Jumat, 07 November 2014

ETIKA dalam Berjamaah

Perjalanan dakwah menuju tujuannya tak akan pernah terhenti dari berbagai tribulasi. Ujian dan problematika yang muncul baik dari kalangan eksternal maupun internal seringkali menghadang perjalanannya. Untuk menghadapi semua tiu, dibutuhkan kendaraan penggerak yang besar dan tangguh. Ia adalah jamaah yang akan mengantarkan ummat ini kepada sebuah tujuan besar.

Sebuah jamaah, tentulah mempunyai pilar-pilar dan etika dalam berjamaah. Di antara pilar tersebut adalah iman dan akhlaq.

Iman dan akhlaq adalah pilar yang sangat penting dalam berjamaah. Adanya pertikaian dan pelanggaran norma-norma dakwah adalah menunjukkan kondisi keimanan seseorang, karena jiwa yang rapuh, ruhiyah yang sedang mengalami penurunan akan melahirkan sikap-sikap yang tak terkendali dan provokatif.

Ikhwah fillah, perhatikanlah nasehat Rasulullah saw, “Wahai kaum muslimin! (Takutlah kepada) Allah, (takutlah kepada) Allah! Apakah seruan-seruan jahiliyah (muncul lagi) sedangkan aku masih ada di tengah-tengah kalian? Apakah setelah Allah menunjuki kalian kepada Islam, memuliakan kalian, menghapuskan cara jahiliyah dari kehidupan kalian,menyelamatkan kalian dari kekufuran dan melembutkan hati kalian, kalian kembali kepada kekafiran?”

Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia.” (HR.Baihaqi)

Tanpa kemuliaan akhlaq, maka akan runtuhlah bangunan jamaah betapapun kuat aqidah mereka, karena akhlaq adalah perangkat pengendali, sedangkan aqidah adalah mesin penggerak. Gerakan yang tak terkendali akan melahirkan kerusakan di mana-mana. 
 
Kedua pilar ini, iman dan akhlaq, adalah seperti dua sisi dalam satu mata uang. Orang yang hilang sebagian akhlaqnya akan dapat kehilangan sebagian imannya, dan kesempurnaan akhlaq juga akan menyempurnakan imannya.

Etika atau adab dalam konteks perorangan maupun dalam berjamaah juga merupakan bagian dari kesempurnaan iman dan akhlaq. Orang yang tidak ber-etika akan dikatakan sebagai orang yang tidak beradab atau tidak berakhlaq.

Etika dalam jamaah mengangkat tinggi nilai keberagaman, menghormati perbedaan pendapat, menjunjung tinggi kesatuan serta membuang jauh-jauh sifat-sifat tercela dan arogansi.

Dengan kuatnya pilar-pilar di atas, maka akan memudahkan bagi jamaah dakwah untuk melakukan akselerasi dan pertumbuhan ke depannya, tidak terhambat oleh problematika internal dalam kaitan ini. Untuk itu perlu adanya penjagaan atau kontrol diri, adanya tarbiyah dzatiyah, rasa estetika dan kedisiplinan akhlaq. Diperlukan kesiapan semua kader dan kesediaannya untuk menyandang sifat-sifat yang baik serta menjalankan akhlaq tersebut dalam kehidupan berjamaah. Mencampakkan etika adalah sikap yang tidak patut ditiru, karena bertentangan dengan sunnah dakwah Rasulullah Saw. Mencampakkan etika dalam dakwah bagi sebuah jamaah ibarat memberi penyakit campak arau cacar pada organ tubuh manusia. Hal itu memang menarik perhatian banyak orang, namun dampaknya bisa menular kepada banyak orang. 
 
Antara Etika dan ukhuwah

Pilar yang lain dalam kehidupan berjamaah kita adalah cinta karena Allah.. Kekuatan kita adalah karena ukhuwwah yang kita miliki. Sebagaimana Imam Hasan Al Banna rahimahullah mengatakan, ”Asasu da’watina al hubbu fillah wa tarahum.” Landasan dakwah kita adalah cinta karena Allah dan kasih sayang.

Landasan ukhuwah ini adalah iman, sebagaimana Allah berfirman yang artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara.” (QS Al-Hujurat : 10)

Iman sebelum ukhuwah, begitulah kata kunci dalam ayat tersebut, yang menggambarkan bahwa benarnya iman maka akan benar pula ukhuwahnya.

Di antara makna ukhuwah adalah kecintaan dan penghormatan seorang mukmin terhadap mukmin lainnya baik saat dekat maupun jauh. Tidak merendahkannya saat berada bersamanya maupun saat meninggalkannya, tidak suka mendebatnya apalagi mencercanya, dan menahan diri dari teror atau pun fitnah terhadapnya.

Ukhuwah juga tidak mengabaikan adab atau etika ketika berinteraksi dengannya dan tidak pula merusak citranya. “Dan barangsiapa menutup aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari)

Tidak akan ada ukhuwah kecuali dengan bersatunya hati dan meninggalkan faktor pemicu perpecahan dan pertengkaran. Tanda lenyapnya ukhuwah adalah munculnya rasa permusuhan, merajalelanya iri dan dengki, menyebarnya fitnah dan issu, suasana saling hasut, seolah setan mengitari kita. Fenomena seperti ini tidak boleh terjadi pada sebuah jamaah.

Ingatlah dalam diri kita ada hak yang harus didapatkan oleh dan untuk saudara kita. Di antara hak itu minimal adalah berlapang dada terhadap saudaranya. Tidak mungkin ukhuwah dibangun selama dada ini masih menyimpan rasa kebencian dan prasangka buruk. Hati yang sakit akan menjangkiti akal hingga dapat melahirkan ucapan dan tindakan yang kurang baik. Rasulullah Saw bersabda, ”Jauhilah prasangka, karena prasangka itu ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, juga janganlah saling mendengki, membenci, atau memusuhi. Jadilah kalian hamba-hamba yang bersaudara.” (HR. Bukhari) 
 
Antara Etika dan Loyalitas

Wala’ atau loyal kepada jamaah itu sudah jelas merupakan kemestian. Walaupun wala’ itu tempatnya ada dalam hati, namun loyalitas itu tetap harus bisa dirasakan dan tampak secara dzahir. Seluruh kader jamaah harus bisa merasakan kenampakan loyalitas anggotanya.

Salah satu yang mengindikasikan adanya loyalitas seseorang kepada jamaah adalah etika dan sikap konfirmatif (tabayyun) terhadap qiyadah atau struktur. Ketika anggota jamaah merasakan perlunya penjelasan terhadap jamaah sehubungan dengan sebuah sikap, keputusan, penilaian dan citra, maka harus segera mengkonfirmasikannya dengan qiyadah atau struktur terkait. Sebab jika tidak demikian, maka akan menciptakan arus informasi yang simpang siur dan issu yang tak bertanggungjawab. Utamanya adalah yang berkaitan dengan berita-berita negatif, sorotan dan opini publik tentang jamaah atau anggotanya. Kader jamaah tidak boleh menjadi triger, pemicu konflik antar anggota maupun dengan umat Islam lainnya. Tidak diperkenankan memprovokasi kasus-kasus tertentu hingga menorehkan citra buruk terhadap jamaah atau pun terhadap kader-kadernya. Cukuplah sudah sejarah kepahitan yang dirasakan Rasulullah Saw tatkala peristiwa haditsul ifki.

Dalam sebuah jamaah, selain sikap tsiqah juga masih diperlukan muhawaroh mutabadilah (suasana komunikatif yang timbal balik) antara qiyadah dengan anggota, yaitu sebuah sistem komunikasi efektif yang saling menyukai dan saling membutuhkan.

Loyalitas seseorang juga dapat diapresiasikan dalam bentuk saran dan nasihat yang membangun yang disampaikan sesuai etika dan jalurnya. Dalam perkara saling menasehati ini pun, harus dilakukan secara komunikatif melalui koridor yang ada dan dilakukan sesuai adab-adabnya. Semua harus dilakukan dengan etikanya. Baik antar pribadi apalagi dalam sebuah jaamah. Semuanya punya etika, punya koridor. Kita adalah jamaah, kita punya saluran untuk melakukan nashihah. Nasihat bukanlah kalimat yang disampaikan di sembarang tempat, di mana-mana. Ingat, kalimat yang dikeluarkan itu bisa sangat berbahaya. Para penyair menggambarkan ketika kerajaan Bani Umayah hampir hancur dengan ungkapan ”Awal hancurnya adalah oleh kata-kata yang membakar.”

Seorang Ikhwah tidak hanya bicara apapun yang dia pahami. Tapi pembicaraannya, harus dengan cara yang benar, dengan memikirkan akibatnya. Ada kalimat yang bisa mengakibatkan perpecahan, ada perkataan yang bisa menyebabkan pembunuhan, ada yang bisa menyebabkan kehancuran. Kita punya aturan yang menjadikan setiap orang dalam barisan kita bisa menyampaikan pandangannya, apapun yakni dalam usrah. Tapi kita harus juga meyakini bahwa forum usrah adalah amanah. Tidak boleh diumbar keluar pembicaran tentang kekurangan.. Ini adalah keluarga kita, ini adalah masalah kita.
Ingat bahwa usrah ini adalah amanah 
 
Janganlah Jadi Aktivis Dakwah yang Temperamental

Temperamental (infi’aliyah) adalah perasaan yang mudah sekali tergugah sebagai reaksi atas suatu masalah yang ada di hadapannya. Sifat ini dapat tergambar dari raut muka, tutur kata dan perilakunya, dan biasanya sifat ini akan membawa pelakunya kepada overacting. Sifat mudah marah, jengkel, dan mudah berprasangka buruk, terekspresikan dalam raut muka dan tutur kata yang tidak menyenangkan bahkan menakutkan, sehingga pada pihak lain muncul perasaan khawatir.

Sifat ini dapat menyebabkan pihak lain merasa perlu untuk menjaga jarak agar tak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.. Atau dapat juga pihak lain mengambil tindakan yang dianggap perlu agar tidak terjadi sesuatu yang membawa mudharat yang lebih besar.

Sifat ini adalah lawan dari waqur/sakinah (tenang) yang semestinya menjadi karakter dasar seorang aktivis dakwah.

Temperamental dapat muncul dari kondisi kejiwaan yang tak terkendali yang kemudian menolak nasihat yang berharga baginya. Dirinya terdominasi oleh perasaan yang menyelimuti sebagai reaksi atas perkara yang sedang dihadapinya. Bisa juga temperamental berasal dari sifat bawaan atau akibat salah pendidikan dan salah perlakuan sejak masa kecilnya.

Jika saja seseorang yang bersikap temperamental masih dalam kesadaran dan pengendaliannya, maka tidaklah mengapa, sebab di sana masih memungkinkan untuk menerima nasihat atau dalam kontrol pihak lain. Hal ini merupakan sebuah kewajaran sebagai manusia yang lemah dan tempatnya kesalahan. Dari sinilah fungsi serta letak pentingnya “tawashou bil haq wa tawashou bish shobr” sehingga tidak gelap mata.

Allahu a’lam

Semoga bermanfaat buat kita semua.

Kalibata, 31 Maret 2010
 
 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar