Senin, 03 November 2014

tentang Adab Makan

Islam adalah din yang sempurna dan menyeluruh, yang mengatur seluruh aspek kehidupan, dari hal-hal yang kecil seperti adab sehari-hari hingga hal-hal yang besar seperti tata negara. Bahkan ini telah diakui oleh orang-orang kafir sekalipun, sebagaimana terdapat dalam Sunan Abi Dawud:

عَنْ سَلْمَانَ قَالَ قِيلَ لَهُ لَقَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ قَالَ أَجَلْ

“Dari Salman (Al-Farisi) radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: dikatakan kepadanya,”Sungguh Nabimu telah mengajarkan kamu segala sesuatu hingga kepada tata cara buang air.” Beliau radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Betul”.[1]

Termasuk dalam adab yang diatur oleh Islam adalah perihal makan dan minum. Di sini, akan disebutkan dua di antara banyak sekali adab makan.

(1) Tidak Makan Terlalu Banyak

Seorang Muslim yang baik hendaknya tidak terlalu banyak makan. Ini sebagaimana termaktub dalam hadits yang shahih dari ibnu ‘Umar, Jabir bin ‘Abdillah, Abu Hurairah, dan selain mereka radhiyallahu ‘anhum dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

الكافر يأكل في سبعة أمعاء ، والمؤمن يأكل في معى واحد

“Orang kafir makan dengan tujuh usus, sedangkan orang mu’min makan dengan satu usus”.[2]

Begitu pula hadits Al-Miqdam bin Ma’diykarib radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda:

ما ملأ ابن آدم وعاء شرا من بطنه ، حسب ابن آدم أكلات يقمن صلبه، فإن كان لا محالة فثلث طعام وثلث شراب وثلث لنفسه

“Tidaklah ada sesuatu yang memenuhi wadah ibnu Adam yang lebih buruk dari perutnya. Cukuplah ibnu Adam itu dengan beberapa (suap) makanan yang menegakkan sulbinya. Kalau tidak mungkin, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga lagi untuk nafasnya”[3]

Kedua hadits di atas dan yang sema’na dengannya menunjukkan anjuran untuk menyedikitkan makan dan meninggalkan banyak makan. Sesungguhnya sedikit makan adalah ciri seorang mu’min karena hal tersebut menandakan dirinya tidak terlalu mencintai dan mengejar dunia sebagaimana orang kafir. Hadits tersebut juga menerangkan ukuran yang sesuai untuk makan dan minum.

Ada pembahasan yang panjang tentang bagaimana memahami kedua hadits di atas, apakah dibawa kepada ma’na zhahir atau tidak. 

Ringkasnya sebagai berikut:
*Yang mengambil zhahir hadits ini:

Di antara mereka pun masih terdapat perselisihan pendapat.
1: Hadits ini hanyalah untuk kisah tertentu dan tidak digeneralisir kepada selainnya. Huruf alif lam dalam Al-Mu’min dan Al-Kafir menunjukkan mu’min dan kafir pada masa tersebut, bukan untuk jenis (keseluruhan mu’min dan kafir). Pendapat inilah yang dipilih oleh Ath-Thahawi dan ibnu ‘Abdil Barr.


2: Hadits ini menunjukkan ma’na kebiasaan. Jumlah di sini dimaksudkan untuk mubalaghah (hiperbolisme) dalam banyaknya. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Hafidz dalam Fathul Bari dan inilah yang dipilih oleh Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi.

3: Maksud dari mu’min dalam hadits tersebut adalah mu’min yang sempurna imannya. Pendapat ini disebutkan dalam Fathul Bari dan Tuhfatul Ahwadzi.

4: Maksudnya sebagian mu’min makan dalam satu usus, sedangkan kebanyakan kafir makan dengan tujuh usus. Ini adalah pendapat An-Nawawi seperti dalam Syarah Shahih Muslim.

5. Dan pendapat-pendapat lainnya.
*Yang tidak membawanya kepada ma’na zhahir:

Ada beberapa penafsiran:
1: Ini hanyalah permisalan bagi orang mu’min akan kezuhudan mereka di dunia, dan orang kafir akan ketamakan mereka akan dunia. Pendapat ini disebutkan oleh Ath-Thahawi dalam Musykilul Atsar.


2: Yang dimaksud adalah anjuran bagi mu’min untuk menyedikitkan makan ketika diketahui bahwa banyak makan adalah sifat orang kafir. Jadi lafadznya adalah informasi (khabar) tetapi maksudnya adalah perintah (insya’).

3: Maksudnya orang mu’min memakan yang halal sedangkan orang kafir memakan yang haram, dan makanan yang haram lebih banyak dari yang halal.

Perlu diingat bahwa ikhtilaf ini tidak berma’na bahwa menyedikitkan makan bukanlah perkara yang mustahab karena jelasnya hadits Al-Miqdam. Hadits ini juga tidak berma’na kita dianjurkan menyiksa diri dengan sengaja tidak makan selama berhari-hari.

Hadits ini tidak pula berma’na kita tidak boleh makan atau minum lebih dari sepertiga bagian. Ini karena tsabitnya hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda padanya,”Minumlah!” Maka dia minum (susu), kemudian beliau memerintahkannya untuk kali kedua dan ketiga sehingga Abu Hurairah berkata, “Demi Yang mengutusmu dengan Haq, Aku tidak mendapati ruang (tersisa di perut, yakni kenyang).”[4]
Rujuk Tuhfatul Ahbab untuk penjelasan lebih detail tentang masalah ini.
Sementara ungkapan yang masyhur di telinga kita:

 نحن قوم لا نأكل حتى نجوع و إذا أكلنا لا نشبع

“Kami adalah kaum yang tidak makan sehingga kami lapar dan ketika kami makan tidaklah kenyang.”


hanyalah perkataan orang arab, bukan hadits. Tetapi ma’nanya benar. Terlalu banyak makan menjadi penyebab obesitas, gangguan pencernaan, badan yang lemah lagi pemalas, dan menjadi pintu gerbang masuknya berbagai penyakit.[5]

(2) Tidak Makan Makanan yang Terlalu Panas

Termasuk dalam adab makan dan minum, yaitu tidak memakan makanan atau minuman yang terlalu panas. Tidaklah mengapa memakan makanan ataupun minuman yang masih panas asalkan tidak terlalu panas. Di antara hadits yang menerangkan tentang perkara ini adalah hadits Asmaa’ bintu Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya beliau apabila menghancurkan sesuatu (roti), beliau merendamnya (ke dalam kuah) sehingga hilang panasnya, kemudian beliau berkata,”Aku telah mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إنه أعظم للبركة

“Sesungguhnya itu lebih banyak berkahnya”.[6]

Begitu juga hadits Juwairyah bintu Al-Harits radhiyallahu ‘anha bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

كان يكره الطعام حتى يذهب فور دخانه

“membenci makanan hingga hilang panas asapnya”.[7]

Catatan Kaki:
 
[1] Potongan hadits dari Sunan Abi Dawud (7). Penjelasan lebih panjang tentang hadits ini bisa dilihat di antaranya di: http://e-hadith.info/home/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=15&mode=thread&order=0&thold=0


[2] Hadits ini telah diriwayatkan dengan jalan yang banyak. Di antaranya:
– Hadits ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahihnya (5393), Muslim (2060), Ahmad, At-Tirmidzi (1818), ibnu Majah (3257), Ad-Darimi dan selain mereka.
– Hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Muslim (2061), Ahmad, Ad-Darimi dan selain mereka.
– Hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Malik dalam Muwaththa’, Muslim (2063), At-Tirmidzi (1819), ibnu Majah (3256), dan selain mereka.

(Rujuk pada catatan kaki Tuhfatul Ahbab halaman 16-17).

[3] Hadits riwayat Ahmad, At-Tirmidzi (2380), An-Nasai dalam Al-Kubra (6768, 6770), dan selain mereka. Hadits ini dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah 5/336. Penjelasan lebih lengkap rujuk kitab tersebut. Bisa juga merujuk pada catatan kaki Tuhfatul Ahbab halaman 18-19.

[4] Hadits riwayat Al-Bukhari (6087 dan 6452) dan lain-lain.
[5] Disarikan dari Makalah Al-Ustadz Hasan dalam pelajaran bahasa ‘Arab.
[6] Hadits riwayat Ahmad, Ad-Darimi, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 1/676. Lihat takhrij lengkapnya dalam kitab tersebut. Bisa juga merujuk pada Tuhfatul Ahbab.
[7] Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir dan dinilai hasan oleh Mahmud Muhammad Asy-Syibli dalam Tuhfatul Ahbab (halaman 53, catatan kaki).

Maraji':
 
– Tuhfatul Ahbab. Tersedia online di http://www.ahlalhdeeth.com/vb/attachment.php?attachmentid=23782
– Makalah pelajaran bahasa ‘Arab oleh Al-Ustadz Hasan.

P/S:
Artikel tentang masalah ini banyak bertebaran di internet, kalau kita mau mencarinya. Saya menuliskannya di sini sebagai pengingat supaya tidak lupa mengamalkan sunnah ini.

Ketika menuliskan catatan ini, saya menemukan artikel yang bagus di forum myQuran yang ditulis oleh Abu Al-Jauzaa’.
http://myquran.org/forum/index.php?PHPSESSID=9406bd2e40806737d3ed30a90e0e9160&topic=1950.msg27386#msg27386

Tidak ada komentar:

Posting Komentar