Jumat, 14 November 2014

Pilihan Sulit di Masa Yang Sulit

Madinah awal musim rontok selepas Umratul Qadha’.
Suhu panas mencapai titik nadir. Kerontang mengukir segala tempat. Kurma berjuntai-juntai di sela-sela pelepahnya yang mengering. Buahnya telah coklat ranum menunggu dipetik. Siang panas terik. Pasir dan batu serupa bara api. Udara mendidih membakar kulit. Angin yang bertiup pun serasa menguras keringat hingga tetes terakhir.
Ini adalah musim dimana maut mengintai di padang pasir. Tak ada yang ingin dilakukan penduduk kecuali tinggal di rumah atau pergi ke kebun untuk memetik kurma.
Namun, semua harus berubah ketika terdengar sebuah kabar. Romawi (Byzantium) tengah mengerahkan pasukan untuk menyerbu perbatasan Arab sebelah utara. Perintah berangkat perang pun kemudian dikumandangkan. Semua diharap bersiap menuju perbatasan Syam*. Menghadapi “orang-orang kuning” (banu’l-ashfar), pasukan besar yang telah mengalahkan imperium Persia.
 

Menghadapi pasukan yang pernah memporak-porandakan 3.000 orang muslimin di Mu’tah dan merenggut setidaknya nyawa tiga orang panglima: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah.

Ada yang berbondong menyambut seruan ini. Namun banyak diantaranya dilanda kebimbangan. Mereka yang munafik pun membisikkan ajakan beracun. “Jangan kalian berangkat perang dalam udara yang panas begini.” (QS. 9:81). Tak sedikit diantara mereka menyampaikan beragam alasan untuk tidak turut serta berperang. “Ijinkan saya tidak ikut serta dan jangan engkau bawa saya ke dalam ujian ini.” (QS. 9: 49).

“Wahai Jadd,” berkata Rasul kepada Jadd bin Qais, salah seorang Banu Salima. “Apakah engkau bersedia tahun ini menghadapi Banu’l-Ashfar?”
“Ya, begini Rasulullah,” jawab Jadd dengan bermanis muka. “Ijinkanlah saya tidak dibawa ke dalam ujian serupa ini. Masyarakat saya sudah cukup mengenal bahwa tak ada orang yang lebih birahi terhadap wanita seperti saya ini. Saya khawatir, jika melihat wanita Banu’l-Ashfar yang cantik molek itu saya takkan bisa menahan diri.”
Rasul pun meninggalkan laki-laki itu.

Terkumpullah juga akhirnya 30.000 orang pasukan. Dengan susah-payah. Jumlah pasukan terbesar yang pernah dipimpin Nabi. Namun, dalam perjalanan ini, ada yang berlambat-lambat di belakang pasukan sehingga tertinggal. Ada yang jelas-jelas memisahkan diri dan kembali ke Madinah. Ada yang hilang terbawa angin atau tertimbun segunduk pasir. Belum kelaparan dan kehausan yang sudah pasti menjadi bagian dari perjalanan ini.

Namun, ketika tiba di Tabuk, tak ada pasukan Romawi yang besar dan lengkap sebagaimana kabar yang terdengar. Senyap. Mereka telah dilanda ketakutan dan keburu menarik diri mundur demi mendengar kedatangan pasukan muslimin sepuluh kali lipat dibanding yang mereka hadapi di Mu’tah.
Lelah. Perjalanan nan jauh penuh onak dan duri telah ditempuh. Kini, tak seorang pun musuh ditemui.
Dua puluh hari mereka bertahan di Tabuk. Dua puluh hari mereka hanya menunggu dan menunggu. Rasul pun akhirnya memutuskan untuk pulang ke Madinah. Sebuah perjalanan pulang yang tidak saja jauh dan melelahkan, tetapi juga benar-benar sulit dan mengguncang mental. Bagaimana tidak? Sebuah pasukan perang pulang tanpa ghanimah. Tanpa tawanan. Perang pun tidak.
***
Hidup itu untuk memilih. Bahkan hidup itu sendiri sebuah pilihan.
Mungkin golongan Qadariyah adalah orang-orang yang paling cocok dengan ungkapan demikian. Bagi mereka, manusia dengan kekuatan akalnya diberikan kebebasan untuk memutuskan sebuah pilihan. Untuk itulah pahala diberikan, siksa ditimpakan, syurga dan neraka diciptakan. Semua bersandar pada pilihan apa yang diambil seseorang dalam setiap masalah.
Sebuah pilihan akan semakin sulit seiring dengan tingkat konsekuensi yang akan diterima sesuai pilihan yang diambil. Memilih baju di sebuah toko tentu tidak sebanding dengan memilih seorang pasangan hidup berumah tangga. Memilih menghajar seorang pelaku kriminal yang tertangkap tangan tentu tidak sama dengan memilih menghajar musuh di sebuah medan peperangan.
Di sisi lain, manusia sendiri diberikan naluri untuk mempertahankan diri (gharizatul baqa’). Manusia cenderung lebih memilih hidup lebih lama di dunia ini daripada terlalu cepat mati. Lebih mencintai dunia dan takut untuk mati. Oleh karena itu, kesulitan tertinggi dalam memilih adalah ketika pilihan itu berujung pada konsekuensi dilepaskannya dunia di genggamannya dan disongsongnya pintu kematian.
Di titik inilah ujian keimanan mencapai puncaknya. Dan ekspedisi militer ke Tabuk memberikan buktinya.
Bagaimanapun, peristiwa Tabuk terjadi selepas ditaklukkannya Makkah, Hunain dan Thaif. Manusia berbondong-bondong memeluk agama ini (QS. 110: 2). Jumlah kaum muslimin menjadi berlipat. Jika pada Fathul Makkah Rasulullah memimpin 10.000 orang pasukan, maka pada ekspedisi ini terkumpul tiga kali lipatnya. Hanya berselang setahun.
Bagaimana tidak pengiriman ekspedisi militer ke Tabuk menjadi puncak ujian keberimanan? Kebun kurma sedang menunggu panen. Sementara musim panas mencapai derajat yang mematikan. Jarak yang harus ditempuh ke Tabuk di perbatasan Syam begitu jauh dan sulit. Serupa Mu’tah. Itupun mereka harus berhadapan dengan raksasa militer dunia yang baru saja mengalahkan negeri super power Persia. Jika pada peristiwa Mu’tah 3.000 pasukan muslim harus berhadapan dengan 200.000 orang Romawi, berapa pula yang bakal mereka hadapi di Tabuk ini? Heraclius, raja Romawi, pasti telah berhitung cermat dengan pengalaman mereka yang hanya menghadapi sepertujuhpuluh pasukan muslim saja kewalahan di Mu’tah dulu.
Walhasil, berangkat ke Tabuk seperti berjalan bersusah-payah hanya untuk menyerahkan leher ke tiang pemancungan. Tak pelak, umat pun terbagi. Ada yang menyambutnya dengan hati gembira mengharapkan perjumpaan dengan-Nya sebagai syahid. Ada yang tidak turut serta dengan beragam alasan. Ada yang berlambat-lambat dan akhirnya tertinggal. Ada yang memisahkan diri dari pasukan dan kembali pulang.
Setelah dua puluh hari di Tabuk dan pasukan pun harus pulang tanpa ghanimah dan tawanan, ada yang menggerutu. Ada yang mengejek. Ada yang menyesal. Hanya untuk inikah mereka pergi jauh-jauh ke Tabuk, sementara orang-orang yang tinggal di Madinah sedang menikmati musim buah?
***
Rasulullah pun bertindak tegas. Jika mereka yang munafik ataupun mbalelo dari perintah perang dibiarkan, tentu akan menjadi duri penghambat dakwah di masa mendatang. Maka, masjid Dhirar, pusat berkumpul orang-orang munafik, dirobohkan. Rumah Sulaim, seorang Yahudi yang menghalang-halangi orang ikut berperang pun dibakar. Beliau juga menolak permintaan maaf orang-orang yang dengan alasan yang dibuat-buat tidak turut berangkat ke Tabuk.
Rasul melarang bertegur-sapa dengan Ka’ab bin Malik, Murarah bin Rabi’, dan Hilal bin Umayyah meski mengaku secara jujur telah lalai dari perintah perang. Tidak cukup itu saja. Pada hari ke-40, beliau bahkan juga melarang ketiganya berkumpul dengan istri-istri mereka!**
***
Keterangan —–
* Yakni di Tabuk, sekitar 700 km dari Madinah.
** Hari ke-50 taubat mereka akhirnya diterima (QS. 9: 118)


Dimuat pada rubrik Napak Tilas Majalah Al-Mu’tashim edisi Juli 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar