Ada dua kutub yang bergerak diam-diam, merangkak perlahan untuk saling
bertemu, pada suatu masa tertentu, di tempat tertentu, dalam suasana dan
kondisi tertentu. Itulah ledakan kepahlawanan. Kutub pertama bergerak
dari dalam diri, di mana seorang pahlawan mengalami proses pematangan
internal. Kutub kedua bergerak dari luar, di mana situasi dan kondisi
lingkungan mengalami proses pematangan eksternal. Ledakan kepahlawanan
terjadi ketika kedua kutub itu mencapai kematangannya.
Menanti
saat-saat kematangan seorang pahlawan sama seperti menanti kematangan
buah di pohon. Jika Anda memetiknya sebelum waktunya, buah itu tidak
akan terlalu lezat. Namun, jika anda memetiknya tepat pada waktu
kematangannya, maka anda akan merasa-kan kelezatan yang tiada tara.
Sultan
Murad telah mengangkat puteranya, Muhammad, yang kemudian dikenal
dengan nama Muhammad Al Fatih Murad, sebagai raja ketika ia masih
berusia 16 tahun. Saat itu, kerajaan mengalami goncangan instabilitas
yang hebat di dalam negeri. Pemuda yang berbakat itu ternyata belum saat
memimpin.
Akhirnya, sang ayah mengambil-alih kepemimpinan dari
sang putera. Akan tetapi, proses pematangan ternyata hanya membutuhkan
waktu beberapa tahun lamanya. Di atas usia 20 tahun, Muhammad Al Fatih
kembali memimpin. Tepat ketika ia berusia 23 tahun, sang pahlawan telah
mewujudkan mimpi 8 abad umat Islam: mimpi membebaskan Konstantinopel.
Agaknya inilah rahasia yang menjelaskan, mengapa Allah Subhanahu Wa
Ta’ala selalu menanti saat-saat kematangan seseorang, sebelum kemudian
diangkat menjadi nabi atau rasul.
Sebagaimana tugas dan peran
kenabian, peran pahlawan hanya dapat diemban oleh mereka yang memenuhi
syarat-syaratnya. Akan tetapi, perjalanan menuju kematangan terkadang
sangat panjang dan berliku. Bahkan, ada kalanya dilalui dalam lumpur
yang berbau. Namun mungkin, Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menggariskan
bahwa sebagian proses kematangan memang harus dilalui di sana.
Hasan
Al Banna dan Sayyid Qutb lahir pada waktu yang hampir bersamaan.
Menyelesaikan pendidikan tinggi pada universitas yang sama, pada
angkatan yang sama, dengan jurusan yang berbeda. Al Banna di jurusan
Ilmu Pendidikan, sedangkan Sayyid Quthb di jurusan Sastra Arab.
Setelah
tamat, Al Banna langsung mendirikan Ikhwanul Muslimin, sementara Sayyid
Quthb justru malang melintang dalam belantara pemikiran jahiliyah
moderen yang kompleks. Dua puluh tahun kemudian, Sayyid Quthb mendengar
berita penembakan Al Banna di Kairo dari pembaringannya di salah satu
rumah sakit Amerika Serikat.
Namun, saat itulah ia
mendeklarasikan dirinya sebagai pengikut dan anggota Ikhwanul Muslimin,
justru ketika CIA sedang berusaha merekrutnya untuk ditugaskan sebagai
pemimpin Mesir.
Dua tokoh itu tidak pernah bertemu, walaupun
pernah saling mendengarkan. Suatu saat, salah seorang murid Hasan Al
Banna hendak membantah tulisan Sayyid Quthb yang ingin mengembangkan
hedonisme dan kebebasan sampai kepada ketelanjangan. Tapi, Al Banna
mencegahnya dengan berbagai alasan. Al Banna kemudian berkata sembari
meramal, “Tapi, aku melihat ia (Sayyid Quthb) adalah seorang pemuda yang
penuh semangat.”
Dan, semangatnya itulah yang kemudian
membawanya ke tiang gantungan. Dua tokoh itu menemui takdir yang sama
sebagai syahid, dengan liku-liku perjalanan yang sangat berbeda. Saat
kematangan setiap pahlawan selalu datang dengan caranya sendiri.
---
Muhammad Anis Matta
Dari buku 'Mencari Pahlawan Indonesia'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar