Jumat, 24 Januari 2014

Episode Qiyadah & Jundiyah


Yaa Amiri..!! (Wahai Pemimpinku)

Demikianlah sahabat senior yang penuh keutamaan, Umar Bin Khattab ra memanggil Usamah bin Zaid ra, seorang pemuda belasan tahun yang memiliki legitimasi karena diangkat menjadi panglima perang.

Hormat dan taat walaupun pada juniornya. Dan, kegemilanganlah hasilnya.


Ikhwati fillah....
bisa jadi junior kita yang menjadi pemimpin kita..
Selama bukan dalam kemaksiyatan, kewajiban kita adalah hormat dan taat, jangan remehkan, dan jangan suka veto keputusannya, meski kita ga suka dengan keputusan tsb. 

Jujur & Bijaksana, kisah Tukang Roti dan Penjual Mentega


Seorang tukang roti di sebuah desa kecil membeli satu kilogram mentega dari seorang petani. Ia curiga bahwa mentega yang dibelinya tidak benar-benar seberat satu kilogram. Beberapa kali ia menimbang mentega itu, dan benar, berat mentega itu tidak penuh satu kilogram. Yakinlah ia, bahwa petani itu telah melakukan kecurangan. Ia melaporkan pada hakim, dan petani itu dimajukan ke sidang pengadilan.

Pada saat sidang, hakim berkata pada petani, "Tentu kau mempunyai timbangan?"

"Tidak, tuan hakim," jawab petani.

"Lalu, bagaimana kau bisa menimbang mentega yang kau jual itu?" tanya hakim.

Petani itu menjawab, "Ah, itu mudah sekali dijelaskan, tuan hakim. Untuk menimbang mentega seberat satu kilogram itu, sebagai penyeimbang, aku gunakan saja roti seberat satu kilogram yang aku beli dari tukang roti itu."

Cukup banyak contoh, kekesalan kita pada orang lain berasal dari sikap kita sendiri pada orang lain. Kita selalu melakukan kesalahan kecil terhadap orang lain, kita tidak pernah berfikir bahwa pada suatu saat nanti pasti kita juga akan merasakan apa yang kita lakukan terhadap orang lain.

Bersikap jujur dan bijaksana merupakan suatu tindakan positif yang patut kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita bisa menerapkan sifat ini, maka hidup kita akan damai, lakukanlah hal mudah ini dari sekarang

Rabu, 15 Januari 2014

Tetaplah mendoakan yg baik

Seorang yg zuhud & ahli ibadah, Ma'ruf Al-Karkhi rahimahuLlah suatu hari sedang duduk di tepi sungai Tigris, Baghdad, bersama sahabat-sahabatnya. Lalu lewatlah dekat mereka anak-anak muda di atas perahu sambil bermain-main & minum khamr. Para sahabat Ma'ruf berkata: "Mereka bermaksiat kepada Allah di atas sungai ini, doakan keburukan untuk mereka."
Ma'ruf Al-Karkhi rahimahiLlah mengangkat tangannya dan berdoa:

إِلٓهِي وٓسٓيِّدِيْ كَمَا فَرَّحْتَهُمْ فِي الدُّنْيَا أَسْأَلٰكٓ أَنْ تٰفَرِّحَهُمْ فِي الْآخِرَةِ

"Ya Allah, Tuhanku & Pimpinanku, sebagaimana Engkau telah menggembirakan mereka di dunia, aku memohon kepada-Mu gembirakanlah mereka di akhirat."

Para sahabatnya berkata: "Kami minta engkau doakan keburukan utk mereka, bukan doa yg baik."

Ma'ruf menjawab: 

إِذَا فَرَّحَهُمْ فِي الْآخِرَةِ تَابَ عَلَيْهِمْ وٓلٓمْ يَضُرَّكُمْ ذٓلِكَ

"Jika Allah menggembirakan mereka di akhirat berarti Dia menerima taubat mereka, dan itu tidak merugikan kalian."

(Waqafat Tarbawiyah, Abdul Hamid Al-Bilali mengutip dari kitab Al-Mustathrif, hlm 215)

Menteri Agama Ini Menolak Menghajikan Adiknya Sendiri

Membaca kisah orang-orang yg sederhana dan berjiwa besar, ibarat menemukan sebuah oase di padang tandus...
Dalam kesempatan ini, kita akan sejenak mengenal profil salah satu menteri Agama di negeri ini...

---

Berkebalikan dengan ironi yang sangat banyak terjadi hari ini, pejuang dan pejabat di zaman perjuangan tidak pernah memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Salah satunya, KH Saifuddin Zuhri, seorang pejuang, pemuka agama, dan pendidik.


Sederhana sudah menjadi bagian dari kehidupan Saifuddin kecil yang mempunyai ibu perajin batik dan ayah seorang petani. Latar belakang kedua orang tua yang datang dari kel
uarga pemuka agama, membuat Saifuddin kecil berlimpah ilmu agama. Di usia ke-17, dia meninggalkan Banyumas, pergi ke Solo.

Di Solo, Saifuddin berkenalan dengan dunia jurnalistik yang membuatnya melahirkan berbagai tulisan dan buku. Dia pun ikut berperang bersama pasukan Hizbullah dan Jenderal Sudirman di pertempuran Ambarawa. Pencapaian yang diperoleh Saifuddin masih ditambah dengan berbagai jabatan di lembaga Islam dan pendidikan.

Bung Karno pun mempercayai Saifuddin menjadi Menteri Agama, menggantikan KH Wahib Wahab. Suatu kali, Saifuddin diuji. Adik iparnya, Mohammad Zainuddin Dahlan memohon untuk dihajikan dengan biaya dinas dari Departemen Agama. Meskipun sudah lazim menghajikan pejuang kemerdekaan, namun Saifuddin menolak permintaan itu.

"Sebagai orang yang berjasa dan mengingat kondisi perekonomianmu belum memungkinkan, sudah layak jika Departemen Agama menghajikan. Apalagi kamu pernah berjuang dalam perang kemerdekaan. Tapi ada satu hal yang menyebabkan saya tidak mungkin membantu melalui haji departemen. Karena kamu adikku. Coba kamu orang lain, sudah lama aku hajikan," ujar KH Saifuddin Zuhri kepada iparnya.

Menjadi Menteri Agama, tidak lantas membuat Saifuddin seenaknya memanfaatkan fasilitas negara. Dia tetap hidup dalam kesederhanaan. Dikutip dari buku Karisma Ulama Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU karangan Saifullah Ma'shum, terungkap bahwa Saifuddin memilih berdagang beras di Pasar Glodok sehabis shalat Dhuha. Bahkan kebiasaan ini pun membuat anaknya mengelus dada.

Selasa, 14 Januari 2014

Mengenal pribadi Rasulullah saw

Apa yang Tuan fikirkan tentang seorang laki-laki berperangai amat mulia, yang lahir dan dibesarkan di celah-celah kematian demi kematian orang-orang yang amat mengasihinya? Lahir dari rahim sejarah, ketika tak seorangpun mampu mengguratkan kepribadian selain kepribadiannya sendiri. Ia produk ta’dib Rabbani (didikan Tuhan) yang menantang mentari dalam panasnya dan menggetarkan jutaan bibir dengan sebutan namanya, saat muadzin mengumandangkan suara adzan.

Di rumahnya tak dijumpai perabot mahal. Ia makan di lantai seperti budak, padahal raja-raja dunia iri terhadap kekokohan struktur masyarakat dan kesetiaan pengikutnya. Tak seorang pembantunya pun mengeluh pernah dipukul atau dikejutkan oleh pukulannya terhadap benda-benda di rumah. Dalam kesibukannya ia masih bertandang ke rumah puteri dan menantu tercintanya, Fathimah Azzahra dan Ali bin Abi Thalib. Fathimah merasakan kasih sayangnya tanpa membuatnya jadi manja dan hilang kemandirian. Saat Bani Makhzum memintanya membatalkan eksekusi atas jenayah seorang perempuan bangsawan, ia menegaskan: Sesungguhnya yang membuat binasa orang-orang sebelum kamu ialah, apabila seorang bangsawan mencuri mereka biarkan dia dan apabila yang mencuri itu seorang jelata mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri, maka Muhammad tetap akan memotong tangannya.”

Hari-hari penuh kerja dan intaian bahaya. Tapi tak menghalanginya untuk –lebih dari satu dua kali- berlomba jalan dengan Humaira, sebutan kesayangan yang ia berikan untuk Aisyah binti Abu Bakar Asshiddiq. Lambang kecintaan, paduan kecerdasan, dan pesona diri dijalin dengan hormat dan kasih kepada Asshiddiq, sesuai dengan namanya “si Benar”. Suatu kewajaran yang menakjubkan ketika dalam sibuknya ia masih menyempatkan memerah susu domba atau menambal pakaian yang koyak. Setiap kali para sahabat atau keluarganya memanggil ia menjawab: “Labbaik”. Dialah yang terbaik dengan prestasi besar di luar rumah, namun tetap prima dalam status dan kualitasnya sebagai “orang rumah”.

Di bawah pimpinannya, laki-laki menemukan jati dirinya sebagai laki-laki dan pada saat yang sama perempuan mendapatkan kedudukan amat mulia. “Sebaik-baik kamu ialah yang terbaik terhadap keluarganya dan akulah orang terbaik di antara kamu terhadap keluargaku.” “Tak akan memuliakan perempuan kecuali seorang mulia dan tak akan menghina perempuan kecuali seorang hina.” demikian pesannya.

Di sela 27 kali pertempuran yang digelutinya langsung (ghazwah) atau dipanglimai sahabatnya (sariyah) sebanyak 35 kali, ia masih sempat mengajar Al-Qur’an, sunnah, hukum, peradilan, kepemimpinan, menerima delegasi asing, mendidik kerumahtanggaan bahkan hubungan yang paling khusus dalam keluarga tanpa kehilangan adab dan wibawa. Padahal, masa antara dua petempuran itu tak lebih dari 1,7 bulan.

Setiap kisah yang dicatat dalam hari-harinya selalu bernilai sejarah. Suatu hari datanglah ke masjid seorang Arab gunung yang belum mengerti adab di masjid. Tiba-tiba ia kencing di lantai masjid yang berbahan pasir. Para sahabat sangat murka dan hampir saja memukulnya. Sabdanya kepada mereka : “Jangan, biarkan ia menyelesaikan hajatnya.” Sang Badui terkagum, ia mengangkat tangannya, “Ya Allah, kasihilah aku dan Muhammad. Jangan kasihi seorangpun bersama kami.” Dengan tersenyum ditegurnya Badui tadi agar jangan mempersempit rahmat Allah.

Ia kerap bercengkerama dengan para sahabatnya, bergaul dekat, bermain dengan anak-anak, Bahkan memangku balita mereka di pangkuannya. Ia terima undangan mereka: yang merdeka, budak laki-laki atau budak perempuan, serta kaum miskin. Ia jenguk rakyat yang sakit jauh di ujung Madinah. Ia terima permohonan maaf orang.

Ia selalu lebih dulu memulai salam dan menjabat tangan siapa yang menjumpainya dan tak pernah menarik tangan itu sebelum sahabat tersebut yang menariknya. Tak pernah menjulurkan kaki di tengah sahabatnya hingga menyempitkan ruang bagi mereka. Ia muliakan siapa yang datang, kadang dengan membentangkan bajunya. Bahkan ia berikan alas duduknya dan dengan sungguh-sungguh ia panggil mereka dengan nama yang paling mereka sukai. Ia beri mereka kuniyah (sebutan bapak atau ibu si Fulan). Tak pernah ia memotong pembicaraan orang, kecuali sudah berlebihan. Apabila seseorang mendekatinya saat ia shalat, ia cepat selesaikan shalatnya dan segera bertanya apa yang diinginkan orang itu.

Pada suatu hari dalam perkemahan tempur ia berkata: “Seandainya ada seorang saleh mau mengawalku malam ini”. Dengan kesadaran dan cinta, beberapa sahabat mengawal kemahnya. Di tengah malam terdengar suara gaduh yang mencurigakan. Para sahabat bergegas ke sumber suara. Ternyata ia telah ada disana mendahului mereka, tegak diatas kuda tanpa pelana, “Tenang, hanya angin gurun,” hiburnya. Nyatalah bahwa keinginan ada pengawal itu bukan karena ketakutan atau pemanjaan diri, tetapi pendidikan disiplin dan loyalitas.

Ummul Mukminin Aisyah ra. berkata: “Rasulullah SAW wafat tanpa meninggalkan makanan apapun yang bisa dimakan makhluk hidup, selain setengan ikat gandum di penyimpananku. Saat ruhnya dijemput, baju besinya masih digadaikan kepada seorang Yahudi untuk harga 30 gantang gandum.”

Sungguh ia berangkat haji dengan kendaraan yang sangat sederhana dan pakaian tak lebih harganya dari 4 dirham, seraya berkata, “Ya Allah, jadikanlah ini haji yang tak mengandung riya dan sum’ah.”

Pada kemenangan besar saat Makkah ditaklukkan, dengan sejumlah besar pasukan muslimin, ia menundukkan kepala, nyaris menyentuh punggung untanya sambil selalu mengulang-ulang tasbih, tahmid dan istighfar. Ia tidak mabuk kemenangan.

Betapapun sulitnya mencari batas bentangan samudera kemuliaan ini, namun beberapa kalimat ini membuat kita pantas menyesal tidak mencintainya atau tak menggerakkan bibir mengucap shalawat atasnya: “Semua nabi mendapatkan hak untuk mengangkat doa yang takkan ditolak dan aku menyimpannya untuk umatku kelak di padang mahsyar nanti.”

Ketika masyarakat Thaif menolak dan menghinakannya, malaikat penjaga bukit menawarkan untuk menghimpit mereka dengan bukit. Ia menolak, “Kalau tidak mereka, aku berharap keturunan di sulbi mereka kelak akan menerima dakwah ini, mengabdi kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.”

Mungkin dua kata kunci ini menjadi gambaran kebesaran jiwanya. Pertama, Allah, sumber kekuatan yang Maha dahsyat, kepada-Nya ia begitu refleks menumpahkan semua keluhannya. Ini membuatnya amat tabah menerima segala resiko perjuangan; kerabat yang menjauh, sahabat yang membenci, dan khalayak yang mengusirnya dari negeri tercinta. Kedua, Ummati, hamparan akal, nafsu dan perilaku yang menantang untuk dibongkar, dipasang, diperbaiki, ditingkatkan dan diukirnya.

Ya, Ummati, tak cukupkah semua keutamaan ini menggetarkan hatimu dengan cinta, menggerakkan tubuhmu dengan sunnah dan uswah serta mulutmu dengan ucapan shalawat? Allah tidak mencukupkan pernyataan-Nya bahwa Ia dan para malaikan bershalawat atasnya (QS.Al Ahzab: 56), justru Ia nyatakan dengan begitu “vulgar” perintah tersebut, “Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah atasnya dan bersalamlah dengan sebenar-benar salam.”

Allahumma shalli ‘alaihi wa’ala aalih!

* tulisan ust Rahmat Abdullah --Allahu yarham---

Rabu, 08 Januari 2014

menyikapi KESALAHAN ala Rasulullah saw

sebagai manusia, pastinya kita pernah berbuat salah...
entah disengaja atau tidak...
kita pu serig menemui org yg berbuat salah kepada kita...
disengaja ataupun tidak...

berbuat kesalahan bukan berarti 'kiamat'

Dalam bahasa arab, terminologi utk kata 'salah' adalah al_khata'
antonimnya adalah ash_shawab..
org yg berbuat salah disebut al_mukhti' atau bisa bisa al_khati'

Al_Mukhti adalah org yg 'ga sengaja' berbuat kesalahan. ia adalah pencari kebenaran yg dalam proses pencarian kebenaran tsb ia melakukan kesalahan...

sementara Al-Khati adalah org yg SENGAJA melakukan kesalahan... 
 
Berbuat kesalahan bukanlah suatu akhir perjalanan hidup kita walau kesalahan itu amatlah besar. Dalam menghadapi kesalahan tak sedikit yang putus asa, depresi bahkan berani untuk mengakhiri hidupnya. Dari sini para pakar psikologi, filsafat dan sosial mencari solusi untuk memecahkannya. Namun usaha mereka terbilang nihil bahkan keadaan pun seolah semakin memprihatinkan. Maka sudah saatnya kita selaku muslim untuk kembali pada metode yang telah dicontohkan oleh panutan dan idola kita (Nabi Muhammad SAW) dalam menyikapi kesalahan. 
 
fokus pada SOLUSI....
demikian yg dilakukan Rasulullah saw ketika menyikapi kesalahan yg dilakukan para sahabatnya....
Rasulullah memandang sebuah kesalahan dengan kacamata solusi, bukan kacamata masalah...


Rasulullah selalu menghadapi kesalahan dengan jiwa yang teduh dan tenang, tak jarang ia pun menyambutnya dengan senyum.

Hal ini tak terlepas dari dua hal.

Pertama, karena kasih sayang (rahmah) yang sudah merasuk pada jiwanya yang suci. “Tidaklah kami utus engkau selain sebagai rahmat bagi seluruh alam”. Ia selalu memandang orang yang salah sebagai manusia biasa dengan kemungkinan ia sedang berada dalam keadaan terpuruk dan jatuh hingga membutuhkan orang yang menegakkan dan menopangnya bukan orang yang mencela atau menghardiknya.

Kedua, karena ia menganggap bahwa kesalahan merupakan hal yang sangat manusiawi, dan it bisa terjadi pada setiap orang, siapa pun dia.
 
Beberapa contoh “terapi” Rasul terhadap kesalahan telah dicantumkan oleh DR Rojib Sirjani dalam bukunya Nuqtoh, Wa Min Awwalis Satr (Cukup, Mulailah lembaran baru).
Secara garis besar penulis buku ini membagi metode Rasul ini dalam tiga poin besar; metode Rasul dalam menghadapi kesalahan orang-orang yang tidak tahu (jahil), menghadapi kesalahan orang yang berdosa (mudznib) dan menghadapi kesalahan yang mengarah pada diri Rasul sendiri. 
 
Ketidaktahuan (jahl), walau merupakan hal tercela yang hanya disebutkan dalam Al-Quran untuk mencela dan menghina namun setiap manusia pasti memiliki sifat ini. Karena seseorang mungkin tahu hal a namun ia tidak mengetahui hal b, begitu pula sebaliknya. Akan tetapi ketidaktahuan yang dilarang di sini adalah ketidaktahuan kita terhadap hal-hal yang sudah semestinya diketahui dalam agama.

Suatu ketika seorang badui datang ke masjid kemudian ia shalat. Usai shalat Rasul memintanya untuk mengulangi shalatnya. Ia pun mengulanginya hingga tiga kali, namun jawaban Rasul hanya satu irji’ fa sholli fainnaka lam tusholli (ulangi kemudian shalatlah kembali karena kamu belum melaksanakan shalat). Akhirnya si badui menyerah dan menyatakan bahwa hanya itulah yang ia bisa. Lalu Rasul menjelaskannya tata cara shalat yang benar. 
 
Dari cerita ini kita melihat bagaimana Rasul menyikapi kebodohan orang yang tidak tahu. Beliau tidak pernah menghina atau berbuat kasar padanya. Beliau hanya memintanya mengulangi shalat, kemudian menyampaikan pengetahuan secara tenang, penuh kasih sayang dan sangat beradab.

Imam Bukhari dan Muslim mencantumkan sebuah hadits dari Anas bin Malik yang menceritakan kisah seorang badui yang datang ketika Rasul sedang bersama para sahabatnya. Tiba-tiba ia (badui) kencing di dalam masjid. Tak elak para sahabat pun melarang dan mencegahnya. Rasul segera menginstruksikan para sahabatnya untuk tidak memotong kencingnya dan membiarkannya hingga selesai. Akhirnya mereka pun membiarkannya hingga usai. Lalu Rasul memanggilnya dan menasihatinya bahwa ini adalah masjid di mana seseorang tidak boleh mengencingi dan mengotorinya. Ia merupakan tempat untuk dzikir, shalat dan baca Al-Quran. Rasul hanya memerintahkan seorang sahabatnya untuk mengambil seember air dan menyiram bekas kencing tadi. 
 
Rasul juga memberikan contoh pada kita bagaimana mengoreksi dan menegur kesalahan orang yang berbuat dosa (mudznib). Perbedaan antara pembahasaan ini dengan sebelumnya adalah pembahasan yang lalu sang pelaku tidak tahu bahwa yang dilakukannya adalah salah berbeda dengan pembahasan ini di mana sang pelaku mengetahui bahwa perbuatannya salah namun ia tetap sengaja melakukannya. 
 
Walau adat dan agama sebenarnya tidak menyalahkan siapa saja yang menghukum orang yang salah dengan hukuman yang setimpal bahkan ia juga mencela pelakunya karena orang yang melakukan perbuatan ini sadar dan sudah mengetahuinya apalagi bila ia juga ternyata mengetahui hukuman perbuatannya itu. Namun kita akan mendapatkan pemandangan yang berbeda ketika kita memperhatikan cara Rasul berinteraksi dengan golongan kedua ini. 
 
Kisah pertama diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim tentang seorang lelaki yang menggauli istrinya pada siang hari bulan Ramadhan. Rasul memberikan solusi padanya dengan tiga alternatif; membebaskan budak, puasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan enam puluh orang miskin. Lelaki tadi ternyata tidak menyanggupi ketiga alternatif ini. Rasul kemudian terdiam sejenak hingga ada seseorang yang memberikan sekantung kurma. Lelaki tadi kemudian diperintah untuk menyedekahkannya. Tanpa disangka ternyata lelaki tadi tidak mendapat orang yang lebih miskin darinya. Serentak Rasul pun tertawa hingga terlihat giginya kemudian ia memerintahkan pemuda tadi untuk memberi makan kurma itu pada keluarganya. 
 
Dari kisah ini sangatlah tampak bagaimana Rasul menyikapi kesalahan, termasuk yang sengaja dilakukan sang pelaku. Kita dapat menyaksikan kasih sayangnya yang begitu besar pada umatnya. Di mana orang yang sudah jelas melakukan kesalahan besar dengan sengaja bahkan ia juga tak mampu untuk melaksanakan hukuman yang diberikan padanya. Namun tanpa disangka akan terjadi happy ending di mana ia tidak mendapat balasan yang setimpal dari kesalahannya malah mendapat nikmat yang dapat dibagikan pada keluarganya. Sungguh engkau diutus sebagai rahmat bagai seluruh alam wahai Rasulullah SAW. 
 
Keadilan memang derajat yang agung namun kasih sayang lebih besar derajatnya. Perbedaan dua hal ini tampak dalam dua ayat Al-Quran. Pertama, Surat Fathir ayat 45, “Dan sekiranya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah mereka perbuat, niscaya Dia tidak akan meninggalkan satu pun makhluk bergerak yang bernyawa di muka bumi ini tetapi Dia menangguhkan (hukum)nya sampai waktu yang sudah ditentukan”.

Kedua, surat Asy-Syura ayat 30, “Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahanmu).”

Sungguh adil kiranya bila Allah menghukum para hamba-Nya sesuai dengan perbuatan yang telah mereka lakukan namun kasih sayang-Nya ternyata lebih besar kepada mereka.

Dari sini muncul sebuah pertanyaan, mengapa kita merajam (melempari batu hingga meninggal) orang yang berbuat zina dan ia sudah menikah. Mengapa juga dipotong tangan sang pencuri, dan dibunuh orang yang membunuh orang lain? Bukankah suatu bentuk kasih sayang jika kita memaafkan mereka ?
 
Sebenarnya ada poin penting yang harus diperhatikan dan kesalahan ini sering terjadi pada sebagian orang. Di mana mereka memandang para pelaku kejahatan dengan kacamata kasih sayang namun mereka tidak melakukan itu pada masyarakat yang menjadi imbas dan korban kejahatan itu. Had (hukuman) sebenarnya disyariatkan sebagai wujud kasih sayang kepada masyarakat, juga terhadap pelaku kejahatan itu sendiri karena ia bisa menjadi sarana penghapus dosa hingga akan memudahkannya pada hari kiamat.

Manusia mungkin dapat menasihati orang untuk dapat memaafkan dan berlapang dada namun bila ada seseorang yang mulai menyentuh kehormatan dirinya tak jarang mereka akan terlihat sangat marah dan emosi. Pada poin ketiga inilah penulis melontarkan metode Rasul dalam menghadapi kesalahan yang berkaitan dengan diri Rasul sendiri. 
 
Bunda Aisyah pernah menggambarkan bahwa nabi tak pernah membalas siapa pun yang meremehkan dirinya namun bila sudah berhubungan dengan hak dan kehormatan Allah tak segan-segan ia segera membalasnya itupun karena ketulusannya pada Allah. Dan ini akan banyak kita dapatkan bila kita membaca sejarah hidup beliau yang luar biasa.

Umar pernah marah dan “menggerutu” terhadap apa yang terjadi pada rumah tangga Rasul dengan istri-istrinya di mana mereka -kadang- menjawab perkataan rasul, mendiamkannya akan tetapi rasul tetap sabar terhadap mereka. Hal ini menunjukkan kasih sayang beliau yang luar biasa pada keluarga khususnya para istri. 
 
Begitu pula Rasul selalu bersabar dan sayang terhadap para sahabatnya. Pernah mereka “kecewa” dengan keputusan Rasul pada perjanjian Hudaibiyah di mana mereka memandang perjanjian itu sangat tidak menguntungkan kaum muslimin hingga mereka “memboikot” –secara kebetulan- untuk tidak bertahallul (memotong rambut karena mereka telah berihram). Namun Rasul tidak pernah mengungkit-ungkit dan memendam masalah ini hingga akhirnya beliau bertahallul sendiri kemudian diikuti sebagian sahabat dan pada akhirnya mereka semua bertahallul.

Tak cukup sampai di sana. Ternyata Umar yang masih penasaran bertanya dan “mendebat” Rasul atas kebijakan yang dinilainya tidak berpihak pada umat Islam. Setelah mendengar jawaban Rasul ternyata Umar tak juga merasa puas. Seolah belum menemukan titik terang Umar pun mengulangi pertanyaan yang sama kepada Abu Bakr. Namun secara kebetulan jawaban Abu Bakr persis dengan jawaban Rasul. Walau bagaimanapun ternyata Rasul tidak pernah mempermasalahkan ini semua dan tak pernah mengungkit-ungkitnya. 
 
Kita terbiasa memberi penghargaan dan hadiah bagi mereka yang melakukan kebaikan dan hukuman dan sangsi bagi pelaku kejahatan. Padahal sebenarnya tidak semua perkara dapat dihukumi dengan satu timbangan. Terkadang kesalahan dapat diobati dengan senyum, arahan, nasihat dan pengajaran sebelum kita benar-benar memberikan hukuman atau kekerasan. Islam itu mudah kenapa kita tidak menempuh jalan yang mudah untuk merubah semuanya. 




 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

kadang, Kemenangan Datang Terlambat

Kadang-kadang kemenangan itu terlambat datangnya terhadap orang-orang yang dizalimi dan diusir dari negerinya tanpa dasar kebenaran selain mereka berkata “Tuhan kami adalah Allah”. Keterlambatan ini disebabkan oleh suatu hikmah yang diinginkan Allah…

Kadang-kadang terlambat datangnya kemenangan karena struktur umat Islam belum cukup matang, belum cukup sempurna, belum berhimpun semua kekuatannya, belum terorganisir baik dan bersatu seluruh jaringan, supaya diketahui seberapa puncak kekuatan amunisi dan kesiapan yang dimilikinya. Kalau ia mendapatkan kemenangan pada saat itu ia akan mudah rontok karena tidak mempunyai kemampuan menjaganya dalam waktu lama.

Kadang-kadang kemenangan terlambat datang hingga seluruh pejuang mencurahkan sagala kemampuan yang ia miliki, dan mengeluarkan apa saja yang ia punya. Maka tidak ada lagi yang tersisa dari barang yang mahal dan berharga kecuali sudah ia sumbangkan. Dia tidak hanya mencurahkan hal yang ringan lagi murahan di jalan Allah.

Kadang-kadang kemenangan itu terlambat datangnya supaya para pengusung kebenaran mencobakan seluruh kekuatan dan kemampuannya, hingga pada akhirnya ia sadar bahwa seluruh kekuatan itu tidak ada artinya tanpa sokongan dari Allah dan tidak akan mencukupi untuk memperoleh kemenangan. Kemenangan itu hanya akan turun bila seluruh kemampuan sudah dicurahkan kemudian menyerahkan hasilnya kepada Allah.

Kadang-kadang terlambat datangnya kemenangan supaya semakin bertambah kedekatan orang-orang beriman dengan Allah ketika mereka menanggung kesulitan, kepedihan dan pengorbanan. Saat itu mereka tidak menemukan sandaran selain Allah. Dan mereka tidak menghadapkan segalanya kecuali kepada Allah satu-satunya di dalam kesusahan itu. Hubungan ini menjadi jaminan keistiqamahan mereka nanti setelah Allah memberikan kemenangan. Hingga mereka tidak akan membangkang dan melenceng dari kebenaran, keadilan dan kebaikan di saat kejayaan menyapa mereka. 
 
Kadang-kadang terlambat datangnya kemenangan karena umat yang beriman belumlah betul-betul melepaskan segalanya dalam berjuang dan mencurahkan apapun demi Allah dan demi dakwahnya. Ia berperang untuk mendapatkan harta rampasan perang, atau karena gengsi kehormatanya, atau supaya disebut pemberani di depan musuhnya. Allah menghendaki supaya jihad untuk-Nya satu-satunya. Bebas dari segala bentuk perasaan yang menyamarkannya.

Kadang-kadang terlambat datangnya kemenangan karena di dalam kejahatan yang ditentang oleh umat yang beriman masih terdapat sisa-sisa kebaikan. Allah menghendaki ia betul-betul bersih dari kejahatan supaya dia betul-betul murni. Dan kejahatan itu menyingkir dengan sendirinya dalam kondisi hancur. Tidak ada sedikitpun dari kebaikan yang ikut binasa bersamanya.

Kadang-kadang terlambat datangnya kemenangan karena kebatilan yang diperangi umat yang beriman belum tersingkap kepalsuannya dihadapan manusia dengan sempurna. Andaikan orang beriman mengalahkannya pada waktu itu, pasti akan ada pembantu dari orang-orang yang tertipu olehnya, yang belum yakin dengan kerusakanya dan belum yakin kalau dia mesti lenyap. Maka nanti ia akan tetap mengakar dalam jiwa-jiwa orang awam yang belum bisa menyingkap hakikat mereka. Sehingga Allah membiarkan kebatilan sampai betul-betul terbuka di depan manusia dan mereka tidak akan merasa kecewa dengan kehilangannya.

Kadang-kadang terlambat datangnya kemenangan karena lingkungan belum kondusif untuk menerima kebenaran, kebaikan dan keadilan yang diperankan umat yang beriman. Andai diberi kemenangan pada waktu itu pasti ia mendapatkan penentangan dari lingkungannya sendiri, dan ia tidak akan bisa tenteram bersamanya.

Senantiasa pertarungan berlanjut hingga jiwa-jiwa betul-betul siap untuk menerima kebenaran dan meyakini bahwa kebenaran itu mesti berjaya..
Karena semua ini, dan demi yang lainnya dari hal-hal yang hanya diketahui Allah, kadang-kadang terlambat datangnya kemenangan. Maka saat itu akan berlipat ganda jumlah pengorbanan, dan akan berlipat-lipat rasa pedih, pilu dan sakit, bersamaan dengan datangnya pembelaan Allah terhadap orang-orang beriman dan terwujudnya pertolongan bagi mereka pada akhirnya.

Allahumma ‘ajjil lana bin nashr.

Sumber: www.sinaimesir.net

 

Realitas Akhlak Sejati

Jangan melihat pada ekspresi2 wajah.
Jangan dengarkan apa yg dikatakan lidah.
Jangan biarkan air mata menghanyutkanmu.
Itu semua hanyalah produk dari kulit luar manusia saja,
yang selalu berubah setiap harinya.

Tapi lihatlah pada apa yg ada dibalik itu.
Bukan pula pada hatinya, karena hati selalu berfluktuasi.
Bukan pula pada pikirannya,
krn pikiran selalu mengubah sudut pandangnya kapanpun,
perspektifnya berubah.
Apalagi, pikiran itu ternyata kini bisa saja menerima
suatu keadaan skrg yg dulunya ia tolak.

Bahkan para ilmuwan pun mengubah teori mereka.

Tidak! Sama sekali tidak!

Jika kamu ingin memahami manusia,
maka lihatlah tindakannya pada saat
ia memiliki KEBEBASAN untuk MEMILIH..!

Hanya pada saat itulah
kamu akan sangat terkejut ketika
melihat ada seorang ahli ibadah yg melacurkan diri,
dan seorang pelacur yg justru beribadah!

Kamu bisa juga menemukan seorang ahli fisika meminum racun,

dan kamu bisa terkaget-kaget karena
menemukaan seorang teman yg menikammu dari belakang
sedangkan musuhmu justru menyelamatkanmu!

Kamu pun mungkin akan melihat
seorang pelayan yg bertindak semulia majikan,
dan seorang majikan yg berbuat serendah
perbuatan pelayan yg terburuk!

Kamu mungkin pula akan melihat para Raja mengambil suap,
dan para Pengemis memberikan sedekah!

Lihatlah hakikat manusia
disaat dia tidak punya rasa takut yg dapat menghentikannya,
disaat kewaspadaannya tertidur,
hawa nafsunya terpuaskan,
dan merasa semua penghalang telah dirobohkan.

Hanya pada saat itulah kamu bisa melihat realitas dari manusia..

Apakah dia berjalan dgn 4 kaki seperti binatang,
atau justru ia terbang layaknya seorang malaikat,
atau ia merayap bagaikan seekor ular,
atau bahkan memakan lumpur seumpama cacing tanah!



Inspirasi dari:
Jalaludin Rumi,
budayawan dari Iran.

karena CINTA adalah Memberi

“Menurut kamu apa arti cinta?”

Lalu sang kekasih menjawab, “Kasih sayang!”

“O, itu sinonim.”

“Jadi apa dong?”

“Cinta itu memberi.”

“Ya benar, kalau namanya cinta, harus berkorban,” si kekasih membenarkan.

Tak bisa satu memberi dan satu lagi memanfaatkan. Dengan kata lain, masing-masing sadar akan hak dan kewajibannya. Bila sudah tidak sadar akan hak dan kewajibannya, maka tak ada lagi cinta.

Dalam kamus bahasa inggris, “to take” berarti mengambil. Sedangkan “to give” berarti memberi. Jadi “take and give” ini berarti mengambil dan memberi.

Konsep “take and give” ini berkonotasi mengambil dulu baru memberi. Seperti ini, kita tidak akan memberikan apapun jika kita belum mendapatkan sesuatu. Konsep Barat ini mengajarkan tidak akan membantu orang jika orang itu tidak mendatangkan keuntungan apapun. Memberi dengan melihat-lihat dulu, menguntungkan atau tidak.

Take and Give, menihilkan ikhlas. Mau shalat asalkan…. Mau infaq asalkan …. Mau apa pun asal ada yang di dapat lebih besar dari yang dia beri. Tapi, konsep itu sudah terlanjur menyebar. Padahal ada yang istilah lain yang lebih mendidik, konsep itu adalah “Give and Receive” (memberi dan menerima).

Kaitannya dengan hukum sebab akibat (law of attraction), sangat relevan. Jika “Give” adalah sebab maka “Receive” adalah sebuah akibat. If you want to “receive” than you must to “give” first! Artinya sama persis “jika ingin mendapatkan hak-hakmu maka tunaikan dulu kewajibanmu”.

Jika ingin pintar ya belajar. Ingin uang ya usaha. Ingin dihargai, ya peduli sama orang lain. Ingin anak yang shalih dan shalihah, si Ortu harus memberi teladan. Ingin disayang istri, harus memberikan cinta dan kasih sayang tulus pada istri.

Selalu dan selalu, setiap Anda berbuat akan ada akibatnya. Balasan itu tak selalu berupaya fisik. Bisa kasih sayang, sikap respect atau simpati. Semua balasan itu membuat Anda bahagia. Lalu apa jaminannya jika sudah memberi pasti akan menerima?

“Dan barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar biji dzarah niscaya ia akan menerima pahalanya, dan barang siapa melakukan keburukan sebesar biji dzarah niscaya ia akan menerima balasannya” (QS.Az-Zalzalah:7-8). CS
---

Karena Cinta adalah Memberi
Eman Mulyatman
Tafakur Majalah Sabili Edisi 10/XIX