Rabu, 19 November 2014

Pakailah DASI-mu



Tersebutlah kisah tentang seorang pengembara yang tersesat di tengah padang pasir yang luas bagai tak bertepi. Sang pengembara berjalan seorang diri tanpa arah yang pasti. Sendiri di tengah samudera pasir menunggu maut. Kawan-kawan dan ontanya telah beberapa saat yang lalu mati. Rasa haus dan putus asa telah membunuh mereka. Matahari serasa menempel di punggung. Sementara pasir serasa bara. Keringat dan air mata berlomba untuk menghibur sang pengembara. Satu harapan yang ada di dadanya, hanyalah bertemu manusia yang dapat membantunya melepaskan diri dari jepitan maut ini. Dan untuk itu ia berjalan meraba takdir yang ditentukan Tuhan untuknya, tanpa makanan dan air.

Rupanya Tuhan menjawab problemnya sebelum ia sempat berdoa. Di kejauhan tampak seorang berjalan mendekat. Senyum berat sedikit menghiasi wajah putus asa itu. “Apa yang terjadi saudaraku? Anda tersesat?”, tanya orang asing itu kepada sang pengembara. Sebuah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Dan pengembara tidak lagi merasa perlu menjawabnya, melainkan segara mengajukan sebuah pinta. “Anda punya air?”, sembari membuka pundi-pundinya. Gemerincing uang emas menggoda selera siapapun yang mendengarnya. “Saya beli dengan ini”, tegas sang pengembara.

“Maaf tuan”, jawab orang asing itu. Sebuah introduksi yang mereduksi harapan sang pengembara. “Saya hanya seorang penjual dasi, jika tuan sudi, belilah beberapa dasi ini” jawab orang asing yang ternyata seorang pedagang keliling ini. Promosi tentang kualitas, harga dan prestise yang ditawarkan oleh pedagang dasi itu, tidak cukup untuk menghalangi langkah sang pengembara untuk segera pergi. Dengan hati mendongkol, ia tinggalkan penjual dasi itu. Lagi-lagi ia berjalan tanpa arah menuju kematiannya.. 

“Tuhan berpihak padaku” teriaknya ketika sebuah restoran mewah kini tepat berada dihadapannya. Daftar menu segera terbayang dan otaknya sibuk memilih makanan yang hendak disantapnya. Sesibuk itu pula mulutnya mengatur aliran air liur yang tiba-tiba muncul. “Maaf pak, anda dilarang masuk” bodyguard restoran itu menghalangi sang pengembara tepat di pintu masuk. “Kami hanya menerima tamu berdasi” lanjutnya tanpa menunggu respon sang pengembara.

Kisah itu hanya sekedar kisah.  Kita mungkin sudah berulangkali membacanya.. Tetapi jika problem ini kita hadapi, apa yang akan kita lakukan?.

Banyak! Kita bisa berpindah restoran. Atau bergeser beberapa langkah terlebih dahulu untuk menemukan toko dasi. Atau jika pundi-pundi kita banyak, kita bisa membeli saham restoran itu sekaligus memecat sang bodyguard. Kalaupun tidak, kita bisa menyisihkan beberapa keping receh sambil kasak-kusuk dengan sang bodyguard. Jika harga oke, tiket masuk bukan suatu yang mustahil.

Namun jika kita mengubah sedikit saja setting kisah di atas. Misalnya dengan mengubah restoran itu dengan surga. Dan bodyguard itu adalah malaikat penjaganya. Serta kita adalah sang pengembara. Sementara kehidupan kita adalah padang pasir dalam kisah di atas. Bagaimana kita menyelesaikan problem itu?. Sementara surga Allah tak terbeli dan malaikat Allah tak kenal kompromi. Lalu apa yang akan kita lakukan, sedangkan kita hadir tanpa ‘dasi’.

Sholat dan puasa kita atau infaq dan amal sholeh kita mungkin ‘dasi’ yang tampak tak bermakna saat ini. Padahal ia adalah tiket kita ke surga. Kesungguhan kita kepada pendidikan keluarga dan anak-anak boleh jadi adalah ‘dasi’ kita yang merupakan password bagi kita kelak. Sikap menghargai sesama, sikap menghormati mereka yang lemah, sikap taat, dan segenap sikap mulia lainnya mungkin seperti dasi di gurun pasir itu sekarang.

Bagaimana kita bisa meremehkan semua itu? Apakah karena semua itu tampak tak berharga saat ini? Ataukah karena ada yang lain yang tampak lebih berharga? Semoga semua amal sholeh kita adalah ‘dasi’. Dan ‘dasi’ itulah yang menjadi ciri-ciri pengunjung surga kelak.

Dan semoga Allah tak mengenalkan rasa bosan kepada kita dalam upaya membeli ‘dasi-dasi’ yang telah diperjualbelikan-Nya sejak saat ini. Aamiin.
 --

repost dari milis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar