Senin, 18 Mei 2015

Nasehat imam Ali bin Abi Thalib

قال: الامام علي بن ابي طالب :
Imam Ali bin Abi Thalib berkata:

أمران لا يدومان للمؤمن :
" شبابه وقوته "
Dua hal yang tidak akan kekal dalam diri seorang mukmin: "masa mudanya dan kekuatannya."

وأمران ينفعان كل مؤمن :
" حسن الخلق وسماحة النفس "
Dan dua hal yang berguna untuk setiap mukmin: "akhlak yang mulia dan jiwa yang lapang".

وأمران يرفعان شأن المؤمن :
" التواضع وقضاء حوائج الناس "
Dan dua hal pula yang akan mengangkat derajat seorang mukmin: "sikap tawadhu (rendah hati) dan menolong kesulitan orang lain".

وأمران يدفعان البلاء :
" الصدقة وصلة الأرحام "
Dan dua hal pula yang menjadi penolak bala': "sedekah dan silaturahmi"

###

ثلاث مراحل مضحكة في الحياة...!!

١) سن المراهقة :
تملك الوقت + الطاقة
لكن ليس لديك المال
٢) مرحله العمل :
تملك المال + الطاقة
لكن ليس لديك الوقت
٣) مرحلة الشيب :
تملك المال + الوقت
لكن ليس لديك الطاقة
Ada tiga fase hidup yang tampak lucu:

1. Masa puber: anda punya waktu dan kekuatan tetapi tidak punya uang.

2. Masa bekerja: anda punya harta dan kekuatan, tetapi tidak punya waktu.

3. Masa tua: anda punya harta dan punya waktu, tetapi tidak punya kekuatan.

هذة هي الحياة .....
عندما تمنحك شيئا...
تسلب منك شيئا اخر ....
Inilah kehidupan, ketika kita mendapat sebuah karunia. Maka akan hilang karunia lainnya.

دائما تعتقد إن حياة الاخرين
هي افضل من حياتنا ..!!!
Anda selalu yakin bahwa kehidupan orang lain, selalu lebih baik dari kehidupan kita !!!

والاخرون يعتقدون إن حياتنا افضل ..
Dan orang lain pun meyakini, bahwa kehidupan kita lebih baik darinya.

كل ذلك لاننا نفقد شي مهم في حياتنا وهي :

. ( القناعه ) .
Hal itu dikarenakan kita melupakan hal terpenting dalam hidup kita, yaitu bersikap Qanaah (mensyukuri apa yang kita miliki).

لو كان هناك محلات لبيع السعادة
لوجدت البشر يتھافتون عليھا ..
ويشترونھا بِأغلى الاثمان ..
لكنھم يجھلون بـ إنھا المساجد ..
Seandainya ada toko yang menjual kebahagiaan, anda akan melihat orang-orang akan berebut mendatanginya. Kemudian membelinya meskipun mahal harganya. Mereka melupakan bahwa kebahagiaan itu dengan menyempurnakan shalat di masjid..

Jumat, 15 Mei 2015

Kekuatan mimpi sang Pemimpin

Jika kita mendengar nama Umar bin Abdul Aziz, yang terbayang oleh kita adalah sosok pemimpin yang taqwa, zuhud, ahli ibadah, adil, tegas, bijaksana, hati-hati, dan dicintai rakyatnya.

Tidak banyak yang tahu bahwa di masa mudanya, Umar bin Abdul Aziz memiliki gaya hidup "istana", penuh dengan kemewahan, bergelimang harta dan fasilitas.
Sesuatu yang bertolak belakang dengan kemasyhuran kisah zuhudnya.

Umar adalah putra Abdul Aziz, dan Abdul Aziz adalah putra Marwan bin al-Hakam. Paman dan sekaligus mertuanya adalah Abdul Malik bin Marwan, salah seorang khalifah Bani Umayyah yang sangat terkenal.

Karena itu, wajar kalau waktu itu banyak gadis yang menjadikan Umar bin Abdul Aziz sebagai idola mereka.

Umar bin Abdul Aziz adalah seorang pemuda yang sangat kuat bercita-cita. Ia memiliki mimpi-mimpi besar dalam sepanjang sejarah hidupnya.

Sewaktu masih lajang, cita-citanya adalah menikahi Fathimah binti Abdul Malik bin Marwan, gadis cantik anak Khalifah yang sangat terkenal.

Maka ia persiapkan dirinya dengan serius, agar dapat merebut hati Fathimah binti Abdul Malik. Cita-citanya terkabul.

Akhirnya ia berhasil menikahi Fathimah.

Setelah itu, mimpi besarnya adalah ingin menjadi Gubernur Madinah. Sebuah jabatan sangat bergengsi pada zaman itu, dan paling banyak diminati oleh keluarga besar Bani Umayyah.

Maka ia pun mempersiapkan diri dengan serius, agar pilihan sang Khalifah jatuh kepada dirinya untuk
menjadi Gubernur Madinah.

Mimpi ini pun berhasil ia dapatkan.
Ia dilantik menjadi Gubernur Madinah.

Sukses menjadi Gubernur Madinah, ia pun bercita-cita ingin menjadi Khalifah. Sebuah posisi kepemimpinan tertinggi bagi kaum muslimin.

Ia pun persiapkan diri dengan serius untuk mewujudkan cita-citanya.

Subhanallah. Cita-cita itupun terwujud. Ia dilantik menjadi Khalifah.

Karena sudah tidak ada lagi cita-cita duniawi yang lebih tinggi dari Khalifah, maka setelah menjadi Khalifah, ia bercita-cita ingin masuk surga Allah SWT.

Untuk itu dipilihlah gaya hidup baru sebagai jalan untuk menggapai cita-cita tertinggi itu.

Gaya hidup baru ini adalah : zuhud!
Seluruh harta yang dimiliki ia jual, hasilnya diserahkan ke baitul mal negara. Sebagai seorang khalifah, ia
hanya mengambil gaji dua dirham perhari, atau 60 dirham perbulan.
Setelah menjadi Khalifah, justru ia hidup sebagai seorang yang sangat miskin, dan penampilannya pun tidak lagi megah dan mewah seperti dahulu.

Pada fase inilah seluruh kisah kesederhanaan, keadilan, kehati-hatian, ketegasan Khalifah Umar
menjadi sangat masyhur. Bahkan akhirnya menjadi legenda abadi tentang kehebatan seorang
pemimpin.

Subhanallah. Sebuah fase kehidupan yang sangat indah. Ada visi, mimpi, cita-cita, etos kerja, mental pejuang, jiwa pemberani sebagai anak muda.
Dan ia sukses meraih mimpi-mimpi besarnya.
Namun pada akhirnya ia memberikan keteladanan nyata, tunduk menghamba kepada Allah dengan sangat luar biasa. Mengabdi untuk kepentingan rakyat tanpa henti.
Menjadi Khalifah yang adil dan dicintai.
Surga Allah telah disediakan untuknya....

#Cahyadi Takariawan

Ujian itu ada di titik kelemahan

Sebait Taujih dari Ustadz Rahmat Abdullah (Alm.)
Sebait catatan taujih Ustadz Rahmat Abdullah (alm):

Setiap kita akan senantiasa diuji oleh Allah SWT pada titik-titik kelemahan kita.

Orang yang lemah dalam urusan uang namun kuat terhadap fitnah jabatan dan wanita tidak akan pernah diuji dengan wanita atau jabatan.

Tetapi orang yang lemah dalam urusan wanita namun kuat dalam urusan uang tidak akan pernah diuji dengan masalah keuangan.

Orang yang mudah tersinggung dan gampang marah akan senantiasa dipertemukan oleh Allah dengan orang yang akan membuatnya tersinggung dan marah sampai ia bisa memperbaiki titik kelemahannya itu sehingga menjadi tidak mudah tersinggung dan tidak pemarah.

Orang yang selalu berlambat- lambat menghadiri liqoat dakwah karena alasan ‘istri, anak, mertua, tamu akan senantiasa dipertemukan dengan perkara mertua datang, tamu datang silih berganti di saat ia akan berangkat.

Terus begitu sampai ia memilih prioritas bagi aktifitasnya apakah kepada dakwah atau kepada perkara-perkara lain.

Maka tergolong yang manakah engkau wahai saudaraku?

Nikmatilah jalan ini dengan CINTA


Menapaki jalan dakwah memang (kadang) menjemukan, melelahkan,  bahkan bisa mengecewakan.
Tapi, jika kita Menapaki nya dg cinta, maka yg ada hanya kenikmatan dalam Mengarunginya.

cinta membuat semua kesibukan2 yg ada itu terasa mengasyikkan.
Tanpa cinta, upaya yang menghabiskan waktu dan tenaga memang terasa melelahkan. Dengan cinta, segala keletihan berubah menjadi keasyikan. Semakin keras berupaya, semakin asyik rasanya.

Tapi ada yg berpendapat, cinta itu mudah datang dan pergi. Kadang kita aktif dengan penuh semangat dan cinta, kemudian esoknya menjadi sangat malas dan bosan.

jawaban nya : itu namanya bukan cinta tetapi mood. Orang yang moody memang cepat berubah-ubah. Seperti bandul pendulum. Kadang mengayun ke kanan menjadi sangat rajin berdakwah. Sebentar kemudian minatnya menurun, sampai ke sudut kiri, terjerumus dalam dosa-dosa. Kemudian menyesal, kembali aktif, kemudian bosan, kembali malas dan seterusnya.

obat bagi orang yang moody adalah disiplin dalam arti ‘memaksakan diri’. Jangan ikuti kemalasan. Lawan kemalasan.

Mengenal Imam Mazhab : Imam ABU HANIFAH

1.  .Nama dan Nasab

Imam Adz Dzahabi berkata: Dia seorang Imam, faqihul millah (ahli fiqihnya millah ini), ulamanya Iraq, Abu Hanifah Numan bin tsabit bin Zautha, At Taimi, Al Kufi, Maula Bani Tayyimullah bin Tsalabah. Disebutkan juga bahwa beliau keturunan Persia. (Siyar Alamin Nubala, 6/390)
Syaikh At Taqi Al Ghazi berkata: Dialah imamnya para imam, penerang bagi umat, lautan ilmu dan keutamaan, ulamanya Iraq, ahli fiqih dunia seluruhnya, orang setelahnya menjadi lemah di hadapannya, dan yang semasanya, belum pernah mata melihat yang semisalnya, belum ada seorang mujtahid mencapai derajat  seperti kesempurnaan dan keutamaannya. (Ath Thabaqat As Sunniyah fi Tarajim Al Hanafiyah, Hal. 24)

Beliau adalah Abu Hanifah Numan bin Tsabit bin Zutha dengan huruf zay yang didhammahkan dan tha difathahkan- inilah yang masyhur. Ibnu Asy Syahnah menukil dari gurunya Majduddin Al Fairuzzabadi dalam Thabaqat Al Hanafiyah: bahwa huruf zay difathahkan dan tha juga difathahkan (jadi bacanya Zautha), sebagaimana Sakra. Dahulu Zautha adalah seorang raja dari Bani Tayyimullah bin Tsalabah. (Ibid)

Syaikh At Taqi Al Ghazi juga berkata: Terjadi perselisihan pendapat tentang asal daerahnya: ada yang mengatakan dari Kaabil, ada pula yang menyebut Baabil, ada yang menyebut Nasaa, ada yang mengatakan Tirmidz, ada juga yang menyebut Al Anbar, dan lainnya.

Sirajuddin Al Hindi menyebutkan bahwa cara kompromis dari semua riwayat ini adalah bahwa kakek Beliau berasal dari Kaabil, lalu pindah ke Nasaa, lalu ke Tirmidz, atau ayahnya dilahirkan di Baabil, lalu dia dibesarkan di Al Anbar, dan seterusnya. Ibnu Asy Syahnah mengatakan: kompromis seperti ini sebenarnya berasal dari Khathib Khawarizmi. Lalu dia mengatakan: sebagaimana Abu Al Maali Al Fadhl  bin Sahl Al Isfirayini, karena ayahnya berasal dari Isfirayin, dan dia dilahirkan di Mesir, besar di Halab, lalu mukim di Baghdad, dan wafat di sana, sehingga disebutkan untuk dia: Al Mishri, Al Halabi, dan Al Baghdadi.  (Ibid. Lihat juga Al Qadhi Abu Abdillah Husein bin Ali Ash Shimari, Akhbar Abi Hanifah, Hal. 15-16)

Dia dinamakan Hanifah karena sering membawa  tinta, yang di Iraq dikenal dengan sebutan Hanifah. Beliau juga dijuluki Imamul Azham, dan telah banyak kitab para ulama yang menyebutnya demikian, seperti kitab: Manaqib Imam Al Azham Abi Hanifah, Al Khairat Al Hissan fi Manaqib Al Imam Al Azham Abi Hanifah An Numan, dan lainnya.

Ada seseorang yang menulis di Indonesia yakni Andi Bangkit (buku: Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin) , bahwa dia  menolak fakta bahwa Imam Abu Hanifah dijuluki Imamul A'zham oleh para ulama, dengan alasan karena Imamul A'zham adalah sebutan untuk Khalifah, dan karena Imam Abu Hanifah bukan Khalifah, maka dia bukan Imamul A'zham. Jelas bahwa itu adalah penolakan yang mengada-ada dan sangat ceroboh, sebab sebutan Imamul A'zham pada kenyataan sejarah bukan hanya untuk Khalifah, bahkan selain Imam Abu Hanifah pun para ulama juga juga menyebut Imam Asy Syafi'i  dengan Imamul A'zham. Imam Abul Fadhl Fakhrurrazi menyusun sebuah kitab berjudul: Manaqib Al Imam Al Azham Asy Syafi'i. (Lihat Akhbar Ulama bi Akhbaril Hukama, Hal. 124. Mawqi Al Warraq)

2.  Kelahirannya

Beliau dilahirkan tahun 80 Hijriyah, ada juga yang menyebut 61 Hijriyah seperti dikatakan Muzahim bin Daud bin Uliyah, tetapi yang shahih dan masyhur adalah 80 Hijriyah. Telah dikatakan oleh anaknya sendiri yakni Hammad, lalu Abu Nuaim, bahwa Beliau dilahirkan tahun 80 Hijriyah.  (Thabaqat As Sunniyah fi Tarajim Al Hanafiyah, Hal. 25. Akhbar Abi Hanifah, Hal. 16-17)
Imam Adz Dzahabi mengatakan: Lahir tahun 80 hijriyah, pada masa shigharush shahabah (sahabat nabi yang junior), dan sempat melihat Anas bin Malik ketika Anas datang ke kota Kufah. (As Siyar, 6/391)

Imam Abu Hanifah sempat berjumpa dengan beberapa sahabat nabi, yakni Abdullah bin Al Haarits dan Beliau mengambil hadits darinya, Abdullah bin Abi Aufa, dan Abu Thufail Amir bin Watsilah. Beliau berjumpa dengan Anas bin Malik tahun 95 Hijriyah, dan meriwayatkan  hadits darinya, serta bertanya kepadanya tentang sujud sahwi.  (Akhbar Abi Hanifah, Hal. 18-19)
Bahkan Ismail, cucu dari Imam Abu Hanifah, menceritakan:
ولد جدي في سنة ثمانين، وذهب ثابت إلى علي وهو صغير، فدعا له بالبركة فيه و في ذريته، ونحن نرجو من الله أن يكون استجاب ذلك لعلي رضي الله عنه فينا.

Kakekku dilahirkan tahun 80 Hijriyah, dan Tsabit (ayah Abu Hanifah) pergi mendatangi Ali bin Abi Thalib, saat itu dia masih kecil, lalu Ali mendoakannya dengan keberkahan untuknya dan keturunannya, dan kami mengharapkan kepada Allah agar mengabulkan hal itu, karena doa Ali Radhiallahu Anhu pada kami. (As Siyar, 6/395)

3. Sifat-Sifat dan Penampilannya

Imam Abu Nu'aim menceritakan bahwa Imam Abu Hanifah berparas tampan, jenggotnya rapi, pakaiannya bagus, sendalnya bagus, dan dermawan bagi orang di sekelilingnya. (Akhbar Abi Hanifah, Hal. 16)
Imam Abdullah bin Al Mubarak berkata:
ما كان أوقر مجلس أبي حنيفة كان يتشبه الفقهاء به وكان حسن السمت حسن الوجه حسن الثوب
Tidak ada yang seberwibawa majelisnya Abu Hanifah, dahulu para ahli fiqih menirunya, dia berperilaku baik, wajahnya bagus, dan pakaiannya bagus. (Ibid, Hal. 17)
Beliau adalah penenun sutera, dan menjualnya, dia memiliki toko yang terkenal di rumahnya Amru bin Huraits. (As Siyar, 6/394)

Salah seorang kawan dan muridnya, Imam Abu Yusuf bercerita:
كان أبو حنيفة رحمه الله ربعة من الرجال ليس بالقصير ولا بالطويل وكان أحسن الناس منطقا وأحلاهم نغمة وأبينهم عما يريد
Abu Hanifah Rahimahullah laki-laki yang berperawakan ideal, tidak pendek, dan tidak tinggi, dia adalah manusia yang paling bagus tutur katanya, dan paling bagus suaranya ketika bersenandung, dan paling bisa menerangkan kepada orang lain apa yang diinginkannya. (Akhbar Abi Hanifah, Hal. 17, As Siyar, 6/399)
Dalam Al Adab Asy Syar’iyyah, Imam Ibnu Muflih berkata:
قَالَ صَاحِبُ الْمُحِيطِ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُم
ْ
“Berkata pengarang Al Muhith dari kalangan Hanafiyah,  dan diriwayatkan bahwa Abu Hanifah Rahimahullah memakai mantel mahal seharga empat ratus dinar, yang menjulur hingga sampai tanah. Maka ada yang berkata kepadanya: Bukankah kita dilarang melakukan itu? Abu Hanifah menjawab: Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk yang berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka. (Imam Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syariyyah, Juz. 4, Hal. 226. Mawqi Al Islam)

Kisah ini menjadi petunjuk bahwa Imam Abu Hanifah merupakan salah satu imam yang membolehkan Isbal (menjulurkan pakaian hingga melebihi mata kaki), kecuali jika dibarengi dengan sombong (khuyala’).

4.  Kemampuannya dalam ilmu hadits

Imam Adz Dzahabi Rahimahullah bercerita:
وقال صالح بن محمد: سمعت يحيى بن معين يقول: كان أبو حنيفة ثقة في الحديث، وروى أحمد بن محمد بن القاسم بن محرز، عن ابن معين: كان أبو حنيفة لا بأس به. وقال مرة: هو عندنا من أهل الصدق، ولم يتهم بالكذب.
Shalih bin Muhammad berkata: Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata: “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqah (terpercaya) dalam hadits.” Ahmad bin Muhammad bin Al Qasim bin Mihraz meriwayatkan dari Ibnu Main: Abu Hanifah laa basa bihi (tidak apa-apa). Dia berkata lagi: Bagi kami dia adalah ahlus sidhqi (orang yang jujur), dan tidak dituduh sebagai pendusta. (As Siyar, 6/395)

Namun, sebagian ulama ada yang mendhaifkannya dari sisi hafalannya, seperti Imam An Nasai, Imam Ibnu Adi, dan lainnya. Imam Adz Dzahabi sendiri menyebutnya sebagai Imam Ahl Ar Rayi. (Imamnya para pengguna rasio).  (Mizanul Itidal, 4/265)

Pendhaifan yang dilakukan oleh Imam An Nasa'i dan Imam Ibnu Adi terhadap diri Imam Abu Hanifah, telah dikoreksi para ulama. Cukuplah bagi kita pujian yang datangnya dari manusia yang hidup sezaman dengannya, dan pernah bertemu dengannya pula, seperti  Imam Abdullah bin Mubarak, Imam Malik, Imam Ali bin Al Madini, Imam Yahya bin Adam, Imam Al Hasan bin Shalih, dan lainnya,  dibandingkan kritikan dari Imam An Nasa'i dan Imam Ibnu Adi yang hidupnya satu sampai dua abad setelah Imam Abu Hanifah. 

Ahlur Ra'yi adalah orang yang lebih dominan menggunakan ra'yu (pendapat-aql), dibanding atsar (naql). Oleh karenanya sebagian orang menuduh  Imam Abu Hanifah hanya sedikit menggunakan hadits, dibanding akalnya sendiri. Ada yang menyebut bahwa Beliau hanya menggunakan hadits sebanyak tujuh belas saja!

Namun hal ini disanggah oleh para ulama yang mengkaji kehidupan Beliau secara objektif. Seperti Imam Ibnu Khaldun misalnya dalam kitab Muqaddimah. Menurutnya, sedikitnya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Hanifah bukan karena Beliau menolak hadits, tetapi lebih disebabkan karena kehati-hatian dan ketatnya syarat-syarat hadits shahih yang ditetapkannya, berbeda dengan imam lainnya yang lebih longgar.   Bagaimana mungkin Beliau tidak menggunakan hadits, padahal Beliau telah menjadi imamnya para imam, fuqaha, dan ahli hadits, sehingga Beliau menjadi muassis (peletak dasar) madzhab Hanafi. Sebutlah para fuqaha hanafi, seperti: Imam Muhammad bin Hasan, Al Qadhi Abu Yusuf, Imam Kamaluddin bin Al Hummam, Imam Ibnu Abidin, dan lainnya. Juga para imam ahli hadits seperti: Imam Abu Jafar Ath Thahawi, Imam Az Zaila'i, Imam Al Marghinani, dan lainnya.

Ditambah lagi, Beliau menyusu ilmu pengetahuan dari madrasah ilmiah di Kufah, yang sejak awalnya sudah difondasikan oleh salah satu sahabat nabi, Abdullah bin Masud Radhiallahu Anhu, yang memadukan hadits dan fiqih sekaligus. Dari madrasah ilmiah ini lahirlah para imam tabiin, seperti Ibrahim An Nakhai, Hammad bin Abi Sulaiman, dan Imam Abu Hanifah salah satunya di generasi setelah mereka.
Oleh karenanya, tepat apa yang dikatakan oleh Imam Yahya bin Ma’in tentang Beliau:
كَانَ أَبُو حَنِيْفَةَ ثِقَةً، لاَ يُحَدِّثُ بِالحَدِيْثِ إِلاَّ بِمَا يَحْفَظُه، وَلاَ يُحَدِّثُ بِمَا لاَ يَحْفَظ
ُ
Abu Hanifah adalah tsiqah, dia tidak akan berbicara dengan hadits kecuali dengan yang dihafalnya, dan tidak akan berbicara dengan yang tidak dihafalnya. (Tarjamah Al Aimmah Al Arba’ah, Hal. 9)
Imam Ibnu Khaldun Rahimahullah berkata:
والامام أبوحنيفة إنما قلت روايته لما شدد في شروط الرواية والتحمل، وضعف رواية الحديث اليقيني إذا عارضها الفعل النفسي. وقلت من أجلها روايته فقل حديثه. لا أنه ترك رواية الحديث متعمدا، فحاشاه من ذلك. ويدل على أنه من كبإر المجتهدين في علم الحديث اعتماد مذهبه بينهم، والتعويل عليه واعتباره رداً وقبولا. واما غيره من المحدثين وهم الجمهور، فتوسعوا في الشروط وكثر حديثهم، والكل عن اجتهاد. وقد توسع اصحابه من بعده في الشروط وكثرت روايتهم.
وروى الطحاوي فاكثر وكتب مسنده، وهو جليل القدر إلا أنه لا يعدل الصحيحين، لأن الشروط التي اعتمدها البخاري ومسلم في كتابيهما مجمع عليها بين الأمة كما قالوه. وشروط الطحاوي في غير متفق عليها، كالرواية عن المستور الحال وغيره

Imam Abu Hanifah sedikit riwayat haditsnya sebab Beliau sangat ketat dalam menetapkan syarat-syarat riwayat dan penakwilannya, Beliau mendhaifkan hadits jika hadits tersebut dinilai bertentangan dengan nalar secara meyakinkan. Maka dari itu Beliau telah mempersulit dirinya sendiri, dan sedikitnya riwayat hadits darinya adalah karena hal itu. Bukan karenan Beliau sengaja meninggalkan hadits, sungguh Beliau jauh  dari sikap itu.

Hal yang membuktikan bahwa Beliau seorang mujtahid besar dalam hadits adalah bahwa  para ulama telah menyandarkan diri mereka kepada madzhabnya dan telah memberikan kepercayaan kepadanya.
Sedangkan para ahli hadits yang lain, yaitu jumhur (mayoritas), lebih longgar dalam menetapkan syarat-syaratnya. Sehingga hadits mereka banyak dan lapang dalam berijtihad. Namun demikian, para pengikut Abu Hanifah lebih longgar dalam menetapkan syarat-syarat periwayatan, sehingga hadits mereka juga banyak.
Ath Thahawi meriwayatkan paling banyak dan menulis Musnadnya, yaitu kitab Jalilul Qadr. Tetapi belum sebanding dengan Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim). Sebab syarat-syarat yang ditetapkan oleh Al Bukhari dan Muslim telah disepakati umat, sebagaimana yang mereka katakan, sedangkan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Ath Thahawi belum disepakati mereka. Seperti riwayat yang datangnya dari orang yang masih tersembunyi keadaaanya dan lain-lainnya. (Imam Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Hal. 255. Mawqi’ Al Warraq)

5. Kesungguhannya memegang sunah nabi

Disebutkan dalam As Siyar:
وعن أبي معاوية الضرير قال: حب أبي حنيفة من السنة
Dari Abu Mu’awiyah Adh Dharir, katanya: “Abu Hanifah sangat berkomitmen dengan sunah nabi.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar Alamin Nubala, 3/401)
Imam Abu Hanifah berkata:
ما جاء عن الرسول صلى الله عليه وسلم، فعلى الرأس والعين، وما جاء عن الصحابة اخترنا، وما كان من غير ذلك، فهم رجال ونحن رجال.

Apa-apa yang datang dari Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wajib bagi mata dan kepala  untuk mengikutinya, dan yang datang dari para sahabat maka kami akan memilihnya, dan yang datang dari selain mereka, maka mereka laki-laki kami pun laki-laki. (Ibid)

Maksudnya jika sebuah permasalahan terhenti pada pendapat tabi'in, tidak ada hadits, tidak pula perkataan sahabat, yang ada adalah perkataan setelah mereka yakni tabiin, maka Beliau akan berijtihad sebab Beliau juga laki-laki yang memiliki kemampuan sebagaimana mereka.

6.  Akhlak dan Ibadahnya

Asad bin Amru berkata:
أن أبا حنيفة، رحمه الله، صلى العشاء والصبح بوضوء أربعين سنة
Bahwa Abu Hanifah Rahimahullah melakukan shalat isya dan subuh dengan sekali wudhu selama 40 tahun. (Ibid, 6/399)
Al Qadhi Abu Yusuf menceritakan:
بينما أنا أمشي مع أبي حنيفة، إذ سمعت رجلا يقول لآخر: هذا أبو حنيفة لا ينام الليل. فقال أبو حنيفة: والله لا يتحدث عني بما لم أفعل. فكان يحيى الليل صلاة وتضرعا ودعاء.
Ketika saya sedang berjalan bersama Abu Hanifah, saya mendengar seseorang berkata kepada yang lain: “Inilah Abu Hanifah, dia tidak pernah tidur malam. Lalu Abu Hanifah berkata: Demi Allah, Dia tidak membicarakan tentang aku dengan apa-apa yang aku tidak pernah lakukan. Maka Beliau senantiasa menghidupkan malam dengan penuh kerendahan dan banyak berdoa. (Ibid)

Imam Abdullah bin Al Mubarak berkata:
ما رأيت رجلا أوقر في مجلسه، ولا أحسن سمتا وحلما من أبي حنيف
ة
Saya belum pernah melihat seorang laki-laki yang lebih berwibawa di majelisnya, dan tidak ada yang lebih bagus diam dan sabarnya dibanding Abu Hanifah. (Ibid, 6/400)
Al Mutsanna bin Raja’ berkata:
جعل أبو حنيفة على نفسه، إن حلف بالله صادقا، أن يتصدق بدينار. وكان إذا أنفق على عياله نفقة تصدق بمثلها.

Abu Hanifah telah bersumpah kepada Allah dengan sebenar-benarnya bahwa dia akan bersedekah dengan dinar, yaitu jika dia telah membelanjakan sejumlah uangnya untuk keluarganya, maka dia akan menyedekahkan uang sebanyak itu pula. (Ibid)

Imam Adz Dzahabi menyebutkan berbagai pujian ulama tentang akhlak dan ibadahnya Imam Abu Hanifah:
وعن شريك قال: كان أبو حنيفة طويل الصمت، كثير العقل. وقال أبو عاصم النبيل: كان أبو حنيفة يسمى الوتد لكثرة صلاته. وروى بن إسحاق السمرقندي، عن القاضي أبي يوسف قال: كان أبو حنيفة يختم القرآن كل ليلة في ركعة. يحيى بن عبدالحميد الحماني، عن أبيه أنه صحب أبا حنيفة ستة أشهر، قال: فما رأيته صلى الغداة إلا بوضوء عشاء الآخرة، وكان يختم كل ليلة عند السحر.

Dari Syarik, dia berkata: “Imam Abu Hanifah  lama diamnya dan banyak akalnya (cerdas).” Berkata Abu ‘Ashim An Nail: “Abu Hanifah juga dinamakan Al Watid karena banyak shalatnya.” Ibnu Ishaq As Samarqandi meriwayatkan dari Al Qadhi Abu Yusuf: Abu Hanifah mengkhatamkan Al Quran setiap malam dalam satu rakaat. Yahya bin Abdul Hamid Al Himani, dari ayahnya bahwa Dia menemani Abu hanifah selama enam bulan, dia berkata: Aku belum pernah melihatnya shalat subuh melainkan dengan wudhu shalat isya, dan dia senantiasa mengkhatamkan Al Quran setiap malam pada waktu sahur. (Ibid)

Diriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah telah mengkhatamkan Al Quran 7000 kali. (Ibid)
Imam Adz Dzahabi juga menceritakan:
عن القاسم بن معن، أن أبا حنيفة قام ليلة يردد قوله تعالى: (بل الساعة موعدهم والساعة أدهى وأمر) [ القمر: 46 ] ويبكي ويتضرع إلى الفجر.

Dari Al Qasim bin Mu’in, bahwa Imam Abu Hanifah bangun untuk shalat malam dan mengulang-ulang firman Allah Ta’ala: (sebenarnya hari kiamat Itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit. (QS. Al Qamar: 46), lalu Beliau menangis dan tertunduk hingga fajar. (Ibid, 6/401)

Yazid bin Harun berkata:
ما رأيت أحدا أحلم من أبي حنيفة.
Saya belum pernah melihat seorang pun yang lebih penyabar dibanding Abu Hanifah. (Ibid)

7. Sanjungan ulama terhadap ilmu dan kecerdasannya

Hayyan bin Musa Al Marwadzi berkata:
سئل ابن المبارك: مالك أفقه، أو أبو حنيفة ؟ قال: أبو حنيفة.
Ibnul Mubarak ditanya: “Mana yang lebih faham tentang fiqih, Malik atau Abu Hanifah? Beliau berkata: Abu Hanifah.” (Ibid, 6/402)

Imam Yahya Al Qaththan berkata:
لا نكذب الله، ما سمعنا أحسن من رأي أبي حنيفة، وقد أخذنا بأكثر أقواله
Kami tidak membohongi Allah, kami belum pernah mendengar pendapat yang lebih baik dibanding pendapat Abu Hanifah, dan kami telah mengambil lebih banyak dari pendapatnya. (Ibid)

Disebutkan oleh Imam Adz Dzahabi:
وقال علي بن عاصم: لو وزن علم الامام أبي حنيفة بعلم أهل زمانه، لرجح عليهم.
وقال حفص بن غياث: كلام أبي حنيفة في الفقه، أدق من الشعر، لا يعيبه إلا جاهل.
وقال جرير: قال لي مغيرة: جالس أبا حنيفة تفقه، فإن إبراهيم النخعي لو كان حيا لجالسه.
وقال ابن المبارك: أبو حنيفة أفقه الناس. وقال الشافعي: الناس في الفقه عيال على أبي حنيفة

Berkata Ali bin ‘Ashim: “Seandainya ditimbang ilmu Imam Abu Hanifah dengan ilmu manusia yang hidup pada zamannya, niscaya ilmunya lebih berat dibanding mereka.
Berkata Hafsh bin Ghiyats: Perkataan Abu Hanifah dalam fiqih, lebih dalam dibanding syair, dan tidak ada yang meng-aibkan dirinya melainkan orang bodoh.
Jarir berkata: Mughirah berkata kepadaku: Duduklah bersama Abu Hanifah niscaya kau  akan mengerti, sungguh seandainya Ibrahim An Nakhai hidup niscaya dia (Ibrahim) akan duduk dihadapannya (untuk belajar).
Ibnul Mubarak berkata: Abu Hanifah adalah manusia paling paham tentang fiqih.”
Asy Syafi’i berkata: “Dalam fiqih, manusia (para ulama) adalah satu keluarga dengan Abu Hanifah.” (Ibid, 6/403)

Imam Asy Syafi’i berkata:
قيل لمالك: هل رأيت أبا حنيفة ؟ قال: نعم. رأيت رجلا لو كلمك في هذه السارية أن يجعلها ذهبا لقام بحجته.
Ditanyakan kepada Imam Malik: “Apakah engkau pernah melihat Imam Abu Hanifah? Beliau berkata: “Ya,  aku melihat seorang laki-laki yang jika dia mengatakan kepadamu bahwa dia ingin menjadikan tiang ini emas, maka itu akan terjadi karena hujjah yang dimilikinya.” (Ibid, 6/399)

Imam Abdullah bin Al Mubarak berkata:
لولا أن الله أعانني بأبي حنيفة وسفيان، كنت كسائر الناس.
Kalau bukan pertolongan Allah kepadaku melalui  Abu Hanifah dan Sufyan Ats Tsauri, niscaya aku sama saja dengan kebanyakan manusia (awam). (Ibid, 6/398)

Beliau juga berkata:
إن كان الأثر قد عرف واحتيج إلى الرأي فرأي مالك وسفيان وأبي حنيفة وأبو حنيفة أحسنهم وأدقهم فطنة وأغوصهم على الفقه وهو أفقه الثلاثة

Walau pun atsar sudah diketahui, berhujahlah dengan pendapat juga yaitu pendapat Malik, Sufyan, dan Abu Hanifah. Pendapat Abu Hanifah adalah terbaik diantara mereka, lebih detil kecerdasannya, lebih dalam fiqihnya, dan  dia lebih faqih di antara bertiga itu. (Akhbar Abi Hanifah, hal. 84)
Muhammad bin Bisyr berkata: Aku pernah bergantian mengunjungi Sufyan Ats Tsauri dan Abu Hanifah. Ketika aku mendatangi Abu Hanifah dia bertanya: Dari mana kamu? Aku jawab: Aku datang dari sisi Sufyan Ats Tsauri. Abu Hanifah menjawab: Engkau datang dari sisi seorang laki-laki yang sendainya Alqamah dan Al Aswad melihat semisal orang itu (maksudnya Sufyan), maka mereka berdua akan berhujjah dengannya. Lalu aku mendatangi Sufyan Ats Tsauri, dia bertanya: Dari mana kamu? Aku jawab: Aku datang dari sisi Abu Hanifah. Sufyan menjawab: Engkau datang dari sisi seorang  yang paling faqih di antara penduduk bumi. (Tarikh Baghdad, 15/459)

Syadad bin Hakim berkata:
ما رأيت أعلم من أبي حنيف
ة
Aku belum pernah melihat orang yang lebih berilmu dibanding Abu Hanifah. (Ath Thabaqat As Sunniyah fi Tarajim Al Hanafiyah, Hal. 29)

Abdullah bin Daud pernah berkomentar tentang orang yang suka menggunjingkan Imam Abu Hanifah:
لايتكلم فِي أبي حنيفَة إِلَّا أحد رجلَيْنِ إِمَّا حَاسِد لعلمه وَإِمَّا جَاهِل بِالْعلم
ِ

Tidak ada yang menggunjingkan Abu Hanifah melainkan satu di antara dua laki-laki:  orang yang dengki terhadap ilmunya, dan orang yang bodoh terhadap keilmuannya. (Imam Al Husein bin Ali bin Muhammad Al Hanafi, Akhbar Abi Hanifah, Hal. 64)
Bisyar bin Qirath menceritakan tentang kedudukan Imam Abu Hanifah dan Imam Sufyan Ats Tsauri:
حججْت مَعَ أبي حنيفَة وسُفْيَان فَكَانَا إِذا نزلا منزلا أَو بَلْدَة اجْتمع عَلَيْهِمَا النَّاس وَقَالُوا فَقِيها الْعرَاق فَكَانَ سُفْيَان يقدم أَبَا حنيفَة وَيَمْشي خَلفه وَإِذا سُئِلَ عَن مَسْأَلَة وأبوحنيفة حَاضر لم يجب حَتَّى يكون أَبُو حنيفَة هُوَ الَّذِي يُجيب
Aku haji bersama Abu Hanifah dan Sufyan, jika mereka berdua berhenti di sebuah tempat atau negeri manusia berkumpul mengelilingi mereka, mereka bilang: Ahli Fiqihnya Irak (maksudnya Abu Hanifah). Sufyan lebih mendahulukan Abu Hanifah, dia berjalan di belakangnya dan jika dia ditanya sebuah masalah dan hadir di situ Abu Hanifah, dia tidak akan menjawabnya sampai Abu Hanifah-lah yang menjawabnya. (Ibid, Hal. 73)
8.  Kata-kata hikmah dari Imam Abu Hanifah

Banyak kata-kata hikmah yang disandarkan sebagai ucapannya, di antaranya:
إذا ثبت الحديث فهو مذهبي واتركوا قولي بقول رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
َ
Jika ada hadits yang kuat, maka hadits itu adalah pendapatku, dan tinggalkanlah perkataanku  dan gantilah dengan perkataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Syaikh Abdul Hay bin Fakhruddin Al Hasani Ath Thaalibi, Nuz-hah Al Khawaathir, 6/707)

Dalam keterangan lain, ada beberapa kata-kata hikmah yang juga disandarkan kepada Beliau:
لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا ما لم يعلم من أين أخذناه. وقال:  حرام على من لم يعرف دليلي أن يفتي بكلامي؛ فإننا بشر نقول القول اليوم ونرجع عنه غدا  . وكذلك قال:  إذا قلت قولا يخالف كتاب الله تعالى وخبر الرسول فاتركوا قولي
“Tidak halal bagi seorang pun yang mengambil pendapat kami selama dia belum tahu dari mana kami mengambil pendapat kami itu.

Beliau juga berkata: Haram atas siapa pun yang tidak mengetahui dalilku lalu dia berfatwa dengan fatwaku, karena kami juga manusia yang bisa berpendapat pada hari ini lalu kami meralatnya esok hari.

Beliau juga berkata: Jika  pendapatku bertentangan dengan Kitabullah dan Sunah Rasulullah,  maka 
tinggalkanlah pendapatku.  (Syaikh Masud An Nadwi, Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlih Mazhlum wa Muftara Alaih, Hal. 55. Cat kaki No. 2)

9. Kehebatan dalam berdebat

Ada peristiwa unik dan mengagumkan tentang Imam Abu Hanifah dalam hal ini, sebagaimana diceritakan Imam Adz Dzahabi. Khalifah Al Manshur hendak menjadikannya sebagai seorang pejabat tinggi, yaitu sebagai Qadhi (semacam hakim agung saat itu). Raja memaksanya, namun Imam Abu Hanifah menolaknya.

Mughits bin Budail bercerita, bahwa Al Manshur memanggil Imam Abu Hanifah untuk dijadikan sebagai Qadhi (hakim agung), maka terjadilah dialog:
فَقَالَ: أَتَرغَبُ عَمَّا نَحْنُ فِيْهِ؟, فَقَالَ: لاَ أَصْلُحُ. قَالَ: كَذَبتَ.
Berkata Khalifah: “Maukah kamu menduduki jabatan yang sekarang dibebankan kepadaku?”
Imam Abu Hanifah menjawab: “Saya tidak layak.”
Khalifah menimpali: “Bohong kamu!”
Lalu di antara jawaban Abu Hanifah yang membuat Khalifah tidak bisa berkata-kata, dan menunjukkan kehebatan Abu Hanifah dalam berdebat dan ilmu logika,  seperti yang diriwayatkan oleh Ar Raabi’ Al Haajib berikut ini:
قَالَ أَبُو حَنِيْفَةَ: وَاللهِ مَا أَنَا بِمَأْمُوْنِ الرِّضَى، فَكَيْفَ أَكُوْنُ مَأْمُوْنَ الغَضَبِ، فَلاَ أَصلُحُ لِذَلِكَ.
قَالَ المَنْصُوْرُ: كَذَبتَ، بَلْ تَصلُحُ.
فَقَالَ: كَيْفَ يَحِلُّ أَنْ تُوَلِّيَ مَنْ يَكْذِب
ُ
Abu Hanifah menjawab: “Demi Allah,  jika dalam keadaan senang saja aku tidak amanah, maka bagaimana bisa amanah jika aku sedang marah? Pokoknya aku tidak layak!
Al Manshur berkata: Bohong kamu!

Abu Hanifah menjawab lagi: Kalau begitu, bagaimana bisa Anda menjadikan seorang pembohong sebagai hakim?  (Siyar Alamin Nubala, 6/402)
Ya, kalau memang sudah tahu aku ini pembohong kok masih diangkat juga sebagai hakim? Inilah jawaban Abu Hanifah untuk mengelak menjadi seorang pejabat negara.
10.  Wafatnya
Beliau meninggal di Baghdad, pada usia 70 tahun ( bulan Rajab atau Syaban tahun 150H), meninggalkan seorang anak bernama Hammad. Wafatnya disebabkan diberikan minuman beracun secara paksa, dan peristiwa tersebut terjadi dihadapan Khalifah Al Manshur. Bisyr bin Al Waalid mengatakan: Abu Hanifah wafat di penjara dan dikuburkan di pekuburan Al Khaiziran. Yaqub bin Syaibah mengatakan: Aku dikabarkan bahwa Beliau wafat dalam keadaan sujud.

Ketika dikuburkan masih banyak orang menshalatkan di kuburnya termasuk Khalifah Al Manshur, hingga sampai 20 hari masih banyak yang menshalatkannya. Ini menunjukkan keagungan Imam Abu Hanifah di sisi manusia saat itu.
Pada malam ketiga setelah Beliau dikuburkan, ada sebuah suara yang bersyair:
ذهب الْفِقْه فَلَا فقه لكم ... فَاتَّقُوا الله وَكُونُوا خلفا مَاتَ نعْمَان فَمن هَذَا الَّذِي ... يحيى اللَّيْل إِذا مَا سجف
ا
Telah pergi fiqih maka tidak ada lagi fiqih bagi kalian ...
Takutlah kalian kepada Allah dan jadilah pengikut di belakang ...
Nu’man telah wafat..lalu siapakah orangnya yang menghidupkan malam ketika tabir telah diturunkan?
(Akhbar Abi Hanifah, Hal. 94)

Demikian. Wallahu A'lam
🌿🌿🌿🌿
(Bersambung Insya Allah ke Biografi Imam Malik bin Anas Radhiallahu Anhu) - F N

Sabtu, 02 Mei 2015

Sang Guru, belajar dari Abu Darda

Sang GURU

Namanya Uwaimir bin Malik al-Khazraji, lebih dikenal dengan panggilan Abu Darda. Sebelum Islam, Abu Darda berteman akrab dengan Abdullah bin Rawahah. Setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, dua orang teman akrab tersebut berbeda jalan.

Abdullah bin Rawahah segera menjadi Muslim sementara Abu Darda tetap dengan kemusyrikannya. Setiap hari dia menyembah berhala yang diletakkan di salah satu kamar rumahnya. Tiap hari pula berhala itu dibersihkan dan diberi wewangian.

Kesadarannya baru muncul tatkala pada suatu hari dia menemukan berhalanya itu hancur berkeping-keping karena dikapak oleh teman akrabnya sendiri, Abdullah bin Rawahah, secara diam-diam. Semula dia sangat marah, tetapi di ujung marahnya, kesadarannya muncul.

“Seandainya berhala itu benar Tuhan, tentu dia sanggup membela dirinya sendiri.” Ditemani Abdullah bin Rawahah, Abu Darda segera menemui Nabi dan masuk Islam. Tetapi, dia sangat menyesal terlambat menjadi Muslim.

Temannya tidak hanya lebih dahulu masuk Islam, tapi juga sudah ikut berjuang dalam Perang Badar. Untuk mengejar ketertinggalannya itu, Abu Darda mengurangi aktivitas dagangnya agar lebih banyak waktu menghafal Alquran dan beribadah sepuasnya.

Gaya hidup Abu Darda berubah total, sekarang dia memilih hidup zuhud. Tatkala suatu kali tamu-tamunya bertanya ke mana perginya kekayaannya selama ini, Abu Darda menjawab, “Kami mempunyai rumah di kampung sana. Setiap kali memperoleh harta, langsung kami kirim ke sana. Jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki sehingga kami sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa.”

Pada masa Khalifah Umar bin Khatab, Abu Darda pernah ditawari jabatan yang tinggi di Syam, tapi dia tanpa ragu menolaknya.

Tatkala Umar marah, Abu Darda menyatakan bersedia bertugas ke Syam bukan sebagai pejabat tinggi, melainkan jadi guru yang mengajarkan Alquran, sunah, serta membimbing umat. Umar setuju.

Maka, berangkatlah Abu Darda ke Damaskus. Dia tidak hanya mengajar di masjid, tapi juga berkeliling ke tengah-tengah masyarakat, masuk ke pasar-pasar. Jika ada yang bertanya, dijawabnya segera, jika bertemu dengan orang bodoh, diajarinya, jika melihat orang lalai, diingatkannya.

Abu Darda tidak mau kehilangan waktu sedikit pun dalam membimbing umat ke jalan Allah. Pada suatu hari, Abu Darda menyaksikan ada seorang laki-laki dipukuli orang banyak. Lalu, dia bertanya, “Apa yang terjadi?”

Dijelaskan bahwa laki-laki itu pendosa besar maka dipukuli. Dengan bijak, Abu Darda  bertanya, “Jika kalian melihat orang yang jatuh ke dalam sumur, apa yang akan kalian lakukan? Tidakkah kalian keluarkan dia dari sumur itu?”

Jawab mereka, “Tentu.” “Oleh sebab itu, janganlah kalian memukulinya, tapi berilah dia nasihat dan sadarkan dia.” Mereka bertanya, “Apakah engkau tidak membencinya?” Abu Darda menjawab, “Saya membenci perbuatannya. Apabila dia telah menghentikan perbuatan dosanya maka dia adalah saudara saya.”

Tatkala seorang pemuda meminta nasihat kepadanya, Abu Darda mengatakan, “Wahai, anakku! Ingatlah kepada Allah pada waktu kamu bahagia maka Allah akan mengingatmu waktu kamu sengsara.”

“Hai, anakku,” lanjutnya, “Jadilah engkau orang yang berilmu atau penuntut ilmu atau pendengar, jangan jadi yang keempat karena yang keempat pasti celaka.” Sampai akhir hayatnya, Abu Darda—radhiyallahu ‘anhu—tetap menjalankan tugas yang mulia menjadi guru di Damaskus.