Senin, 09 Februari 2015

tahapan (proses) Tarbiyah

Tarbiyah memiliki sifat –di antaranya- definitif, realistis, obsesif dan dapat diukur. Dengan sifatnya yang definitif, tarbiyah dapat dilakukan dengan baik dan jelas oleh para aktivisnya. Dengan sifatnya yang realistis, tarbiyah menjadi sesuatu yang dapat, mudah, dan sangat mungkin untuk diwujudkan. Dengan sifatnya yang obsesif, tarbiyah tidak mengijinkan komunitasnya untuk diam, merasa puas dan kehilangan gairah untuk membangun masa depan yang lebih baik. Dan dengan sifatnya yang dapat diukur, tarbiyah membentuk dirinya dalam ukuran-ukuran kuantitatif yang membuatnya dapat dievaluasi.

’Tahwilul jahaalati ’ilaal ma’rifah’

Setiap Jenjang Tarbiyah memiliki karakter pembinaan yang berbeda-beda. Pada jenjang-jenjang awal, Tarbiyah adalah sebuah proses yang membangkitkan rasa kebutuhan Peserta Tarbiyah kepada Islam, membangkitkan pelaksanaan adab-adab dan hukum-hukum Islam serta membangkitkan rasa cinta peserta tarbiyah untuk hidup di bawah naungan Islam. Karakter marhalah selanjatnya adalah proses tarbiyah yang menumbuhkan urgensi amal jama’i, merasakan urgensi berkhidmat pada Islam, dan merasakan kemestian bergabung dengan Gerakan Dakwah. Karakter marhalah selanjutnya adalah sebuah proses tarbiyah yang menanamkan urgensi berkorban dengan waktu dan harta, melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya dan berinteraksi secara aktif dengan Manhaj (metodologi) Dakwah. Pada masanya, ada tarbiyah yang menyiapkan seseorang untuk memiliki komitmen dengan seluruh pedoman dan aturan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya. Dan karakter marhalah tertentu adalah proses yang menyiapkan seorang menjadi da’i teladan dan semua aspeknya – aspek pemikiran, aspek amaliyah, dan aspek pengorbanannya- menjadi representasi dari Gerakan Dakwah. Marhalah ini membentuk seorang yang menjadi representasi Gerakan Dakwah.

Lalu apa yang dimaksud dengan halaqah tarbawiyah? Halaqah Tarbawiyah adalah proses tarbiyah secara rutin dalam dinamika kelompok untuk mencapai ahdaf (tujuan-tujuan yang hendak dicapai) melalui berbagai program dan ketentuannya. Murabbi bisa mentarbiyah mutarabbi sesuai kesanggupan optimalnya mengelola forum; baik dari segi jumlah personal dalam satu kelompok maupun jumlah kelompok halaqah tarbawiyah yang ditanganinya.
Murabbi (Pembina) adalah seseorang yang melakukan program tarbiyah sesuai dengan tahapnya. Kata Murabbi digunakan untuk menunjukkan sekaligus murabbi (laki-laki) dan murabiyah (perempuan). Mutarabbi adalah seseorang atau sekelompok orang yang tengah mengikuti program tarbiyah. Kata ini digunakan untuk menunjukkan sekaligus mutarabbi dan mutarabiyah.

Indikasi keberhasilan tarbiyah dapat dilihat pada tercapainya tujuan-tujuan (ahdaf) dan muwashafat setiap tahap sesuai target waktu. Muwashafat adalah sifat-sifat yang diharapkan muncul pada diri peserta tarbiyah selama masa pentarbiyahan sesuai tahapnya Dengan demikian, yang menjadi pokok perhatian dalam tarbiyah adalah upaya pencapaian tujuan dan muwashafat setiap tahap sesuai target waktu, dengan menggunakan berbagai macam sarana, materi dan program.

Tersampaikannya materi bukanlah tujuan di dalam tarbiyah

Terlaksananya kegiatan-kegiatan bukanlah tujuan dari proses tarbiyah. Materi hanyalah sarana mencapai tujuan. Kegiatan juga hanya sarana untuk mencapai tujuan. Dengan demikian mentarbiyah adalah sebuah proses dan manajemen menghantarkan peserta mencapai tujuan, dalam waktu tertentu.

Lalu ada berapa tahap?

Dakwah adalah upaya mengajak manusia kepada keridhaan Allah yang dilakukan dengan hikmah dan dengan nasehat yang baik sehingga manusia meninggalkan thaghut dan beriman kepada Allah agar mereka keluar dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam.

Dakwah dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan mad’u menerima dakwah. Prinsip dakwah yang relevan dan yang dikenal luas adalah ; at ta’rif qobla taklif (Pengenalan sebelum pembebanan). Nabi Muhammad saw menasehati para aktivis untuk berinteraksi dan menyampaikan gagasan sesuai dengan kadar berpikir mad’u. Maka, dakwah, tarbiyah atau pembinaan dilakukan secara bertahap.

Lalu ada berapa tahapan?

Sebenarnya bukan berapa tahap yang penting untuk dibahas. Para aktivis bisa sangat berbeda dalam hal jumlah tahapannya. Jumlah tidak penting. Yang harus dikedepankan adalah persoalan amal dakwah apa yang ada. Lalu Amalud da’wah itulah yang kemudian menentukan jumlah tahapan dalam tarbiyah. Sepanjang yang saya ketahui, ada 5 amalud da’wah yaitu ;

1. Dakwah dalam arti sebuah aktivitas yang mengubah atau mentransformasikan kebodohan (al jahalah) ke kondisi kefahaman (al ma’rifah). Dalam adagium bahasa arab, amal ini biasa dirumuskan dengan ’Tahwilul jahaalati ’ilaal ma’ifah’.

2. Dakwah dalam arti sebuah aktivitas yang mengubah kefahaman atau mentransformasikan kefahaman dalam diri menjadi fikrah atau gagasan. Dalam adagium dakwah biasanya dirumuskan dengan ; ’Tahwilul ma’rifah ’ilaal fikrah’.

3. Dakwah dalam arti sebuah aktivitas yang mentransfomasikan gagasan menjadi gerakan. Yang dalam rumusannya biasanya dikenal dengan ungkapan ; ’Tahwilul fikrah ’ilaal harokah’.

4. Dakwah dalam arti sebuah aktivitas yang mentransformasikan gerakan menjadi sebuah natijah. Natijah kerap diartikan dengan arti hasil. Maka pada amalud da’wah ini, peserta tarbiyah sedang melakukan transformasi gerakan menjadi sesuatu yang memiliki arti atau hasil. Para aktivis mengenal aktivitas ini dengan ungkapan ; ’Tahwilul harokah ’ilaa an natijah’.

5. Dakwah dalam arti sebuah aktivitas yang mentransformasikan natihah menjadi ghoyah. Ghoyah adalah tujuan. Apa perbedaan antara Natijah dan Ghoyah. Ghoyah adalah tujuan, mungkin semacam orientasi hidup.
Sedangkan Natijah adalah hasil dalam jangkan yang lebih pendek dan lebih semacam proyek. Maka dakwah dalam aktivitas ini adalah upaya mengajak manusia menjadi seorang yang berorientasi dakwah dalam seluruh aspek hidupnya.

Kelimanya khas meski mungkin tidak berupa patahan yang tegas.

Keberadaan kelima aktivitas ini membuat para aktivis mengenal tahapan dakwah. Sebenarnya penamaan tahapan itu tidak lain adalah penamaan terhadap aktivitas dakwah (amalud da’wah). Untuk aktivitas ’Tahwilul jahaalati ’ilaal ma’ifah’ , para aktivis menyebut lembaganya sebagai lembaga ta’lim atau tabligh. Untuk aktivitas ’Tahwilul ma’rifah ’ilaal fikrah’ dan ’Tahwilul fikrah ’ilaal harokah’, para aktivis mengenal sebuah marhalah da’wah yang para aktivis sebut dengan Takwin. Untuk aktivitas mentransformasikan gerakan menjadi sebuah natijah,, para aktivis mengenal marhalah tandzim.
Dan marhalah tanfidz adalah sebuah episode dakwah yang mentransformasikan natijah menjadi ghoyah. Jadi, para aktivis mengenal 5 marhalatud da’wah ; ta’lim, tabligh, takwin, tandzim, dan tanfidz.

Maka, bukan penamaannya yang terpenting, namun alamatud da’wah-nya yang lebih penting. Apa hebatnya para aktivis merasa ada di marhalah dakwah yang para aktivis nilai prestisius jika para aktivis tak melakukan amalud da’wah yang sesuai? Apa ada alasan untuk sedih ketika faktanya para aktivis sedang melakukan amal dakwah yang tampak tak terlalu ’tinggi’? Bukan penamaan yang terpenting dalam tarbiyah ini.

Juga bukan soal jumlah yang menentukan ’benar’ atau ’tidaknya’ sebuah gerakan. Bukan semakin banyak berarti semakin bagus, sebagaimana bukan berarti semakin sedikit berarti semakin bagusnya sebuah cita cita gerakan dakwah. Jumlah bisa berbeda beda, nama tahapan bisa diperdebatkan, dan definisi bisa angat beragam. Berbangga bangga pada tahapan -yang sebenarnya bersifat teoritis- adalah hal yang mencerminkan hal sebaliknya dari kematangan individual.

Setiap tahapan menuntut para aktivis untuk memainkan peran yang khas. Pada tahapan ta’lim wa tabligh, para aktivis mungkin harus lebih banyak menerima, bersikap sebagai murid, menghafal, mengulang, melatih/riyadhoh, dan terus mengunyah ide dan gagasan serta mencatat dan mengamalkan ilmu yang disampaikan murabbi atau pak kyai atau sang muballigh. Para aktivis dengar dan para aktivis pikirkan dengan seksama. Sesekali menunjukkan dan berbagi ide serta gagasan adalah bagus untuk persiapan selanjutnya. Tapi para aktivis harus sadar bahwa para aktivis sedang menghilangkan sekian ketidakmengertian dan menggantinya dengan pemahaman yang bagus. Maka –sebenarnya- kekaguman pihak eksternal terhadap perubahan yang terjadi pada diri para aktivis tarbiyah bukanlah hal yang menjadi prioritas utama.

Marhalah ini sebenarnya tak bagus jika terlalu ramai dan gegap gempita

Murabbi, ustad atau pak kyai yang sedang mentransformasikan kebodohan menjadi pemahaman ini juga tak boleh terlalu terpukau dengan pertunjukkan yang sesekali itu. Tak boleh tergesa gesa dan menikmati ini secara berlebihan. Kadang ini lebih sering menipu daripada memberi manfaat.

Pada tahapan ini, bukan sama sekali tak boleh menunjukkan aksi. Tapi aksi bukan hal utama dalam tahapan ini. Justru di sini kadang ironis. Pada tahapan ini, energi besar –jika tak bisa disebut terbesar- adalah pertunjukkan dan penampakkan. Inqilab dan revolusioner. Bagus. Tetapi itu bukan kewajiban marhalah. Kewajiban para aktivis sebagai mutarabbi adalah menguatkan energi untuk bersikap mulia dan menguatkan pemahaman.

Ini bukan salah para aktivis semata. Dunia menuntut para aktivis untuk tampil dengan sedikitnya kesiapan dan kesiagaan. Dunia tak pernah menunggu. Selalu ada target di depan para aktivis yang mengharuskan para aktivis melangkah dan bahkan berlari. Allah maha mengerti apa yang terbaik untuk mereka. Tapi di saat seperti itu, para aktivis harus sadar bahwa bergerak bukanlah target utama para aktivis dalam marhalah ini. Seperti kalimat awal saya, tahapan tahapan ini memang khas tetapi tak selalu tegas dalam perbedaannya.

Penutup

Saya ingin para aktivis adil menatap. Hari ini para aktivis saksikan sebagian para aktivis sudah kelelahan dalam usaha menjadi bagian penting dalam barisan dakwah. Sebagian lagi repot dan kaget. Sebagian para aktivis yang lelah kemudian tak sanggup lagi melangkah dan mentrasnformasikan aspek aspek yang belum tuntas. Dan sebagian para aktivis repot dan kaget dengan fakta yang berkembang yang ternyata tak bisa atau tak mudah lagi dikendalikan.

Saya juga ingin dunia adil menatap upaya mereka. Biarkan mereka menapaki tahapan demi tahapan. Bantu mereka menapaki tahapannya dengan baik.
 
 
dikutip dari tulisan ust Ekonov...

Minggu, 08 Februari 2015

Renungkanlah.....

📺Nonton Pertandingan bisa 90 menit

📺Nonton serial Film lebih dari 60 menit

📺 Nonton Movie hampir 120 menit

👳Tunaikan Shalat hanya 5 menit saja

🔥Di dalam api neraka jahannam sepanjang hayat

👍 Untuk Akal yang maju !!

💬 Renungkan!

📱 Di Whatsapp 300 Kawan

📱 Di blackberry cukup 200 kawan

☎ Di contacts phone 400 Kawan

🏡 di Kampung 50 Kawan

😔 Dalam Keadaan susah hanya ada 1 kawan.

😢 Dalam Jenazah mu, Hanya keluargamu saja yang mengurusi.

😭 Dalam Kubur hanya kau sendirian.

Jangan anggap Aneh kenyataan ini.. 💬

Sebab memang seperti ini lah kenyataan Hidup..

🌴 Pada Hakikat nya :
"Tidak ada yang dapat memberikan kemanfaatan bagi mu kecuali Shalat mu"

🍃Duduk setelah salam dari shalat yang telah di wajibkan adalah waktu yang paling mulia sebab Pada waktu itu Turun Rahmat Allah Azza wajalla.

🍂Jangan tergesa-gesa berdiri, Bacalah Istigfar, bertasbih lah, Baca ayat Al Qur'an dan jangan Lupa bahwa sesungguhnya engkau berada dalam jamuan dzat yang maha Rahman Azza wa jalla.

فإذا فرغت فانصب والى ربك فارغب

🌾 Apabila kamu telah selesai sholat, kerjakanlah pekerjaan lainnya dengan bersungguh-sungguh dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.

Berbaik sangka_lah (husnuzhon)

Berbaik Sangkalah Saudaraku...

Kita tdk bisa membaca hati manusia, apalagi hanya dari dunia maya

Belum tentu orang yg menuliskan rutinitas amalnya adalah riya’. Bisa jadi ia berniat menyemangati kawannya.

Belum tentu orang yg mengabarkan rizqi yg diterimanya adalah berbangga-2an dgn harta. Bisa jadi, ia ingin menyiarkan syukur atas karuniaNYA

Mereka yg menuliskan pengalamannya di sosial media, belum tentu ingin menjadi selebritis dunia maya. Bisa jadi ada inspirasi yg hendak dibagikannya.

Mereka yg mengabarkan sedang mengisi kultum entah di mana, belum tentu ingin dipuji amal dakwahnya. Bisa jadi ia ingin memberi harapan pada rekannya, bahwa di sana dakwah masih menyala

Mereka yg menyampaikan secuplik ilmu yg diketahuinya, belum tentu ingin diakui banyak ilmunya. Bisa jadi ia terpanggil untuk menyampaikan sedikit yg ia punya

Mereka yg gemar mengkritisi kekeliruan yg dilihatnya, belum tentu merasa dirinya paling benar sedunia. Bisa jadi, itu karena ia sungguh mencintai saudaranya.

Mereka yg gemar menuliskan apapun yg dipikirkannya, belum tentu ingin diakui sebagai perenung berwibawa.

Bisa jadi, ia adalah pelupa & mudah ingat dgn membagikannya.

Mereka yg selalu merespon apa yg dilihatnya, belum tentu ingin eksis di dunia maya. Bisa jadi ia memang senang berbagi yg dia punya.

Tapi baik sangka, tak berarti membiarkan kawan-2 melakukan sesuatu yg nampak keliru di mata kita.

Baik sangka, harus disertai dgn saling mengingatkan agar tidak tergelincir niatnya,agar tidak terhapus pahala amalnya.

Isi hati adalah misteri. Namun apa yg nampak keliru di mata kita, di situlah tugas kita tuk meluruskannya.

Baik sangka itu menentramkan. Namun mengingatkan juga kebutuhan.

Baik sangka itu indah, tapi bukan berarti membiarkan saudara terlihat salah.

Baik sangka, dan nasihat-nasihati adalah kewajiban sesama muslim.

Kamis, 05 Februari 2015

Titik Air di Sudut Mata

Titik Air Di Sudut Mata....

Ini ada kisah....
Tetaplah jadi orang2 yang selalu membuka harapan dan kebahagiaan bagi orang lain......
Tidak Ada Orang yang Tidak Memiliki Kompetensi.

Selamat membaca....

Dari kisah nyata seorang guru.
Di suatu sekolah dasar, ada seorang guru yang selalu tulus mengajar dan selalu berusaha dengan  sungguh-sungguh membuat suasana kelas yang baik untuk murid-muridnya.

Ketika guru itu menjadi wali kelas 5, seorang anak–salah satu murid di kelasnya– selalu berpakaian kotor dan acak-acakan. Anak ini malas, sering terlambat dan selalu mengantuk di kelas. Ketika semua murid yang lain mengacungkan tangan untuk menjawab kuis atau mengeluarkan pendapat, anak ini tak pernah sekalipun mengacungkan tangannya.

Guru itu mencoba berusaha, tapi ternyata tak pernah bisa menyukai anak ini. Dan entah sejak kapan, guru itu pun menjadi benci dan antipati terhadap anak ini. Di raport tengah semester, guru itu pun menulis apa adanya mengenai keburukan anak ini.

Suatu hari, tanpa disengaja, guru itu melihat catatan raport anak ini pada saat kelas 1. Di sana tertulis: “Ceria, menyukai teman-temannya, ramah, bisa mengikuti pelajaran dengan baik, masa depannya penuh harapan,”

“..Ini pasti salah, ini pasti catatan raport anak lain….,” pikir guru itu sambil melanjutkan melihat catatan berikutnya raport anak ini.

Di catatan raport kelas 2 tertulis, “Kadang-kadang terlambat karena harus merawat ibunya yang sakit-sakitan,”

Di kelas 3 semester awal, “Sakit ibunya nampaknya semakin parah, mungkin terlalu letih merawat, jadi sering mengantuk di kelas,”

Di kelas 3 semester akhir, “Ibunya meninggal, anak ini sangat sedih terpukul dan kehilangan harapan,”

Di catatan raport kelas 4 tertulis, “Ayahnya seperti kehilangan semangat hidup, kadang-kadang melakukan tindakan kekerasan kepada anak ini,”

Terhentak guru itu oleh rasa pilu yang tiba-tiba menyesakkan dada. Dan tanpa disadari diapun meneteskan air mata, dia mencap memberi label anak ini sebagai pemalas, padahal si anak tengah berjuang bertahan dari nestapa yang begitu dalam…

Terbukalah mata dan hati guru itu. Selesai jam sekolah, guru itu menyapa si anak:
“Bu guru kerja sampai sore di sekolah, kamu juga bagaimana kalau belajar mengejar ketinggalan, kalau ada yang gak ngerti nanti Ibu ajarin,”

Untuk pertama kalinya si anak memberikan senyum di wajahnya.

Sejak saat itu, si anak belajar dengan sungguh-sungguh. Penuh perhatian dan tekun dia lakukan dibangku kelasnya.

Guru itu merasakan kebahagian yang tak terkira ketika si anak untuk pertama kalinya mengacungkan tanganya di kelas. Kepercayaan diri si anak kini mulai tumbuh lagi.

Di Kelas 6, guru itu tidak menjadi wali kelas si anak.

Ketika kelulusan tiba, guru itu mendapat selembar kartu dari si anak, di sana tertulis. “Bu guru baik sekali seperti Bunda, Bu guru adalah guru terbaik yang pernah aku temui.”

Enam tahun kemudian, kembali guru itu mendapat sebuah kartu pos dari si anak. Di sana tertulis, “Besok hari kelulusan SMA, Saya sangat bahagia mendapat wali kelas seperti Bu Guru waktu kelas 5 SD. Karena Bu Guru lah, saya bisa kembali belajar dan bersyukur saya mendapat beasiswa sekarang untuk melanjutkan sekolah ke kedokteran.”

Sepuluh tahun berlalu, kembali guru itu mendapatkan sebuah kartu. Di sana tertulis, “Saya menjadi dokter yang mengerti rasa syukur dan mengerti rasa sakit. Saya mengerti rasa syukur karena bertemu dengan Ibu guru dan saya mengerti rasa sakit karena saya pernah dipukul ayah,”

Kartu pos itu diakhiri dengan kalimat, “Saya selalu ingat Ibu guru saya waktu kelas 5. Bu guru seperti dikirim Tuhan untuk menyelamatkan saya ketika saya sedang jatuh waktu itu. Saya sekarang sudah dewasa dan bersyukur bisa sampai menjadi seorang dokter. Tetapi guru terbaik saya adalah guru wali kelas ketika saya kelas 5 SD.”

Setahun kemudian, kartu pos yang datang adalah surat undangan, di sana tertulis satu baris,

“mohon duduk di kursi Bunda di pernikahan saya,”

Guru pun tak kuasa menahan tangis haru dan bahagia.
========
Copas dari grup wasap.

Rabu, 04 Februari 2015

Sejarah Pertumbuhan Ilmu Ushul Fiqh




Ilmu Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang digunakan dalam usaha untuk memperoleh hukum-hukum syara' tentang perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.Dan usaha untuk memperoleh hukum-hukum tersebut, antara lain dilakukan dengan jalan ijtihad.

Sumber hukum pada masa Rasulullah SAW hanyalah Al-Qur'an dan As-Sunnah (Al-Hadits). Dalam pada itu kita temui diantara sunnah-sunnahnya ada yang memberi kesan bahwa beliau melakukan ijtihad. Misalnya, beliau melakukan qiyas terhadap peristiwa yang dialami oleh Umar Bin Khattab RA, sebagai berikut.
"Wahai Rasulullah, hari ini saya telah berbuat suatu perkara yang besar; saya mencium isteri saya, padahal saya sedang berpuasa. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya : Bagaimana pendapatmu, seandainya kamu berkumur-kumur dengan air dikala kamu sedang berpuasa? Lalu saya jawab: tidak apa-apa dengan yang demikian itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : Maka tetaplah kamu berpuasa!" (I'lamul Muwaqqi'in, Juz: I, hal: 199).


Pada hadits di atas Rasulullah SAW menetapkan tidak batal puasa seseorang karena mencium isterinya dengan mengqiyaskan kepada tidak batal puasa seseorang karena berkumur-kumur.
Juga seperti hadits Rasulullah SAW :
"Seandainya tidak akan memberatkan terhadap umatku, niscaya kuperintahkan kepada mereka bersiwak (bersikat gigi) setiap akan melakukan shalat." (HR. Abu Daud dari Zaid Bin Khalid al-Juhanni).
Diterangkan oleh Muhammad Ali as-Sayis, bahwa hadits tersebut menunjukkan kepada kita adanya pilihan Rasulullah SAW terhadap salah satu urusan, karena untuk menjaga kemaslahatan umatnya. Seandainya beliau tidak diperbolehkan melakukan ijtihad, hal itu tidak akan terjadi. Dalam pada itu, dari penelitian sebagian ulama terhadap berbagai peristiwa hidup Rasulullah SAW, berkesimpulan bahwa beliau bisa melakukan ijtihad dan memberi fatwa berdasarkan pendapatnya pribadi tanpa wahyu, terutama dalam hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan persoalan hukum. Kesimpulan tersebut, sesuai dengan sabda beliau sendiri :
"Sungguh saya memberi keputusan diantara kamu tidak lain dengan pendapatku dalam hal tidak diturunkan (wahyu) kepadaku." (HR. Abu Daud dan Ummi Salamah).
 
Rasulullah SAW adalah seorang manusia juga sebagaimana manusia yang lain pada umumnya maka hasil ijtihadnya bisa benar dan bisa salah, sebagaimana diterangkan dalam sebuah riwayat, beliau bersabda :
"Saya tidak lain adalah seorang manusia juga, maka segala yang saya katakan kepadamu yang berasal dari Allah adalah benar; dan segala yang saya katakan dari diri saya sendiri, karena tidak lain saya juga seorang manusia, bisa salah bisa benar." (Ijtihad Rasul, hal: 52-53).
 
Hanya saja jika hasil ijtihad beliau itu salah, Allah menurunkan wahyu yang tidak membenarkan hasil ijtihad beliau dan menunjukkan kepada yang benar.
 
Sebagai contoh hasil ijtihad beliau tentang tindakan yang diambil terhadap tawanan perang Badar. Dalam hal ini beliau menanyakan terlebih dahulu kepada para sahabatnya. Menurut Abu Bakar agar mereka (para tawanan perang Badar) dibebaskan dengan membayar tebusan. Sedangkan menurut Umar bin Khattab, mereka harus dibunuh, karena mereka telah mendustakan dan mengusir Rasulullah SAW dari Makkah. Dari dua pendapat tersebut, beliau memilih pendapat Abu Bakar. Kemudian turun ayat Al-Qur'an yang tidak membenarkan pilihan beliau tersebut dan menunjukkan kepada yang benar, yakni :
"Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana." (Al-Anfaal: 67).
 
Jika terhadap hasil ijtihad Rasulullah SAW tersebut, tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkan dan menunjukkan kepada yang benar, berarti hasil ijtihad beliau itu benar, dan sudah barang tentu termasuk ke dalam kandungan pengertian As-Sunnah (Al-Hadits).
 
Kegiatan ijtihad pada masa ini, bukan saja dilakukan oleh beliau sendiri, melainkan beliau juga memberi ijin kepada para sahabatnya untuk melakukan ijtihad dalam memutuskan suatu perkara atau dalam menghadapi suatu persoalan yang belum ada ketentuan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terjadi ketika beliau mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman, yang diterangkan dalam hadits sebagai berikut :
"(Rasulullah SAW bertanya) : Bagaimana cara kamu memutusi jika datang kepadamu suatu perkara? Ia menjawab : Saya putusi dengan (hukum) yang terdapat dalam kitab Allah. Beliau bertanya : Jika tidak kamu dapati (hukum itu) dalam kitah Allah? Ia menjawab : Maka dengan Sunnah Rasulullah. Beliau bertanya : Jika tidak kamu dapati dalam Sunnah Rasulullah juga dalam kitab Allah? Ia menjawab : Saya akan berijtihad dengan pikiran dan saya tidak akan lengah. Kemudian Rasulullah SAW menepuk dadanya dan bersabda : Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah SAW yang diridlai oleh Rasulullah." (HR. Abu Daud).
 
Bahkan beliau pernah memerintahkan 'Amr bin 'Ash untuk memberi keputusan terhadap suatu perkara, padahal beliau di hadapannya. Atas perintah itu, lalu 'Amr bertanya kepada beliau :
Sebagai contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat, yakni ijtihad yang dilakukan oleh 'Amar bin Yasir, sebagai berikut :
"Saya telah berjunub dan tidak mendapatkan air. Maka saya berguling-guling pada debu kemudian saya mengerjakan shalat. Lalu hal itu, saya sampaikan kepada Nabi SAW. Maka beliau bersabda : Sesungguhnya cukup kamu melakukan begini : Nabi menepuk tanah dengan dua telapak tangannya kemudian meniupnya, lalu menyapukannya ke wajahnya dan dua telapak tanganya." (HR. Bukhari dan Muslim).
 
Pada hadits di atas, 'Ammar bin Yasir mengqiyaskan debu dan air untuk mandi dalam menghilangkan junubnya, sehingga ia dalam menghilangkan junub karena tidak mendapatkan air itu, dilakukan dengan berguling-guling di atas debu. Namun hasil ijtihadnya ini tidak dibenarkan oleh Rasulullah SAW.
 
Hasil ijtihad para sahabat tidak dapat dijadikan sumber hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum yang dapat dipedomani oleh kaum muslimin, kecuali jika hasil ijtihadnya telah mendapat pengesahan atau pengakuan dari Rasulullah SAW dan tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkannya.
 
Dari uraian di atas dapat dipetik arti bahwa ijtihad baik yang dilakukan oleh Rasulullah SAW maupun oleh para sahabatnya pada masa ini tidak merupakan sumber hukum, karena keberadaan atau berlakunya hasil ijtihad kembali kepada wahyu.
 
Akan tetapi dengan adanya kegiatan ijtihad yang terjadi pada masa ini, mempunyai hikmah yang besar, karena hal itu merupakan petunjuk bagi para sahabat dan para ulama dari generasi selanjutnya untuk berijtihad pada masa-masanya dalam menghadapi berbagai persoalan baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW atau yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
 
Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum.
 
Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak mendapatkan mut'ah. Ali menyamakan kedudukan wanita tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara' ditetapkan hak mut'ah baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :
"Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu memberikan mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan." (Al-Baqarah : 236).
 
Dari contoh-contoh ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, demikian pula oleh para sahabatnya baik di kala Rasulullah SAW masih hidup atau setelah beliau wafat, tampak adanya cara-cara yang digunakannya, sekalipun tidak dikemukakan dan tidak disusun kaidah-kaidah (aturan-aturan)nya ; sebagaimana yang kita kenal dalam Ilmu Ushul Fiqh ; karena pada masa Rasulullah SAW, demikian pula pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW dan pada masa sahabat telah terjadi praktek berijtihad, hanya saja pada waktu-waktu itu tidak disusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu Ushul Fiqh karena pada waktu-waktu itu tidak dibutuhkan adanya. Yang demikian itu, karena Rasulullah SAW mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum baik secara langsung atau tidak langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab turun (asbabun nuzul) ayat-ayat Al-Qur'an, sebab-sebab datang (asbabul wurud) Al- Hadits, mempunyai ketajaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri (Arab) yang juga bahasa Al-Qur'an dan As-Sunnah. 
Dengan pengetahuan yang mereka miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-kaidah.
 
Pada masa tabi'in, tabi'it-tabi'in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya. 
Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.
Dalam pada itu, pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.
Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari'ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum dalam berijtihad. 
Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara'. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara' sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut. 
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar'iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fiqh.
Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf -murid Imam Abu Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita. 
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi'iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh.
Pembahasan tentang Ilmu Ushul Fiqh ini, kemudian dilanjutkan oleh para ulama generasi selanjutnya.

Ruang Lingkup Ushul Fiqih

Pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Menurut aslinya kata "Ushul Fiqh" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab "Ushulul Fiqh" yang berarti asal-usul Fiqh. Maksudnya, pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh.

Pengetahuan Fiqh adalah formulasi dari nash syari'at yang berbentuk Al-Qur'an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan Ushul Fiqh. Meskipun caar-cara itu disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur'an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para Ulama Mujtahid) gunakan sebelumnya dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan Ushul Fiqh. 

Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh itu ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Our'an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum Fiqh" (ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil.
 
Yang menjadi obyek utama dalam pembahasan Ushul Fiqh ialah Adillah Syar'iyah (dalil-dalil syar'i) yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain dari membicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum Adillah Syar'iyah itu dilengkapi dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan mempergunakan masing-masing dalil itu. 

Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini meliputi:
 
a.
Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani', 'illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).
b.
Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
c.
Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.
d.
Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
e.
Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
f.
Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
g.
Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah.
h.
Masa'ah rakyu dan qiyas; meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.
 
Sesuatu yang tidak boleh dilupakan dalam mempelajari Ushui Fiqh ialah bahwa peranan ilmu pembantu sangat menentukan proses pembahasan.
 
Dalam pembicaraan dan pembahasan materi Ushul Fiqh sangat diperlukan ilmu-ilmu pembantu yang langsung berperan, seperti ilmu tata bahasa Arab dan qawa'idul lugahnya, ilmu mantiq, ilmu tafsir, ilmu hadits, tarikh tasyri'il islami dan ilmu tauhid. Tanpa dibantu oleh ilmu-ilmu tersebut, pembahasan Ushul Fiqh tidak akan menemui sasarannya. Istinbath dan istidlal akan menyimpan dari kaidahnya.
 
Ushul Fiqh itu ialah suatu ilmu yang sangat berguna dalam pengembangan pelaksanaan syari'at (ajaran Islam). Dengan mempelajari Ushul Fiqh orang mengetahui bagaimana Hukum Fiqh itu diformulasikan dari sumbernya. Dengan itu orang juga dapat memahami apa formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang; atau apakah ada kemungkinan untuk direformulasikan. Dengan demikian, orang juga dapat merumuskan hukum atau penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya sehari-hari dengan ajaran Islam yang bersifat universal itu.
 
Dengan Usul Fiqh :
-
Ilmu Agama Islam akan hidup dan berkembang mengikuti perkembangan peradaban umat manusia.
-
Statis dan jumud dalam ilmu pengetahuan agama dapat dihindarkan.
-
Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi umum dalam dunia pengetahuan yang selalu maju dan berkembang mengikuti kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman.
-
Sekurang-kurangnya, orang dapat memahami mengapa para Mujtahid zaman dulu merumuskan Hukum Fiqh seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam merumuskan hukum itu. Kalau mereka menemukan sesuatu peristiwa atau benda yang memerlukan penilaian atau hukum Agama Islam, apa yang mereka lakukan untuk menetapkannya; prosedur mana yang mereka tempuh dalam menetapkan hukumnya.
 
Dengan demikian orang akan terhindar dari taqlid buta; kalau tidak dapal menjadi Mujtahid, mereka dapat menjadi Muttabi' yang baik, (Muttabi' ialah orang yang mengikuti pendapat orang dengan mengetahui asal-usul pendapat itu). Dengan demikian, berarti bahwa Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam pengembangan dan pengamalan ajaran Islam di dunia yang sibuk dengan perubahan menuju modernisasi dan kemajuan dalam segala bidang.
Melihat demikian luasnya ruang lingkup materi Ilmu Ushul Fiqh, tentu saja tidak semua perguruan/lembaga dapat mempelajarinya secara keseluruhan.

Obyek Pembahasan USHUL FIQIH

Obyek pembahasan dari Ushul fiqh meliputi tentang dalil, hukum, kaidah dan ijtihad.

Sesuai dengan keterangan tentang pengertian Ilmu Ushul Fiqh di depan, maka yang menjadi obyek pembahasannya, meliputi :
1.
Pembahasan tentang dalil.

Pembahasan tentang dalil dalam ilmu Ushul Fiqh adalah secara global. Di sini dibahas tentang macam-macamnya, rukun atau syarat masing-masing dari macam-macam dalil itu, kekuatan dan tingkatan-tingkatannya. Jadi di dalam Ilmu Ushul Fiqh tidak dibahas satu persatu dalil bagi setiap perbuatan.

2.
Pembahasan tentang hukum.

Pembahasan tentang hukum dalam Ilmu Ushul Fiqh adalah secara umum, tidak dibahas secara terperinci hukum bagi setiap perbuatan. Pembahasan tentang hukum ini, meliputi pembahasan tentang macam-macam hukum dan syarat-syaratnya. Yang menetapkan hukum (al-hakim), orang yang dibebani hukum (al-mahkum 'alaih) dan syarat-syaratnya, ketetapan hukum (al-mahkum bih) dan macam-macamnya dan perbuatan-perbuatan yang ditetapi hukum (al-mahkum fih) serta syarat-syaratnya.


3.
Pembahasan tentang kaidah.

Pembahasan tentang kaidah yang digunakan sebagai jalan untuk memperoleh hukum dari dalil-dalilnya antara lain mengenai macam-macamnya, kehujjahannya dan hukum-hukum dalam mengamalkannya.

4.
Pembahasan tentang ijtihad.

Dalam pembahasan ini, dibicarakan tentang macam-macamnya, syarat-syarat bagi orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan orang dilihat dari kaca mata ijtihad dan hukum melakukan ijtihad.

Pengertian USHUL FIQIH

Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqh; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu Syari'ah.

Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh. 
Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.
Sedangkan menurut istilah, ashl dapat berarti dalil, seperti dalam ungkapan yang dicontohkan oleh Abu Hamid Hakim :
"Ashl bagi diwajibkan zakat, yaitu Al-Kitab; Allah Ta'ala berfirman: "...dan tunaikanlah zakat!."
Dan dapat pula berarti kaidah kulliyah yaitu aturan/ketentuan umum, seperti dalam ungkapan sebagai berikut :
"Kebolehan makan bangkai karena terpaksa adalah penyimpangan dari ashl, yakni dari ketentuan/aturan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram; Allah Ta'ala berfirman : "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai... ".

Dengan melihat pengertian ashl menurut istilah di atas, dapat diketahui bahwa Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua kata, berarti dalil-dalil bagi fiqh dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi fiqh.
Fiqh itu sendiri menurut bahasa, berarti paham atau tahu. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid al-Jurjaniy, pengertian fiqh yaitu :
"Ilmu tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."
Atau seperti dikatakan oleh Abdul Wahab Khallaf, yakni:
"Kumpulan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci".
Yang dimaksud dengan dalil-dalilnya yang terperinci, ialah bahwa satu persatu dalil menunjuk kepada suatu hukum tertentu, seperti firman Allah menunjukkan kepada kewajiban shalat.
".....dirikanlah shalat...."(An-Nisaa': 77)
Atau seperti sabda Rasulullah SAW :
"Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar (benda yang memabukkan)." (HR Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).
Hadits tersebut menunjukkan kepada keharaman jual beli khamar.
Dengan penjelasan pengertian fiqh di atas, maka pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum syara' mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Tidak lepas dari kandungan pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata tersebut, para ulama ahli Ushul Fiqh memberi pengertian sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari'ah. Misalnya Abdul Wahhab Khallaf memberi pengertian Ilmu Ushul Fiqh dengan :
"Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-atura/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."
Maksud dari kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan, yakni bahwa kaidah-kaidah tersebut merupakan cara-cara atau jalan-jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh hukum-hukum syara'; sebagaimana yang terdapat dalam rumusan pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah sebagai berikut :
"Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan utuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci."
Dengan lebih mendetail, dikatakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash syara' dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan memberi 'illat (alasan-alasan) yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara'
Oleh karena itu Ilmu Ushul Fiqh juga dikatakan :
"Kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum Islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara'."

Senin, 02 Februari 2015

Jangan sampai ALLAH menyatakan perang kepada kita




 
أَظْهَرَ اللهُ تَعَالَى بِالْحَرْبِ لِمَنْ عَادَى لَهُ وَلِيًّا
 
Allah Swt. menyatakan perang bagi siapa yang memusuhi wali-Nya

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَلاَ يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِي لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لأُعِيْذَنَّهُ


Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anh, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam “Sesungguhnya Allah ta’ala telah berfirman: ‘Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka sesungguhnya Aku menyatakan perang terhadapnya. Hamba-Ku senantiasa (bertaqorrub) mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (perbuatan) yang Aku sukai seperti bila ia melakukan yang fardhu yang Aku perintahkan kepadanya. Hamba-Ku senantiasa (bertaqorrub) mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka jadilah Aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, sebagai tangannya yang ia gunakan untuk memegang, sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti akan Aku berikan kepadanya." [HR. Bukhari]

قال صاحب الإفصاح: في هذا الحديث من الفقه: أن الله سبحانه وتعالى قدم الأعذار إلى كل من عادى وليا: أنه قد آذنه بأنه محاربه بنفس المعاداة، وولي الله تعالى هو الذي يتبع ما شرعه الله تعالى

Pengarang Kitab Al-Ifshah berkata : “Hadits ini mengandung pengertian bahwa Allah menyampaikan ancaman kepada setiap orang yang memusuhi wali-Nya. Allah mengumumkan bahwa Dia-lah yang memerangi orang yang menjadi wali-Nya. Wali Allah yaitu orang yang mengikuti syari’at-Nya,

فليحذر الإنسان من إيذاء قلوب أولياء الله عز وجل. ومعنى المعاداة: أن يتخذه عدوا.
ولا أرى المعنى إلا من عاداه لأجل ولاية الله، وأما إذا كانت لأحوال تقتضي نزاعاً بين وليين لله محاكمة أو خصومة راجعة إلى استخراج حق غامض فإن ذلك لا يدخل في هذا الحديث، فإنه قد جرى بين أبي بكر وعمر رضي الله عنهما خصومة، وبين العباس وعلي رضي الله عنهما2 وبين كثير من الصحابة وكلهم كانوا أولياء لله عز وجل
.
oleh karena itu hendaklah manusia takut untuk berbuat menyakiti hati wali-wali Allah. Memusuhi disini berarti menjadikan wali Allah sebagai musuh, yaitu memusuhi seseorang karena dia menjadi wali Alloh. Adapun jika terjadi perselisihan antara wali Alloh karena memperebutkan hak, maka hal semacam ini tidak termasuk dalam makna memusuhi yang dimaksud dalam hadits ini, sebab pernah terjadi perselisihan antara Abu Bakar dan Umar, Abbas dan Ali dan banyak lagi sahabat yang lain, padahal mereka semua adalah wali-wali Alloh”

قوله: " وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ " فيه إشارة إلى أنه لا تقدم نافلة على فريضة وإنما سميت النافلة نافلة إذا قضيت الفريضة وإلا فلا يتناولها اسم النافلة ويدل على ذلك قوله: وَلاَ يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ " لأن التقرب بالنوافل يكون بتلو أداء الفرائض ومتى أدام العبد التقرب بالنوافل أفضى ذلك به إلى أن يحبه الله عز وجل
.
Kalimat, “Hamba-Ku senantiasa (bertaqorrub) mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (perbuatan) yang Aku sukai seperti bila ia melakukan yang fardhu yang Aku perintahkan kepadanya” menyatakan bahwa yang sunnah tidak boleh didahulukan dari yang wajib. Suatu perbuatan sunnah mestinya dilakukan apabila yang wajib sudah dilakukan, dan tidak disebut menjalankan yang sunnah sebelum yang wajib dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh kalimat, “Hamba-Ku senantiasa (bertaqorrub) mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah hingga Aku mencintainya” yaitu karena ia bertaqorrub dengan amalan yang sunnah yang mengiringi amalan yang wajib. Bila seorang hamba selalu , mendekatkan diri dengan amalan yang sunnah, maka hal itu akan menjadikannya orang yang dicintai Alloh.

ثم قال: " فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ " إلى آخره ، فهذه علامة ولاية الله، لمن يكون الله قد أحبه، ومعنى ذلك أنه لا يسمع ما لم يأذن الشرع له بسماعه ولا يبصر ما لم يأذن الشرع له في إبصاره ولا يمد يده إلى شيء ما لم يأذن الشرع له في مدها إليه، ولا يسعى برجله إلا فيما أذن الشرع في السعي إليه، فهذا هو الأصل إلا أنه قد يغلب على عبد ذكر الله تعالى حتى يعرف بذلك فإن خوطب بغيره لم يكد يسمع لمن يخاطبه حتى يتقرب إليه بذكر الله غير أهل الذكر توصلاً إلى أن يسمع لهم وكذلك في المبصرات والمتناولات والمسعى إليه، تلك صفة عالية نسأل الله أن يجعلنا من أهلها.

Kemudian kalimat, “Jika Aku telah mencintainya, maka jadilah Aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, sebagai tangannya yang ia gunakan untuk memegang, sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan” Hal ini merupakan tanda kecintaan Alloh terhadap orang yang dicintai-Nya, maksudnya orang itu tidak akan mau mendengar hal-hal yang dilarang oleh syari’at, tidak mau melihat hal-hal yang tidak dibenarkan oleh syari’at, tidak mau mengulurkan tangannya memegang sesuatu yang tidak dibenarkan oleh syari’at dan tidak mau melangkahkan kakinya kecuali hanya kepada hal-hal yang dibenarkan oleh syari’at. Inilah pokok permasalahannya.
 
Akan tetapi, seringkali ketika seseorang menyebut nama Alloh hingga disebut sebagai ahli dzikir, sampai ia tidak mau mendengar perkataan orang yang berbicara dengannya, kemudian orang yang bukan ahli dzikir berusaha mendekat kepada orang yang ahli dzikir ini, karena ingin menjadikannya sebagai perantara, agar Alloh mendengarkan permohonan mereka. Begitu pula dengan mubashirot (orang yang merasa dirinya bisa melihat Alloh), mutanawilat (orang yang merasa dirinya mampu menjangkau Alloh) dan mas’aa ilaih (orang yang merasa dirinya telah melangkah menuju Alloh) Semuanya itu adalah sifat yang mulia. Kita memohon kepada Alloh semoga kita termasuk kedalam golongan (yang dicintai Alloh) ini.

قوله: " وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لأُعِيْذَنَّهُ " يدل على أن العبد إذا صار من أهل حب الله تعالى لم يمتنع أن يسأل ربه حوائجه ويستعيذ به ممن يخافه والله تعالى قادر على أن يعطيه قبل أن يسأله وأن يعيذه قبل أن يستعيذه ولكنه سبحانه متقرب إلى عباده بإعطاء السائلين وإعاذة المستعيذين وقوله: " اسْتَعَاذَنِي " ضبطوه بالنون والباء وكلاهما صحيح.
 
Kalimat, “Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti akan Aku berikan kepadanya” menunjukkan bahwa seseorang yang telah menjadi golongan yang dicintai Alloh, maka permohonan kepada Alloh tidak akan terintangi dan Alloh akan memberikan perlindungan kepadanya dari siapa saja yang menakutinya. Alloh Maha Kuasa untuk memberikan sesuatu kepadanya sebelum ia memintanya dan memberi perlindungan sebelum ia memohon. Akan tetapi Alloh senantiasa mendekat kepada hamba-Nya dengan memberi sesuatu kepada orang-orang yang meminta dan melindungi orang-orang yang meminta perlindungan. 

وقوله في أول الحديث " فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ "  بهمزة ممدودة: أي أعلنته أنه محارب لي.

Kalimat pada awal hadits, “maka sesungguhnya Aku menyatakan perang terhadapnya” maksudnya Aku menyatakan kepada orang yang seperti itu bahwa dia telah memerangi Aku.
Wallahu a’lam.
Disalin dari Syarah Arbain Nawawiyyah Ibnu Daqiqil 'Ied hall 97 – 98