Selasa, 18 November 2014

episode KEJUJURAN

Hari-hari menjelang kedatangan Rasulullah SAW dari Tabuk sangat menegangkan. Setidaknya bagi Ka’ab bin Malik. Kalau saja ia berada dalam rombongan Rasulullah, tentu lain ceritanya.

Seperti biasa, setiap pulang dari perjalanan, Rasul lebih dulu ke masjid. Ternyata, sekitar 80-an orang munafik telah menunggu di sana. Mereka memohon kepada Rasulullah agar meminta ampunan kepada Allah karena tidak ikut perang. Mereka juga berharap agar Rasul sendiri mau memaafkan. Permintaan itu dikabulkan Rasul. Tapi, tiba-tiba wajah beliau berubah merah. Seulas senyum sinis tersungging, ketika Ka’ab bin Malik menemuinya. “Mengapa kamu tidak ikut ke Tabuk? Bukankah kamu telah membeli kendaraan untuk itu?" tanya Rasulullah. Wajar Rasulullah bersikap seperti itu. Ka’ab termasuk jajaran para sahabat terhormat, punya track record yang baik sebagai penulis wahyu, dan relatif tanpa cacat nama baik. Tidak ikut ke Tabuk menjadi sesuatu yang tak logis untuk ukuran seorang kader yang ditarbiyah oleh Rasul.

Ka’ab terdiam. Ia sudah menduga pertanyaan itu muncul. Itulah detik-detik penuh konflik dalam batinnya. Bukan tak mampu beralasan. Ia bisa melakukan itu, karena – seperti katanya sendiri – ia diberi kemampuan berargumentasi yang baik. Tapi, masalahnya ia bermuamalah dengan Allah SWT dan berhadapan dengan Rasul Allah. Dalam situasi seperti itu, biasanya lahir dorongan untuk berdusta. Demi mempertahankan “air muka" atau “kebesaran" atau “kehormatan” atau “wibawa” atau, "nama baik.”

Bentuk kedustaan bisa beragam. Yang paling sering muncul adalah rasionalisasi kesalahan, yaitu kecenderungan membenarkan kesalahan dengan alasan apapun. Atau dalam ungkapan Al-Qur’an “akhadzathul izzatu bil itsmi” (ia dipaksa oleh keangkuhan untuk membela dosanya). Konflik batin, itulah yang dirasakan Ka’ab bin Malik.
Namun apa jawaban Ka’ab? “Wahai Rasulullah, andaikan aku berhadapan dengan selain engkau, aku yakin dapat meloloskan diri dengan satu alasan. Namun, andaikan aku berdusta kepadamu yang membuatmu ridha padaku, aku khawatir Allah akan membuatmu marah padaku (dengan mengungkap kedustaan ini melalui wahyu). Wahai Rasulullah, jika aku jujur padamu, dan itu membuatmu marah padaku, aku masih bisa berharap agar kelak Allah mengampuni dosaku.”

Ka’ab telah melewati jenak-jenak penuh pertarungan itu, melewati detik-detik menegangkan, sangat berat, Dan ia menang. Ia mengalahkan dirinya sendiri, dan memenangkan kejujuran imannya atas dusta dan kemunafikan. "Orang-orang ini benar-benar telah berkata jujur," ucap Rasulullah. Selanjutnya, ia berkata, “Wahai Ka’ab, berdirilah sampai Allah memutuskan sesuatu untukmu.”Akhirnya Ka’ab mendapat hukuman, dikucilkan secara sosial selama 50 hari. Tapi itu lebih ringan ketimbang beratnya pertarungan memenangkan kejujuran iman.

Kita semua akan menghadapi detik-detik seperti itu. Dan, kita bisa menang jika di saat seperti itu menyadari bahwa kita hanya bermu’amalah dengan Allah, yang mengetahui pengkhianatan mata dan segala yang tersembunyi dalam dada. Bukan dengan manusia, yang mudah dibohongi, atau bahkan senang dibohongi. Itulah yang membuat kejujuran bernilai lain di mata Allah SWT. Itu pula sebabnya, mengapa banyak di antara kita yang selalu gagal di etape ini. 

Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar