Madinah awal musim rontok selepas Umratul Qadha’.
Suhu panas mencapai titik nadir. Kerontang mengukir segala
tempat. Kurma berjuntai-juntai di sela-sela pelepahnya yang mengering.
Buahnya telah coklat ranum menunggu dipetik. Siang panas terik. Pasir
dan batu serupa bara api. Udara mendidih membakar kulit. Angin yang
bertiup pun serasa menguras keringat hingga tetes terakhir.
Ini adalah musim dimana maut mengintai di padang pasir. Tak ada yang
ingin dilakukan penduduk kecuali tinggal di rumah atau pergi ke kebun
untuk memetik kurma.
Namun, semua harus berubah ketika terdengar sebuah kabar. Romawi (Byzantium)
tengah mengerahkan pasukan untuk menyerbu perbatasan Arab sebelah
utara. Perintah berangkat perang pun kemudian dikumandangkan. Semua
diharap bersiap menuju perbatasan Syam*. Menghadapi “orang-orang kuning”
(banu’l-ashfar), pasukan besar yang telah mengalahkan imperium
Persia.
Menghadapi pasukan yang pernah memporak-porandakan 3.000 orang
muslimin di Mu’tah dan merenggut setidaknya nyawa tiga orang panglima:
Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah.
Ada yang berbondong menyambut seruan ini. Namun banyak diantaranya
dilanda kebimbangan. Mereka yang munafik pun membisikkan ajakan beracun.
“Jangan kalian berangkat perang dalam udara yang panas begini.” (QS.
9:81). Tak sedikit diantara mereka menyampaikan beragam alasan untuk
tidak turut serta berperang. “Ijinkan saya tidak ikut serta dan jangan
engkau bawa saya ke dalam ujian ini.” (QS. 9: 49).
“Wahai Jadd,” berkata Rasul kepada Jadd bin Qais, salah seorang Banu Salima. “Apakah engkau bersedia tahun ini menghadapi Banu’l-Ashfar?”
“Ya, begini Rasulullah,” jawab Jadd dengan bermanis muka. “Ijinkanlah
saya tidak dibawa ke dalam ujian serupa ini. Masyarakat saya sudah
cukup mengenal bahwa tak ada orang yang lebih birahi terhadap wanita
seperti saya ini. Saya khawatir, jika melihat wanita Banu’l-Ashfar yang cantik molek itu saya takkan bisa menahan diri.”
Rasul pun meninggalkan laki-laki itu.
Terkumpullah juga akhirnya 30.000 orang pasukan. Dengan susah-payah.
Jumlah pasukan terbesar yang pernah dipimpin Nabi. Namun, dalam
perjalanan ini, ada yang berlambat-lambat di belakang pasukan sehingga
tertinggal. Ada yang jelas-jelas memisahkan diri dan kembali ke Madinah.
Ada yang hilang terbawa angin atau tertimbun segunduk pasir. Belum
kelaparan dan kehausan yang sudah pasti menjadi bagian dari perjalanan
ini.
Namun, ketika tiba di Tabuk, tak ada pasukan Romawi yang besar dan
lengkap sebagaimana kabar yang terdengar. Senyap. Mereka telah dilanda
ketakutan dan keburu menarik diri mundur demi mendengar kedatangan
pasukan muslimin sepuluh kali lipat dibanding yang mereka hadapi di
Mu’tah.
Lelah. Perjalanan nan jauh penuh onak dan duri telah ditempuh. Kini, tak seorang pun musuh ditemui.
Dua puluh hari mereka bertahan di Tabuk. Dua puluh hari mereka hanya
menunggu dan menunggu. Rasul pun akhirnya memutuskan untuk pulang ke
Madinah. Sebuah perjalanan pulang yang tidak saja jauh dan melelahkan,
tetapi juga benar-benar sulit dan mengguncang mental. Bagaimana tidak?
Sebuah pasukan perang pulang tanpa ghanimah. Tanpa tawanan. Perang pun tidak.
***
Hidup itu untuk memilih. Bahkan hidup itu sendiri sebuah pilihan.
Mungkin golongan Qadariyah adalah orang-orang yang paling cocok
dengan ungkapan demikian. Bagi mereka, manusia dengan kekuatan akalnya
diberikan kebebasan untuk memutuskan sebuah pilihan. Untuk itulah pahala
diberikan, siksa ditimpakan, syurga dan neraka diciptakan. Semua
bersandar pada pilihan apa yang diambil seseorang dalam setiap masalah.
Sebuah pilihan akan semakin sulit seiring dengan tingkat konsekuensi
yang akan diterima sesuai pilihan yang diambil. Memilih baju di sebuah
toko tentu tidak sebanding dengan memilih seorang pasangan hidup berumah
tangga. Memilih menghajar seorang pelaku kriminal yang tertangkap
tangan tentu tidak sama dengan memilih menghajar musuh di sebuah medan
peperangan.
Di sisi lain, manusia sendiri diberikan naluri untuk mempertahankan diri (gharizatul baqa’).
Manusia cenderung lebih memilih hidup lebih lama di dunia ini daripada
terlalu cepat mati. Lebih mencintai dunia dan takut untuk mati. Oleh
karena itu, kesulitan tertinggi dalam memilih adalah ketika pilihan itu
berujung pada konsekuensi dilepaskannya dunia di genggamannya dan
disongsongnya pintu kematian.
Di titik inilah ujian keimanan mencapai puncaknya. Dan ekspedisi militer ke Tabuk memberikan buktinya.
Bagaimanapun, peristiwa Tabuk terjadi selepas ditaklukkannya Makkah,
Hunain dan Thaif. Manusia berbondong-bondong memeluk agama ini (QS. 110:
2). Jumlah kaum muslimin menjadi berlipat. Jika pada Fathul Makkah Rasulullah memimpin 10.000 orang pasukan, maka pada ekspedisi ini terkumpul tiga kali lipatnya. Hanya berselang setahun.
Bagaimana tidak pengiriman ekspedisi militer ke Tabuk menjadi puncak
ujian keberimanan? Kebun kurma sedang menunggu panen. Sementara musim
panas mencapai derajat yang mematikan. Jarak yang harus ditempuh ke
Tabuk di perbatasan Syam begitu jauh dan sulit. Serupa Mu’tah. Itupun
mereka harus berhadapan dengan raksasa militer dunia yang baru saja
mengalahkan negeri super power Persia. Jika pada peristiwa Mu’tah 3.000
pasukan muslim harus berhadapan dengan 200.000 orang Romawi, berapa pula
yang bakal mereka hadapi di Tabuk ini? Heraclius, raja Romawi, pasti
telah berhitung cermat dengan pengalaman mereka yang hanya menghadapi
sepertujuhpuluh pasukan muslim saja kewalahan di Mu’tah dulu.
Walhasil, berangkat ke Tabuk seperti berjalan bersusah-payah hanya
untuk menyerahkan leher ke tiang pemancungan. Tak pelak, umat pun
terbagi. Ada yang menyambutnya dengan hati gembira mengharapkan
perjumpaan dengan-Nya sebagai syahid. Ada yang tidak turut
serta dengan beragam alasan. Ada yang berlambat-lambat dan akhirnya
tertinggal. Ada yang memisahkan diri dari pasukan dan kembali pulang.
Setelah dua puluh hari di Tabuk dan pasukan pun harus pulang tanpa ghanimah
dan tawanan, ada yang menggerutu. Ada yang mengejek. Ada yang menyesal.
Hanya untuk inikah mereka pergi jauh-jauh ke Tabuk, sementara
orang-orang yang tinggal di Madinah sedang menikmati musim buah?
***
Rasulullah pun bertindak tegas. Jika mereka yang munafik ataupun mbalelo dari perintah perang dibiarkan, tentu akan menjadi duri penghambat dakwah di masa mendatang. Maka, masjid Dhirar,
pusat berkumpul orang-orang munafik, dirobohkan. Rumah Sulaim, seorang
Yahudi yang menghalang-halangi orang ikut berperang pun dibakar. Beliau
juga menolak permintaan maaf orang-orang yang dengan alasan yang
dibuat-buat tidak turut berangkat ke Tabuk.
Rasul melarang bertegur-sapa dengan Ka’ab bin Malik, Murarah bin
Rabi’, dan Hilal bin Umayyah meski mengaku secara jujur telah lalai dari
perintah perang. Tidak cukup itu saja. Pada hari ke-40, beliau bahkan
juga melarang ketiganya berkumpul dengan istri-istri mereka!**
***
Keterangan —–
* Yakni di Tabuk, sekitar 700 km dari Madinah.
** Hari ke-50 taubat mereka akhirnya diterima (QS. 9: 118)
Dimuat pada rubrik Napak Tilas Majalah Al-Mu’tashim edisi Juli 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar