Senin, 19 Oktober 2015

Menjadi Kader Dakwah Yang Berdaya Guna

Ketika Rosululloh SAW menawarkan kepada para pemimpin kabilah untuk membawa dan membela da’wah, mayoritas mereka menolak. Sebagian mereka mengatakan : “Jika demikian kalian akan diperangi orang-orang Arab dan Non Arab” atau ada di antara mereka yang mengatakan : “Urusan ini (Da’wah) adalah urusan yang dibenci oleh para penguasa”. Memang demikianlah adanya bahwa da’wah akan mendapat tantangan besar dari para penentangnya sepanjang zaman. 

Da’wah membawa misi besar perubahan, akan melibas beragam budaya dan kebiasaan, menghancurkan kebatilan dan ragam perilakunya. Menentang penguasa zholim dan pendukung serta tata aturannya. Menghantam Ilah batil berikut perundang-undangannya, tidak mengakui institusi kekuasaannya dan tidak menganggap para pemegang kekuasaan dan pelaksana kebijakannya. Mengharamkan industri maksiat dan menentang para pemilik dan jajaran pegawainya. Wajar jika da’wah akan mendapat serangan bertubi-tubi sepanjang zaman karena ada kepentingan besar di balik perlawanan tersebut, yaitu tradisi, upeti dan harga diri.

            Di balik tekanan da’wah yang sedemikian dahsyat beliau sadar bahwa da’wah membutuhkan lelaki kuat penopang tegaknya kebenaran. Hari-hari beliau adalah hari-hari mencari kader guna menguatkan rumah da’wah agar bisa nyaman ditempati penghuninya. Meski beberapa tokoh dan pemuka Qurays sudah bulat tekad menyatakan dukungan terhadap perjuangan beliau, namun Rosululloh SAW masih merasa sangat perlu hadirnya tokoh besar dengan jumlah banyak. Setiap kabilah didatangi, setiap tokoh ditemui akankah ada di antara mereka yang siap menjadi pahlawan besar pengawal kebenaran. Keinginan beliau akan kehadiran dua tokoh besar Umar bin Khoththob dan Amr bin Hisyam (Abu Jahal), beliau lontarkan dalam ungkapan doanya, :”Ya اAllah wibawakan Islam dengan dua Umar”. Namun di balik pencariannya beliaupun sadar bahwa mencari kader tidak seperti mencari ikan di tambak besar. Beliau membahasakan kader seperti Unta tunggangan (Rohilah) dari seratus unta belum tentu ada satu di dalamnya.
            Di salah satu rumah di Madinah, Umar bin Khoththob RA duduk bersama sahabatnya. Lalu beliau bertutur : ”Bercita-citalah kalian!” maka salah seorang dari mereka mengatakan : ”Alangkah baiknya jika rumah ini dipenuhi dengan emas yang bisa kuinfakkan fi sabilillah”. Umar berkata lagi : ”Berangan-anganlah kalian!”. Seorang yang lainnya mengatakan : ”Kuingin rumah ini dipenuhi intan mutiara dan zabarjad yang dapat ku infakkan dan ku sedekahkan fi sabilillah”. Lalu Umar berkata lagi : ”Silahkan kalian berangan-angan!” Mereka menjawab : ”Wahai Amirul Mukminin, kami tak tahu lagi apa yang harus kami katakan”. Umarpun menjawab : ”Aku merindukan para kader seperti Abu Ubaidah bin Jarroh, Mu’az bin Jabal dan Salim Maula Abu Huzaifah, untuk berjuang menegakkan kalimatulloh.” Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Umar. Ia amat tahu tentang faktor penunjang bagi wujudnya kemuliaan dan harga diri, modal besar penggerak bangsa yang mati dan bagi tegaknya peradaban besar yang hakiki.

            Sungguh kader lebih mahal dari barang tambang, lebih kuat dari karang dan daya ledaknya lebih dahsyat dari senjata. Kehadirannya di tengah umat mampu membangunkan orang yang tidur, menyadarkan orang yang mabuk bahkan mampu menghidupkan mereka yang telah mati. Tak perlu ribuan, ratusan atau puluhan bahkan satupun jumlah mereka telah mampu memberi ruh baru bagi kehidupan umat. Imam Syahid Hasan Al Banna membahasakan kader dengan ungkapan indah : ”Kalian adalah ruh baru yang mengalir di dalam tubuh umat.” 

Ketika da’wah mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat Madinah, Rosululloh SAW tak perlu pusing mencari siapa orang yang tepat dikirim menjadi da’i dan murobbi kesana. Beliau tak perlu mengirim sahabat senior sekelas Abu Bakar atau Umar bin Khoththob, tak perlu banyak, cukup satu orang yaitu sahabat Mush’ab bin Umair sebagai pembuka kota Madinah. Rosululoh SAW memahami betul bahwa seluruh kadernya berdaya dan memiliki responsibilitas yang tinggi terhadap kerja-kerja da’wah. 

Ketika Kholid bin Walid mengepung suatu tempat dalam pertempuran dahsyat, beliau meminta bantuan pasukan tambahan kepada Abu Bakar RA. Akan tetapi sang khalifah hanya mengirim satu orang lelaki saja yakni Qo’qo bin Umar Attamimi, seraya beliau berkata : ”Insya Allah pasukan tidak akan kalah dengan adanya laki-laki seperti dia”. Dan Kholid bin Walid pun berkata : ”Sungguh! Suara Qo’qo di tengah pasukan jauh lebih menggetarkan musuh ketimbang 1000 orang tentara.” Seorang kader terkadang berbanding seratus, bahkan seribu orang. Dan kader kadang kala imbangannya adalah satu bangsa, sehingga dikatakan : ”Seorang kader yang punya cita-cita besar bisa menggerakkan satu bangsa.”

Kader ibarat ruh bagi raga, lokomotif bagi gerbong dan mesin penggerak bagi kendaraan, seluruh roda kebaikan tidak akan bergerak tanpa kehadirannya. Wajar jika Rosululloh SAW, Umar bin khoththob dan Khalifah selanjutnya menaruh tumpuan harapan besar kepadanya. Karena di atas pundaknya, da’wah meletakkan tanggung jawab besar yakni tetap eksisnya risalah kebenaran hingga akhir zaman. Kelemahan mereka membuat melemahnya da’wah dan melemahnya da’wah membuat kehidupan akan rusak binasa, yang menyebabkan umat tenggelam dalam kenistaan.  Karena saking khawatirnya Umar bin Khoththob akan kelemahan dirinya sebagai kader, beliau berdoa : ”Ya Allah aku berlindung pada Mu dari kezholiman para pendosa dan aku berlindung pada Mu menjadi kader yang tidak berdaya”. Kalaulah musibah tsunami mampu menenggelamkan ratusan ribu orang, maka yakinilah bahwa ketidak berdayaan kader akan mampu menenggelamkan satu bangsa. Na’udzu billah.

Kekaderan bukan diukur oleh lama dan panjang waktunya tarbiyah, tidak juga diukur dari tinggi rendahnya status keanggotaan, akan tetapi diukur dari sebesar apa kontribusi yang bisa diberikan bagi kebesaran dan kebaikan da’wah. Apalah artinya lama tarbiyah dan kesenioran sementara di balik itu semua fatamorgana. Lebih baik menjadi kader pemula yang berdaya dari pada menjadi kader ahli yang tak berguna. Tidakkah kita belajar dari Al Aswad  seorang budak hitam meski baru masuk Islam dan belum lagi melaksanakan sholat namun beliau beroleh syahadah karena kontribusinya. Jelaslah bagi kita kekaderan ditentukan oleh kerja dan karya bukan status keanggotaan semata. Bisa jadi secara status keanggotaan kita terdaftar namun tidak diakui, dan bisa jadi ada orang yang tidak terdaftar menjadi anggota akan tetapi statusnya diakui. Alangkah bijaknya Imam Syahid Hasan Al Banna dalam menetapkan keanggotaan kadernya : ”Berapa banyak kader di tengah-tengah kami namun dia bukan bagian dari kami, dan berapa banyak orang yang tidak bersama kami namun mereka adalah kader kami”.

Tidak jarang dalam satu masa ada sejumlah kader yang tidak berdaya, tak berkontribusi dan tak bekerja. Jangankan sampai tingkatan kontribusi hadir dalam halaqoh atau usroh -yang kebaikannya akan dirasakan oleh dirinya sendiri saja- terasa berat. Kalau semangat membina diri saja sudah terasa berat bagaimana semangat membina umat? Mundur malu, maju terhuyung-huyung, hidup segan mati tak mau, berjamaah serasa ikan masuk daratan. Jangankan lagi memikul beban da’wah justru kehadirannya membebani da’wah. Apakah da’wah akan menjadi punah karena kondisi kadernya yang sedemikian merana? Sungguh tidak kan pernah da’wah ini kehabisan pendukung dan pembelanya, karena da’wah ini milik Allah maka Dia pula yang akan menjaganya. Bahkan Rosululloh SAW menegaskan bahwa : ”Sesungguhnya Allah akan membangkitkan seorang pembaharu setiap seratus tahun untuk memperbaharui agamanya”. Dan Allah pun memberi penegasan bahwa generasi yang tak perduli dengan urusan agamanya akan digantikan :
 “Hai orang-orang yang beriman, Apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah,  kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (At Taubah : 38-39).

Akankah kita menjadi kader berdaya yang akan menggantikan generasi yang tak perduli, ataukah kita menjadi kader yang tak berdaya yang akan digantikan, Semua pilihan menuntut konsekwensi. Silahkan gunakan nurani….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar