1. .Nama dan Nasab
Imam Adz Dzahabi berkata: Dia seorang Imam, faqihul millah
(ahli fiqihnya millah ini), ulamanya Iraq, Abu Hanifah Numan bin tsabit
bin Zautha, At Taimi, Al Kufi, Maula Bani Tayyimullah bin Tsalabah.
Disebutkan juga bahwa beliau keturunan Persia. (Siyar Alamin Nubala,
6/390)
Syaikh At Taqi Al Ghazi berkata: Dialah imamnya para imam,
penerang bagi umat, lautan ilmu dan keutamaan, ulamanya Iraq, ahli fiqih
dunia seluruhnya, orang setelahnya menjadi lemah di hadapannya, dan
yang semasanya, belum pernah mata melihat yang semisalnya, belum ada
seorang mujtahid mencapai derajat seperti kesempurnaan dan
keutamaannya. (Ath Thabaqat As Sunniyah fi Tarajim Al Hanafiyah, Hal.
24)
Beliau adalah Abu Hanifah Numan bin Tsabit bin Zutha dengan
huruf zay yang didhammahkan dan tha difathahkan- inilah yang masyhur.
Ibnu Asy Syahnah menukil dari gurunya Majduddin Al Fairuzzabadi dalam
Thabaqat Al Hanafiyah: bahwa huruf zay difathahkan dan tha juga
difathahkan (jadi bacanya Zautha), sebagaimana Sakra. Dahulu Zautha
adalah seorang raja dari Bani Tayyimullah bin Tsalabah. (Ibid)
Syaikh At Taqi Al Ghazi juga berkata: Terjadi perselisihan
pendapat tentang asal daerahnya: ada yang mengatakan dari Kaabil, ada
pula yang menyebut Baabil, ada yang menyebut Nasaa, ada yang mengatakan
Tirmidz, ada juga yang menyebut Al Anbar, dan lainnya.
Sirajuddin Al Hindi menyebutkan bahwa cara kompromis dari
semua riwayat ini adalah bahwa kakek Beliau berasal dari Kaabil, lalu
pindah ke Nasaa, lalu ke Tirmidz, atau ayahnya dilahirkan di Baabil,
lalu dia dibesarkan di Al Anbar, dan seterusnya. Ibnu Asy Syahnah
mengatakan: kompromis seperti ini sebenarnya berasal dari Khathib
Khawarizmi. Lalu dia mengatakan: sebagaimana Abu Al Maali Al Fadhl bin
Sahl Al Isfirayini, karena ayahnya berasal dari Isfirayin, dan dia
dilahirkan di Mesir, besar di Halab, lalu mukim di Baghdad, dan wafat di
sana, sehingga disebutkan untuk dia: Al Mishri, Al Halabi, dan Al
Baghdadi. (Ibid. Lihat juga Al Qadhi Abu Abdillah Husein bin Ali Ash
Shimari, Akhbar Abi Hanifah, Hal. 15-16)
Dia dinamakan Hanifah karena sering membawa tinta, yang di
Iraq dikenal dengan sebutan Hanifah. Beliau juga dijuluki Imamul Azham,
dan telah banyak kitab para ulama yang menyebutnya demikian, seperti
kitab: Manaqib Imam Al Azham Abi Hanifah, Al Khairat Al Hissan fi
Manaqib Al Imam Al Azham Abi Hanifah An Numan, dan lainnya.
Ada seseorang yang menulis di Indonesia yakni Andi Bangkit
(buku: Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin) , bahwa dia menolak
fakta bahwa Imam Abu Hanifah dijuluki Imamul A'zham oleh para ulama,
dengan alasan karena Imamul A'zham adalah sebutan untuk Khalifah, dan
karena Imam Abu Hanifah bukan Khalifah, maka dia bukan Imamul A'zham.
Jelas bahwa itu adalah penolakan yang mengada-ada dan sangat ceroboh,
sebab sebutan Imamul A'zham pada kenyataan sejarah bukan hanya untuk
Khalifah, bahkan selain Imam Abu Hanifah pun para ulama juga juga
menyebut Imam Asy Syafi'i dengan Imamul A'zham. Imam Abul Fadhl
Fakhrurrazi menyusun sebuah kitab berjudul: Manaqib Al Imam Al Azham Asy
Syafi'i. (Lihat Akhbar Ulama bi Akhbaril Hukama, Hal. 124. Mawqi Al
Warraq)
2. Kelahirannya
Beliau dilahirkan tahun 80 Hijriyah, ada juga yang menyebut
61 Hijriyah seperti dikatakan Muzahim bin Daud bin Uliyah, tetapi yang
shahih dan masyhur adalah 80 Hijriyah. Telah dikatakan oleh anaknya
sendiri yakni Hammad, lalu Abu Nuaim, bahwa Beliau dilahirkan tahun 80
Hijriyah. (Thabaqat As Sunniyah fi Tarajim Al Hanafiyah, Hal. 25.
Akhbar Abi Hanifah, Hal. 16-17)
Imam Adz Dzahabi mengatakan: Lahir tahun 80 hijriyah, pada
masa shigharush shahabah (sahabat nabi yang junior), dan sempat melihat
Anas bin Malik ketika Anas datang ke kota Kufah. (As Siyar, 6/391)
Imam Abu Hanifah sempat berjumpa dengan beberapa sahabat
nabi, yakni Abdullah bin Al Haarits dan Beliau mengambil hadits darinya,
Abdullah bin Abi Aufa, dan Abu Thufail Amir bin Watsilah. Beliau
berjumpa dengan Anas bin Malik tahun 95 Hijriyah, dan meriwayatkan
hadits darinya, serta bertanya kepadanya tentang sujud sahwi. (Akhbar
Abi Hanifah, Hal. 18-19)
Bahkan Ismail, cucu dari Imam Abu Hanifah, menceritakan:
ولد جدي في سنة ثمانين، وذهب ثابت إلى علي وهو صغير، فدعا له
بالبركة فيه و في ذريته، ونحن نرجو من الله أن يكون استجاب ذلك لعلي رضي
الله عنه فينا.
Kakekku dilahirkan tahun 80 Hijriyah, dan Tsabit (ayah Abu Hanifah)
pergi mendatangi Ali bin Abi Thalib, saat itu dia masih kecil, lalu Ali
mendoakannya dengan keberkahan untuknya dan keturunannya, dan kami
mengharapkan kepada Allah agar mengabulkan hal itu, karena doa Ali
Radhiallahu Anhu pada kami. (As Siyar, 6/395)
3. Sifat-Sifat dan Penampilannya
Imam Abu Nu'aim menceritakan bahwa Imam Abu Hanifah
berparas tampan, jenggotnya rapi, pakaiannya bagus, sendalnya bagus, dan
dermawan bagi orang di sekelilingnya. (Akhbar Abi Hanifah, Hal. 16)
Imam Abdullah bin Al Mubarak berkata:
ما كان أوقر مجلس أبي حنيفة كان يتشبه الفقهاء به وكان حسن السمت حسن الوجه حسن الثوب
Tidak ada yang seberwibawa majelisnya Abu Hanifah, dahulu
para ahli fiqih menirunya, dia berperilaku baik, wajahnya bagus, dan
pakaiannya bagus. (Ibid, Hal. 17)
Beliau adalah penenun sutera, dan menjualnya, dia memiliki toko yang terkenal di rumahnya Amru bin Huraits. (As Siyar, 6/394)
Salah seorang kawan dan muridnya, Imam Abu Yusuf bercerita:
كان أبو حنيفة رحمه الله ربعة من الرجال ليس بالقصير ولا بالطويل وكان أحسن الناس منطقا وأحلاهم نغمة وأبينهم عما يريد
Abu Hanifah Rahimahullah laki-laki yang berperawakan ideal,
tidak pendek, dan tidak tinggi, dia adalah manusia yang paling bagus
tutur katanya, dan paling bagus suaranya ketika bersenandung, dan paling
bisa menerangkan kepada orang lain apa yang diinginkannya. (Akhbar Abi
Hanifah, Hal. 17, As Siyar, 6/399)
Dalam Al Adab Asy Syar’iyyah, Imam Ibnu Muflih berkata:
قَالَ صَاحِبُ الْمُحِيطِ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَرُوِيَ أَنَّ
أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ
أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ
أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي
الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُم
ْ
“Berkata pengarang Al Muhith dari kalangan Hanafiyah, dan diriwayatkan
bahwa Abu Hanifah Rahimahullah memakai mantel mahal seharga empat ratus
dinar, yang menjulur hingga sampai tanah. Maka ada yang berkata
kepadanya: Bukankah kita dilarang melakukan itu? Abu Hanifah menjawab:
Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk yang berlaku sombong, sedangkan
kita bukan golongan mereka. (Imam Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syariyyah,
Juz. 4, Hal. 226. Mawqi Al Islam)
Kisah ini menjadi petunjuk bahwa Imam Abu Hanifah
merupakan salah satu imam yang membolehkan Isbal (menjulurkan pakaian
hingga melebihi mata kaki), kecuali jika dibarengi dengan sombong
(khuyala’).
4. Kemampuannya dalam ilmu hadits
Imam Adz Dzahabi Rahimahullah bercerita:
وقال صالح بن محمد: سمعت يحيى بن معين يقول: كان أبو حنيفة
ثقة في الحديث، وروى أحمد بن محمد بن القاسم بن محرز، عن ابن معين: كان أبو
حنيفة لا بأس به. وقال مرة: هو عندنا من أهل الصدق، ولم يتهم بالكذب.
Shalih bin Muhammad berkata: Aku mendengar Yahya bin Ma’in
berkata: “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqah (terpercaya) dalam
hadits.” Ahmad bin Muhammad bin Al Qasim bin Mihraz meriwayatkan dari
Ibnu Main: Abu Hanifah laa basa bihi (tidak apa-apa). Dia berkata lagi:
Bagi kami dia adalah ahlus sidhqi (orang yang jujur), dan tidak dituduh
sebagai pendusta. (As Siyar, 6/395)
Namun, sebagian ulama ada yang mendhaifkannya dari sisi
hafalannya, seperti Imam An Nasai, Imam Ibnu Adi, dan lainnya. Imam Adz
Dzahabi sendiri menyebutnya sebagai Imam Ahl Ar Rayi. (Imamnya para
pengguna rasio). (Mizanul Itidal, 4/265)
Pendhaifan yang dilakukan oleh Imam An Nasa'i dan Imam Ibnu
Adi terhadap diri Imam Abu Hanifah, telah dikoreksi para ulama.
Cukuplah bagi kita pujian yang datangnya dari manusia yang hidup sezaman
dengannya, dan pernah bertemu dengannya pula, seperti Imam Abdullah
bin Mubarak, Imam Malik, Imam Ali bin Al Madini, Imam Yahya bin Adam,
Imam Al Hasan bin Shalih, dan lainnya, dibandingkan kritikan dari Imam
An Nasa'i dan Imam Ibnu Adi yang hidupnya satu sampai dua abad setelah
Imam Abu Hanifah.
Ahlur Ra'yi adalah orang yang lebih dominan menggunakan
ra'yu (pendapat-aql), dibanding atsar (naql). Oleh karenanya sebagian
orang menuduh Imam Abu Hanifah hanya sedikit menggunakan hadits,
dibanding akalnya sendiri. Ada yang menyebut bahwa Beliau hanya
menggunakan hadits sebanyak tujuh belas saja!
Namun hal ini disanggah oleh para ulama yang mengkaji
kehidupan Beliau secara objektif. Seperti Imam Ibnu Khaldun misalnya
dalam kitab Muqaddimah. Menurutnya, sedikitnya hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Abu Hanifah bukan karena Beliau menolak hadits, tetapi lebih
disebabkan karena kehati-hatian dan ketatnya syarat-syarat hadits shahih
yang ditetapkannya, berbeda dengan imam lainnya yang lebih longgar.
Bagaimana mungkin Beliau tidak menggunakan hadits, padahal Beliau telah
menjadi imamnya para imam, fuqaha, dan ahli hadits, sehingga Beliau
menjadi muassis (peletak dasar) madzhab Hanafi. Sebutlah para fuqaha
hanafi, seperti: Imam Muhammad bin Hasan, Al Qadhi Abu Yusuf, Imam
Kamaluddin bin Al Hummam, Imam Ibnu Abidin, dan lainnya. Juga para imam
ahli hadits seperti: Imam Abu Jafar Ath Thahawi, Imam Az Zaila'i, Imam
Al Marghinani, dan lainnya.
Ditambah lagi, Beliau menyusu ilmu pengetahuan dari
madrasah ilmiah di Kufah, yang sejak awalnya sudah difondasikan oleh
salah satu sahabat nabi, Abdullah bin Masud Radhiallahu Anhu, yang
memadukan hadits dan fiqih sekaligus. Dari madrasah ilmiah ini lahirlah
para imam tabiin, seperti Ibrahim An Nakhai, Hammad bin Abi Sulaiman,
dan Imam Abu Hanifah salah satunya di generasi setelah mereka.
Oleh karenanya, tepat apa yang dikatakan oleh Imam Yahya bin Ma’in tentang Beliau:
كَانَ أَبُو حَنِيْفَةَ ثِقَةً، لاَ يُحَدِّثُ بِالحَدِيْثِ إِلاَّ بِمَا يَحْفَظُه، وَلاَ يُحَدِّثُ بِمَا لاَ يَحْفَظ
ُ
Abu Hanifah adalah tsiqah, dia tidak akan berbicara dengan hadits
kecuali dengan yang dihafalnya, dan tidak akan berbicara dengan yang
tidak dihafalnya. (Tarjamah Al Aimmah Al Arba’ah, Hal. 9)
Imam Ibnu Khaldun Rahimahullah berkata:
والامام أبوحنيفة إنما قلت روايته لما شدد في شروط الرواية
والتحمل، وضعف رواية الحديث اليقيني إذا عارضها الفعل النفسي. وقلت من
أجلها روايته فقل حديثه. لا أنه ترك رواية الحديث متعمدا، فحاشاه من ذلك.
ويدل على أنه من كبإر المجتهدين في علم الحديث اعتماد مذهبه بينهم،
والتعويل عليه واعتباره رداً وقبولا. واما غيره من المحدثين وهم الجمهور،
فتوسعوا في الشروط وكثر حديثهم، والكل عن اجتهاد. وقد توسع اصحابه من بعده
في الشروط وكثرت روايتهم.
وروى الطحاوي فاكثر وكتب مسنده، وهو جليل القدر إلا أنه لا يعدل الصحيحين،
لأن الشروط التي اعتمدها البخاري ومسلم في كتابيهما مجمع عليها بين الأمة
كما قالوه. وشروط الطحاوي في غير متفق عليها، كالرواية عن المستور الحال
وغيره
Imam Abu Hanifah sedikit riwayat haditsnya sebab Beliau
sangat ketat dalam menetapkan syarat-syarat riwayat dan penakwilannya,
Beliau mendhaifkan hadits jika hadits tersebut dinilai bertentangan
dengan nalar secara meyakinkan. Maka dari itu Beliau telah mempersulit
dirinya sendiri, dan sedikitnya riwayat hadits darinya adalah karena hal
itu. Bukan karenan Beliau sengaja meninggalkan hadits, sungguh Beliau
jauh dari sikap itu.
Hal yang membuktikan bahwa Beliau seorang mujtahid besar dalam hadits
adalah bahwa para ulama telah menyandarkan diri mereka kepada
madzhabnya dan telah memberikan kepercayaan kepadanya.
Sedangkan para ahli hadits yang lain, yaitu jumhur (mayoritas), lebih
longgar dalam menetapkan syarat-syaratnya. Sehingga hadits mereka banyak
dan lapang dalam berijtihad. Namun demikian, para pengikut Abu Hanifah
lebih longgar dalam menetapkan syarat-syarat periwayatan, sehingga
hadits mereka juga banyak.
Ath Thahawi meriwayatkan paling banyak dan menulis Musnadnya, yaitu
kitab Jalilul Qadr. Tetapi belum sebanding dengan Shahihain (Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim). Sebab syarat-syarat yang ditetapkan oleh Al
Bukhari dan Muslim telah disepakati umat, sebagaimana yang mereka
katakan, sedangkan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Ath Thahawi belum
disepakati mereka. Seperti riwayat yang datangnya dari orang yang masih
tersembunyi keadaaanya dan lain-lainnya. (Imam Ibnu Khaldun, Muqaddimah,
Hal. 255. Mawqi’ Al Warraq)
5. Kesungguhannya memegang sunah nabi
Disebutkan dalam As Siyar:
وعن أبي معاوية الضرير قال: حب أبي حنيفة من السنة
Dari Abu Mu’awiyah Adh Dharir, katanya: “Abu Hanifah sangat
berkomitmen dengan sunah nabi.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar Alamin Nubala,
3/401)
Imam Abu Hanifah berkata:
ما جاء عن الرسول صلى الله عليه وسلم، فعلى الرأس والعين، وما جاء عن الصحابة اخترنا، وما كان من غير ذلك، فهم رجال ونحن رجال.
Apa-apa yang datang dari Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam wajib bagi mata dan kepala untuk mengikutinya, dan yang datang
dari para sahabat maka kami akan memilihnya, dan yang datang dari selain
mereka, maka mereka laki-laki kami pun laki-laki. (Ibid)
Maksudnya jika sebuah permasalahan terhenti pada pendapat
tabi'in, tidak ada hadits, tidak pula perkataan sahabat, yang ada adalah
perkataan setelah mereka yakni tabiin, maka Beliau akan berijtihad
sebab Beliau juga laki-laki yang memiliki kemampuan sebagaimana mereka.
6. Akhlak dan Ibadahnya
Asad bin Amru berkata:
أن أبا حنيفة، رحمه الله، صلى العشاء والصبح بوضوء أربعين سنة
Bahwa Abu Hanifah Rahimahullah melakukan shalat isya dan subuh dengan sekali wudhu selama 40 tahun. (Ibid, 6/399)
Al Qadhi Abu Yusuf menceritakan:
بينما أنا أمشي مع أبي حنيفة، إذ سمعت رجلا يقول لآخر: هذا
أبو حنيفة لا ينام الليل. فقال أبو حنيفة: والله لا يتحدث عني بما لم أفعل.
فكان يحيى الليل صلاة وتضرعا ودعاء.
Ketika saya sedang berjalan bersama Abu Hanifah, saya
mendengar seseorang berkata kepada yang lain: “Inilah Abu Hanifah, dia
tidak pernah tidur malam. Lalu Abu Hanifah berkata: Demi Allah, Dia
tidak membicarakan tentang aku dengan apa-apa yang aku tidak pernah
lakukan. Maka Beliau senantiasa menghidupkan malam dengan penuh
kerendahan dan banyak berdoa. (Ibid)
Imam Abdullah bin Al Mubarak berkata:
ما رأيت رجلا أوقر في مجلسه، ولا أحسن سمتا وحلما من أبي حنيف
ة
Saya belum pernah melihat seorang laki-laki yang lebih berwibawa di
majelisnya, dan tidak ada yang lebih bagus diam dan sabarnya dibanding
Abu Hanifah. (Ibid, 6/400)
Al Mutsanna bin Raja’ berkata:
جعل أبو حنيفة على نفسه، إن حلف بالله صادقا، أن يتصدق بدينار. وكان إذا أنفق على عياله نفقة تصدق بمثلها.
Abu Hanifah telah bersumpah kepada Allah dengan
sebenar-benarnya bahwa dia akan bersedekah dengan dinar, yaitu jika dia
telah membelanjakan sejumlah uangnya untuk keluarganya, maka dia akan
menyedekahkan uang sebanyak itu pula. (Ibid)
Imam Adz Dzahabi menyebutkan berbagai pujian ulama tentang akhlak dan ibadahnya Imam Abu Hanifah:
وعن شريك قال: كان أبو حنيفة طويل الصمت، كثير العقل. وقال
أبو عاصم النبيل: كان أبو حنيفة يسمى الوتد لكثرة صلاته. وروى بن إسحاق
السمرقندي، عن القاضي أبي يوسف قال: كان أبو حنيفة يختم القرآن كل ليلة في
ركعة. يحيى بن عبدالحميد الحماني، عن أبيه أنه صحب أبا حنيفة ستة أشهر،
قال: فما رأيته صلى الغداة إلا بوضوء عشاء الآخرة، وكان يختم كل ليلة عند
السحر.
Dari Syarik, dia berkata: “Imam Abu Hanifah lama diamnya
dan banyak akalnya (cerdas).” Berkata Abu ‘Ashim An Nail: “Abu Hanifah
juga dinamakan Al Watid karena banyak shalatnya.” Ibnu Ishaq As
Samarqandi meriwayatkan dari Al Qadhi Abu Yusuf: Abu Hanifah
mengkhatamkan Al Quran setiap malam dalam satu rakaat. Yahya bin Abdul
Hamid Al Himani, dari ayahnya bahwa Dia menemani Abu hanifah selama enam
bulan, dia berkata: Aku belum pernah melihatnya shalat subuh melainkan
dengan wudhu shalat isya, dan dia senantiasa mengkhatamkan Al Quran
setiap malam pada waktu sahur. (Ibid)
Diriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah telah mengkhatamkan Al Quran 7000 kali. (Ibid)
Imam Adz Dzahabi juga menceritakan:
عن القاسم بن معن، أن أبا حنيفة قام ليلة يردد قوله تعالى:
(بل الساعة موعدهم والساعة أدهى وأمر) [ القمر: 46 ] ويبكي ويتضرع إلى
الفجر.
Dari Al Qasim bin Mu’in, bahwa Imam Abu Hanifah bangun
untuk shalat malam dan mengulang-ulang firman Allah Ta’ala: (sebenarnya
hari kiamat Itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu
lebih dahsyat dan lebih pahit. (QS. Al Qamar: 46), lalu Beliau menangis
dan tertunduk hingga fajar. (Ibid, 6/401)
Yazid bin Harun berkata:
ما رأيت أحدا أحلم من أبي حنيفة.
Saya belum pernah melihat seorang pun yang lebih penyabar dibanding Abu Hanifah. (Ibid)
7. Sanjungan ulama terhadap ilmu dan kecerdasannya
Hayyan bin Musa Al Marwadzi berkata:
سئل ابن المبارك: مالك أفقه، أو أبو حنيفة ؟ قال: أبو حنيفة.
Ibnul Mubarak ditanya: “Mana yang lebih faham tentang fiqih, Malik atau Abu Hanifah? Beliau berkata: Abu Hanifah.” (Ibid, 6/402)
Imam Yahya Al Qaththan berkata:
لا نكذب الله، ما سمعنا أحسن من رأي أبي حنيفة، وقد أخذنا بأكثر أقواله
Kami tidak membohongi Allah, kami belum pernah mendengar
pendapat yang lebih baik dibanding pendapat Abu Hanifah, dan kami telah
mengambil lebih banyak dari pendapatnya. (Ibid)
Disebutkan oleh Imam Adz Dzahabi:
وقال علي بن عاصم: لو وزن علم الامام أبي حنيفة بعلم أهل زمانه، لرجح عليهم.
وقال حفص بن غياث: كلام أبي حنيفة في الفقه، أدق من الشعر، لا يعيبه إلا جاهل.
وقال جرير: قال لي مغيرة: جالس أبا حنيفة تفقه، فإن إبراهيم النخعي لو كان حيا لجالسه.
وقال ابن المبارك: أبو حنيفة أفقه الناس. وقال الشافعي: الناس في الفقه عيال على أبي حنيفة
Berkata Ali bin ‘Ashim: “Seandainya ditimbang ilmu Imam Abu
Hanifah dengan ilmu manusia yang hidup pada zamannya, niscaya ilmunya
lebih berat dibanding mereka.
Berkata Hafsh bin Ghiyats: Perkataan Abu Hanifah dalam fiqih, lebih
dalam dibanding syair, dan tidak ada yang meng-aibkan dirinya melainkan
orang bodoh.
Jarir berkata: Mughirah berkata kepadaku: Duduklah bersama Abu Hanifah
niscaya kau akan mengerti, sungguh seandainya Ibrahim An Nakhai hidup
niscaya dia (Ibrahim) akan duduk dihadapannya (untuk belajar).
Ibnul Mubarak berkata: Abu Hanifah adalah manusia paling paham tentang fiqih.”
Asy Syafi’i berkata: “Dalam fiqih, manusia (para ulama) adalah satu keluarga dengan Abu Hanifah.” (Ibid, 6/403)
Imam Asy Syafi’i berkata:
قيل لمالك: هل رأيت أبا حنيفة ؟ قال: نعم. رأيت رجلا لو كلمك في هذه السارية أن يجعلها ذهبا لقام بحجته.
Ditanyakan kepada Imam Malik: “Apakah engkau pernah melihat
Imam Abu Hanifah? Beliau berkata: “Ya, aku melihat seorang laki-laki
yang jika dia mengatakan kepadamu bahwa dia ingin menjadikan tiang ini
emas, maka itu akan terjadi karena hujjah yang dimilikinya.” (Ibid,
6/399)
Imam Abdullah bin Al Mubarak berkata:
لولا أن الله أعانني بأبي حنيفة وسفيان، كنت كسائر الناس.
Kalau bukan pertolongan Allah kepadaku melalui Abu Hanifah
dan Sufyan Ats Tsauri, niscaya aku sama saja dengan kebanyakan manusia
(awam). (Ibid, 6/398)
Beliau juga berkata:
إن كان الأثر قد عرف واحتيج إلى الرأي فرأي مالك وسفيان وأبي
حنيفة وأبو حنيفة أحسنهم وأدقهم فطنة وأغوصهم على الفقه وهو أفقه الثلاثة
Walau pun atsar sudah diketahui, berhujahlah dengan
pendapat juga yaitu pendapat Malik, Sufyan, dan Abu Hanifah. Pendapat
Abu Hanifah adalah terbaik diantara mereka, lebih detil kecerdasannya,
lebih dalam fiqihnya, dan dia lebih faqih di antara bertiga itu.
(Akhbar Abi Hanifah, hal. 84)
Muhammad bin Bisyr berkata: Aku pernah bergantian
mengunjungi Sufyan Ats Tsauri dan Abu Hanifah. Ketika aku mendatangi Abu
Hanifah dia bertanya: Dari mana kamu? Aku jawab: Aku datang dari sisi
Sufyan Ats Tsauri. Abu Hanifah menjawab: Engkau datang dari sisi seorang
laki-laki yang sendainya Alqamah dan Al Aswad melihat semisal orang itu
(maksudnya Sufyan), maka mereka berdua akan berhujjah dengannya. Lalu
aku mendatangi Sufyan Ats Tsauri, dia bertanya: Dari mana kamu? Aku
jawab: Aku datang dari sisi Abu Hanifah. Sufyan menjawab: Engkau datang
dari sisi seorang yang paling faqih di antara penduduk bumi. (Tarikh
Baghdad, 15/459)
Syadad bin Hakim berkata:
ما رأيت أعلم من أبي حنيف
ة
Aku belum pernah melihat orang yang lebih berilmu dibanding Abu Hanifah.
(Ath Thabaqat As Sunniyah fi Tarajim Al Hanafiyah, Hal. 29)
Abdullah bin Daud pernah berkomentar tentang orang yang suka menggunjingkan Imam Abu Hanifah:
لايتكلم فِي أبي حنيفَة إِلَّا أحد رجلَيْنِ إِمَّا حَاسِد لعلمه وَإِمَّا جَاهِل بِالْعلم
ِ
Tidak ada yang menggunjingkan Abu Hanifah melainkan satu di antara dua
laki-laki: orang yang dengki terhadap ilmunya, dan orang yang bodoh
terhadap keilmuannya. (Imam Al Husein bin Ali bin Muhammad Al Hanafi,
Akhbar Abi Hanifah, Hal. 64)
Bisyar bin Qirath menceritakan tentang kedudukan Imam Abu Hanifah dan Imam Sufyan Ats Tsauri:
حججْت مَعَ أبي حنيفَة وسُفْيَان فَكَانَا إِذا نزلا منزلا
أَو بَلْدَة اجْتمع عَلَيْهِمَا النَّاس وَقَالُوا فَقِيها الْعرَاق
فَكَانَ سُفْيَان يقدم أَبَا حنيفَة وَيَمْشي خَلفه وَإِذا سُئِلَ عَن
مَسْأَلَة وأبوحنيفة حَاضر لم يجب حَتَّى يكون أَبُو حنيفَة هُوَ الَّذِي
يُجيب
Aku haji bersama Abu Hanifah dan Sufyan, jika mereka berdua
berhenti di sebuah tempat atau negeri manusia berkumpul mengelilingi
mereka, mereka bilang: Ahli Fiqihnya Irak (maksudnya Abu Hanifah).
Sufyan lebih mendahulukan Abu Hanifah, dia berjalan di belakangnya dan
jika dia ditanya sebuah masalah dan hadir di situ Abu Hanifah, dia tidak
akan menjawabnya sampai Abu Hanifah-lah yang menjawabnya. (Ibid, Hal.
73)
8. Kata-kata hikmah dari Imam Abu Hanifah
Banyak kata-kata hikmah yang disandarkan sebagai ucapannya, di antaranya:
إذا ثبت الحديث فهو مذهبي واتركوا قولي بقول رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
َ
Jika ada hadits yang kuat, maka hadits itu adalah pendapatku, dan
tinggalkanlah perkataanku dan gantilah dengan perkataan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Syaikh Abdul Hay bin Fakhruddin Al
Hasani Ath Thaalibi, Nuz-hah Al Khawaathir, 6/707)
Dalam keterangan lain, ada beberapa kata-kata hikmah yang juga disandarkan kepada Beliau:
لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا ما لم يعلم من أين أخذناه. وقال:
حرام على من لم يعرف دليلي أن يفتي بكلامي؛ فإننا بشر نقول القول اليوم
ونرجع عنه غدا . وكذلك قال: إذا قلت قولا يخالف كتاب الله تعالى وخبر
الرسول فاتركوا قولي
“Tidak halal bagi seorang pun yang mengambil pendapat kami selama dia belum tahu dari mana kami mengambil pendapat kami itu.
Beliau juga berkata: Haram atas siapa pun yang tidak
mengetahui dalilku lalu dia berfatwa dengan fatwaku, karena kami juga
manusia yang bisa berpendapat pada hari ini lalu kami meralatnya esok
hari.
Beliau juga berkata: Jika pendapatku bertentangan dengan Kitabullah dan
Sunah Rasulullah, maka
tinggalkanlah pendapatku. (Syaikh Masud An
Nadwi, Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlih Mazhlum wa Muftara Alaih, Hal.
55. Cat kaki No. 2)
9. Kehebatan dalam berdebat
Ada peristiwa unik dan mengagumkan tentang Imam Abu Hanifah
dalam hal ini, sebagaimana diceritakan Imam Adz Dzahabi. Khalifah Al
Manshur hendak menjadikannya sebagai seorang pejabat tinggi, yaitu
sebagai Qadhi (semacam hakim agung saat itu). Raja memaksanya, namun
Imam Abu Hanifah menolaknya.
Mughits bin Budail bercerita, bahwa Al Manshur memanggil
Imam Abu Hanifah untuk dijadikan sebagai Qadhi (hakim agung), maka
terjadilah dialog:
فَقَالَ: أَتَرغَبُ عَمَّا نَحْنُ فِيْهِ؟, فَقَالَ: لاَ أَصْلُحُ. قَالَ: كَذَبتَ.
Berkata Khalifah: “Maukah kamu menduduki jabatan yang sekarang dibebankan kepadaku?”
Imam Abu Hanifah menjawab: “Saya tidak layak.”
Khalifah menimpali: “Bohong kamu!”
Lalu di antara jawaban Abu Hanifah yang membuat Khalifah tidak bisa
berkata-kata, dan menunjukkan kehebatan Abu Hanifah dalam berdebat dan
ilmu logika, seperti yang diriwayatkan oleh Ar Raabi’ Al Haajib berikut
ini:
قَالَ أَبُو حَنِيْفَةَ: وَاللهِ مَا أَنَا بِمَأْمُوْنِ الرِّضَى، فَكَيْفَ أَكُوْنُ مَأْمُوْنَ الغَضَبِ، فَلاَ أَصلُحُ لِذَلِكَ.
قَالَ المَنْصُوْرُ: كَذَبتَ، بَلْ تَصلُحُ.
فَقَالَ: كَيْفَ يَحِلُّ أَنْ تُوَلِّيَ مَنْ يَكْذِب
ُ
Abu Hanifah menjawab: “Demi Allah, jika dalam keadaan senang saja aku
tidak amanah, maka bagaimana bisa amanah jika aku sedang marah? Pokoknya
aku tidak layak!
Al Manshur berkata: Bohong kamu!
Abu Hanifah menjawab lagi: Kalau begitu, bagaimana bisa Anda menjadikan
seorang pembohong sebagai hakim? (Siyar Alamin Nubala, 6/402)
Ya, kalau memang sudah tahu aku ini pembohong kok masih
diangkat juga sebagai hakim? Inilah jawaban Abu Hanifah untuk mengelak
menjadi seorang pejabat negara.
10. Wafatnya
Beliau meninggal di Baghdad, pada usia 70 tahun ( bulan
Rajab atau Syaban tahun 150H), meninggalkan seorang anak bernama Hammad.
Wafatnya disebabkan diberikan minuman beracun secara paksa, dan
peristiwa tersebut terjadi dihadapan Khalifah Al Manshur. Bisyr bin Al
Waalid mengatakan: Abu Hanifah wafat di penjara dan dikuburkan di
pekuburan Al Khaiziran. Yaqub bin Syaibah mengatakan: Aku dikabarkan
bahwa Beliau wafat dalam keadaan sujud.
Ketika dikuburkan masih banyak orang menshalatkan di kuburnya termasuk
Khalifah Al Manshur, hingga sampai 20 hari masih banyak yang
menshalatkannya. Ini menunjukkan keagungan Imam Abu Hanifah di sisi
manusia saat itu.
Pada malam ketiga setelah Beliau dikuburkan, ada sebuah suara yang bersyair:
ذهب الْفِقْه فَلَا فقه لكم ... فَاتَّقُوا الله وَكُونُوا خلفا مَاتَ نعْمَان فَمن هَذَا الَّذِي ... يحيى اللَّيْل إِذا مَا سجف
ا
Telah pergi fiqih maka tidak ada lagi fiqih bagi kalian ...
Takutlah kalian kepada Allah dan jadilah pengikut di belakang ...
Nu’man telah wafat..lalu siapakah orangnya yang menghidupkan malam ketika tabir telah diturunkan?
(Akhbar Abi Hanifah, Hal. 94)
Demikian. Wallahu A'lam
(Bersambung Insya Allah ke Biografi Imam Malik bin Anas Radhiallahu Anhu) - F N