Sumber hukum pada masa Rasulullah
SAW hanyalah Al-Qur'an dan As-Sunnah (Al-Hadits). Dalam pada
itu kita temui diantara sunnah-sunnahnya ada yang memberi kesan bahwa beliau
melakukan ijtihad. Misalnya, beliau melakukan qiyas terhadap peristiwa
yang dialami oleh Umar Bin Khattab RA, sebagai berikut.
"Wahai Rasulullah, hari ini
saya telah berbuat suatu perkara yang besar; saya mencium isteri saya,
padahal saya sedang berpuasa. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya :
Bagaimana pendapatmu, seandainya kamu berkumur-kumur dengan air dikala kamu
sedang berpuasa? Lalu saya jawab: tidak apa-apa dengan yang demikian itu.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda : Maka tetaplah kamu berpuasa!" (I'lamul Muwaqqi'in, Juz: I, hal: 199).
Pada hadits di atas Rasulullah SAW
menetapkan tidak batal puasa seseorang karena mencium isterinya dengan
mengqiyaskan kepada tidak batal puasa seseorang karena berkumur-kumur.
Juga seperti hadits Rasulullah SAW :
"Seandainya tidak akan
memberatkan terhadap umatku, niscaya kuperintahkan kepada mereka bersiwak
(bersikat gigi) setiap akan melakukan shalat." (HR. Abu Daud dari Zaid Bin Khalid al-Juhanni).
Diterangkan oleh Muhammad Ali
as-Sayis, bahwa hadits tersebut menunjukkan kepada kita adanya pilihan
Rasulullah SAW terhadap salah satu urusan, karena untuk menjaga kemaslahatan
umatnya. Seandainya beliau tidak diperbolehkan melakukan ijtihad, hal itu
tidak akan terjadi. Dalam pada itu, dari penelitian sebagian ulama terhadap
berbagai peristiwa hidup Rasulullah SAW, berkesimpulan bahwa beliau bisa
melakukan ijtihad dan memberi fatwa berdasarkan pendapatnya pribadi tanpa
wahyu, terutama dalam hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan
persoalan hukum. Kesimpulan tersebut, sesuai dengan sabda beliau sendiri :
"Sungguh saya memberi keputusan
diantara kamu tidak lain dengan pendapatku dalam hal tidak diturunkan (wahyu)
kepadaku." (HR. Abu Daud dan Ummi Salamah).
Rasulullah SAW adalah seorang
manusia juga sebagaimana manusia yang lain pada umumnya maka hasil ijtihadnya
bisa benar dan bisa salah, sebagaimana diterangkan dalam sebuah riwayat,
beliau bersabda :
"Saya tidak lain adalah seorang
manusia juga, maka segala yang saya katakan kepadamu yang berasal dari Allah
adalah benar; dan segala yang saya katakan dari diri saya sendiri, karena
tidak lain saya juga seorang manusia, bisa salah bisa benar." (Ijtihad Rasul, hal: 52-53).
Hanya saja jika hasil ijtihad beliau
itu salah, Allah menurunkan wahyu yang tidak membenarkan hasil ijtihad beliau
dan menunjukkan kepada yang benar.
Sebagai contoh hasil ijtihad beliau
tentang tindakan yang diambil terhadap tawanan perang Badar. Dalam hal ini
beliau menanyakan terlebih dahulu kepada para sahabatnya. Menurut Abu Bakar
agar mereka (para tawanan perang Badar) dibebaskan dengan membayar tebusan.
Sedangkan menurut Umar bin Khattab, mereka harus dibunuh, karena mereka telah
mendustakan dan mengusir Rasulullah SAW dari Makkah. Dari dua pendapat
tersebut, beliau memilih pendapat Abu Bakar. Kemudian turun ayat Al-Qur'an
yang tidak membenarkan pilihan beliau tersebut dan menunjukkan kepada yang
benar, yakni :
"Tidak patut, bagi seorang Nabi
mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu
menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala)
akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana." (Al-Anfaal: 67).
Jika terhadap hasil ijtihad
Rasulullah SAW tersebut, tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkan dan
menunjukkan kepada yang benar, berarti hasil ijtihad beliau itu benar, dan
sudah barang tentu termasuk ke dalam kandungan pengertian As-Sunnah
(Al-Hadits).
Kegiatan ijtihad pada masa ini,
bukan saja dilakukan oleh beliau sendiri, melainkan beliau juga memberi ijin
kepada para sahabatnya untuk melakukan ijtihad dalam memutuskan suatu perkara
atau dalam menghadapi suatu persoalan yang belum ada ketentuan hukumnya dalam
Al-Qur'an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terjadi ketika beliau mengutus Mu'adz
bin Jabal ke Yaman, yang diterangkan dalam hadits sebagai berikut :
"(Rasulullah SAW bertanya) : Bagaimana
cara kamu memutusi jika datang kepadamu suatu perkara? Ia menjawab : Saya
putusi dengan (hukum) yang terdapat dalam kitab Allah. Beliau bertanya : Jika
tidak kamu dapati (hukum itu) dalam kitah Allah? Ia menjawab : Maka dengan
Sunnah Rasulullah. Beliau bertanya : Jika tidak kamu dapati dalam Sunnah
Rasulullah juga dalam kitab Allah? Ia menjawab : Saya akan berijtihad dengan
pikiran dan saya tidak akan lengah. Kemudian Rasulullah SAW menepuk dadanya
dan bersabda : Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan
Rasulullah SAW yang diridlai oleh Rasulullah." (HR. Abu Daud).
Bahkan beliau pernah memerintahkan 'Amr
bin 'Ash untuk memberi keputusan terhadap suatu perkara, padahal beliau
di hadapannya. Atas perintah itu, lalu 'Amr bertanya kepada beliau :
Sebagai contoh ijtihad yang
dilakukan oleh sahabat, yakni ijtihad yang dilakukan oleh 'Amar bin Yasir,
sebagai berikut :
"Saya telah berjunub dan tidak
mendapatkan air. Maka saya berguling-guling pada debu kemudian saya
mengerjakan shalat. Lalu hal itu, saya sampaikan kepada Nabi SAW. Maka beliau
bersabda : Sesungguhnya cukup kamu melakukan begini : Nabi menepuk tanah
dengan dua telapak tangannya kemudian meniupnya, lalu menyapukannya ke
wajahnya dan dua telapak tanganya." (HR. Bukhari
dan Muslim).
Pada hadits di atas, 'Ammar bin
Yasir mengqiyaskan debu dan air untuk mandi dalam menghilangkan junubnya,
sehingga ia dalam menghilangkan junub karena tidak mendapatkan air itu,
dilakukan dengan berguling-guling di atas debu. Namun hasil ijtihadnya ini
tidak dibenarkan oleh Rasulullah SAW.
Hasil ijtihad para sahabat tidak
dapat dijadikan sumber hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum yang dapat
dipedomani oleh kaum muslimin, kecuali jika hasil ijtihadnya telah mendapat
pengesahan atau pengakuan dari Rasulullah SAW dan tidak diturunkan wahyu yang
tidak membenarkannya.
Dari uraian di atas dapat dipetik
arti bahwa ijtihad baik yang dilakukan oleh Rasulullah SAW maupun oleh para
sahabatnya pada masa ini tidak merupakan sumber hukum, karena keberadaan atau
berlakunya hasil ijtihad kembali kepada wahyu.
Akan tetapi dengan adanya kegiatan
ijtihad yang terjadi pada masa ini, mempunyai hikmah yang besar, karena hal
itu merupakan petunjuk bagi para sahabat dan para ulama dari generasi
selanjutnya untuk berijtihad pada masa-masanya dalam menghadapi berbagai
persoalan baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW atau yang tidak
didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Memang, semenjak masa sahabat telah
timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu
para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah
SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini,
tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak
masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum.
Sebagai contoh hasil ijtihad para
sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA tidak menjatuhkan hukuman potong
tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/terpaksa). Dan
Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal
dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak
mendapatkan mut'ah. Ali menyamakan kedudukan wanita tersebut dengan
wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri serta belum
ditentukan maharnya, yang oleh syara' ditetapkan hak mut'ah baginya,
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :
"Tidak ada sesuatupun (mahar)
atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur
dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu
memberikan mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu
pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan." (Al-Baqarah
: 236).
Dari contoh-contoh ijtihad yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW, demikian pula oleh para sahabatnya baik di
kala Rasulullah SAW masih hidup atau setelah beliau wafat, tampak adanya
cara-cara yang digunakannya, sekalipun tidak dikemukakan dan tidak disusun
kaidah-kaidah (aturan-aturan)nya ; sebagaimana yang kita kenal dalam Ilmu
Ushul Fiqh ; karena pada masa Rasulullah SAW, demikian pula pada masa
sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad dengan
kata lain pada masa Rasulullah SAW dan pada masa sahabat telah terjadi
praktek berijtihad, hanya saja pada waktu-waktu itu tidak disusun sebagai
suatu ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu Ushul Fiqh karena pada
waktu-waktu itu tidak dibutuhkan adanya. Yang demikian itu, karena Rasulullah
SAW mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum baik secara langsung
atau tidak langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan adanya kaidah-kaidah
dalam berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab turun (asbabun
nuzul) ayat-ayat Al-Qur'an, sebab-sebab datang (asbabul wurud) Al-
Hadits, mempunyai ketajaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan
dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka
mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri
(Arab) yang juga bahasa Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Dengan pengetahuan yang
mereka miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya
kaidah-kaidah.
Pada masa tabi'in, tabi'it-tabi'in
dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan
Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh
orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula
situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama
yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk
daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama
Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin
banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan
hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di
berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Karena banyaknya persoalan-persoalan
hukum yang timbul dan karena pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam
berbagai bidang yang berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini,
kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak.
Dalam pada itu, pada masa ini juga
semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai
hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan
perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang
lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.
Kenyataan-kenyataan di atas
mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari'ah yakni
kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara' dalam
menetapkan hukum dalam berijtihad.
Demikian pula dengan semakin luasnya
daerah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk
agama Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka.
Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat
terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa
ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam
tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan
kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara'. Hal ini mendorong
para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar
dapat memahami nash-nash syara' sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab
sewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah
syar'iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad II
Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fiqh.
Dikatakan oleh Ibnu Nadim
bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam
Abu Yusuf -murid Imam Abu Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak
sampai kepada kita.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab
Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah Ilmu
Ushul Fiqh dengan disertai alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris
asy-Syafi'iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah.
Dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang pertama
sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa
beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh.
Pembahasan tentang Ilmu Ushul Fiqh
ini, kemudian dilanjutkan oleh para ulama generasi selanjutnya.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar