Jumat, 28 Desember 2012

Tak Kenal maka Tak Benci

Rasa cinta atau benci, adalah faktor yang menggerakkan hati untuk menerima atau menolak, diam atau bergerak. Namun rasa itu sendiri akan muncul setelah seseorang mengenali obyek yang hendak dicinta atau dibenci. Tanpa mengenali, seseorang belum memiliki keberpihakan, sedangkan salah dalam mengenali, maka akibatnya lebih fatal lagi. Dia akan mencintai sesuatu yang mestinya dia benci, dan membenci apa-apa yang selayaknya dia cintai.

Tak Kenal Dosa, Maka tak Membencinya

Benci terhadap maksiat dan dosa adalah konsekuensi logis dari cinta terhadap ketaatan dan pahala. Kaum muslimin juga satu kata dalam memandang bahwa dosa itu cela. Memvonis bahwa maksiat adalah biang dari segala musibah dan duka lara. Tapi sayang, tak banyak yang peduli untuk mengerti lebih detil dan rinci,tentang larangan yang dihukumi haram secara syar’i. Sehingga nyaris pengetahuan globalnya tentang buruknya dosa itu tidak berfaedah, lantaran mereka tidak tahu apa itu maksiat, dan perbuatan apa yang dianggap dosa oleh syariat. Kebanyakan hanya tahu bahwa syirik itu dosa besar, tapi toh mereka juga tidak ingin tahu, keyakinan dan perbuatan apa saja yang bisa masuk dalam kategori syirik, dosa yang tak terampuni itu. Akhirnya, perbuatan dosapun menjadi hal yang biasa, atau tak jarang malah dipromosikan dan dibela.
Jika kita bacakan suatu dalil bahwa ini adalah haram, itu adalah dosa, maka serta merta mereka akan menggerutu, “sedikit-sedikit dosa…sedikit-sedikit dosa.” Yang lain lagi menyanggah, “Jangan mengada-ada, baru kali ini saya mendengar ada yang mengatakan ini dosa!” Ada lagi yang membantah, “Haji fulan saja berbuat begitu..!” dan komentar lain yang menunjukkan bahwa dalil-dalil keharaman itu masih asing di telinga. Terlebih dosa-dosa yang sudah jamak dilakukan di tengah masyarakat.

Kita ambil satu sampel, jika kita kita katakan bahwa apa yang dilakukan oleh biduanita yang menghibur dengan nyanyian genit, berjoged sembari mengenakan pakaian mini atau ketat itu dosa, maka banyak yang terheran-heran. Apalagi jika kita katakan bahwa itu termasuk dosa besar, tentu mereka makin tidak percaya, dan kita dianggap mengada-ada. Sementara telah jelas dalil dari Nabi saw yang mengabarkan peristiwa yang bakal terjadi di akhir zaman,

“Dua golongan penduduk neraka yang aku belum pernah melihatnya…(kemudian beliau menyebutkan salah satunya)

وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Dan wanita yang berpakaian tapi telanjang, menyimpang, melenggak lenggok, kepala mereka seperti punuk onta yang miring, mereka tidak akan masuk jannah, bahkan tidak mencium baunya jannah, padahal bau jannah bisa dirasakan dari jarak sekian dan sekian (yakni sangat jauh).” (HR Muslim)

Perhatikanlah ciri wanita yang disebut oleh Nabi sejak lebih dari seribu tahun lalu itu. Apa yang kita saksikan di zaman ini bukan lagi mirip dengan apa yang disebutkan cirinya oleh Nabi, bahkan sudah melewati sekian langkah lebih parah. Perbuatan itu dikategorikan dosa besar karena disertai ancaman yang keras di akhirat, yakni tidak akan mencium baunya jannah, na’udzu billah.

Belum lagi dosa-dosa dalam urusan makanan, minuman, pakaian, perdagangan dan pencaharian. Rata-rata orang tak lagi peduli dengan cara yang dia lakukan. Keadaannya seperti yang digambarkan oleh Nabi SAW,

يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ ، لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ الْحَلاَلِ أَمْ مِنَ الْحَرَام

Akan datang atas manusia, suatu zaman di mana seseorang tidak peduli atas apa yang diambilnya, apakah dari yang halal, ataukah dari yang haram.” (HR Bukhari)

Setidaknya, makna tidak peduli dalam hadits ini meliputi dua hal, yakni tidak merasa perlu untuk mengetahui status halal haramnya sesuatu, atau bisa jadi telah mengetahui hukumnya, namun ia tidak mengindahkannya, dan tidak menjadikannya sebagai pertimbangan dalam setiap tindakan.

Sebagian lagi malah sengaja menghindar dari belajar fikih halal haram alasannya takut dengan konsekuensinya. Takut jika sudah tahu hukum lalu tidak bisa mengikuti rambu-rambunya. Sekilas alasan ini masuk akal. Tapi sebenarnya sikap ini berakibat fatal. Perumpamaannya seperti orang yang takut melihat jalan berbahaya, lalu berjalan dengan memejamkan mata. Kecil sekali kemungkinan untuk bisa selamat. Karena itulah, ketika seseorang berkata kepada sahabat Abu Hurairah, “Saya tidak mau belajar karena takut menyia-nyiakan ilmu!” Maka beliau menjawab, “Cukuplah kamu dikatakan menyia-nyiakan ilmu jika kamu tidak mau belajar.” Kiranya sangat tepat jawaban beliau. Jika alasan orang itu diterima maka kebodohan terhadap hukum syar’i akan merata, maksiatpun akan merajalela. Dan lagi, mereka merasa tidak berdosa menjamah dosa dengan alasan belum mengerti ilmunya.

Mengenali Keburukan Seperti Mengenali Kebaikan

Mengetahui larangan sama pentingnya dengan pengetahuan tentang perintah. Sebagaimana mengenali suatu dosa itu sama urgennya dengan mengenali fadhilah dan pahala. Para ulama terdahulu mengatakan, bidhiddiha tu’raful asy-ya’, dengan mengetahui kebalikannya, maka akan diketahui hakikat sesuatu.

Karena itulah, para sahabat dan ulama terdahulu seirus untuk mengenali beragam keburukan sebagaimana kegigihan mereka dalam mempelajari beragam kebaikan. Hudzaifah bin Yaman pernah berkata,

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ  Nعَنِ الْخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي.

Dahulu orang-orang (para Sahabat) bertanya kepada Rasulullah ` tentang kebaikan. Sementara aku menanyakan kepada beliau tentang keburukan, karena khawatir terjerumus ke dalamnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Umar bin Khathab juga mengkhawatirkan generasi yang hanya mengetahui kebaikan, sementara mereka tidak memahami yang sebaliknya. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya simpul Islam itu akan terurai satu per satu apabila seseorang itu tumbuh besar dalam Islam sedangkan ia tidak mengetahui jahiliyyah.” [Al-Fawaa`id, hal. 109 dan al-Jawāb al-Kaafi, hal. 152]

Memiliki pengetahuan tentang kebaikan adalah keharusan, karena memahaminya adalah pintu awal untuk mengerjakannya. Mengenali keburukan juga tak kalah pentingnya, karena dengannya seseorang bisa menghindar dari keburukan. Seperti yang dikatakan oleh Abu Faraas al-Hamdani,

عَرَفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ لَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ
وَمَنْ لَمْ يَعْرِفِ الشَّرَّ مِنَ النَّاسِ يَقَعُ فِيْهِ

Aku mengetahui keburukan bukan untuk keburukan, namun untuk menjaga diri darinya.
Karena barangsiapa yang tidak mengetahui keburukan,niscaya ia akan terjatuh ke dalamnya.

Orang yang hanya memburu pahala tanpa mengenali dan mewaspadai dosa, seperti orang yang bergegas menuju tempat tujuan, tanpa melihat jalan yang berlubang dan menggelincirkan. Jelas, sulit baginya untuk selamat. Realita inilah yang banyak kita dapatkan. Orang-orang yang melakukan berbagai bentuk kebaikan, namun juga melakukan dosa-dosa yang bisa mengurangi pahala atau bahkan terkadang berakibat hapusnya seluruh amal kebaikan yang dilakukannya. Maka menjadi kewajiban kita untuk mempelajari kebaikan lalu berusaha mengikutinya, dan memahami keburukan-keburukan untuk kemudian dihindari.

Alangkah indah apa yang diungkapkan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib yang menandai karakter pemburu jannah yang sesungguhnya. Beliau mengatakan,  “Barangsiapa yang memiliki enam karakter, berarti dia betul-betul sedang memburu jannah dan lari dari neraka. Barangsiapa mengenal Allah lalu ia mentaati-Nya, mengenal setan lalu mendurhakainya, mengenal kebenaran lalu mengikutinya, mengenal kebathilan lalu ia menghindar darinya, mengenal dunia lalu zuhud terhadapnya dan mengenal akhirat lalu dia memburunya.”

Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami yang benar itu tampak benar, dan anugerahilah kami untuk bisa mengerjakannya, dan tunjukkanlah yang salah itu tampak salah, dan berilah taufik kepada kami untuk menjauhinya. Aamiin..
Sumber :

Menikmati Kegagalan

Mengalami kegagalan ibarat mengunyah brotowali, pahit rasanya dan sangat tidak enak. Ini sekadar ilustrasi betapa kegagalan sangat tidak diinginkan setiap orang. Apa lagi jika kita sudah mengerahkan usaha secara maksimal. Faktor keberhasilan juga telah dipenuhi. Tapi, hasilnya ternyata jauh dari yang diharapkan. Karena itu, wajar jika orang merasa frustasi bila nasib ini menimpanya. Kegagalan memang takdir yang tak dapat diubah. Namun, frustasi bukan jawaban tepat karena tak dapat mengubah keadaan. Kegagalan adalah keniscayaan tapi bangkit dan berusaha lagi adalah pilihan. Inilah yang membedakan antara pemenang dan pecundang.
Tak Ada Kambing Hitam
Semua orang pernah mengalami kegagalan dengan bentuk dan kadar yang berbeda-beda. Agar lebih baik, tetaplah berhusnudzan, berfikir positif bahwa itu hanyalah tapak awal menuju kemenangan. Rasulullah SAW pernah mengalami saat terberat dalam hidupnya ketika berdakwah kepada orang Thaif. Beliau sangat berharap mereka memeluk Islam. Namun, tak ada satu orang pun yang menerima. Ajakan ramah beliau dijawab dengan cercaan dan siksaan. Bayangkan seorang Rasul yang mulia diusir keluar kampung dengan dihina. Beliau terus dilempari batu dan kerikil sepanjang perjalanan 3 mil. Kaki beliau berdarah-darah. Tak terhitung pula luka Zaid bin Haritsah yang pasang badan melindungi beliau. Namun yang paling menyakitkan bagi Beliau ialah jawaban ketua kaum, “Apakah Allah tidak menemukan orang lain sehingga terpaksa mengangkatmu sebagai Rasul?”
Pada saat kritis seperti itu, optimisme tak boleh mati. Keimanan terhadap takdir tak boleh goyah. Keyakinan ini membawa harapan bahwa Allah selalu memberi kemenangan dan jalan keluar. Faiina maal usri yusra, setiap kesulitan membawa kemudahan. Oleh karena itu doa yang mengalir dari lisan Rasulullah SAW adalah harapan,
“Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku. Sungguh, mereka hanyalah orang-orang yang tidak tahu.”
Celah Itu Tetap Ada
Sejarah Islam pernah menorehkan prestasi hebat lewat seorang ilmuwan yang bernama Hassan bin Al Haitsam. Beliau adalah ilmuwan muslim pertama menggunakan pendekatan modern dalam studinya, yaitu berdasarkan pengumpulan data melalui pemantauan dan pengukuran, yang diikuti oleh tahap formulasi dan pengujian hipotesa guna menjelaskan data yang didapat. Beliau menemukan teori tentang cahaya alami dan refleksi. Beliau juga mengembangkan teori yang yang disebut sebagai mekanisme benda angkasa yang menjelaskan orbit planet. Bukti penelitian Al Haitsam di bidang astronomi masih dapat ditemukan di musium Iskandariyah hingga saat ini. Di balik semua kisah hebat itu Beliau tetap manusia dan pernah terpuruk dalam kegagalan. Bahkan beliau sempat dipenjara dan dikucilkan antara tahun 1011 dan 1021, setelah gagal menyelesaikan tugas yang diberikan oleh khalifah yang memintanya menyelesaikan masalah tentang pengaturan banjir sungai Nil. Dia baru dibebaskan karena khalifah yang menghukumnya meninggal dunia.
Kisah ini mengajarkan bahwa, pantang menyerah adalah ciri orang yang sukses. Semangat ini selalu membuka jalan untuk tetap berkarya. Kegagalan dimaknai sebagai waktu untuk rehat dan beristirahat sejenak. Jadi, gagal bukanlah akhir segalanya. Al Haitsam telah membuktikannya, beliau berhasil menyusun 100 penelitian ilmiah dalam berbagai topik di bidang fisika dan matematika.
Anda Luar Biasa!
Siapa yang tidak mengenal Ibnu Khaldun? Dunia mendaulatnya sebagai Bapak Sosiologi Islam. Sebagai salah seorang ilmuwan hebat yang buah pikirnya amat berpengaruh. Tidak hanya dikagumi di kalangan ulama muslim tapi sederet ilmuwan barat kagum kepadanya. Buah karyanya, Kitab Al Mukaddimah, hingga kini dijadikan referensi oleh para sarjana ilmu sosial di seluruh dunia.
Tidak banyak orang yang tahu bahwa beliau pernah mengalami masa sulit dan kegagalan. Salah satunya, kegagalan dalam dunia politik praktis. Akhirnya beliau mentalak dunia politik dan kembali ber-tafaqquh fiddin. Dalam masa penyepiannya ini beliau menulis kitab Al Mukaddimah. Sebuah buku yang menjadi dasar ilmu sosiologi. Karya ini membuat namanya tetap dikenang hingga kini.
Kegagalan adalah saat yang tepat untuk muhasabah dan mengevaluasi. Apakah kita memang mengambil jalan yang tepat? Apakah cara tersebut benar dan tepat? Ini juga merupakan saat yang pas untuk mengenali potensi kita yang terpendam. Bisa jadi kelebihan itu tidak terlihat karena kita terlalu fokus pada hal-hal lain. Kenalilah diri sendiri dan fokuslah pada kelebihan itu.
Guru paling ampuh
Satu kisah kegagalan yang sangat telak terjadi pada perang Uhud. Tujuh puluh shahabat tewas dalam peperangan ini dan ratusan lainnnya terluka. Bahkan Pipi Rasulullah SAW tertembus besi hingga melukai gerahamnya. Kegagalan ini diakibatkan karena pasukan pemanah meninggalkan posnya di atas bukit. Selain itu, 300 tentara meninggalkan medan perang akibat provokasi orang munafik.
Kegagalan ini mengguyurkan kesedihan bagi shahabat. Namun memberikan pelajaran yang amat berharga bagi kaum muslimin tentang pentingnya taat kepada pemimpin, tentang mengorbankan ego pribadi demi maslahat jama’i. Dan, membuktikan bahwa menuruti kenginan pribadi di atas kepentingan bersama harus ditebus dengan harga mahal. Selain itu, para shahabat belajar untuk tidak melibatkan orang munafik dalam peperangan. Keberadaan orang munafik seperti kata pepatah, ‘duri dalam daging’, gerakannya merusak bagian di sekelilingnya. Karena itulah Rasulullah SAW selalu menahan keinginan orang munafik untuk ikut dalam ekspedisi peperangan, seperti pada perang khaibar. Setelah itu, tidak pernah terdengar bahwa kaum muslimin mengalami kegagalan yang serupa.
Seperti itulah tipikal orang-orang sukses. Proses menuju keberhasilan begitu beriku dan unik. Mereka memaknai Kegagalan sebagai satu bagian dari rangkaian proses keberhasilan. Kegagalan adalah bahan evalauasi. Hasilnya ialah ilmu dan pengalaman. Seorang muslim boleh gagal karena gagal adalah guru yang paling berharga. Kemenangan memberi kebagiaan sedangkan proses membawa ilmu dan pengalaman yang berguna bagi dirinya dan orang lain. Jangan takut gagal. Temukan faktor dan sebab kegagalan itu lalu perbaikilah. Tetaplah menjadi mukmin yang kuat yang tidak tersandung oleh batu yang sama. Rasulullah saw bersabda,
“Seorang mukmin tidak jatuh dua kali ke satu lubang (yang sama).” (HR. Bukhari)
Barang kali inilah jawaban kenapa ada dua orang yang sama-sama gagal, tapi akhirnya bernasib berbeda. Orang yang sukses belajar dari kegagalannya. Tidak menyalahkan orang lain. Dan mencari faktor kegagalan kemudian memperbaikinya. Mereka tidak mau berlama-lama ‘menikmati’ kekalahan. Mereka berusaha mengambil pelajaran yang kemudian menjadi pengalaman yang berharga.
Semoga kita termasuk kelompok tersebut. Amin.
#bukansekedarkata
Sumber :

Kamis, 27 Desember 2012

Haruskah Bercerai ?




Dalam satu kesempatan, saya ngobrol2 dg beberapa ikhwan...
kebetulan waktu itu ngobrol seputar rumah tangga..
entah mengapa, obrolan itu makin rame dan seru...
hingga menyentuh terminologi cerai atau talak..
Mayoritas dari mereka mengakui bahwa pernah ada keinginan bercerai, minimal, pernah terlintas dalam benaknya..

Bagi kehidupan normal berumah tangga, kata cerai, merupakan kata yang dihindari bahkan mungkin menakutkan.

Namun, banyak orang yang luput menyadari bahwa sesungguhnya perceraian juga merupakan 'rahmat' dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia bisa menjadi alternatif terakhir atau mungkin satu-satunya jalan yang terbaik untuk keluar dari permasalahan. maaf, mgk ada yg kurang sepakat dg ungkapan saya ini...

secara pribadi, saya sangat tidak menyukai perceraian...semoga Allah jauhkan kami dari fitnah ini...

bahwa (kadang) perceraian sebagai rahmat Allah, Contoh kasusnya adalah bila salah satu dari pasangan memiliki masalah kejiwaan yang membahayakan, atau salah satu pasangan melakukan kemaksiatan yg masuk kategori hudud, atau salah satu pasangan keluar dari Islam.
Dengan demikian, syariat perceraian, sejatinya merupakan karunia dari Allah.
tapi, bukan ini yg akan kita bahas...

sebisa mungkin, kita menghindari hal2 yg bisa membawa kita kepada terminologi cerai...

Kebaikan, itulah kata pertama yang harus menjadi semangat dalam menyikapi alternatif perceraian.
Karena, perceraian tak akan pernah terjadi tanpa adanya pernikahan yang di dalamnya bertabur kebaikan.

Bila kebaikan yang menjadi harapan di awal perjalanan, mengapa tak selamanya kebaikan pun menjadi hal yang diutamakan dalam kebersamaan? Inilah hal yang harus dipertimbangkan dalam menyikapi penyebab-penyebab perceraian....

seringkali kita melupakan kebaikan2 dari pasangan, dan lebih mengingat pada kekurangan atau kesalahannya saja...

diantara pernyataan ikhwan...bahwa umumnya kalo sedang marahan, istrinya suka nyinggung kata pisah...tapi ikhwannya cuek aja...
meski, sempet juga terlintas di ikhwan utk 'memenuhi harapan istri'...hehe...
maksudya, pernah terlintas juga di benak ikhwan utk udahan aja...(mungkin karena sudah sekian kali ‘ditekan’ oleh istrinya)


sangat indah untuk kita ingat kembali bahwa setiap hal dalam kehidupan selalu memiliki sisi kebaikan dan keburukan.
Demikian pula dalam pernikahan. Selalu ada keburukan yang kita dapatkan tetapi juga begitu banyak kebaikan yang kita raih.
Oleh karena itu, sungguh sangat sayang bila kebaikan-kebaikan yang kita raih melalui perjuangan itu harus tersia-sia begitu saja oleh keburukan yang tak diundang.
disinilah perlunya kita menulis di diary kita tentang kebaikan2 dan keindahan yg dilalui bersama pasangan...
buku diary jgn diisi kekesalan saja..
umumnya, yg dikenang itu selalu yg indah2...
jadi, agak aneh kalo buku diary atau buku kenangan, isinya hanya ‘episode perang’...

Simpanlah baik-baik segala kebaikan yang telah kita raih melalui perjuangan itu dalam jiwa. Agar ketika keburukan menerpa dan mempengaruhi hati, kebaikan itu dapat turun ke hati kita, memadamkan segala amarah dan menutup luka. Juga, agar kebaikan itu dapat memasuki relung-relung pikiran kita; menjadi pertimbangan bagi setiap langkah yang dilakukan untuk meminimalisir bahkan menghalau keburukan tersebut.


itulah salah satu hikmah bahwa hak cerai ada di tangan kaum adam...

saya salut dengan ikhwan yg ga nanggepin dg emosi ketika istrinya lagi kesel dan minta pisah..
bahkan pernah ada seorang istri yg lagi marah, lalu dia lempar mahar pemberian suaminya..(mungkin maksudnya, dgm ngembaliin maharnya, maka ia bukan sbg istri lagi)...
ikhwannya dengan sabar menasehati istri tsb...


betapa indah contoh yang telah dilakukan oleh Hasan Al Bashri manakala datang kepadanya seorang perempuan yang mengajukan diri untuk dinikahinya. Padahal Hasan Al Bashri tidak berminat kepadanya..
Melihat kegigihan perempuan itu yang ingin menjadi istrinya, Hasan Al Bashri akhirnya menikahi perempuan tersebut. Mereka hidup bersama selama puluhan tahun. Ketika sang istri wafat, Hasan Al Bashri ditanya apa yang menyebabkannya bertahan dan berlaku baik terhadap istri yang sama sekali tak dicintainya.
Jawaban al-Bashri sangat luar biasa, ia berkata, “Aku berharap, apa yang kuberikan kepadanya akan menjadi pemberat timbangan kebaikanku di akhirat.”

Jawaban dan sikap yang diberikan oleh ulama besar ini tentu sangat patut kita contoh.
Beliau tidak berangkat dari rasa cinta manakala memulai kehidupan berumahtangganya.
Akan tetapi, sepanjang kehidupannya dengan sang istri, ia berusaha memberikan yang terbaik.
Ini sangat berbanding terbalik dengan fenomena rumah tangga masa kini yang kerap memulai kehidupan rumah tangganya dimulai dengan cinta. tapi gampang berakhir...


cinta bisa ditumbuhkan kok...asal ada keinginan untuk sama-sama melakukan perbaikan dari kedua belah pihak setelah perang bratayudha itu berlalu...bikin MoU baru pasca masalah terjadi...yang intinya masing-masing pihak berusaha untuk memberi...selalu ada solusi untuk niat yang baik...

mengenai rasa bahagia? bisa tidak meraih kebahagiaan setelah itu? bisa! dengan perjuangan kedua belah pihak...

ngomong2 soal cerai...
wakil menteri agama pernah memberitakan bahwa angka perceraian di Indonesia merupakan yg TERTINGGI di dunia...
dan...yg lebih mengagetkan lagi...
bahwa dari pasangan yg bercerai, 80 % nya adalah cerai atas gugatan istri...artinya, istri yg mengajukan gugat cerai atau Khulu'...


sesuai dg judul tulisan ini, Haruskah bercerai..
saya meyakini, bahwa minimnya apresiasi kita thd kebaikan2 yg dilakukan pasangan, seringkali menjadi penyebab terjadinya komunikasi yg kurang sehat...

Orientasi untuk menjadikan kebaikan sebagai tangga untuk meraih berkah-Nya di dunia dan akhirat, nampaknya juga mesti kita pegang kuat-kuat manakala sederet konflik mulai mendekatkan pada perceraian. Bahwa, apa pun yang kita lakukan di dunia ini adalah jembatan menuju kehidupan di akhirat. Bahwa, tidak mungkin kita selangkah lebih dekat dengan surga-Nya dengan cara yang justru dibenci-Nya.

laki2 ga gentle...jiwanya pengecut...
mau enak sendiri...ga mau repot...padahal memang dasarnya ia ingin pisah dari istrinya...
kasihan sekali org2 yg seperti ini...
tapi nggak semuanya... ada juga yang memang keinginan murni dari sang istri


Marilah kita lihat bagaimana sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun mendahulukan kebaikan manakala berhadapan dengan apa yang tak sesuai dengan keinginan hati.

Seorang lelaki Badui datang ke rumah Umar bin Khaththab untuk “curhat” tentang perilaku istrinya. Namun, sesampainya di muka pintu rumah sang Khalifah, lelaki Badui ini mendengar teriakan istri Umar yang sangat keras. Lelaki ini pun berbalik badan dan berkata dalam hati, “Celaka, bila keadaan Amirul Mukminin dengan istrinya saja sedemikian, bagaimana dengan aku?” Umar yang melihat kedatangan lelaki Badui tersebut dan melihatnya serta-merta menjauh, segera memanggilnya dan menanyakan keperluannya.

Lelaki itu kemudian menjawab, “Ya Amirul Mukminin, keperluanku sudah selesai.” Merasa tak percaya, Umar bertanya lagi, “Mari, coba ceritakan, ada apa sebenarnya?” Lelaki itu pun akhirnya bercerita, “Wahai Amirul Mukminin, sebenarnya aku kemari untuk mengadukan perilaku istriku yang buruk. Namun, kulihat perilaku istrimu jauh lebih buruk. Aku jadi berkata dalam hati, bila keadaanmu saja sedemikian, bagaimana dengan aku?”

Umar menjawab, “Aku sengaja menahan diri menghadapi semua perilakunya karena banyak sekali hak dirinya atas diriku. Dia adalah pendidik anak-anakku, dia yang memasak makanan untukku, dia yang mencucikan pakaianku, dan membersihkan rumahku. Aku sengaja menahan diri karena semua hak-haknya tersebut atas diriku.”

akhirnya...kita yakin, tak ada satu pun pasangan suami istri yang ketika menikah lalu berniat untuk bercerai. namun demikian, seiring perjalanan waktu, pastinya ada masalah, dan masalah itu ada yang bisa diselesaikan dan ada juga yang tidak.
dan mungkin.... perceraian itu menjadi satu-satunya pintu penyelesaian.
kalo memang demikian...maka semoga hari-hari selanjutnya bisa lebih baik dan lebih baik..

disini saya hanya ingin menegaskan bahwa segala permasalahan rumah tangga itu, TIDAK MESTI berakhir dg perceraian...
masih banyak jalan utk memperbaiki kondisi yg ada...
kalopun mesti bercerai, pastikan itu jalan terbaik utk menjadi lebih baik...


Kondisi Orang Mukmin

Terdapat riwayat yang shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Sesungguhnya seorang mukmin tercipta dalam keadaan Mufattan (penuh cobaan) , Tawwab (senang bertaubat) , dan Nassaa’ (suka lupa), (tetapi) apabila diingatkan ia segera ingat”. (Silsilah Hadits Shahih No. 2276).


Hadist ini merupakan hadits yang menjelaskan sifat-sifat orang mukmin, sifat-sifat yang senantiasa lengket dan menyatu dengan diri mereka, tiada pernah lepas hingga seolah-olah pakaian yang selalu menempel pada tubuh mereka dan tidak pernah terjauhkan dari mereka.

1. Mufattan (penuh cobaan)


Artinya : Orang yang diuji (diberi cobaan) dan banyak ditimpa fitnah. Maksudnya : (orang mukmin) adalah orang yang waktu demi waktu selalu diuji oleh Allah dengan balaa’ (bencana) dan dosa-dosa. (Faid-Qadir 5/491).


Dalam hal ini fitnah (cobaan) itu akan meningkatkan keimanannya, memperkuat keyakinannya dan akan mendorong semangatnya untuk terus menerus berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebab dengan kelemahan dirinya, ia menjadi tahu betapa Maha Kuat dan Maha Perkasanya Allah, Rabb-nya.


Menurut sebuah riwayat dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


“Artinya : Perumpamaan orang mukmin ibarat sebatang pohon yang lentur diombang-ambing angin, kadang hembusan angin merobohkannya, dan kadang-kadang meluruskannya kembali. Demikianlah keadaannya sampai ajalnya datang. Sedangkan perumpamaan seorang munafik, ibarat sebatang pokok yang kaku, tidak bergeming oleh terpaan apapun hingga (ketika) tumbang, tumbangnya sekaligus”.
(Bukhari : Kitab Al-Mardha, Bab I, Hadist No. 5643, Muslim No. 7023, 7024, 7025, 7026, 7027).


Ya, demikianlah sifat seorang mukmin dengan keimanannya yang benar, dengan tauhidnya yang bersih dan dengan sikap iltizam (komitment)nya yang sungguh-sungguh.


2. Tawaab Nasiyy (senang bertaubat)


“Artinya : Orang yang bertaubat kemudian lupa, kemudian ingat, kemudian bertaubat”. (Faid-Al Qadir 5/491).


Seorang mukmin dengan taubatnya, berarti telah mewujudkan makna salah satu sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu sifat yang terkandung dalam nama-Nya : Al-Ghaffar (Dzat yang Maha Pengampun). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :


“Artinya : Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar”. (Thaha : 82).


3. Nassaa’ – Apabila Diingatkan, Ia Segera Ingat.


Bila diingatkan tentang ketaatan, ia segera bergegas melompat kepadanya, bila diingatkan tentang kemaksiatan, ia segera bertaubat daripadanya, bila diingatkan tentang kebenaran, ia segera melaksanakannya, dan bila diingatkan tentang kesalahan ia segera menjauhi dan meninggalkannya.

Ia tidak sombong, tidak besar kepala, tidak congkak dan tidak tinggi hati, tetapi ia rendah hati kepada saudara-saudaranya, lemah lembut kepada sahabat-sahabatnya dan ramah tamah kepada teman-temannya, sebab ia tahu inilah jalan Ahlul Haq (pengikut kebenaran) dan jalannya kaum mukminin yang shalihin.

Terhadap dirinya sendiri ia berbatin jujur serta berpenampilan luhur, sedangkan terhadap orang lain ia berperasaan lembut dan berahlak mulia, bersuri tauladan kepada insan teladan paling sempurna yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah diberi wasiat oleh Rabb-nya dengan firman-Nya :

“Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka …..”. (Ali Imran : 159).

Dakwah ini bukan aktifitas sesaat

Amal islami bukanlah aktivitas yang cukup dikerjakan di saat Anda memiliki waktu luang dan bisa Anda tinggalkan saat sibuk. Tidak! Amal islami terlalu agung dan mulia jika mesti diperlakukan begitu.

Perkara intima` kepada dien ini tentu saja jauh lebih serius daripada yang seperti itu. Islam tidak seperti klub ilmiyah, klub olahraga, atau kepanduan yang cukup dikerjakan saat masih menjadi pelajar/ mahasiswa, lalu bisa ditinggalkan saat telah lulus. Atau cukup dikerjakan saat masih bujang dan boleh ditinggalkan setelah menikah. Atau Anda curahkan waktu sebelum Anda mendapat pekerjaan dan setelah mendapatkannya, atau Anda membuka klinik, apotek, biro konsultasi, atau Anda disibukkan dengan pelajaran-pelajaran khusus, maka Anda boleh meninggalkannya atau meremehkannya. Sekali-kali tidak! Amal islami bukanlah seperti itu.

Perkara amal islami dan intima` kepadanya sama dengan perkara ‘ubudiyah kepada Allah yang sebenarnya. Oleh karena itu, semestinya seorang muslim tidak melepaskan diri dari amal islami kecuali bersamaan dengan keluarnya ia dari kehidupan ini.. Bukankah Allah telah berfirman

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan beribadahlah kepada Rabbmu sampai kematian datang kepadamu! (QS.Al-Hijr : 99)

Sampai datang kematian!!!

Al-Qur`an tidak mengatakan ‘Sembahlah Rabbmu sampai kamu keluar dari Universitas atau saat menjadi pegawai atau sampai kamu menikah atau sampai kamu membuka klinik atau sampai kamu membuka biro konsultasi dst.”

Para pendahulu kita, as-salafus shalih memahami benar hakekat yang sederhana namun sangat urgen dalam dienullah ini.

Kita dapati ‘Ammar bin Yasir, beliau berangkat perang saat usia beliau telah mencapai 90 tahun. Perang! Bukan berdakwah, mengajar orang-orang, atau beramar makruf nahi munkar. Beliau berangkat perang saat tulang-belulang beliau sudah rapuh, tubuh telah renta, rambut telah memutih, dan kekuatan sudah jauh berkurang.

Adalah Abu Sufyan masih membakar semangat para pasukan untuk berperang saat beliau berumur 70 tahun.

Begitu pun dengan Yaman, Tsabit bin Waqasy. Keduanya tetap berangkat ke medan Uhud meski telah lanjut usia dan meski Rasulullah menempatkan mereka bersama kaum wanita, di bagian belakang pasukan.

Mengapa kita mesti pergi jauh?! Bukankah Rasulullah r telah melaksanakan 27 pertempuran[1]. Semua peperangan itu beliau alami setelah usia beliau lewat 54 tahun. Bahkan perang Tabuk, perang yang paling berat bagi kaum muslimin, diikuti dan dipimpim langsung oleh beliau saat umur beliau telah mencapai 60 tahun.

Bagaimana dengan keadaan kita hari ini?! Kita dapat saksikan banyak sekali ikhwah yang meninggalkan amal Islami setelah lulus kuliah, menikah, sibuk dengan perdagangan, tugas, dlsb.
Kepada mereka, “Sesungguhnya urusan dien dan Islam itu bukan urusan main-main.”
وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللهِ عَظِيمٌ
Dan kalian menyangka itu urusan yang remeh, padahal di sisi Allah itu adalah urusan yang agung. (QS.An-Nur : 15)

Saya katakan kepada mereka, “Mana janji kalian?! Janji yang telah kalian ikrarkan di hadapan Allah dan di hadapan orang banyak dulu?!”

وَكَانَ عَهْدُ اللهِ مَسْئُولاً

Dan janji Allah itu akan dipertanyakan. (QS.Al-Ahzab : 15)

Mana sajak pendek yang selama ini sering kalian perdengarkan?!

فِيْ سَبِيْلِ اللهِ قُمْنَا
نَبْتَغِيْ رَفْعِ اللِّوَاءِ
مَالِحِزْبٍ قَدْ عَمِلْنَا
نَحْنُ لِلدِّيْنِ فِدَاءُ
فَلْيَعُدْ لِلدِّيْنِ مَجْدُهُ
  أَوْ تُرَقْ مِنَّا الدِّمَاءُ

Di jalan Allah kami tegak berdiri
Mencitakan panji-panji menjulang tinggi
Bukan untuk golongan tertentu, semua amal kami
Bagi dien ini, kami menjadi pejuang sejati
Sampai kemuliaan dien ini kembali
Atau mengalir tetes-tetes darah kami

Saya katakan kepada mereka, “Sesungguhnya akibat dari pengunduran diri adalah keburukan. Apalagi bagi orang yang telah mengerti kebenaran lalu berpaling darinya. Bagi orang yang telah merasakan manisnya kebenaran lalu tenggelam dalam kebatilan. Sesungguhnya membatalkan janji kepada Allah termasuk dosa yang terbesar di sisi Allah dan di pandangan orang-orang yang beriman.”

فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ

Maka barangsiapa melanggar janji, akibatnya akan mengenai dirinya sendiri. (QS.Al-Fath : 10)

Siapa pun yang dikuasai oleh nafsu ammarah bissu`, ditipu oleh setan, atau mengundurkan diri dari medan amal islami hendaklah merenungkan firman Allah ini

وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللهَ لَئِنْ أَتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُوْنَنَّ مِنَ الصَّالِحِيْنَ فَلَمَّا آتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوْا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُوْنَ

Dan di antara mereka ada orang yang berikrar kepada Allah, “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian dari karunia-Nya kepada kami, pasti kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh”. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling. (QS.At-Taubah : 75-76)

Kemudian hendaknya pula merenungkan firman Allah tentang hukuman yang akan diterima

فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِيْ قُلُوْبِهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللهَ مَا وَعَدُوْهُ وَبِمَا كَانُوْا يُكَذِّبُوْنَ

Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai pada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta. (QS.At-Taubah : 77)

Sesungguhnya perkara amal islami adalah perkara yang sangat urgen.. Sayangnya, sebagian mereka yang lemah imannya ~beberapa di antaranya bergabung saat masih kuliah~ beranggapan bahwa amal islami itu tak ubahnya dengan sarikat dagang untuk satu masa tertentu. Begitu masa kuliyah selesai, selesai pulalah amal islami. Atau mereka menyangka masa amal islami adalah masa terjalinnya persahabatan atau pertemanan saat masih kuliyah yang selesai begitu saja saat lulus. Semuanya selesai, tuntas!

Saya sebut mereka di sini sebagai orang-orang yang lemah imannya karena biasanya penyakit itu bermula dari lemahnya iman. Sakitnya hati, lemahnya semangat, dan tidak mengakarnya iman, terletak di dalam hati, bukan di akal. Seringnya ~bahkan selalunya~ kerusakan itu terletak pada hati bukan akal; disebabkan oleh bolongnya iman, bukan kurangnya ilmu; karena syahwat, bukan syubhat; dan buah dari cinta dunia, bukan kurangnya kesadaran. Maka siapa yang ingin menjalani terapi atau berobat, semestinya memperhatikan hatinya, membersihkannya dari berbagai kotoran dan mengobati penyakit-penyakitnya itu.

Sayangnya, sedikit sekali dokter yang ada di zaman ini. Tentu saja maksud saya adalah dokter untuk penyakit hati. Kalau dokter penyakit jasmani, banyak sekali jumlah mereka, namun parah sekali juga penyakit yang menimpa mereka.

Sesungguhnya seseorang yang berbalik dari kebenaran setelah mengetahuinya adalah seorang yang mendahulukan kelezatan sesaat dan kesenangan semusim serta mencari kegembiraan dengan membayar kesedihan sepanjang masa, menceburkan diri ke sumur maksiat, dan berpaling dari cita-cita mulia kepada keinginan rendah lagi hina.. Selanjutnya ia akan berada di bawah kungkungan setan, di lembah kebingungan, dan terbelenggu di penjara hawa nafsu.

Berdasarkan pengalaman pribadi saya, saya mendapati keadaan orang-orang seperti mereka jauh lebih buruk daripada kaum muslimin pada umumnya. kiranya itulah hukuman dari Allah bagi mereka …

Bagai rajawali yang telah rontok bulu-bulunya
Setiap kali melihat burung terbang ia melihat segala kegagalannya.





maraji':  Washiyyatul Musthafa Li Ahli Da'wah, DR. Abdullah Azzam Rahimahullah


[1] Muhammad bin Ishaq berkata, “Jumlah seluruh perang yang dikomandoi oleh Rasulullah saw adalah 27.” Lalu beliau menyebutnya satu persatu. al-Bidayah wan Nihayah 5/217

Usahakanlah Faktor-Faktor Kemenangan

Pertolongan Allah itu mahal dan tidak diberikan kepada sebarang muslim. Pertolongan dari Allah hanya diberikan kepada satu thaifah (kelompok) khusus yang memiliki sifat-sifat tertentu. Thaifah ini telah dipersiapkan oleh Allah untuk mendapatkan pertolongan dari-Nya dan untuk melaksanakan perintah-Nya. Allah mentarbiyah mereka dengan tarbiyah khusus sehingga nantinya mereka layak dikuasakan di muka bumi dan sanggup untuk menegakkan dien dengan segala keistimewaan dien itu.

Thaifah yang akan mendapatkan pertolongan inilah thaifah yang disebut oleh Rasulullah r dalam sabdanya,

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرَةً عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

Akan senantiasa ada satu thaifah dari umatku yang berdiri kukuh di atas kebenaran. Orang-orang yang menghinakan mereka tidaklah mendatangkan mudlarat bagi mereka. Sampai tiba keputusan Allah, mereka tetap dalam keadaan itu.[1]

Dalam memenangkan pertempuran melawan musuh, thaifah yang berdiri kukuh di atas kebenaran ini tidak pernah mendapatkan kemenangan itu dikarenakan jumlah mereka yang banyak. Sebaliknya, jumlah mereka selalu sedikit. Dan sepanjang zaman, ahlul-iman dapat mengalahkan musuh-musuh mereka bukan dengan jumlah dan bekal logistik mereka, tetapi mereka dapat memenangkannya dengan berbekalkan dien ini. Dien yang dengannya Allah memuliakan mereka, seperti yang dikatakan oleh ‘Abdullah bin Rawahah dalam perang Mu’tah.

وَمَا نُقَاتِلُ النَّاسَ بِعَدَدٍ وَلاَ قُوَّةٍ وَلاَ كَثْرَةٍ مَا نُقَاتِلُهُمْ إِلاَّ بِهَذَا الدِّيْنِ الَّذِيْ أَكْرَمَنَا اللهُ بِهِ

Kita tidak memerangi manusia dengan bilangan, kekuatan, dan jumlah kita. Kita hanya memerangi mereka karena dien ini. Dien yang Allah memuliakan kita dengannya.[2]

Bahkan, jika anda memperhatikan semua kancah peperangan antara kaum muslimin dengan musuh-musuh mereka Anda akan mendapati selalunya jumlah dan perbekalan kaum muslimin jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah dan perbekalan musuh. Kebenaran ada pada Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau menulis surat kepada panglima perangnya, ‘Amru bin ’Ash. Bunyinya, “Semoga keselamatan senantiasa dilimpahkan kepadamu! Suratmu yang mengabarkan bahwa Romawi telah mengumpulkan pasukannya yang jumlahnya sangat banyak telah sampai. Sesungguhnya Allah tidak memberikan kemenangan kepada kita kala bersama Nabi-Nya saw dengan banyaknya perbekalan dan jumlah pasukan. Dahulu, kita pernah berperang bersama Rasulullah saw sedangkan yang kita miliki hanyalah dua ekor kuda. Adapun kita sendiri, waktu itu hanya berjalan di belakang onta. Dalam perang Uhud yang disertai Rasulullah saw pun kami hanya membawa seekor kuda yang ditunggangi oleh beliau saw. Meski demikian, Allah tetap memenangkan dan menolong kita atas orang-orang yang menyelisihi kita. Juga, ketahuilah bahwa manusia yang paling taat kepada Allah adalah orang yang paling benci kepada kemaksiatan. Maka, taatilah Allah dan perintahkan sahabat-sahabatmu untuk mentaatinya!”[3]

Sungguh sunnatullah itu tidak berlaku bagi orang-orang tertentu saja. Baik untuk kemenangan atau pun kekalahan, keduanya ada sebabnya. Barangsiapa diberi taufiq oleh Allah berupa sebab-sebab kemenangan, niscaya Allah akan memenangkannya. Begitu pun sebaliknya, barangsiapa tidak diberi taufiq oleh Allah hendaknya ia tidak mencela selain mencela dirinya sendiri.

لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلاَ أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوْءًا يُجْزَ بِهِ

(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu. (QS.An-Nisa` : 123)

Jika sebuah jamaah Islam menghajatkan kemenangan atas musuh-musuhnya, maka ia harus memenuhi sebab-sebab datangnya kemenangan. Sama seperti yang dilakukan oleh para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Memerinci sebab-sebab kemenangan secara detail akan menghabiskan banyak halaman. Karenanya kita hanya akan menyebutkannya secara global. Sebab-sebab yang melatarbelakangi seluruh kemenangan agung yang dicapai oleh para sahabat dan para tabi’in.

Tersebut di dalam sirah, bahwa musuh-musuh para sahabat itu tidak pernah mampu bertahan lama di dalam peperangan melawan mereka. Bahkan ketika Heraclius mendengar kabar bahwa Romawi telah bertekuk lutut, ia berkata, “Celaka kalian! Coba ceritakan tentang musuh yang memerangi kalian itu! Bukankah mereka juga manusia seperti kalian?!” Mereka menjawab, “Benar..” “Jumlah kalian lebih banyak ataukah sebaliknya?”, tanyanya lagi. “Bahkan jumlah kami berlipat-lipat lebih banyak daripada jumlah mereka di dalam setiap kancah.”, jawab mereka. “Lalu, ada apa dengan kalian sehingga kalian menjadi pecundang?” Salah seorang pembesar mereka menjawab, “Karena mereka semua bangun menunaikan shalat malam, mereka berpuasa di siang hari, mereka menepati janji, mereka beramar makruf nahi munkar, serta mereka saling tolong-menolong. Juga karena kami semua meminum arak, berzina, melanggar yang haram, menyelisihi janji, berbuat ghashab, berbuat zhalim, menyebarkan perseteruan, meninggalkan hal-hal yang diridlai oleh Allah, serta membuat kerusakan di muka bumi.” “Benar yang kamu katakan.”, komentar Heraclius.[4]

Dengan kecerdasannya seorang pembesar Romawi telah menyimpulkan tentang sebab-sebab kemenangan dan kekalahan. Ia menjelaskan bahwa pasukan muslimin telah memenuhi semua sebab untuk mendapatkan kemenangan, total. Sebaliknya, Romawi telah memenuhi semua sebab untuk mendapatkan kekalahan, total. Maka Allah pun memberikan kemenangan bagi yang berhak dan menimpakan kekalahan bagi musuhnya.

Seorang mata-mata Romawi yang dikirim untuk mencari tahu kabar dan keadaan kaum muslimin, menguatkan pernyataan di atas. Waktu itu menjelang penaklukan kota Syam, sepulang dari memata-matai pasukan muslimin ia melaporkan semuanya. Ia berkata, “Mereka adalah pendeta di waktu malam dan ahli menunggang kuda di siang hari. Jika salah seorang anak raja mereka mencuri, mereka tetap memotong tangannya. Jika ia berzina ia pun akan dirajam, demi menegakkan kebenaran pada diri mereka.” Petinggi yang dilapori pun berkata, “Apabila yang kamu katakan itu benar, perut bumi jauh lebih baik daripada berjumpa mereka di permukaannya. Yang aku inginkan sekarang hanyalah, Allah membiarkanku bertempur melawan mereka, lalu Dia tidak menolongku, pun tidak menolong mereka.”[5]

Ada juga salah seorang pengikut setia Thulaihah al-Asadiy yang menceritakan tentang sebab-sebab kemenangan dan kekalahan. Ketika Thulaihah melihat banyak sekali pasukannya yang menjadi pecundang di medan perang, ia berkata, “Celaka! Apa yang membuat kalian kocar-kacir begini?!” Salah seorang pengikut setianya itu menjawab, “Saya beritahukan kepadamu apa yang membuat kita kalah total. Sesungguhnya tidak seorang pun dari mereka yang menginginkan sahabatnya terbunuh lebih dahulu. Kami benar-benar mendapati suatu kaum yang semuanya ingin kematiannya datang lebih dulu daripada kematian sahabatnya!”[6]

Ada pula seorang mata-mata Romawi yang diutus oleh penguasa Damaskus. Ketika itu pasukan muslimin datang dari arah Yordania. Mata-mata itu berkata, “Saya datang kepada Anda usai berjumpa dengan kaum yang tubuh mereka kurus kering, mereka mengendarai kuda-kuda pilihan, di malam hari mereka bagai pendeta, dan di siang hari mereka adalah penunggang kuda nan tangkas... Seandainya Anda mengajak bicara orang yang ada di samping Anda, niscaya ia tidak memahami apa yang mereka katakan karena begitu gegap gempita suara mereka oleh bacaan al-Qur`an dan dzikir.” Lalu penguasa Damaskus itu menoleh kepada sahabat-sahabatnya seraya berkata, “Mereka mengamalkan sesuatu yang tidak mungkin kalian mampu melakukannya.”

Setelah kita sama-sama mengerti keadaan tiap-tiap personal pasukan Islam, semoga Anda bisa mengerti bagaimana mereka meraih kemenangan demi kemenangan dan apa yang menjadi sebab dari semua itu.

Di dalam Tarikh at-Thabariy disebutkan, “Ketika kaum muslimin menaklukkan Madain mereka mengumpulkan semua harta rampasan perang. Ada seorang laki-laki membawa wadah untuk mengumpulkannya lalu ia serahkan kepada yang bertanggungjawab untuk selanjutnya dibagi. Orang-orang bertanya kepadanya, ‘Wow, kami belum pernah melihat yang seperti itu! Dari apa yang kami kumpulkan, tidak ada sesuatu pun yang senilai dengannya atau bahkan mendekatinya. Apakah kamu mengambilnya barang sebuah?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Demi Allah, jika bukan karena Allah aku tidak akan mengumpulkannya.’ Maka orang-orang pun mengerti bahwa orang itu bukan sembarang laki-laki. Mereka bertanya, ‘Siapakah Anda ini?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak akan memberitahukan kepada kalian karena aku khawatir akan pujian. Pun tidak akan kuberitahukan kepada selain kalian karena aku khawatir akan sanjungan. Sungguh, aku memuji Allah dan ridla terhadap pahala dari-Nya.’ Lalu mereka menyuruh seseorang untuk membuntutinya sampai ketika ia telah berkumpul dengan teman-temannya, suruhan itu bertanya kepada mereka. Laki-laki itu adalah ‘Amir bin ‘Abdu Qais.”[7]

At-Thabariy juga menyebutkan, “Ketika pedang, ikat pinggang, dan mahkota Kisra diserahkan kepada ‘Umar bin Khattab , beliau berkata, ‘Sungguh, kaum yang menyerahkan semua ini adalah kaum yang benar-benar beramanah.’ Mendengar hal itu ‘Ali  berkata, ‘Sesungguhnya Anda bersikap ‘iffah (menjaga diri) sehingga semua rakyat pun memilih sikap yang sama.’”[8]
maraji' :  Washiyyatul Musthafa Li Ahli Da'wah, DR. Abdullah Azzam Rahimahullah





[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhariy 11/33, Muslim 16/101, at-Tirmidziy 2872, Ibnu Majah 3990 (lafazh hadits di atas adalah riwayat beliau), dan Imam Ahmad 2/7 dari hadits ‘Abdullah bin ‘Umar ra
Hadits riwayat al-Bukhariy 13/293, Muslim 13/ 65-68, at-Tirmidziy 2192, 2229, Abu Dawud 4252, Ibnu Majah 6, 7, 1, 10, dan Imam Ahmad 5/34,269, 278 dari banyak sahabat; di antara mereka Mughirah bin Syu’bah, Tsauban, Jabir bin ‘Abdullah, Jabir bin Samurah, Qurrah bin Iyas, Abu Hurairah, Mu’awiyyah, dan yang lainnya. Adapun lafazh di atas adalah riwayat Muslim dari Tsauban.
[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq sebagaimana disebut oleh Ibnu Hisyam di dalam as-Siratun Nabawiyyah vol. 2/375, tanpa sanad.
[3] Diriwayatkan oleh at-Thayalisiy dari al-Waqidiy dari ‘Abdullah bin ‘Amru ra seperti yang tertera di dalam Kanzul ’Ummal 3/135. Diriwayatkan juga oleh at-Thabaraniy dalam al-Mu’jamul Awsath dari ‘Abdullah bin ‘Amru ra. Di dalam Majma’uz Zawaid 6/117, al-Haitsamiy berkata, “Di antara perawinya ada asy-Syadzakuniy dan al-Waqidiy, keduanya lemah.”
[4] Diriwayatkan oleh Ahmad bin Marwan al-Malikiy di dalam al-Mujalasah dari Abu Ishaq, seperti tersebut di dalam al-Bidayah 7/15. Diriwayatkan juga oleh Ibnu ‘Asakir dari Ibnu Ishaq 1/143.
[5] Diriwayatkan oleh al-Baihaqiy di dalam as-Sunanul Kubra 8/175 dari az-Zuhriy
[6] Diriwayatkan oleh Walid bin Muslim dari Yahya bin Yahya al-Ghassaniy dari dua orang kaumnya, al-Bidayah wan Nihayah 7/15. Diriwayatkan juga oleh Ibnu ‘Asakir 1/143 juga dari Yahya bin Yahya al-Ghassaniy.
[7] Diriwayatkan oleh at-Thabariy dari Abu ‘Abdah al-’Anbariy 3/128.
[8] Diriwayatkan oleh at-Thabariy dari Qais al-’Ajaliy 3/128.