Jumat, 30 November 2012

TAWAKKAL, bukan Malas

“Kalau seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya Dia akan memberi kalian rizqi sebagaimana memberi rizqi kepada burung. (yang) pergi di pagi hari dalam keadaan perut kosong dan pulang di sore hari dengan perut kenyang” (Hr. Ahmad, dalam Musnadnya I/52)

Allah berfirman memberi kabar gembira kepada hamba-Nya yang bertawakkal;
“Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya” (At-Tholaq:3)

Di kalangan ulama salaf, Imam Syutair berkata kepada Masruq; Sesungguhnya di dalam al-Qur’an yang paling membuat kami bahagia adalah ayat ini. Lalu sahabatnya pun berkata; ‘engkau benar” (Hilyatul auliya’ : 2/95)(Tarjamah Tawakkal, Ibnu Abid dunya:126) 
Jika hari berganti, rizqipun berganti. Takkan lepas jatah rezqi seorang hamba meskipun masih di ujung langit yang tinggi. Karena Allah maha pemberi rezqi. Dia malu manakala ada hamba-Nya yang memohon belas kasih lantas Dia tega membiarkannya tanpa memberi. Percayalah……..Tiada kehidupan kecuali pasti ada rezqi. Sebagaimana firman-Nya : “Dan tiada satu binatang melatapun di
bumi kecuali Allah yang menjamin rezqinya” (QS.Huud:22)

Tawakkal memiliki 2 unsur, yaitu yakin dan ridho.
Yakin bahwa usahanya diperkenankan Allah...
Ridho dengan hasil akhir yang ia peroleh setelah berusaha.
Sebagaimana sabda Rosulullah SAW ;“Sesungguhnya Allah menjadikan kelapangan dan kebahagiaan ada pada keyakinan dan keridhoan.
Dan menjadikan kesusahan dan kesengsaraan ada pada keraguan dan kebencian (terhadap qodho’).(Madarijus salikin II/150).

Bertawakkal dengan benar merupakan sebab dalam mendapatkan rezqi
dan manfaat. Bertawakkal dengan benar adalah meyakini bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih menjamin dari pada sebab usaha itu sendiri. 
Manisnya tawakkal menjadikan seseorang menjadi ridho dengan apa yang diberikan Allah. Ia yakin Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untuknya. Jika ia tidak diberi rezqi, bukan berarti Allah benci. Kekayaan bukanlah pertanda bahwa Allah memuliakan, begitu pula kemiskinan bukanlah tanda kebencian kepada seseorang.
Karena ada hal-hal yang Allah tidak memberi jatah kepada manusia karena untuk kemashlahatan manusia itu sendiri. Seperti; tidak terbang layaknya burung, tidak hidup di air sepeti ikan dan sebagainya.

Barang siapa yang berdo’a ;”Dengan nama Allah saya bertawakkal, tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah. Maka akan dikatakan kepadanya di saat itu pula; engkau telah dilindungi, dicukupi, dijaga, dan dijauhkan dari syetan” (HR. At-Tirmidzi)

Betapa banyak manusia yang bersandar kepada kekuatannya sendiri lalu Allah membiarkannya binasa. Betapa banyak orang yang tidak ridho kepada qodho’ Allah, sehingga Allah menghalangi rahmat-Nya, lalu ia dibiarkan kecewa pada akhirnya. Dan betapa banyak pula manusia yang bertawakkal sehingga Allah menyayangnya dan menjadikan dunia ini bertekuk lutut, datang kepadanya secara tunduk dan patuh. Orang yang bertawakkal dalam segala hal akan dijadikan manusia yang dibutuhkan. Bagaimana tidak dibutuhkan, sedangkan angan-angan dan harapannya hanya kepada Allah yang maha kaya lagi terpuji. 
Sejak seorang muslim bertawakkal, ia tidak akan gusar dengan rejeki yang datang terlambat, atau tidak kalap dengan ekonomi yang seret.

Tawakkal bukan malasAkan tetapi, pada akhir-akhir ini ada pemahaman yang salah yang disusupkan kepada kaum muslimin akan arti tawakkal yang benar. Yakni, berdalih tawakkal untuk melegitimasi kemalasannya. Bahkan kita dapatkan ada yang menuduh bahwa Islam adalah dogma kemalasan, mengajarkan umatnya berpangku tangan, ongkang-ongkang kaki, apitis dan tidak peka dalam tanggung jawab.

Dengan bukti kemiskinan, kebodohan, kekalahan dan keterbelakngan umat islam dalam konstelasi peradaban. Jika tuduhan ini yang terjadi, maka tentu sangat berbahaya.

Tuduhan di atas sangat tidak benar. Justru Islam dengan mengajarkan tawakkal menjadikan para sahabat dan para pendahulu Islam ini jaya. Tawakkal merupakan sebuah prinsip yang wajib dipegang oleh setiap muslim. Dengan tawakkal ini Allah menangkan mereka dalam berbagai pertempuran, memimpin peradaban selama berabad-abad lamanya meskipun mereka dahulu berasal dari kalangan orang rendah, serta menjawab berbagai tantangan dan kesulitan hidup. 

Tawakkal bukan justru menyerah sebelum usaha. Tawakkal bukan justru mewariskan sifat lesu, loyo, malas dan statis. Karena beriman kepada qodho’ dan qodar justru membuat seorang muslim lebih aktif berusaha menggapai kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Karena Allah berfirman ; “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaknya setiap orang melihat apa yang akan diperbuatnya besok……..” (Al-Hasyr : 13) 
Dari ayat tersebut jelaslah bahwa anggapan orang bahwa iman kepada qodho’ dan qodar sebagai penyebab terpinggirnya umat Islam dari peradaban modern tidaklah benar.

Beriman kepada taqdir Allah justru melahirkan sikap antisipatif, sikap penuh strategi perencanaan dan berpandangan menembus masa depan (visioner). Orang yang bertawakkal bukanlah orang yang hanya berpangku tangan.

Dan hendaknya siapapun harus kreatif berkarya dan bukan menganggur. Sekecil dan seremeh apapun pekerjaan apabila hal itu halal hendaknya tetap ditempuh. 
Terbukti saat Umar melihat seseorang yang hanya berdo’a dan menengadahkan tangan di masjid dengan alasan tawakkal namun ia tidak bekerja, maka Umar melempar dia dengan seraya berucap; bekerjalah dan jangan hanya menengadahkan tangan, karena langit tidak serta merta menurunkan emas. 

Tawakkal tidak lantas berarti meninggalkan sebab-sebab datangnya rezqi. Rosulullah SAW menempuh strategi dan perencanaan dalam hidupnya. Beliau bekerja dan berdagang. Beliau membuat baju besi agar terlindungi di saat pertempuran, menggali parit khondaq untuk pertahanan, menguasai mata air Badar dalam perang Badar, menempatkan pasukan pemanah di puncak bukit di kala perang Uhud, menikahi beberapa wanita dari lintas suku agar dakwahnya diterima, dan masih banyak lagi.

Sebagaimana dalam riwayat, ada seseorang datang menghadap beliau namun ontanya tidak diikat dengan menyatakan tawakkal. Rosulullah kemudian bersabda; “ikat dulu baru tawakkal” (HR. Ibnu Hibban dari Amr bin umayyahad-darimi) (Hr. At-Thobrony dari Amr bin umayyah) (Al-Hikyah 8/390) Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan; “tidak dinamakan tawakkal kecuali setelah adanya upaya dan ditempuhnya sebab”.

Menempuh sebab tidak berarti mengurangi arti tawakkal. Dan tentu sebab yang ditempuh haruslah syar’i. bukan sembarang sebab. Kalau orang yang meninggalkan sebab-sebab rezqi dengan alasan tawakkal, berarti sama saja ia mengingkari sunnatullah. Seperti bagaimana bisa segera sembuh dari penyakit sementara ia tidak berobat. Bagaimana bisa kenyang dengan tanpa makan, ingin pandai dengan tanpa belajar, ingin kaya tapi berpangku tangan, ingin punya anak tanpa menikah, ingin mulia tapi tanpa upaya, dan seterusnya.

Nabi bersabda;
“Berobatlah wahai anak cucu Adam, sesungguhnya Allah tidak membuat suatu penyakit kecuali dibuatkan pula obatnya. Kecuali penyakit pikun” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dll) (Aljami’us shoghir No.3271)

Allah juga berfirman;
“Jika sholat telah ditunaikan, maka bertebaranlah ke pelosok bumi dan kaislah rezqi Allah dan berdzikirlah kepada-Nya banyak-banyak agar kalian beruntung” (Al-Jum’ah : 10)

Mengenal Hukum Syara'

Ditinjau dari segi ethymologi, ushul fiqh terdiri dari mudhaf (lafazh ”ushul”) dan mudhaf ilaih (lafazh ”fiqh”).

Fiqh (secara ethymologi) berarti pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan .

Fiqh secara terminologi adalah ”Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia, yang diambil dari dalil-dalil yang terinci (mendetail)”.

Adapun ’ashl (jamaknya: ”ushul”) menurut ethymologi adalah dasar (fundamen) yang diatasnya dibangun sesuatu. Pengertian ini sama dengan pengertian ushul secara terminologi, karena ushul fiqh secara terminologi adalah ”dasar yang dijadikan pijakan oleh ilmu Fiqh”.
1 Hukum Syara’

Ushul Fiqh meninjau hukum syara’ dari segi methodologi dan sumber- sumbernya, sementara ilmu Fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara’, yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa iqtidha’ (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadh’i (sebab akibat).

Hukum syara’ yang berupa iqtidha’ (perintah dan larangan), dan takhyir (pilihan) disebut hukum taklifi, sedang hukum yang menghubungkan antara keduanya disebut hukum wadh’i.
Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah ketetapan Allah tentang perintah, larangan atau takhyir (pilihan). Hukum taklifi terbagi menjadi lima:
1. Wajib,
2. Mandub,
3. Haram,
4. Makhruh, dan
5. Mubah.

Wajib
Wajib adalah suatu perintah yang harus dikerjakan, dimana orang yang meninggalkannya berdosa. Pengertian wajib disini sama dengan pengertian fardhu, mahtum dan lazim.

Wajib terbagi menjadi beberapa bagian, dan setiap bagian dapat ditinjau dari segi tertentu, misalnya dari segi waktu, segi dzatiyah hukum yang diperintahkan, segi umum dan khususnya perintah, dan segi kadar/ukuran perintah, dan lain-lain.

Dari segi pelaksanaanya wajib terbagi menjadi dua macam, pertama wajib muthlaq (bebas) yang pelaksanaanya tidak dibatasi pleh waktu tertentu, sehingga seandainya dilaksanakan sampai batas akhir masa kemampuan untuk melaksanannya tidak berdosa (contoh: qadha’ puasa).

Kedua adalah wajib yang harus dilaksakan pada waktu-waktu tertentu (contoh: shalat).

Dari segi tertentunya tuntutan, maka wajib dibagi menjadi dua macam, yaitu: wajib mu’ayyan dan wajib mukhayyar.

Wajib mu’ayyan ialah suatu kewajiban yang hanya mempunyai satu tuntutan, seperti membayar hutang, memenuhi akad, zakat, dsb. Wajib mukhayyar tidak mempunya satu macam tuntutan, tetapi mempunya dua atau tiga alternatif pilihan (contoh:imam boleh memilih membebaskan tawanan perang atau menerima tebusan mereka).

Ditinjau dari segi kadar/ukurannya, wajib terbagi menjadi dua macam, yaitu: wajib yang mempunyai ukuran-ukuran tertentu, seperti dalam pembagian harta pusaka, dan wajib yang tidak mempunyai ukuran-ukuran yang konkrit, seperti kadar mengusap kepala (ketika berwudhu’), ukuran waktu ruku’ dan sujud dalam shalat, ukuran dalam memberikan nafkah/biaya hidup sebelum ada hukum yang konkrit yang menjelaskan ukuran tersebut yang ukurannya relatif tergantung kemampuan setiap individu.

Dari segi pelaksanaannya, wajib terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Wajib ’aini (fardhu ’ain) ialah suatu kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap orang mukallaf, sehingga jika ditinggalkan, berdosalah ia dan berhak disiksa. Contoh: shalat, zakat, memenuhi janji, dll.
2. Wajib kafa’i (fardhu kifayah) ialah suatu kewajiban yang hanya menuntut terwujudnya suatu pekerjaan dari sekelompok masyarakat. Contoh: jihad, menshalati mayat, membentuk kepemimpinan yang kuat, dll.
Mandub atau SUNNAH

Mandub ialah perbuatan yang dianjurkan oleh Syari’ (Allah) untuk dikerjakan. Atau suatu perintah yang apabila dilaksanakan maka akan diberi pahala, apabila ditinggalkan tidak disiksa/dicela. Juga dinamakan nafilah, sunnah, tathawwu’, mustahab dan ihsan.

Mandub mempunyai beberapa tingkatan:
1. Sunnah mu’akkadah, yaitu suatu sunnah yang dijalankan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu, tetapi beliau menjelaskan bahwa itu bukan fardhu yang harus dikerjakan. Contoh: witir, shalat dua rakaat sebelum Shubuh, setelah Zhuhur, setelah Maghrib dan setelah Isya’, membaca ayat al-Quran setelah Fatihah didalam shalat.

2. Sunnah ghairu mu’akkadah, yaitu sunnah yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu. Contoh: shalat empat rakaat sebelum Zhuhur, sebelum Ashar, dan sebelum Isya, bershadaqah tidak fardhu, kecuali kepada orang yang sangat membutuhkan.

3. Sunnah yang tingkatannya dibawah dua tingkatan di atas, ialah kebiasaan Rasulullah yang tidak ada hubungannya dengan tugas tabligh (penyampaian ajaran) dari Allah. Contoh: cara berpakaian, makan dan minum, memelihara jenggot, menggunting (merapikan) kumis. 
 

Haram

Haram ialah larangan Allah yang pasti terhadap suatu perbuatan, baik ditetapkan dengan dalil yang qath’i maupun dalil zhanni (mazhab Hanafi menyebut haram yang berdasarkan dalil zhanni sebagai makhruh tahrim. Contoh: makan bangkai, minum khamr, berzina, membunuh seseorang yang diharamkan Allah tanpa hak, makan harta benda orang lain secara batil. Dasar yang dijadikan landasan hukum haram adalah karena adanya bahaya yang nyata yang tidak diragukan lagi. Setiap perbuatan yang diharamkan syara’ pasti mengandung bahaya, sedangkan perbuatan yang diperbolehkan syara’ pasti mengandung kemanfaatan yang banyak.

Atas dasar ini, hukum haram terbagi menjadi dua macam yaitu:

1. Haram li-dzatih: yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah karena bahaya tersebut terdapat dalam perbuatan itu sendiri. Seperti makan bangkai, minum khamr, berzina, mencuri yang bahayanya berhubungan langsung dengan lima hal yang harus dijaga, yakni badan, keturunan, harta benda, akal dan agama.

2. Haram li-ghairih/’aridhi : yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara’, dimana adanya larangan tersebut bukan terletak dari perbuatan itu sendiri, tetapi perbuatan tersebut dapat menimbulkan haram li-dzatih. Seperti melihat aurat perempuan, dapat menimbulkan zina, sedang zina diharamkan karena dzatiyahnya sendiri. Jual beli barang-barang secara riba diharamkan, karena menimbulkan riba yang diharamkan dzatiyahnya. Hutang dengan memberikan bunga diharamkan, karena dapat menimbulkan riba yang dimakan oleh orang yang menghutangi, sedang makan riba diharamkan dzatiyahnya.


Makruh
Makruh adalah suatu larangan syara’ terhadap suatu perbuatan, tetapi larangan tersebut tidak bersifat pasti, lantaran tidak ada dalil yang menunjukkan atas haramnya perbuatan itu.

orang yang meninggalkannya adalah terpuji.

Ada beberapa pendapat ulama dalam mendefinisikan makruh.

Dari segi bahasa, dapat diartikan sebagai hal yang dibenci, atau yang tidak disukai.

Tentu saja kita tidak ingin dibenci oleh siapapun, terutama Allah. Bagaimana mungkin kita mengaku beriman, cinta, dan taat pada Allah, namun kita justru lebih menyukai hal-hal yang dibenci oleh Allah.

Para fuqaha Islam menyebutkan bahwa hukum makruh ada dua macam, yakni Makruh Tanzih dan Makruh Tahrim.

Makruh Tanzih adalah makruh yang mendekati mubah (boleh).
Makruh Tahrim adalah makruh yang medekati haram.

kita ga boleh merasa aman jika melakukan sesuatu yang makruh. Sudah seharusnya kita meninggalkan sesuatu yang dibenci oleh Allah.

Mubah
Mubah adalah suatu hukum, dimana Allah SWT memberikan kebebasan orang mukallaf untuk memilih antara mengerjakan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Pelakunya tidak tercela maupun terpuji. Seperti makan, minum, bergurau, dsb. selama tiak berlebihan.

’Azimah dan Rukhshah’Azimah ialah suatu hukum yang mula-mula harus dikerjakan lantaran tidak ada sesuatu yang menghalang-halanginya. Sedang rukhshah ialah suatu hukum yang dikerjakan lantaran ada suatu sebab yang memperbolehkan untuk meninggalkan hukum yang asli.
1.2 Hukum Wadh’i

Hukum wadh’i terbagi menjadi tiga macam, yaitu: sebab, syarat, dan mani’ (penghalang). Contoh: ”waktu” jika dihubungkan dengan shalat, maka ia merupakan sebab bagi wajibnya shalat, tetapi sebagai syarat sahnya adalah wudhu’. Dan bilamana ”waktu” telah tiba, sedang seseorang itu dalam keadaan gila (ada mani’), maka perkerjaan shalat tidak wajib baginya.

1.2.1 Sebab

Sebab adalah sesuatu yang lahir dan jelas batasan-batasannya, yang oleh Allah dijadikan sebagai tanda bagi wujudnya hukum. Sebab dibagi menjadi dua: pertama, sebab yang bukan berasal dari perbuatan mukallaf (contoh: waktu, keadaan terpaksa, dll), dan kedua, sebab yang berasal dari perbuatan mukallaf (contoh: bepergian jauh bagi yang berpuasa, akad nikah, akad jual beli, dll).

1.2.2 Syarat

Syarat adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti pasti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarat tidak pasti wujudnya hukum. Bedanya dengan sebab: ditemukannya syarat tidak memastikan adanya hukum, namun ditemukannya sebab memastikan adanya hukum, terkecuali bila ada mani’ (penghalang). Contoh: wudhu’ yang merupakan syaratnya shalat tidak menentukan/tidak mengakibatkan wajibnya shalat.

1.2.3 Al-Mani’

Al-Mani’ (penghalang) ialah perkara syara’ yang keberadaannya menafikan tujuan yang dikehendaki oleh sebab atau hukum. Contoh: sebab wajibnya dikeluarkan zakat adalah nishab, dan termasuk penghalangnya (mawani’, jamak dari mani’) adalah bahwa orang yang bernishab itu ternyata mempunyai hutang yang jumlahnya sebanding dengan nishab atau sebagainya. Al-Mani’ (penghalang) terbagi dua: pertama, mani’ yang berpengaruh terhadap sebab, dan kedua, mani’ yang mempengaruhi hukum sekaligus menghilangkannya. Contoh yang pertama adalah hutang seperti diatas, contoh yang kedua: adanya hubungan kebapakan merupakan penghalang (mani’) dikenakan hukum qishas, dan perzinaan yang syubhat merupakan penghalang (mani’) bagi pelaksanaan hukuman had.

1.2.4 Sah, Rusak, dan Batal (Ash-Shihhah, Al-Fasad, Al-Buthlan)

Sah, rusak dan batal merupakan sifat-sifat yang ada dalam hukum syara’, baik itu hukum taklifi maupun hukum wadh’i. Oleh karena itu, shalat yang termasuk dalam lingkup hukum taklifi misalnya, dituntut keabsahannya, dimana melaksanakannya merupakan suatu kewajiban ketika telah ditemukan (ada) sebabnya serta syarat-syaratnya telah terpenuhi. Shalat menjadi tidak sah jika syarat-syaratnya tidak dipenuhi, dan karenanya kewajiban mengerjakannya belum gugur, dan berdosa jika seseorang tidak mengulangi shalat itu pada waktunya. Demikian juga hukum-hukum wadh’i, mempunyai sifat sah, rusak dan batal.




 



Kamis, 29 November 2012

antara Tabayyun dan Menuduh


''Siapa yang mengajarkan surah (Alquran) yang kamu baca ini?'' Umar bertanya kepada Hisyam. ''Rasulullah,'' jawab Hisyam. Umar kaget dengan jawaban Hisyam, karena ia merasa, Rasulullah mengajarkannya bukan dengan bacaan seperti itu. Dengan tegas dan keras Umar berkata, ''Dusta kamu! Apa yang diajarkan Rasulullah SAW kepadaku berbeda dengan cara kamu membaca.''

Umar merasa marah dengan ulah Hisyam. Ia ingin membuktikan bahwa Hisyam bersalah. Umar menyeretnya menemui Rasulullah SAW. Setelah menghadap Rasulullah, Umar pun mengadu tentang perihal ini. Apa kata Rasulullah kepada Umar? Rasulullah SAW bersabda, ''Lepaskan dia, Umar! Bacalah, Hisyam!''

Dari sini Rasulullah menghendaki agar Umar melepaskan Hisyam dan menyuruh Hisyam untuk membaca Alquran. Rasulullah menyuruh Umar melepaskan Hisyam sebagai upaya agar Hisyam dapat menjawab dengan tenang tanpa tekanan. Sedangkan Rasulullah menyuruh Hisyam untuk membaca Alquran agar Hisyam membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Kemudian, Hisyam membaca Alquran menggunakan dialek yang berbeda dengan dialek Umar.

Setelah mendengar bacaan Alquran Hisyam, Rasulullah SAW bersabda, ''Begitulah ia diwahyukan.'' Artinya, benarlah apa yang dibacakan Hisyam.

Setelah mengetahui bacaan Hisyam benar, Rasulullah menyuruh Umar membacanya, takutnya dialek Umarlah yang salah. Lagi-lagi di sini Rasulullah tabayun. Sekalipun Umar adalah sahabat yang terdekat dengannya, beliau tak peduli. Beliau hanya taat kepada kebenaran, sekali lagi agar tidak timbul fitnah di kemudian hari. Sebab, bisa jadi, hanya karena hal sepele, Islam menjadi rusak dan umat terpecah belah.

Setelah memastikan bahwa bacaan Umar juga benar, Rasulullah SAW kemudian bersabda, ''Begitu pulalah ia diwahyukan. Alquran diwahyukan untuk dibacakan dengan tujuh cara (qira'ah as-sab'ah), maka bacalah dengan cara yang mudah bagimu.''

Rasulullah menghendaki agar umatnya mau tabayun (mencari informasi yang benar) atas kejadian yang menimpa saudaranya. Sehingga kelak, tidak timbul fitnah dan ghibah.

Mencari informasi yang benar atau tabayun, merupakan sikap yang sudah seharusnya melekat pada diri orang-orang beriman. Dengan cara seperti itulah umat Islam tidak mudah diadu domba oleh pihak yang tidak menginginkan Islam dan umatnya jaya.

Allah SWT berfirman, ''Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.'' (QS Al-Hujurat [49]: 6).


ketika mendengar berita yg dirasa 'aneh', yg pertama dilakukan adalah menanyakan kpd si pembawa berita... dari mana ia dpt info tsb...
kalo masih katanya dan katanya... dan sumbernya ga jelas, maka menurut saya mendingan ga usah diperhatikan...
jika si pembawa berita 'bisa membuktikan' apa yg diberitakannya, ---misalnya punya bukti2 atau saksi yg melihatnya--- maka langkah kita selanjutnya adalah tabayun kepada Yang Diberitakan...

kesalahan selama ini, ketika kita menerima berita miring ttg seseorang, maka kita langsung klarifikasi kpd ybs...---syukur2 ga sampe men-judge--- 


Tabayyun adalah mengecek kebenaran suatu berita, agar tidak simpang siur dan menimbulkan fitnah. Setiap usaha utk membelokkan kebenaran dianggap fitnah, jadi yang namanya gosip, walaupun gak berbahaya, tetap saja fitnah, dan ini lebih kejam dari pembunuhan, jadi masalah ini sangat sensitif dalam Islam.

Suatu ketika, Abdullah bin Ubay, seorang pemuka kaum di Madinah yang merasa 'tersingkir' akibat keberadaan Nabi Muhammad saw. pernah berkata-kata buruk tentang umat Islam. Dia bicara di depan para pendukungnya yang tidak lebih dari 10 orang.

Zaid bin Arqam, yang waktu itu belum baligh (masih anak-anak), kebetulan lewat dan mendengarnya. Karena masih anak2, dia dibiarkan saja oleh Abdullah bin Ubay dan konco-konconya.

kemudian Zaid bin Arqam datang kepada Rasulullah saw. dan menyampaikan kata-kata buruk Abdullah bin Ubay tersebut. Rasulullah saw. memberikan 3 pertanyaan :

"Mungkin kamu marah padanya?" Zaid menjawab "tidak"

"Mungkin kamu tidak jelas mendengarnya?" Zaid menjawab "tidak"

"Mungkin ada kata-katanya yang kamu lupa?" Zaid kembali menjawab "tidak"

Disini ada pelajaran penting, tiga pertanyaan di atas mewakili tiga kemungkinan penyebab kesalahpahaman di tubuh umat. Tiga kemungkinan itu adalah :

Tidak objektifnya orang yang mendengar berita, mungkin karena marah, sedih, atau perasaan-perasaan subjektif lainnya, sehingga ia menanggapi suatu berita tidak sebagaimana mestinya. Itu sebabnya Rasulullah bertanya apakah Zaid sedang marah kepada Abdullah bin Ubay.

Pendengar tidak mendengar seluruh kata-kata sang pembicara (mungkin karena hanya sepintas lalu atau ada suara ribut di sekitarnya), sehingga makna yang ia tangkap pun sangat berbeda. Itu sebabnya Rasulullah bertanya apakah Zaid mendengar kata-kata Abdullah bin Ubay dengan sangat jelas atau hanya samar-samar.

Pendengar tidak mendengar seluruh kata-katanya si pembicara, hingga maknanya bisa sangat berubah. Kalimat "aku benci pada perbuatan dia" sangat berbeda dengan kalimat "aku benci pada dia". Karena itu Rasulullah bertanya apakah ada kata-kata Abdullah bin Ubay yang lupa ia sampaikan kepada Rasulullah.

Zaid menjawab ketiga pertanyaan dengan mantap. Rasulullah saw. mengenal anak itu sebagai anak yang jujur. Tapi apa yang beliau lakukan selanjutnya? apakah beliau mengutus orang utk memenggal leher Abdullah bin Ubay?

Tidak. Beliau menunggu Abdullah bin Ubay untuk datang padanya dan menyampaikan penjelasannya sendiri. Dan Abdullah bin Ubay benar-benar datang karena takut akan diusir dari Madinah. Ia menyampaikan sumpah palsu bahwa ia tidak pernah mengatakan kata-kata buruk tersebut. Tapi kemudian turun ayat Al-Qur'an yang menyampaikan kebenaran berita Zaid bin Arqam teresbut. Barulah Rasulullah saw. benar-benar percaya. Sejak itu, beliau memalingkan wajahnya dari Abdullah bin Ubay.

Begitulah tabayyun. Apakah Anda objektif? Apakah Anda mendengar dengan jelas? Apakah Anda mendengar secara lengkap? Kalau ketiga pertanyaan ini sudah dijawab, maka mintalah penjelasan, baru ambil keputusan. 
 
Antara Tabayun dan Menuduh
Islam amat menjunjung tinggi akhlak mulia dalam penyebaran informasi. Al Qur’an telah mengingatkan bahkan memerintahkan tradisi tabayyun (recheck) apabila ada informasi agar tidak menyebabkan kerugian pada orang lain:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS. Al Hujurat: 6).

Dalam kitab Lisanuil Arab dijelaskan, al fusuq, al ‘ishyan wat tarku li amrillahi ‘Azza wa Jalla, wal khuruj ‘an thariqil haq. Fusuq (akar kata fasik) adalah durhaka dan meninggalkan perintah Allah dan keluar dari jalan kebenaran. Dengan demikian, orang fasik adalah mereka yang durhaka kepada Allah, meninggalkan perintahNya, dan keluar dari kebenaran.
 
Al Qur’an mengkhawatirkan umatnya jatuh ke dalam perbuatan an tushibu qauman bijahalatin --menimpakan musibah pada suatu kaum, komunitas, partai, atau negara tertentu tanpa mengetahui keadaan yang sesungguhnya. Pagi-pagi telah diingatkan fatabayyanu, lakukanlah tabayun atau pemeriksaan dengan teliti. Inilah salah satu akhlak dalam informasi Islam. Berita-berita yang disadur dari berbagai sumber, harus dicermati agar tidak ada distorsi dan disinformasi di dalamnya.

Akhlak Islam dalam pemberitaan bisa juga kita cermati dari cara penyajian ayat-ayat Al Qur’an maupun Hadits Nabi saw. Al Qur’an pernah memberitakan kejadian ajakan perselingkuhan yang dilakukan isteri raja terhadap Nabi Yusuf. Dalam pola pemberitaan Al Qur’an tentang kejadian aib tersebut, nama isteri raja tidak disebutkan. Peristiwanya penting untuk diungkapkan dalam rangka peringatan dan keteladanan bagi seluruh umat manusia, namun tentang wanita yang menggoda Yusuf, tidak dirincikan jati dirinya.

“Dan wanita yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu... Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu, andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya” (QS. Yusuf: 23 – 24).

Al Qur’an hanya menyebutkan bahwa ia adalah isteri raja (imra’atu Al Aziz), tanpa disebutkan nama raja yang berkuasa pada waktu itu. Mahasuci Allah dari segala kealpaan, tidak disebutkan nama wanita tersebut jelas dengan maksud pembelajaran bagi umat manusia dalam memaparkan sebuah informasi. 
 
Banyak hadits Nabi yang berpola seperti itu. Pelaku-pelaku peristiwa tidak mesti disebutkan nama atau identitas dirinya. Misalnya ada ungkapan, “Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw....”, atau, “Datang seorang wanita kepada Nabi saw...” Bahwa nama laki-laki dan wanita yang datang kepada Nabi tidak disebutkan namanya, bukan karena kelupaan, akan tetapi ada maksud-maksud tertentu yang merupakan akhlak dalam informasi.

Jangankan informasi yang salah, sedangkan informasi yang jelas benar saja, seperti kisah wanita yang menggoda Nabi Yusuf, tidak seluruhnya bisa disampaikan bulat-bulat. Ada rahasia pelaku kejahatan yang perlu dilindungi, karena dampak dari pemberitaan yang menyebut nama dengan jelas akan mengenai bukan hanya kepada personal yang menjadi obyek berita, namun juga menimpa seluruh keluarga dan bahkan kaum kerabatnya. Mereka ikut menanggung beban moral padahal tidak tahu menahu tentang kejahatan yang dilakukan tersebut. 
 
Sayang sekali saat ini banyak informasi yang disuguhkan dengan sangat vulgar di media massa, tanpa melindungi tersangka pelaku kejahatan yang belum tentu kebenarannya. Bahkan banyak yang menjual berita gosip tentang selebritis dan politisi kondang untuk menaikkan rating dan oplah media. Di berbagai media massa, banyak acara sekitar selebritis telah menyajikan informasi secara sangat vulgar dengan mengabaikan asas praduga tak bersalah.

Inilah bahaya penyampaian informasi yang tidak dilakukan tabayun. Seseorang atau sekelompok orang bisa dijatuhkan kemuliaan dan harga dirinya, bahkan bisa dimatikan karakternya, lewat penyampaian informasi yang tidak tepat dan proporsional. Semestinyalah semua pihak mewaspadai agar tidak melakukan kezhaliman secara langsung ataupun secara tidak langsung, karena tidak mengindahkan etika menyampaikan informasi.
 
 
 

antara BATU, Bola Salju, Telur Rebus, WORTEL rebus, dan GULA BATU


 -Jangan Seperti Batu -

Suatu ketika dalam hidupnya, seorang murid pernah bertanya kepada gurunya tentang bagaimana seseorang harus bersikap di dalam hidup. Guru tersebut tidak menjawab dengan kata-kata belaka. Beliau mengajak muridnya masuk ke dapur. Ketika sang murid bingung menununggu, gurunya sudah asyik menyiapkan perapian dan mulai memasak air. Kala air mulai mendidih, sang guru keluar rumah dan kemudian masuk kembali sambil membawa sebongkah batu. Kemudian batu itu dimasukkannya ke dalam air yang mulai mendidih. Sang guru merebus batu!
Dalam hati sang murid bertanya-tanya tentang keanehan Sang Guru. Namun ia belum berani bicara dan diam menunggu. Selang beberapa waktu Sang Guru mengeluarkan sang batu dan menaruhnya diatas meja. Tiba-tiba dia berkata, “Kamu jangan seperti batu”. Mulut sang murid menganga, “Batu ini begitu keras, direbus di dalam air panas mendidih pun tak berkurang kerasnya. Orang yang seperti batu, sangat kaku, merasa paling benar, paling jagoan dan tidak bias berubah. Padahal kehidupan selalu berubah. Diatas pohon tinggi masih ada awan. Di atas awan masih ada langit. Dan diatas segalanya masih ada Allah. Bagaimana mungkin kita, manusia biasa, boleh merasa diri paling sempurna?”. 


-Jangan Seperti Bola Salju –


Sang murid tersadar. Sang Guru sedang member pelajaran lewat contoh sederhana. Setelah merenung sejenak murid lalu bertanya. “Guru, saya harus bersikap bagaimana?”
Seperti tadi, kali ini Sang Guru pun tidak menjawab. Ditambahkannya kayu ke dalam perapian dan sekali lagi beliau beranjak ke luar rumah. Tak lama kemudian ia membawa sebongkah salju yang mengeras. Tanpa berkata-kata bongkahan salju itu dimasukkannya ke dalam air yang bergolak panas. Dalam hitungan detik, salju pun mencair. Hilang dari pandangan, luluh menjadi air. Lalu Sang Guru berkata, “Kamu jangan seperti bongkahan salju. Kellihatan keras, berkarakter, punya prinsip dan teguh pendirian, namun baru diuji sebentar saja semuanya lenyap tak berbekas. Suka mengecam orang lain yang tidak jujur, berlaku sok suci, namum ketika dihadapkan pada kehidupan nyata, semua idealismenya hancur tak berbekas dan akhirnya ikutan korup”/
Sang murid tersadar. Dia kini sudah dihadapkan dua ekstrim : keras kepala versus tak berpendirian. Punya prinsip kaku versus prinsip fleksibel banget. Dia kini ingat nasiha Sang Guru sebelumnya. Terlalu kiri tidak baik. Terlalu ke kanan juga tidak baik. Terlalu cepat tidak tepat. Terlalu lambat, juga tidak tepat. Terlalu maju, perlu direm. Terlalu lambat, perlu didorong.  


-Jangan Menjadi Telur Rebus –

Ketika Sang Guru memandangnya sambil tersenyum. Sang Murid tersentak dari lamunannya, sambil menghormat, Sang murid kembali bertanya, “Saya memahami penjelasan Guru. Namun saya belum menemukan jawaban tentang bagaimana saya seharusnya menyikapi kehidupan. Mohon Guru berkenan memberikan petunjuk lebih lanjut”.
Seperti sebelumnya, Sang Guru juga tidak menjawab. Kini ia pun bangkit dari tempat duduknya dan segera beranjak. Tidak ke halaman depan rumah, melainkan ke belakang. Tak lama kemudian Sang Guru membawa dua butir telur ayam di tangannya. Telur yang satu kemudian dipecahkannya di depan Sang Murid. Segera sang Murid bias melihat airan telur yang telah meleleh membasahi meja. Cair namun kental. Telur kedua, kemudian dimasukkan ke dalam air yang mendidih.
Setelah berdiam cukup lama, tiba-tiba Sang Guru mengeluarkan telur yang sudah matan dan mengelupasnya. Segera tercium harum aroma telur rebus dan terlihat putih ranumnya telur matang. Maka telur yang semula cair dan kental di kala masih mentah, kini telah berubah menjadi lebih keras sesudah matang. Lalu Sang Guru pun berakata, “Kamu pun jangan menajdi telur rebus. Baru belajar sedikit, sudah merasa mampu menguasai semua. Baru paham secuil ayat suci, merasa sudah sah memonopoli kebenaran, sombong, ekstrem, takabur”
Cukup lama sang murid merenung. Betapa sulit mencari seorang pembelajar sejati. Yang tekun belajar tanpa kenal lelah, mampu menerapkan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari dengan baik dan tetap rendah hati. 
 
-Jangan Menjadi Wortel Rebus –

Sang Guru kembali bergegas ke belakang. Diambilnya sebuah wortel dari kebun. Seperti sebelumnya, wortel itu pun dimasakkannya ke dalam air mendidih. Selang beberapa waktu, wortel itu pun diangkatnya dari air rebusan. Bersamaan dengan itu. Sang Guru pun berkata, “Muridku, kamu pun tidak boleh menjadi wortel rebus”.
Sejenak sang murid tercenung. Dipegangnya wortel rebus itu sambil dipencet-pencet. Wortel yang semula keras, kini telah menjdi lunak. Namun ia tetap bias dikenali sebagai wortel. Mengapa guru mengatak seperti itu? Bukankah wortel melambangkan fleksibilitas, keluwesan, namun sekaligus kekuhuan untuk mempertahankan prinsip, sehingga tetap tidak kehilangan jati diri? Mulut murid ingin meluapkan banyak kata-kata, berjuta argument; namun entah mengapa seakan terkunci. Sang Guru tetap tersenyum. “Muridku, wortel memang luwes, fleksibel, mampu beradaptasi menyesuaikan diri. Hebatnya lagi ia tidak kehilangan jati dirinya. Lambang seseorang yang teguh memegan prinsip, namun tidak kaku. Bagus. Tapi, cobalah kamu lihat air ini. Air ini tetap tidak berubah. Tidak ada nilah tambah. Apa artinya? Pengorbanan wortel itu menjadi sia-sia. Tidak merubah apa-apa. “Mata sang murid membelalak lebar, wajahnya memancarkan rona kegembiraan. Sekali lagi ia mendapat pencerahan dari gurunya yang amat bijaksana. 
 
-Jadilah Gula Batu –

Sampai disini sang murid sdah tidak merasa penasaran lagi. Ia seakan sudah cukup terpuaskan dengan empat contoh yang diberikan gurunya. Dia tak sadar bahwa Sang Guru sudah mengganti airnya, menambah kayu bakar dan mulai merebus air kembali. Dia baru sadar kembali kala gurunya menaruh bongkahan gula batu ke dalam air mendidih.
Tak lama kemudian Sang Guru berkata, “Jadilah kamu gula batu, muridku. Tubuhnya memang hancur seperti bongkahan salju, tapi bukan karena ia tidak punya prinsip. Kelihatannya ia kalah, tapi sebenarnya dialah yang menang, yang menguasai, yang membuat air berubah manis. Biarkan orang menyangka diri merekalah yang menang, namun sesungguhnya telah dikalahkan secara cerdik dan halus. Bila kamu bisa meresapai dan menghayati makna filosofi gula batu ini, kamu akan bias menerapkannya di bidang apa pun di sepanjang hidupmu. Itulah jawaban atas pertanyaanmu semula, bagaimana sikap terbaik dalam kehidupan”.

 
 

Aku Cemburu


Aku cemburu
Pada mereka yg telah berani memilih walau perih…
Aku cemburu
Pada mereka yg istiqomah walau sangat payah…
Aku cemburu
Pada mereka yg memiliki cinta-Nya walau teraniaya…
Aku cemburu
Pada mereka yg tetap berjuang walau tak selalu berujung senang…
Aku cemburu
Pada mereka yg selalu bergerak walau waktu terus mendesak…

Aku cemburu
Pada mereka yang apapun selalu bernilai Akhirat…
 
Sedang aku…??
Apapun adalah dunia !!!

keutamaan SAKIT

sedikit mengutip artikel mengenai SAKIT.
Untuk sebagian orang sakit merupakan musibah . Tak satuorang pun yang ingin merasakan sakit, Meskipun demikian ternyata ada maksud tertentu dari Allah atas penyakit yang diderita hamba-Nya. Dalam buku Panduan Menghadapi Sakit dan Kematian karya Ahmad Yani, disebutkan terdapat lima keutamaan sakit menurut Islam:


1. Menghapus Dosa,

 

Ini merupakan keutamaan yang besar dari Allah Swt karena dengan sakit yang diderita oleh seorang muslim, dosa yang pernah dilakukannya bisa terhapus karena penderitaannya dalam menghadapi penyakit menjadi kafarat (penebus) dosanya, Rasulullah Saw bersabda:

“Tiada seorang mu’min yang rasa sakit, kelelahan (kepayahan), diserang penyaki tatau kesedihan (kesusahan) sampai duri yang menusuk (tubuhnya) kecuali dengan itu Allah menghapus dosa-dosanya”
(HR. Bukhari).
 

2. Tetap Mendapatkan Pahala Dari Amal Kebaikan Yang Biasa Dilakukannya Diwaktu Sehat

Hal ini karena ia tidak bisa menjalankan amal kebaikan itu bukan karena ia tidak mau, tetapi karena ia dalarn keadaan sakit. nnisalnya kalau kita biasa ke masjid untuk shalat berjamaah, tentu kita mendapatkan pahala yang besar, setiap langkahnya diangkat baginya satu derajat dan dihapuskan satu kesalahannya kemudian malaikat akan terus mengucapkan shalawat (memintakan ampunan) kepadanya, selama dia masih berada di ruangan shalat tersebut , namun pada saat kita sakit tentu tidak bisa ke masjid tapi kita tetap mendapat pahalanya. Rasulullah Saw bersabda:


“Apabila salah seorang hamba sakit atau bepergian (safar), maka Allah mancatat pahalanya seperti pahala amal yang dikerjakannya sewaktu ia tidak bepergian atau sehat.”
(HR. Bukhari).

Di dalam hadist lain, Rasulullah Saw bersabda yang menguatkan hadits di atas:

“Apabila seorang hamba sakit sedang dia biasa melakukan suatu kebaikan, maka Allah berfirman kepada malaikat: “Catatlah bagi hamba-Ku pahala seperti yang biasa ialakukan ketika sehat.”
(HR. Abu Hanifah).

3. Memperoleh Pahala Kebaikan


Segala sesuatu yang terjadi pada manusia pasti ada hikmahnya. Seorang muslim yang sabar dalam menghadapi penyakit maka baginya pahala kebaikan. Rasulullah Saw bersabda:


“Tiada seorang muslim tertusuk duri atau yang lebih dari itu, kecuali Allah mencatat baginya kebaikan dan menghapus darinya dosa.”
(HR. Bukhari).
Di dalam hadits lain yang senada tentang ini, Rasulullah Saw bersabda:
Barangsisapa dikehendaki oleh Allah kebaikan baginya, maka dia (diuji) dengan suatu musibah.
(HR. Bukhari).

4. Memperoleh Derajat Yang Tinggi di Sisi Allah SWT


Hal ini karena di dalam surga ada derajat tertentu yang harus dicapai, bila seorang muslim tidak mampu mencapainya dengan suatu amal, maka ia bisa mem¬peroleh derajat yang tinggi itu dengan musibah atau penyakit yang dideritanya, misalnya mati syahid merupakan kematian yang sangat mulia, dia bisa dicapai dengan cara berperang di jalan Allah dan mati pada saat peperangan itu, namun bila seseorang ingin memperoleh kematian yang mulia itu, tapi perang di jalan Allah secara fisik tidak terjadi, maka ia tetap bisa mendapatkan derajat mati syahid dengan penyakit yang menimpa sehingga menyebabkan kematiannya, Rasulullah saw bersabda:


“Wabah adalah syahadah (mati syahid) bagi setiap muslim.”
(HR. Bukhari)

Di dalam hadits lain, Rasulullah saw bersabda:

“Seorang hamba memiliki suatu derajat di surga. Ketika dia tidak dapat mencapainya dengan amal-amal kebaikannya, maka Allah menguji dan mencobanya agar dia dapat mencapai derajat itu.”
(HR. Thabrani)

5. Memperoleh Ganjaran Berupa Surga


Mana¬kala seorang muslim menghadapi penyakit dengan penuh kesabaran, misalnya penyakit yang sangat menyulitkan penderitanya dalam kehidupan ini seperti buta matanya, Rasulullah saw bersabda:


Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan membutakan kedua matanya dan dia bersabar, maka Aku ganti kedua matanya itu dengan surga.” (HR. Ahmad).

Dengan demikian, meskipun tidak menyenangkan, sakit merupakan ujian yang dapat memberikan keutamaan dan manfaat yang besar, baik bagi si penderita maupun keluarganya. Oleh karena itu, penyakit harus dihadapi dengan sikap, pemikiran dan prilaku yang positif. Ingat hukum
Law of Attraction, kalau kita selalu berlaku positif, maka yang hal positif tersebut InsyaAllah akan datang ke kita. Misalnya ketika sakit kita berpikiran dan memasukkan ke alam bawah sadar “sehat, kuat, sabar!!”. Maka hal tersebut dapat mempercepat kesembuhan kita.

Mudah-mudah bermanfaat untuk kita semua,

agar ikatan UKHUWAH semakin KUAT

Pesona ukhuwah sungguh luar biasa. Ia tak terbatas waktu dan jarak sekalipun jua. Sebab ia bukan hanya dari pesona wajah ataupun kata-kata melainkan lebih dalam... yaitu ikatan rasa. Bahkan antara dua orang yang tak pernah bersua, ia tetap mengikatkan pesonanya.

Ukhuwah...bukan dibiarkan begitu saja...
ibarat pohon atau tanaman, ia harus dijaga, dirawat, dipupuk agar terus berkembang...


ada beberapa hal yang bisa menjadikan ukhuwah lebih erat...yaitu :



1. Katakan bahwa Anda mencintai saudara Anda

عَنِ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ: إِِذَا أَحَبَّ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَلْيُخْبِرْهُ أََنَّهُ يُحِبُّهُ

Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang mencintai saudaranya, hendaklah dia mengatakan cinta kepadanya.” (Abu Dawud dan Tirmidzi, hadits shahih)

Anas r.a. mengatakan bahwa seseorang berada di sisi Rasulullah saw., lalu salah seorang sahabat melewatinya. Orang yang berada di sisi Rasulullah tersebut mengatakan, “Aku mencintai dia, ya Rasulullah.” Lalu Nabi bersabda, “Apakah kamu sudah memberitahukan dia?” Orang itu menjawab, “Belum.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Beritahukan kepadanya.” Lalu orang tersebut memberitahukannya dan berkata, “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.” Kemudian orang yang dicintai itu menjawab, “Semoga Allah mencintaimu karena engkau mencintaiku karena-Nya.” (Abu Dawud, dengan sanad shahih)
2. Minta didoakan dari jauh saat berpisah 

عَنْ عُمَرَبْنِ الْخَطَابِ قَالَ: اِسْتَأْذِنْتُ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ فِى الْعُمْرَةِ فَأَذِنَ لِي فَقَالَ: لاَ تَنْسَنَا يَا اُخَيَّ مِنْ دُعَائِكَ فَقَالَ: كَلِمَةً مَا يَسُرُّنِى أَنَّ لِى بِِهَا الدُّنْيَا، وَفِى رِوَايَةٍ قَالَ: أَشْرِكْنَا يَا أُجَيَّ فِى دُعَائِكَ

Umar bin Khaththab berkata, “Aku minta izin kepada Nabi Muhammad saw. untuk melaksanakan umrah, lalu Rasulullah saw. mengizinkanku.” Beliau bersabda, “Jangan lupakan kami, wahai saudaraku, dalam doamu.” Kemudian ia mengatakan satu kalimat yang menggembirakanku bahwa aku mempunyai keberuntungan dengan kalimat itu di dunia. Dalam satu riwayat, beliau bersabda, “Sertakan kami dalam diamu, wahai saudaraku.” (Abu Dawud dan Tirmidzi, hadits hasan shahih) 

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُوْ لِأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ إِلاَّ قَالَ الْمَلَكُ : وَلَكَ بِمِثْلٍ

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak seorang hamba mukmin yang berdoa untuk saudaranya dari kejauhan malainkan malaikat berkata, ‘Dan bagimu seperti itu’.” (Muslim)

3. Bila berjumpa, tunjukkan wajah gembira dan senyuman

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُفِ شَيْئاً وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِيْقٍ
Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan apapun, walaupun sekadar bertemu saudaramu dengan wajah ceria.” (Muslim) 

4. Berjabat tangan dengan erat dan hangat

Berjabat tanganlah acapkali bertemu. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, 


قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: مَا مِنْ مُسْلِمِيْنَ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا

“Tidak ada dua orang muslim yang berjumpa lalu berjabat tangan melainkan keduanya diampuni dosanya sebelum berpisah.” (Abu Dawud)

  
5. Sering-seringlah berkunjung

Nabi Muhammad saw. bersabda, “Allah swt. berfirman, ‘Pasti akan mendapat cinta-Ku orang-orang yang mencintai karena Aku, keduanya saling berkunjung karena Aku, dan saling memberli karena Aku’.” (Imam Malik dalam Al-Muwaththa’) 

6. Ucapkan selamat saat saudara Anda mendapat kesuksesan

عَنْ اَنَسٍ بن مالك قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: مَنْ لَقِيَ أَجَاهُ بِمَا يُحِبُّ لِيَسُرَّهُ ذَالِكَ سَرَّةُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Anas bin Malik berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa bertemu saudaranya dengan membawa sesuatu yang dapat menggembirakannya, pasti Allah akan menggembirakannya pada hari kiamat.” (Thabrani dalam Mu’jam Shagir)

Jadilah Anda orang yang paling pertama mengucapkan selamat kala saudara Anda menikah, mendapat anak, menempati rumah baru, pergi haji, naik jabatan, dan lain-lain. 

7. Berilah hadiah terutama di waktu-waktu istimewa


عَلَيْكُمْ بِالْهَدَايَا فَإِنَّهَا تُوْرِثُ الْمَوَدَّةَ وَتُذْهِبُ الضَّغَائِنَ

Hadits marfu’ dari Anas bahwa, “Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena hadiah itu dapat mewariskan rasa cinta dan menghilangkan kekotoran hati.” (Thabrani)


عَنْ عَائِشَةَ: تَهَادَوْا تَحَابُّوْا

Thabrani juga meriwayatkan hadits marfu’ dari Aisyah r.a. bahwa, “Biasakanlah kamu saling memberi hadiah, niscaya kamu akan saling mencintai.” 

8. Berilah perhatian dan bantu keperluan Saudara Anda 


قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَاللهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَادَامَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ اَخِيْهِ.

Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang melepaskan kesusahan seorang mukmin di dunia niscaya Allah akan melepaskan kesusahannya di akhirat. Siapa yang memudahkan orang yang kesusahan, niscaya Allah akan memudahkan (urusannya) di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat. Dan Allah selalu menolong hamba-Nya jika hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

Karena itu, jadikan diri kita orang yang paling dahulu membantu kala saudara kita  membutuhkan.
 

Ingat MATI

Kalau kita ditanya, "apa yang paling dekat dengan kita?
maka jawabnya adalah "Kematian".
mengapa ? karena kematian adalah suatu kepastian...
dan, sesuatu yang pasti, adalah dekat.

pernahkah terpikir bagi kita, bahwa sewaktu-waktu malaikat maut datang menjemput...
dan kita dihadapkan pada kunci kehidupan kita selanjutnya yang kekal ?
“Demi Allah, seandainya jenazah yang sedang kalian tangisi bisa berbicara sekejab, lalu menceritakan (pengalaman sakaratul mautnya) pada kalian, niscaya kalian akan melupakan jenazah tersebut, dan mulai menangisi diri kalian sendiri”. (Imam Ghozali mengutip atsar Al-Hasan).
Datangnya Kematian Menurut Al Qur’an :

1. Kematian bersifat memaksa dan siap menghampiri manusia walaupun kita berusaha menghindarkan resiko-resiko kematian.

Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh". Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati. (QS Ali Imran, 3:154) 

2. Kematian akan mengejar siapapun meskipun ia berlindung di balik benteng yang kokoh atau berlindung di balik teknologi kedokteran yang canggih serta ratusan dokter terbaik yang ada di muka bumi ini.
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun? (QS An-Nisa 4:78) 

3. Kematian akan mengejar siapapun walaupun ia lari menghindar.
 

Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS al-Jumu’ah, 62:8) 

Lawan kata dari mati adalah Hidup...
kalau ditanya, mana yang pasti, hidup/kehidupan atau mati/kematian ?
pasti kita sepakat bahwa yang pasti adalah mati/kematian...

nah...kalau kematian adalah sesuatu yg pasti, berarti hidup ini merupakan yang tidak pasti...
tapi anehnya...mengapa kita mengorbankan sesuatu yg pasti, dan disibukkan dengan sesuatu yang tidak pasti ?

Umar bin Khattab ra pernah berucap:
“Setiap hari aku mendengar kabar bahwa si Fulan dan Fulan telah meninggal dunia. Dan suatu hari nanti pasti akan ada berita bahwa Umar telah kembali (ke pangkuan-Nya).”
(Mawa’izh as shahabah, Shalih Ahmad al Syami).

Ajal adalah rahasia Allah swt dan misteri bagi kita selaku makhluk-Nya. Kita tidak mengetahui kapan ia menyapa seseorang, kecuali setelah terjadi. Ketika kita menyadari apa yang telah diingatlah oleh Amirul mukminin, tentu kita akan senantiasa waspada. Tidak lalai dan lengah dengan silaunya dunia. Karena kita sadar bahwa kita akan meninggalkannya.

Hitunglah dengan teliti dan jujur berapa jumlah orang yang kita kenal. Tetangga kita di kampung halaman. Teman kerja kita di kantor. Rekan kita di sekolah dan seterusnya. Dan sekarang telah menutup mata untuk selama-lamanya. Entah esok, lusa, tiga hari lagi, pekan depan dan seterusnya. Kita pun akan mengalami hal yang sama.
Sudahkah kita menyiapkan diri untuk hari kepulangan kita? 

Rabu, 28 November 2012

Pengaruh Amal Shalih Orang Tua terhadap Anak

Keshalihan dan amal baik orang tua memiliki dampak yang besar bagi keshalihan anak-anaknya, dan memberikan manfaat bagi mereka di dunia dan akhirat. Sebaliknya amal-amal jelek dan dosa-dosa besar yang dilakukan orang tua akan berpengaruh jelek terhadap pendidikan anak-anaknya.
Pengaruh-pengaruh tersebut di atas datang dengan berbagai bentuk. Di antaranya, berupa keberkahan amal-amal shalih dan pahala yang Allah sediakan untuknya. Atau sebaliknya berupa kesialan amal-amal jelek dan kemurkaan Allah serta akibat jelek akan diterimanya.

Bentuk ganjaran dan pahala atau kemurkaan dan siksaan tersebut biasanya akan dirasakan oleh anak. Ganjaran yang dirasakan anak dapat berupa penjagaan, rezeki yang luas, dan pembelaan dart murka Allah (jika orang tua shalih dan gemar melaksanakan amalan yangbaik). Adapun amal jelek orang tua, akan berdampak jelek kepada anak, dapat berupa musibah, penyakitdan kesulitan-kesulitan lain.
Oleh karena itu, orang tua hendaknya memperbanyak amal shalih karena pengaruhnya akan terlihat pada anak.
Allah berfirman,
Adapun dinding itu milik dua orang anak yang yatim di kota dan di bawah dinding itu ada harta simpanan untuk mereka berdua, sedangkan orang tua mereka baik. Maka Rabb-mu ingin mereka sampai kepada umur dewasa lalu mereka me-ngeluarkan harta itu sebagai rahmat dari Rabb-mu.” (QS. Al Kahfi: 82)

Awalnya, Musa bersama Khidhir singgah di sebuah desa dan berharap dijamu oleh penduduknya, tetapi ternyata mereka enggan menjamu keduanya. (Sebelum kedua nabi ini pergi) mereka melihat ada dinding yang hampir roboh. Khidhir pun menegakkannya.
Musa berkata,
Kalau kamu mau, mintalah bayaran.” (QS. Al Kahfi: 77)
Khidhir menjawab,
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak muda yang yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayah dan ibu-nya adalah seorang yang shalih.” (QS. Al Kahfi: 82)

Maka perhatikanlah bagaimana Allah Azza wa Jalla menjaga harta pusaka anak yatim ini sebagai balasan atas keshalihan kedua orang tuanya! Apakah Anda menyangka atau meyakini bahwa harta simpanan yang Allah jaga itu dikumpulkan dari harta haram? Sama sekali tidak. Orang tua yang shalih tidak mungkin mengumpulkan harta dari sumber yang haram dan tidak mungkin Allah akan menjaganya jika harta itu tidak berasal dari sumber yang halal.
Allah berfirman,
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatirkan (kesejahteraan mereka). Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An Nisa’: 9)

Ayat ini menerangkan hubungan antara perkataan yang benar dan yang jelek dengan keadaan anak yang akan ditinggalkan oleh orang tuanya.
Karena itu, wahai bapak dan ibu, bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, khususnya dalam urusan anak yatim!

Jika Anda melihat orang yang memakan harta anak yatim atau menganjurkan untuk berbuat zalim kepada mereka, atau mengurangi hak-hak mereka, maka bangkit dan ucapkanlah perkataan yang benar dengan semata-mata mengharap wajah Allah. Dengan kalimat yang benar dari Anda ini, Allah akan menghilangkan kezaliman dan menegakkan kebenaran, dan pengaruh baiknya akan terus dirasakan oleh anak cucu Anda dan akan dicatat di buku catatan kebaikan Anda di hari kiamat.

Maka bersemangatlah dalam memuliakan anak yatim, dan berhati-hatilah dari mendekati harta mereka, karena semua itu memiliki pengaruh yang besar atas anak-anak Anda sebagaimana telah kami terangkan di atas.

Perbaiki, wahai bapak dan ibu, makanan dan minuman serta pakaian Anda; (carilah yang halal), karena dengan demikian, ketika Anda mengangkat kedua tangan berdoa kepada Allah dengan tangan dan jiwa yang suci, Allah akan menerima doa Anda untuk kebaikan anak-anak Anda, memperbaiki keadaan mereka dan memberkahi diri mereka. Allah Subhanahu wa Taala berfirman,

Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang bertakwa.” (QS. Al Maidah: 27)

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
Ada seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh. Rambutnya kusut dan berdebu. Lalu dia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa, ‘Ya Rabbi, ya Rabbi.’ Padahal makanannya haram, minumannya haram, dan pakaiannya haram, dan dia dikenyangkan dengan makanan yang haram, maka bagaimana orang seperti ini dikabulkan doanya?”1

Bagaimana Anda berdoa mengangkat kedua tangan dan mengharapkan jawaban, sementara tangan Anda masih sering membunuh, memukul dan menganiaya, Anda masih suka menipu orang? Bagaimana Anda berdoa untuk kebaik¬an anak Anda dengan tangan itu?! Bagaimana mungkin Anda berdoa, memanjatkan permintaan kepada Allah dengan mulut Anda, sementara mulut itu sering memakan harta yang haram, sering berdusta, namimah, ghibah, mencela kehor-matan orang, mencaci dan memaki, bahkan mengucapkan kali mat-kali mat syirik, dan menuduh berzina wanita baik-baik?!
Apakah Anda yakin doa Anda akan diterima sementara pakaian dan makanan Anda dari sumber yang haram?!
Karena itu bertakwalah dan beramal shalihlah agar doa untuk kebaikan anak Anda diterima!

Diceritakan bahwa sebagian orang-orang salaf dahulu pernah berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, aku akan mebaguskan shalatku agar engkau mendapatkan kebaikan.” Sebagian ulama menyatakan bahwa makna ucapan itu adalah aku akan memperbanyak shalatku dan berdoa kepada Allah untuk kebaikanmu.

Kedua orang tua bila membaca Al Qur’an, surat Al Baqarah dan surat-surat Al Mu’awwidzat (Al Ikhlas, Al Falaq dan An Naas), maka para malaikat akan turun untuk mendengarkannya2 dan setan-setan akan lari.3
Tidak diragukan bahwa turunnya malaikat membawa ketenangan dan rahmat. Dan ini jelas memberi pengaruh baik terhadap anak dan keselamatan mereka.
Tetapi bila Al Qur’an ditinggalkan, dan orang tua lalai dari zikir, ketika itu setan-setan akan turun dan memerangi rumah yang tidak ada bacaan Al Qur’an, penuh dengan musik, alat-alat musik, dan gambar-gambar yang haram. Kondisi seperti ini jelas akan berpengaruh jelek terhadap anak-anak dan mendorong mereka berbuat maksiat dan kerusakan.

Diketik ulang dari:
“Tarbiyatul Abna” Syaikh Musthafa Al Adawi, Media Hidayah, hal 42-47.

Footnotes :
1. Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya (no.1015) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang beriman (seperti) apa yang telah diperintahkan kepada para rasul.

Dia berfirman,
Wahai para rasul, makanlah dari segala sesuatu yang baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mukminun: 51)
Dan Dia berfirman.
Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah Kami berikan kepadamu.” (QS. Al Baqarah: 172)
Kemudian Nabi menyebutkan kisah laki-laki tadi. [↩]

2. Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya (no. 2699) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah juga bersabda, -kemudian beliau menyebutkan haditsnya dan di antaranya adalah-
Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid), membaca Kitabullah, saling mempelajarinya di antara mereka,melainkan ketenangan akan turun atas mereka, rahmat akan meliputi mereka, para malaikat akan menaungi mereka, dan Allah akan menyebut mereka kepada malaikat yang ada di sisi-Nya.”
[↩]

3. Dikeluarkan juga oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya (no. 796), bahwa Usaid bin Hudhair radhiyallahu ‘anhu pada suatu malam membaca Al Qur’an di tempat penjemuran kurmanya. Tiba-tiba kudanya melonjak-lonjak. Usaid kemudian melanjutkan membaca, dan tak lama kemudian kuda itu melonjak-lonjak lagi. Kemudian dia membaca lagi, dan kembali kudanya melonjak-lonjak. Dia berkata,
“Aku khawatir kuda tersebut akan menginjak anakku, si Yahya. Maka aku pun pergi melihat apa yang terjadi dengan kuda itu. Ternyata ada benda seperti gumpalan awan di atasnya, di dalamnya seperti pelita. Lama kelamaan gumpalan itu naik ke angkasa dan menghilang. Pagi-pagi sekali aku menghadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan menanyakan perihal kejadian semalam. Nabi berkata kepadaku,
“Sekarang bacalah, wahai Ibnu Khudair.”
Maka aku pun membaca, tiba-tiba kudaku kembali melonjak-lonjak. Nabi berkata lagi,
“Bacalah, wahai Ibnu Khudhair.”
Maka aku membaca lagi, dan kuda itu kembali melonjak-lonjak. Kemudian Nabi memerintahkan aku membaca untuk ketiga kalinya, dan ternyata sama dengan kejadian sebelumnya, kudaku melonjak-lonjak. Karena saat itu Yahya ada di dekat kuda itu, maka aku khawatir dia terinjak olehnya. Ternyata aku melihat segumpal awan (di dekat kuda itu), di dalamnya seperti ada pelita. Lama kelamaan gumpalan itu naik ke angkasa dan menghilang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Yang tadi itu adalah malaikat yang ikut mendengarkan bacaan kamu. Kalau saja kamu membacanya sampai pagi hari, niscaya orang-orang akan melihat dengan jelas gumpalan itu.”

Dalam Shahih Muslim (no. 780) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Janganlah engkau jadikan rumahmu seperti kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat Al Baqarah.”

membuka AIB, antara Nasehat dan Fadhilah


Sesungguhnya memberikan nasihat kepada kaum muslimin; baik berupa bimbingan kepada kebenaran yang nyata atau pun peringatan dari kebatilan dan para pelakunya, terhitung bagian dari agama.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الدِّينُ النَّصِيحَةُ قَالُوا لِمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ 

Rasulullah saw. bersabda: “Agama adalah nasihat”, para sahabat bertanya: “Untuk siapa?”. Rasulullah saw. bersabda: “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan kaum muslimin secara umum”. (Bukhari, Muslim dan ahli hadits lainnya)

Al-Khaththabi berkata: “Nasihat adalah sebuah kosa kata yang bersifat merangkum dan menghimpun banyak arti, maknanya adalah: mendatangkan kebaikan kepada pihak yang dinasihati”.
Tidak diragukan lagi bahwa manusia berpotensi salah dan cenderung menyimpang dari al-haq dan kebenaran. Tersebut dalam hadits:

كُلُّ بَنِيْ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ اَلتَّوَّابُوْنَ

“Semua anak keturunan manusia bersifat salah, dan sebaik-baik mereka yang salah adalah yang paling banyak bertaubat”. (Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dan termasuk hak seorang muslim atas muslim lainnya adalah hendaklah ia menunjukkan kepada saudaranya tentang aib dan kesalahannya, dan hendaklah ia menasihatinya dalam perkara dan urusannya. Tetapi, nasihat itu hendaklah dilakukan dengan lembut dan hikmah. Hendaklah seorang muslim berhati-hati, jangan sampai menghina saudaranya dan menuduhnya hanya berdasar kepada sekedar persangkaan saja, sebab, persangkaan itu adalah seburuk-buruk pembicaraan, dan cukuplah hal ini sebagai kejahatan. Rasulullah saw. bersabda:

بِحَسْبِ اِمْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ اَلْمُسْلِمَ

“Cukuplah seseorang itu menjadi jahat saat ia menghina saudaranya yang muslim” (Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Jika ada mendengar – seorang muslim – tentang saudara muslim lainnya sesuatu yang tidak disuka, jangan segera membenarkan perkataan tentang saudaranya itu. Justru kewajibannya adalah untuk melakukan tatsabbut (klarifikasi) sehingga dirinya mendapatkan keyakinan tentangnya, sebab, kebanyakan manusia telah terbiasa menyebarluaskan keburukan secara bathil, dan banyak pula manusia yang suudzan (buruk sangka) nya lebih cepat daripada husnuzhan (berbaik sangka) nya, oleh karena itu, jangan membenarkan setiap perkataan, walaupun dirinya mendengarnya berulang kali sehingga dirinya mendengarnya dari yang menyaksikan secara langsung, dan jangan membenarkan orang yang menyaksikannya secara langsung sehingga dirinya memastikan kebenaran atas apa yang disaksikannya, dan jangan membenarkan orang yang telah membuktikan kesaksiannya sehingga dirinya memastikan kebersihannya dari tendensi khusus dan hawa nafsu.

Untuk inilah Allah swt. memerintahkan kepada kita untuk menjauhi banyak persangkaan, dan memandang sebagian persangkaan itu sebagai dosa, sebab zhan itu bertolak belakang dengan ilmu dan ia tidak memberi arti apa-apa terhadap kebenaran. Allah swt. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا
 
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain”. (Al-Hujurat: 12).
Firman Allah yang lain:

وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran” (An-Najm: 28).

Dan jika seseorang melihat suatu urusan, atau sampai kepadanya tentang saudaranya suatu perkataan yang memiliki dua kemungkinan arti, maka, bawalah maksud perkataannya itu kepada maksud yang baik, sebab yang demikian ini lebih sesuai dengan akhlaq mulia dan lebih mencerminkan ukhuwwah yang bening. Umar bin Al-Khaththab ra. Berkata:

لاَ تَظُنَّنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنْ أَخِيْكَ الْمُؤْمِنِ إِلاَّ خَيْرًا وَأَنْتَ تَجِدُ لَهَا فِي الْخَيْرِ مَحْمَلاً
 
”Janganlah kamu menyangka satu kosa kata yang keluar dari saudara mukmin mu kecuali kebaikan, sedangkan engkau mendapati kemungkinan maksud yang baik dari perkataannya”. (Ahmad)

Puteri dari Abdullah bin Muthi’ berkata kepada suaminya Thalhah bin Abdurrahman bin Auf ra. Di zamannya Thalhah adalah orang Quraisy yang paling derma. Istrinya berkata: “Saya tidak melihat satu kaum yang lebih buruk dari saudara-saudaramu!”. Thalhah berkata kepada istrinya: “hush hush! Kenapa demikian?”. Istrinya menjawab: “Saya melihat mereka, kalau kamu sedang ada uang, mereka nempel terus kepadamu, dan jika kamu sedang tidak mempunyai apa-apa, mereka meninggalkanmu”. Maka Thalhah berkata kepada istrinya: “Ini, demi Allah, adalah bukti bahwa mereka berakhlaq mulia, mereka datang kepada kita saat kita mampu memuliakan mereka, dan mereka meninggalkan kita saat kita tidak mampu memenuhi hak-hak mereka”. 
 
Coba kita lihat, bagaimana Thalhah men-ta’wil-kan perbuatan saudara-saudaranya terhadapnya, padahal perbuatan itu jelas buruk dan tidak kenal budi, namun demikian, ia memandangnya sebagai bentuk kesetiaan dan kemuliaan.

Jika seorang muslim melihat saudara muslim lainnya melakukan kesalahan yang tidak dapat diterima alasannya atau tidak bisa ditafsirkan lain, maka menjadi kewajibannya untuk datang kepadanya guna memberi nasihat secara rahasia, antara dirinya dan saudaranya saja, bukan di depan khalayak, sebab manusia tidak ingin aibnya diketahui oleh siapa pun, jika dirinya menasihati saudaranya secara rahasia, maka hal ini lebih berpeluang untuk diterima, lebih menunjukkan ikhlas dan jauh dari syubhat. Adapun jika dirinya menasihati saudaranya secara terbuka, di depan banyak orang, maka pada yang demikian ini terdapat syubhat dendam dan popularisasi keburukan, menonjolkan sisi kelebihan diri dan ilmu yang dimiliki. Dan hal ini merupakan penghalang yang mencegah pihak yang dinasihati untuk mendengarkan nasihat serta mengambil pelajaran darinya.

Di antara akhlaq Nabi saw. dan adabnya dalam mengingkari kemunkaran dan memperjelas kebenaran adalah bahwa jika sampai kepada beliau tentang satu atau sekelompok orang yang melakukan kemunkaran, maka beliau tidak menyebutkan nama mereka secara terbuka, beliau hanya bersabda: “Kenapa ada orang yang berbuat begini dan begini”, lalu orang yang dimaksud memahami bahwa dia lah yang dimaksud oleh nasihat itu. Dan hal ini termasuk cara memberi nasihat dan cara mentarbiyah yang paling tinggi.

Imam Syafi’i berkata:

مَنْ وَعَظَ أَخَاهُ سِرًّا فَقَدْ نَصَحَهُ وَزَانَهُ، وَمَنْ وَعَظَهُ عَلاَنِيَّةً فَقَدْ فَضَحَهُ وَشَانَهُ
 
“Siapa yang memberi mauizhah kepada saudara secara rahasia, maka ia telah menasihati dan memperbaikinya, dan siapa yang memberi mauizhah secara terbuka, berarti ia telah membuka aibnya dan memperburukkannya” 
Jadi, seorang mukmin yang memberi nasihat, ia tidak memiliki tujuan untuk mempublikasikan aib orang yang dinasihatinya. Tujuannya tidak lain adalah menghilangkan kemaksiatan yang ia terjatuh kepadanya, sebab ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
 

Adapun mempublikasikan dan menampakkan aib, maka hal ini termasuk yang diharamkan Allah swt. dan Rasul-Nya saw. Allah swt berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ أَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (An-Nur: 19).

Jadi, ada perbedaan antara orang yang bertujuan menasihati dan orang yang bertujuan membuka aib.

Yang mencampur adukkan di atara keduanya hanyalah orang yang berakal tidak sehat. Hukuman bagi orang yang menyebar luaskan keburukan atas terhadap saudaranya yang beriman dan terus menerus mencari aib-aibnya serta membuka auratnya adalah Allah swt. akan mencari-cari auratnya, lalu membukanya di depan publik walaupun setelah beberapa tempo lamanya, kecuali jika ia bertaubat.

Di antara pertanda ta’yir (mencacat) dan tasyhir (mempopulerkan aib) adalah: menampakkan dan mempublikasikan keburukan dalam kemasan nasihat, ia mengklaim bahwa yang mendorongnya adalah tahdzir (memberi peringatan) atas ucapan dan perbuatannya, dan Allah mengetahui bahwa maksudnya adalah tahqir (merendahkan) dan adza (menyakiti).
 
Contoh hal ini adalah seseorang mencela orang lain dan menunjukkan kekurangannya serta menampakkan aibnya supaya manusia berlari darinya, namun maksudnya adalah keinginannya untuk menyakitinya karena permusuhan dirinya terhadapnya atau karena sebab-sebab tercela lainnya, dirinya tidak mampu mencapai tujuan ini kecuali dengan menampakkan celaan padanya, baik karena adanya sebab dini (agama) atau pun duniawi. Maka, siapa yang melakukan perbuatan demikian, ini merupakan pertanda adanya penyakit dalam hatinya, meskipun hal ini terjadi dari orang yang bersumpah bahwa tidak ada tujuan kecuali kebaikan, sedangkan Allah swt, menjadi saksi bahwa mereka adalah orang-orang yang bohong. 
 
Dan siapa saja yang terkena bencana makar ini, yaitu saat ia dihina, dicacat, ditampakkan sisi kekurangannya, maka hendaklah ia bertakwa dan bersabar, sebab kesudahannya pasti milik yang bertakwa,

وَلاَ يَحِيْقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلاَّ بِأَهْلِهِ
 
“Dan makar buruk itu tidak menghancurkan kecuali pelakunya” (Fathir: 43)
 
Ketahuilah bahwa sebagian pemberi nasihat dan pengkritik dalam berbagai majlis, juga sebagian penulis di koran dan semacamnya, terperosok dalam sebagian kesalahan dan kekeliruan yang menyebabkan merenggangnya hubungan, di mana nashihah (memberi nasihat tanpa membuka aib) berubah menjadi fadhihah (membuka aib), tadzkir (memberi pengingatan) berubah menjadi tasyhir (publikasi keburukan). Dan hal ini bukanlah sesuatu yang diridhai Islam.
 
Ibnu Rajab berkata: ketahuilah bahwa menyebut manusia dengan sesuatu yang tidak disukainya adalah haram, jika maksudnya sekedar mencela, mencacat dan menampakkan kekuarangan. Adapun jika dalam hal ini terdapat kemaslahatan umum bagi kaum muslimin atau kemaslahatan khusus bagi sebagian mereka, dan maksudnya adalah menghasilkan kemaslahatan ini, maka hal ini tidaklah diharamkan, bahkan disunnatkan. Hal ini telah ditetapkan oleh para ulama hadits dalam kitab mereka dalam pembahasan al-jarh wat-ta’dil. Mereka menyebutkan perbedaan antara melakukan tajrih terhadap para perawi dan dengan ghibah. Mereka membantah orang-orang yang menyamakan di antaranya keduanya, baik yang menyamaratakan itu dari kalangan ahli ibadah maupun dari kalangan lainnya dari orang-orang yang belum luas ilmunya, dan tidak ada perbedaan antara orang yang diterima riwayatnya dari mereka yang yang tidak diterima
 
Jika tujuannya adalah memperjelas kebenaran, maka hal ini masuk dalam pengertian nasihat. Dan jika tujuannya adalah menunjukkan kekurangan yang berkata, menampakkan kebodohan dan kelemahannya dalam ilmu, maka hal ini adalah perbuatan haram, baik bantahan itu dilakukan dihadapan orang yang dibantah atau pun dilakukan tidak dihadapannya, baik dilakukan semasa hidupnya maupun dilakukan sepeninggalnya, dan hal ini tercakup dalam hadits nabi saw.:
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ، لاَ تَغْتَابُوْا اَلْمُسْلِمِيْنَ وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ اِتَّبَعَ عَوْرَاتِهِ يَتَّبِعُ الهُه عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحُهُ وَلَوْ فِيْ جَوْفِ بَيْتِهِ

“Wahai orang-orang yang beriman dengan mulutnya, sementara keimanan belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian melakukan ghibah terhadap kaum muslimin, dan jangan pula mencari-cari auratnya, sebab, siapa saja yang mencari-cari auratnya, maka Allah swt. akan mencari-cari auratnya, dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah swt. niscaya Dia akan membuka kartunya walaupun ia berada di dalam rumahnya” (HR. Abu Daud dan lainnya. Lihat Aun al-Ma’bud 13/224).

Sangat bagus kalau seorang muslim menjadi benteng yang kokoh yang membela dan melindungi harga diri saudara muslim nya dan menjaga citranya, terlebih lagi jika dihadapannya disebutkan keburukan saudaranya sesuatu yang tidak disukainya. Rasulullah saw. bersabda: 

مَنْ رَدَّ عِرْضَ أَخِيْهِ اَلْمُسْلِمِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ اَلنَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
 
Siapa yang membela harga diri saudaranya yang muslim, niscaya Allah swt. menjaga wajahnya dari neraka pada hari kiamat” (HR. At-Tirmidzi, shahih)
 
Dan hHendaklah kita semua tsiqah terhadap saudara kita dan berhati tenteram kepadanya, dan janganlah kita men-ta’wil-kan omongannya kecuali dengan baik, selama omongan itu masih memungkinkan ditafsirkan baik, supaya kita berbahagia dalam urusan agama dan dunia kita, dan supaya kita selamat pada hari kiamat,
يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُوْنَ إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ
 
“Yaitu hari dimana harta dan anak lakui-laki tidak memberi manfaat, kecuali yang datang kepada Allah swt dengan hati selamat” (Asy-Syu’ara: 88 – 89).
 
Kita memohon kepada Allah swt. agar Dia mensucikan hati kita dari ghill (dengki), dendam dan iri, dan semoga Dia memberikan kepada kita hati yang selamat, mulut yang jujur, ilmu yan bermanfaat dan amal yang shalih 
.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيم
Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr:10)

Sumber: http://alminbar.net/alkhutab/khutbaa.asp?mediaURL=1327 [1]
Article printed from Al-Ikhwan.net: http://www.al-ikhwan.net
URL to article: http://www.al-ikhwan.net/antara-nasi...mbuka-aib-2106