan datang?! Semestinya ia berupaya ~semampunya~ untuk melaksanakan berbagai bentuk amal islami semuanya dengan semangat, giat, kuat, responsif, tekun, dan serius. Agar terbukti kata seorang penyair

تَرَى الْجُمُوْعَ وَلَكِنْ لاَ تَرَى أَحَدًا          وَقَدْ تَرَى هِمَّةَ اْلآلاَفِ فِيْ رَجُلٍ

Kau lihat sekumpulan tetapi tak kau lihat seseorang
Kadang kau lihat semangat seribu orang ada pada seseorang

Sesungguhnya hari ini Islam membutuhkan seseorang yang mengorbankan segalanya, membelanjakan semua miliknya di jalan Allah, dan menyerahkan seluruh umurnya lillah, untuk memenangkan dien-Nya..

Hari ini Islam membutuhkan seseorang yang berkata dari nuraninya seperti ucapan Sa’ad bin Mu’adz kepada Rasulullah SAW saat perang Badar; hari berat pertama yang dilalui oleh daulah Islam yang baru saja lahir di Madinah Munawwarah. Sa’ad berkata,  “Silakan melangkah, wahai Rasulullah, ke mana pun Anda suka. Kami akan bersama dengan Anda. Demi yang telah mengutusmu dengan kebenaran, sekiranya Anda bawa kami ke tepi laut lalu Anda menceburkan diri ke dalamnya, niscaya kami semua akan menceburkan diri kami bersamamu, tiada satu pun yang akan ketinggalan. Sedikit pun kami tidak enggan untuk Anda pertemukan kami dengan musuh-musuh kita esok hari.”[3]

Ia juga berkata, “Sambunglah tali siapa yang Anda suka, putuskan tali siapa yang Anda suka, dan ambillah harta kami sesuka Anda[4], sesungguhnya apa yang Anda ambil lebih kami sukai daripada yang Anda tinggalkan”[5]

Sungguh kalimat di atas adalah kalimat agung yang pernah diucapkan oleh seorang tentara kepada komandannya sepanjang sejarah. Kalimat yang dialiri kehidupan, gerakan, dan kejujuran. Meski masa telah berlalu lebih dari 14 abad. Masya Allah bahwa Dia mengabadikan pengaruhnya sampai hari kiamat tiba. Sesungguhnya itulah ungkapan jujur dari sesuatu yang menjalar dalam rasa dan jiwa sekelompok kecil orang-orang beriman dari kalangan Anshar di bawah kepemimpinan seorang yang agung, Sa’ad bin Mu’adz. Kalimat yang telah diteriakkan oleh hati Sa’ad sebelum diteriakkan oleh lisannya yang jujur. Dan kalimat ini pun membawa pengaruh yang sangat dalam diri Rasul mulia, sang panglima SAW. Beliau benar-benar berbahagia dan bertambah semangat dalam berperang dikarenakan perkataan Sa’ad ini. Beliau bersabda, “Maju dan bergembiralah! Sesungguhnya Allah menjanjikan kepadaku salah satu dari dua kelompok. Demi Allah, kini aku ~seakan-akan~ melihat saat kekalahan mereka.”[6]

Islam hari ini membutuhkan pasukan yang hati dan lisannya meneriakkan teriakan Sa’ad bin Mu’adz di setiap tempat. Tentu saja lengkap dengan kejujurannya. Pasukan yang dari nurani mereka terucap kata-kata pahlawan perkasa Miqdad bin ‘Amru, tertuju kepada panglima kebenaran. Saat kepada Rasulullah SAW Miqdad berkata, “Wahai Rasulullah, melangkahlah ke arah yang ditunjukkan Allah kepada Anda, kami selalu bersama Anda. Demi Allah, kami tidak akan mengatakan ucapan Bani Israil kepada Musa ‘Pergilah, kamu bersama Rabbmu, lalu berperanglah! Kami menunggu di sini.’ (al-Maidah : 24) kami akan katakan, ‘Pergilah, kamu bersama Rabbmu, lalu berperanglah! Sungguh, kami akan berperang bersamamu!’”[7]

Katakan kepada mereka, “Kami tidak akan duduk di bangku cadangan ketika kalian beramal di jalan Allah; berdakwah, beramar makruf nahi munkar, menyuarakan kebenaran, dan berjihad fi sabilillah. Kami akan selalu bersama kalian, sesulit dan seberat apa pun keadaannya.. Kami tidak akan pernah meninggalkan kalian berperang sendirian. Kami akan selalu berperang bersama kalian, mengerahkan seluruh kekuatan, membelanjakan seluruh kekayaan, dan memberikan sumbangsih bersama kalian. Melangkahlah sesuai perintah Allah dan Rasul-nya! Melangkahlah sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasulnya!..”

Hari ini Islam menghendaki setiap muslim berujar kepada dirinya sendiri, “Apakah pantas aku beristirahat, sementara saudara-saudaraku berpayah-payah di jalan Allah? Apakah pantas aku tidur nyenyak sementara saudara-saudaraku disiksa di jalan Allah? Apakah pantas aku tinggalkan amal Islami sementara aku melihat kesulitan berat dan peperangan hebat melawan musuh sedang dihadapi oleh umat Islam?”

Islam menghendaki seseorang yang mengucapkan kata-kata Abu Khaitsamah saat ia terlambat menyusul Rasulullah saw ke medan Tabuk, “Rasulullah saw dibakar terik mentari, angin badai, dan panas yang menyengat. Abu Khaitsamah di bawah naungan sejuk, makanan yang tersaji, dan istri yang cantik, menunggui hartanya. Sungguh ini sangat tidak pantas.”[8]

Kalimat-kalimat yang agung ini mestinya digumamkan oleh setiap muslim, khususnya ikhwah multazim. Kepada diri sendiri selayaknya ia berkata, “Sebagian dari saudara-saudaraku seiman kini disiksa, sebagiannya lagi diusir dan tidak mendapatkan tempat tinggal, dan sebagian yang lain dibunuh dan diintimidasi. Sedangkan aku; aku bergelimang kenikmatan, aku makan apa yang aku mau, aku minum minuman yang paling menyegarkan, di ruangan yang sejuk penuh dengan kenikmatan. Aku tidak sedikit pun memberikan sumbangsih untuk Islam. Sebaliknya, aku justru meninggalkan saudara-saudaraku menanggung semua beban berat itu! Ini benar-benar tidak pantas dan tidak adil. Demi Allah, aku akan menyusul saudara-saudaraku, berjihad bersama mereka, mengerahkan segenap upaya di jalan Allah bersama mereka. Aku akan merasakan apa yang mereka rasakan. Aku akan menanggung beban sebagaimana mereka pun menanggungnya..”

Sesungguhnya Islam menginginkan kalian meneladani Rasulullah saw yang diperintah oleh Allah untuk mengatakan, 

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ

“Maka jika kamu telah menyelesaikan (suatu urusan) kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain)!” (QS. Alinsyirooh : 7)

Maksudnya, jika telah menyelesaikan satu perintah hendaknya berpayah-payah lagi untuk mengerjakan perintah yang lain..

Betapa hari ini kita membutuhkan arahan semacam ini. Arahan yang jika diimplementasikan dalam amal Islami, niscaya kita akan dapat melangkah dengan sangat cepat menuju jalan kemenangan dan kejayaan. Arahan yang bunyinya, “Tidak ada waktu istirahat bagi seorang muslim atau program untuk itu. Jika kamu telah menyelesaikan satu perintah, segera kerjakan yang lainnya. Jika kamu telah menyelesaikan suatu amal untuk Islam, jangan sampai tanganmu berhenti karena suatu sebab atau yang lainnya semacam ‘ujub, membicarakannya, merenungkannya, membanggakannya, atau merasa cukup dengannya. Sebaliknya, segeralah berpayah-payah mengerjakan amal yang lainnya, begitu seterusnya.. Sesungguhnya jika kereta amalmu untuk Islam telah berjalan, jangan sekali-kali menghentikannya, walau sesaat karena sesuatu hal. Jika kamu melakukannya dikhawatirkan kereta itu tidak dapat berjalan lagi selamanya, dan kalau pun berjalan, ia akan berjalan dengan susah payah. Sesungguhnya kebaikan itu akan menunjukkan kepada kebaikan yang lain, ketaatan itu akan mengajak kepada ketaatan yang lain, dan kesalehan itu akan menghantarkan kepada kesalehan yang lain. Begitu pula halnya dengan kemalasan dan menganggur.”

Ingatlah selalu, kamu ini berada di salah satu garis perbatasan Islam. Jangan sampai Islam diserang dari arahmu. Jangan sekali-kali lengah akan kedudukanmu walau sesaat. Jika kamu melakukannya, sungguh, musuh akan menyergapmu, membunuhmu, dan membunuh orang-orang yang bersamamu, juga yang ada di belakangmu!

Barangsiapa tidak menyirami kebunnya sekali atau beberapa kali, niscaya akan rusaklah buah yang ditanamnya. Karena itulah, seorang ikhwah semestinya menyambung malamnya, siangnya, paginya, sorenya, musim panasnya, dan musim dinginnya dengan amal di jalan Allah..

Bukankah Rasulullah saw pun beperang 27 kali setelah usia beliau melebihi 50 tahun. Itu belum ekspedisi-ekspedisi yang hendak beliau pimpin langsung, jika tidak khawatir akan memberatkan para sahabatnya; sebagaimana tersebut di dalam hadits[9]… Saya pernah mencoba meneliti dalam berkas-berkas yang ada tentang orang yang paling banyak jihad dan kesalehannya di zaman kita ini. Saya tidak mendapati seorang pun yang menyamai jihad Rasulullah r meski itu dihitung sejak ia masih muda, masih belia.

Di mana orang-orang yang meneladani Rasulullah saw?

Di mana para pewaris Nabi itu?

Di mana orang-orang yang berjalan di jalannya, mengikuti jejak langkahnya? Sungguh, ‘Manusia itu bagai seratus onta, hampir-hampir tidak ada satu pun yang dapat dikendarai.

Keadaannya persis seperti sabda Rasul saw. Dan kami masih terus mencari onta yang dapat dikendarai, yang siap menempuh jalan berat, cuaca yang buruk, dengan makanan yang sedikit, dan beban yang berat.

Maraji' : Washiyyatul Musthafa Li Ahlid-Da'wah, DR Abdullah Azzam Rahimahullah
[1] Diriwayatkan oleh Imam Muslim, at-Tirmidziy, dan Ahmad dari Abu Hurairah.
[2] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan dishahihkannya 3699 dari ‘Abdurrahman as-Sulamiy. Di dalamnya ada kata-kata ‘Utsman ra, “Saya ingatkan kalian kepada Allah! Apakah kalian tahu bahwa Rasulullah saw bersabda perihal jaisy usrah, ‘Siapa yang mau infaknya diterima?’ Saat itu orang-orang dalam kesulitan, lalu aku membekali pasukan itu?” Mereka menjawab, “Ya.” At-Tirmidzi meriwayatkan juga dan menshahihkannya 3703, juga an-Nasa`iy 6/234 dari Tsumamah bin Hazan al-Qusyairiy. An-Nasa`iy meriwayatkan juga 6/47 dari Ahnaf bin Qais dan menyebutkan bahwa mereka yang hadir saat itu adalah ‘Ali, Zubeir, Thalhah, dan Sa’ad bin Abu Waqqash ra
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq tanpa sanad. Sirah Ibnu Hisyam vol I/615
[4] Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dalam tafsirnya dari Muhammad bin ‘Amru bin ‘Alqamah bin Waqash al-Laitsiy dari ayahnya dari kakeknya. Al-Umawiy menyebutkan kalimat ini dalam al-Maghazi, karyanya. Demikian tersebut dalam al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir 3/264
[5] Ini tambahan versi al-Umawiy dalam al-Maghazi.
[6] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq tanpa sanad. Sirah Ibnu Hisyam vol. I/615
[7] Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq tanpa sanad seperti tertera dalam Sirah Ibnu Hisyam vol.1/615. Ada juga al-Bukhariy 7/223, dan Ahmad 1/390 yang mirip dengannya dari hadits Ibnu Mas’ud ra
[8] Ibnu Hisyam menyebutnya dari Ibnu Ishaq dalam Sirah vol. II/520 tanpa sanad. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dari Sa’ad bin Khaitsamah ra. Dalam Majma’uz Zawaid 6/113 disebutkan, ‘Di antara para perawinya ada Ya’qub bin Muhammad az-Zuhriy, seorang yang dlaif.” Muslim meriwayatkan 2769 dari Ka’ab bin Malik, katanya, “Saat itulah beliau melihat seseorang dari kejauhan menyirnakan fatamorgana. Lalu Rasulullah saw bersabda, ‘Semoga itu Abu Khaitsamah!’ Dan ternyata itu adalah Abu Khaitsamah al-Anshariy.”
[9] Maksudnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhariy 1/92, Muslim 13/ 20-23, an-Nasa`iy 6/32, Ibnu Majah 2753, dan Ahmad 2/231 dari Abu Hurairah ra, beliau bersabda, “Demi yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, sekiranya bukan karena khawatir memberatkan kaum muslimin, aku tidak akan duduk membiarkan ekspedisi berangkat, berperang di jalan Allah”. Ini adalah lafazh Muslim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar