Rabu, 23 Desember 2015

Andai aku yang berada di liang lahat itu

Embun Pagi

ANDAI SAJA AKU YANG BERADA DI LIANG ITU

» يَا لَيْتَنِي كُنْتُ صَاحِبُ الْحُفْرَةِ «
"Andai saja aku yang berada di liang lahat itu." (Perkataan Abdullah bin Mas'ud saat menyaksikan penguburan jenazah Abdullah Dzul Bajjadain seperti dikutip Ibnu Hisyam dalam kitab 'sirah'nya).

Ikhwani wa akhawati fillah,
Saat itu suasana malam terasa gelap gulita, cuaca dingin menusuk tulang. Para sahabat pun beristirahat total di perkemahan ala kadarnya yang mereka dirikan, agar tubuh kembali segar dan sehat karena keesokan harinya mereka akan melanjutkan perjalanan menuju Madinah. Mereka baru keluar meninggalkan Tabuk, negeri yang baru saja mereka taklukan dari tangan Romawi tanpa melalui kontak senjata; Rajab tahun 9 H. itulah peperangan terakhir yang dikomandani Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. 

Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu anhu terbangun dari tidurnya. Sayup-sayup ia mendengar suara seseorang yang sedang menggali tanah. Terdorong perasaan ingin mengetahui apa yang terjadi, maka ia bangkit dan memandang ke alam sekitar. Samar-samar ia melihat ada cahaya lampu yang tidak benderang. Ia mendekat ke arah lampu tersebut.

Dari jarak yang tak terlalu dekat, ia melihat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sedang berada di dalam liang, sementara Abu Bakar dan Umar berada di sekitar liang yang digali oleh beliau.  Kedua sahabat itu menerangi beliau dengan pelita. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Dekatkan jenazah saudara kalian itu kepadaku!."

Ketika bersiap hendak meletakkannya di liang lahatnya, beliau berdo'a, “Ya Allah, sesungguhnya sore tadi aku telah ridha kepadanya, maka ridhailah dia."

Air mata menetes dari kedua mata beliau seraya bersabda, "Sesungguhnya ia mencintai Allah dan Rasul-Nya."

Ibnu Mas‘ud berkata, “Demi Allah, sungguh aku bercita-cita seandainya saja aku yang menempati posisi sahabat itu. Padahal aku lebih dahulu masuk Islam 15 tahun sebelum dia."

Ikhwani wa akhwati,
Siapakah sahabat mulia itu?,
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menggali liang dan menguburkan sahabat ini dengan kedua tangan beliau?.
Kedudukan istimewa yang tidak sederhana di hati Nabi Shallallahu alaihi wa sallam

Dia adalah Abdullah Dzul Bajjadain al-Muzani. Sahabat yang syahid setelah berjuang melawan demam yang menderanya di Tabuk. Mungkin kita mengerutkan dahi mendengar nama sahabat ini, yang mungkin tidak ada dalam kamus ingatan kita.

Namanya memang tidak setenar sahabat lainnya. Dan bahkan namanya sangat asing di telinga kita. Ia disebut Abu Nu'aim dalam kitab 'hilyatul auliya' sebagai salah seorang ahli Shuffah. Tapi ketidak masyuran namanya bukan berarti tidak memiliki keistimewaan di hati Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Beliau menggali kubur dan memakamkan sahabat ini dengan kedua tangan beliau, menjadi bukti betapa mulia sahabat ini di mata beliau.

Ikhwani wa akhawati,
Beberapa literatur standar menyebutkan bahwa ia bernama; Abdul Uzza dari kabilah Muzaniyah. Yang terletak di antara Mekkah dan Madinah. Kedua orang tuanya meninggal dunia saat ia menikmati masa kanak-kanak. Lalu ia diasuh oleh pamannya sampai usia 16 tahun. Setelah mendengar beberapa ayat al-Quran yang dibaca oleh sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam perjalanannya ke Madinah, ia memeluk Islam dan merahasiakan ke-Islamannya di hadapan pamannya selama tiga tahun. Jika ia hendak melaksanakan shalat, ia keluar ke padang sahara agar tidak diketahui oleh paman dan masyarakatnya.

Setelah ia mengabarkan ke-Islamannya, sang paman marah dan menarik semua pemberian yang pernah ia berikan kepada Abdul Uzza. Tak terkecuali baju yang melekat di tubuhnya. Namun ia tak bergeming. Karena hidup dalam naungan Islam tak bisa ditukar dengan lembaran-lembaran bergambar Sukarno Hatta, intan permata dan bahkan kepingan emas seberapa pun jumlahnya.

Di tengah perjalanan menuju Madinah, ia menemukan seonggok kain. Ia mengambilnya dan membelahnya menjadi dua. Sehelai kain itu ia jadikan sebagai sarung. Dan yang lain ia jadikan sebagai selendang. Layaknya ia sedang ihram di tanah suci.

Ia sampai di Madinah sebelum Subuh. Dan kebiasaan Rasulullah  Shallallahu alaihi wa sallam   setelah shalat, beliau memperhatikan wajah-wajah para sahabat satu persatu. Setelah beliau menemukan wajah asing yang belum pernah beliau lihat, beliau bertanya, "Siapakah engkau ini? Dan mengapa engkau berpakaian seperti ini?."

Ia menjawab, "Namaku; Abdul Uzza. Dan aku mengenakan pakaian seperti ini karena pamanku mengusirku beberapa waktu yang lalu dan menarik semua pemberiannya termasuk pakaian yang kukenakan. Aku sabar selama tiga tahun sehingga aku datang menemui Engkau dalam keadaan istiqamah mentaati Allah Subhanahu wa Ta'ala 

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Sejak hari ini namamu bukan Abdul Uzza, tapi Abdullah Dzul Bajjadain. Allah akan mengganti kedua potong pakaianmu ini dengan istana dan pakaian di surga. Engkau bisa mengenakannya kapan engkau suka dan menikmati hidangan di dalam istanamu apa yang engkau suka."

Allahu Akbar! Adakah satu kebahagiaan yang melebihi kabar gembira ini wahai saudaraku?. Tentu tidak ada.

Setelah itu ia menjadi penghuni Shuffah dan banyak menghafal al-Quran, yang ia dengar dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Ia dikenal sebagai sahabat yang mengeraskan suara saat berdo'a dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Ibnu Adra' menuturkan, “Pada suatu malam aku pergi bersama Rasulullaah Shallallahu alaihi wa sallam , kemudian beliau melewati seorang lelaki di dalam masjid yang sedang berdo'a dan mengangkat suaranya tinggi-tinggi. Aku (Ibn Adra’) berkata, ‘Wahai Rasulullaah, barangkali lelaki ini sedang riya’ (memamerkan ibadahnya).’ Beliau bersabda: "Bukan, dia sedang berdo’a dan mengadu kepada Allah.” (HR. Baihaqi).

Ketika hendak berangkat ke Tabuk, Dzul Bajjadain berkata kepada Nabi,  “Berdo'alah kepada Allah agar mengaruniaiku kesyahidan wahai Rasulullah."

Maka Nabi mengikatkan seutas tali berwarna coklat (terbuat dari batang sebuah pohon). Beliau berdoa, “Ya Allah, aku mengharamkan darahnya untuk orang-orang kafir." Mendengar do'a beliau, Dzul Bajjadain berkata, “Bukan itu yang kuinginkan."

Nabi bersabda, “Sesungguhnya ketika engkau keluar untuk berperang, kemudian engkau sakit demam hingga wafat, atau terlempar dari hewan tungganganmu hingga lehermu patah, maka engkau adalah syahid."

Dan sejarah mencatat, ia syahid karena demam yang dideritanya. Allah dan rasul-Nya meridhaimu wahai Dzul Bajjadain.

Ikhwani wa akhawati,
Mari kita mengambil mutiara berharga dari kisah Abdullah bin Naham al-Muzani, yang digelari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam "Dzul Bajjadain" pemilik baju yang dibelah dua.

• Sahabat agung ini mengajari kita hakikat sebuah keikhlasan. Walau namanya tak dikenal dan tak seharum sahabat lainnya, tapi prestasi ubudiyah di mata Allah dan rasul-Nya sangat mengagumkan. Maka dalam berjuang membesarkan dakwah, jama'ah dan partai dakwah kita tercinta, keikhlasan menggapai ridha Ilahi menjadi harga mati.

• Kemiskinan substansinya bukanlah miskin harta. Tapi miskin semangat, militansi, kreasi dan aksi serta enggan berbagi dan mewarnai umat. Kader dakwah yang miskin adalah kader yang tidak berkontribusi apapun dalam perjuangan suci. Tersenyum dalam kemalasan. Tidur nyenyak dalam kealpaan. Melangkah pasti dalam ketidakpastian hati.

• Keberkahan usia tidak diukur seberapa lama kita hidup. Tapi seberapa besar prestasi yang kita ukir di dunia ini dalam ruang ibadah, ranah dakwah, dan medan perjuangan. Dzul Bajjadain hanya berusia 23 tahun. Walau demikian ia mampu mengambil hati Rasulnya. Berapa usia kita hari ini saudaraku? Dengan apa kita memikat hati Rasul junjungan kita?.

• Mahalnya harga sebuah hidayah. Berada di pangkuan hidayah, hidup terasa berpelangi. Itulah yang dirasakan oleh Dzul Bajjadain. Maka ia rela semua barang miliknya disita oleh pamannya selama iman di hati tetap tumbuh dengan suburnya. Hidayah terbesar yang kita kecap saudaraku, adalah hidayah bergabungnya kita dengan kafilah dakwah. Sebagai tanda syukur kita dengan kucuran nikmat ini adalah kita bagi kenikmatan ini kepada orang lain. Dengan melakukan rekrutmen dan membina orang-orang dekat kita, hingga mereka bisa merasakan keindahan hidup dalam naungan dakwah seperti yang kita rasakan saat ini.

• Istiqamah di atas jalan ketaatan dan tetap berada dalam gerbong dakwah, merupakan sebab meraih ridha Allah dan Rasul-Nya. Pernah kita mengukur kadar keistiqamahan kita wahai saudaraku?.

• Dibolehkannya memberi gelar kepada orang lain dengan gelar-gelar yang baik, sebagai bentuk penghormatan dan apresiasi terhadap kebaikan dan prestasi kader dakwah. Jangan bakhil kepada orang lain, berikan pujian dan apresiasi tulus terhadap kebaikan dan prestasi mereka.

• Menghormati dan menghargai orang lain bukan hanya ketika masih hidup, begitupun setelah kepergiannya. Seperti yang diperbuat Nabi  Shallallahu alaihi wa sallam. Di mana beliau membuat liang dan menguburkan Dzul Bajjadain dengan kedua tangan beliau. Adakah penghormatan dan penghargaan yang lebih tinggi dari ini?. Saudaraku, pernahkah kita mendo'akan secara khusus kader-kader dakwah yang telah mendahului kita?, tetapkah kita menghormati dan menjalin hubungan mesra dengan keluarganya?.

• Memahat cita-cita setinggi mungkin. Terlebih untuk kebahagiaan hidup di akherat. Sebagaimana ucapan Abdullah bin Mas'ud, "Andai saja aku yang berada di liang itu." Tanpa cita-cita tinggi, yakni bisa menjadi tetangga Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya di surga kelak, mustahil kita dapat terlontar ke puncak prestasi.

• Dekat dan mencintai semua lapisan masyarakat. Melayani dan berkhidmah untuk umat, bukan sekadar slogan dan gincu pergaulan. Tapi terwujud di alam realita kehidupan. Seperti itulah yang diperbuat oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam terhadap para sahabat, termasuk mereka yang menjadi ahli Shuffah. Karena berdekatan dan menyanyangi umat akan menetaskan keberkahan dalam hidup kita.

Ikhwani wa akhawati,
Di hadapan kita terhampar medan jihad dan perjuangan yang luas. Bukan mengangkat senjata atau peperangan fisik lainnya. Tetapi medan rekrutmen dan ranah membina umat. Agar mereka mengenal dan bergabung dengan dakwah kita. Agar mereka terbina dengan metode pembinaan kita. Agar mereka mengikuti pola dan proses kaderisasi kita. Agar mereka pun nyaman bernaung di bawah payung partai dakwah kita.

Dan hal itu akan terwujud, jika bara api yang ada di dada Abdullah Dzul Bajjadain, berpindah ke dalam dada kita. Karena orang yang tidak memiliki bara api di dadanya, tidak akan pernah membakar semangatnya meraih kemuliaan dan surga-Nya. Sanggupkah kita menjadi sosok Abdullah Dzul Bajjadain di zaman modern ini?.

والله اعلم بالصواب

Pamoyanan,  13 Rabi'ul Awal 1437 H / 23 Desember 2015 M

الفقير الى الله

Tidak ada komentar:

Posting Komentar