Hari itu Madinah sedang genting. Sangat genting. Dari depan, 10 ribu
pasukan Ahzab menunggu kesempatan untuk menyerang. Langkah mereka memang
terhenti oleh parit yang menutup akses masuk Madinah, tetapi bukan
berarti mereka diam. Sesekali pasukan berkuda mencoba menerobos.
Sesekali pasukan lain melepaskan anak panah.
Dari belakang, Bani Quraizhah mengkhianati perjanjian. Melalui Huyai bin
Akhtab, mereka membuat kesepakatan dengan pasukan Ahzab untuk menyerang
Madinah dari belakang.
Melihat situasi itu, Rasulullah berinisiatif mengadakan perjanjian
dengan pemimpin Ghathafan. Rasulullah menghendaki Ghathafan menarik
pasukannya dari Madinah. Sebagai balasannya, Madinah memberikan
sepertiga hasil kurmanya kepada Ghathafan. Rasulullah berharap, jika
6.000 pasukan Ghathafan pergi, lebih mudah bagi pasukan Madinah yang
jumlahnya hanya 3.000 orang untuk menghantam pasukan Quraisy yang
jumlahnya 4.000 orang.
“Wahai Rasulullah,” kata Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah, “Jika
Allah memerintahkan engkau untuk mengambil keputusan seperti ini, maka
kami akan tunduk dan patuh. Tetapi jika ini merupakan keputusan yang
hendak engkau ambil bagi kami, maka kami tidak membutuhkannya. Dulu kami
dan mereka adalah orang-orang yang sama-sama menyekutukan Allah dan
menyembah berhala. Dulu mereka tidak berhasrat memakan sebuah kurma pun
dari Madinah kecuali melalui jual beli atau bila sedang dijamu. Setelah
Allah memuliakan kami dengan Islam, memberi petunjuk Islam dan menjadi
jaya bersamamu, mengapa kami harus memberikan harta kami kepada mereka?
Demi Allah, kami tidak akan memberikan kepada mereka kecuali pedang.”
Mendengar pendapat dua pemimpin Anshar ini, Rasulullah pun mengurungkan rencana perjanjiannya.
Demikianlah interaksi sahabat dengan Rasulullah. Saat para sahabat
berbeda pendapat, mereka menyampaikannya kepada Rasulullah dengan cara
yang baik. Terlebih dulu mereka ingin memastikan apakah pendapat
Rasulullah itu berdasarkan wahyu ataukah pendapat pribadi. Sebab jika
itu adalah wahyu, mereka sadar keniscayaan dan kebenarannya. Sikap
mereka hanya satu;
sami’na wa atha’na. Tetapi jika itu adalah
pendapat Nabi yang tidak lain hanya strategi, maka mereka mengajukan
alternatif solusi. Dan bukan kali ini saja para sahabat berbeda pendapat
dengan Rasulullah kemudian Rasulullah menerima pendapat mereka.
Dua tahun sebelumnya, saat terdengar pasukan Quraisy hendak menyerbu
Madinah, Rasulullah menggelar musyawarah. Rasulullah yang sebelumnya
telah bermimpi mengenai perang itu, mengusulkan agar umat Islam bertahan
di dalam kota Madinah. Namun, para sahabat –terutama yang belum ikut
perang Badar- menginginkan agar umat Islam keluar untuk menyambut mereka
di luar Madinah.
“Wahai Rasulullah, sejak dulu kami sudah mengharapkan hari seperti ini
dan kami selalu berdoa kepada Allah. Dia sudah menuntun kami dan tempat
yang dituju sudah dekat. Keluarlah untuk menghadapi musuh-musuh kita,
agar mereka tidak menganggap kita takut kepada mereka.”
Rasulullah pun kemudian mengabaikan pendapatnya dan mengikuti pendapat mayoritas sahabat.
Pun saat perang Badar. Ketika Rasulullah memutuskan menempati tempat
tertentu sebagai pangkalan pasukan, Hubab bin Mundzir menyampaikan
pendapatnya. “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang
keputusan berhenti di tempat ini? Apakah ini tempat berhenti yang
diturunkan Allah kepadamu? Jika begitu keadaannya, maka tidak ada
pilihan bagi kami maju atau mundur dari tempat ini. Ataukah ini sekedar
pendapat, siasat dan taktik perang?” Setelah Rasulullah memberitahu
bahwa itu adalah strategi, maka Hubab mengusulkan tempat yang lebih
strategis, yang membuat pasukan Islam menguasai sumber air dan pasukan
kafir Quraisy kesulitan mengaksesnya. Rasulullah pun setuju dan
meninggalkan pendapatnya sendiri.
Subhanallah, begitulah indahnya
al qiyadah wal jundiyah di era
nabawiyah. Dan selayaknya kader-kader dakwah dan para qiyadahnya
mengambil pelajaran penting ini saat terjadi perbedaan pendapat. Yakni
jika seorang atau sejumlah kader berbeda pendapat dengan qiyadah,
hendaklah:
1. Meluruskan niatnya semata-mata karena Allah. Ikhlas dalam rangka
menyampaikan pendapat yang bertujuan membawa kemaslahatan bagi dakwah
dan jama’ah. Keikhlasan ini adalah poin pertama dan utama. Dengan
keikhlasan, ia tidak mengejar popularitas saat menyampaikan usul yang
lebih baik. Dengan ikhlas pula, ia tidak kecewa atau futur saat
pendapatnya belum diterima.
2. Menyampaikannya kepada qiyadah dengan bahasa dan cara yang baik.
Ihtiram (penghormatan) kepada qiyadah dan kepada orang yang lebih tua adalah bagian dari adab Islam.
3. Berhati-hati agar tidak menjatuhkannya di depan umum. Sebab soliditas
jama’ah adalah prioritas utama dan faktor penting yang menentukan
kemenangan. Jika qiyadah dijatuhkan di depan publik, hal itu dapat
mengurangi ke-
tsiqoh-an anggota dan bisa menjadi celah yang dimanfaatkan musuh-musuh dakwah untuk menyerang jama’ah.
4. Berorientasi pada substansi ide, bukan berorientasi pada pribadi di
balik ide. Maka menyampaikan pendapat berbeda dengan kalimat, “pendapat
tersebut menurut saya keliru” lebih baik daripada “Anda sering keliru.”
Berorientasi pada substansi ide ini juga membuat kita membatasi diri
hanya pada persoalan yang dibahas, bukan melebar pada kesalahan lain
yang pernah dilakukan di masa lalu.
5. Menyampaikan alternatif solusi dan argumentasi dengan jelas
6. Tidak kecewa jika pendapatnya ditolak, dan hendaklah ia menyadari
bahwa ia (insya Allah) telah mendapatkan pahala karena niat sucinya dan
caranya yang baik pula
7. Melaksanakan keputusan dan hasil syuro, baik pendapatnya yang
diterima atau pendapat orang lain yang diterima. Jika pada tiga contoh
di atas Rasulullah selalu menerima pendapat sahabat, pada perjanjian
Hudaibiyah Rasulullah kokoh dengan keputusannya. Semula sahabat tidak
setuju karena tidak memahami hikmah di balik perjanjian itu. Namun, saat
Rasulullah telah memutuskan untuk bertahalul dan menyembelih hewan
qurban, mereka pun mengikuti Rasulullah. Sami’na wa atha’na.
Wallahu a’lam bish shawab. [Abu Nida]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar