Dengarkanlah ungkapan dari lisan seorang sahabat
bernama Abu Dhamdham radhiallahu anhu. “Ya Allah, aku tidak punya harta lagi
untuk aku sedekahkan kepada orang yang membutuhkan. Karenanya, sudah aku
sedekahkan kehormatanku untuk mereka. Siapa saja yang menghinaku, atau
mencaciku, itu adalah halal untukku.”
Hampir tidak ada, orang yang keinginannya untuk memberi kepada orang lain lebih besar daripada keinginannya untuk diri sendiri. Seperti sahabat Abu Dhamdam radhiallahu anhu dan juga para sahabat lainnya. Karenanya, kita pasti aneh mendengarkan ucapan itu. Ternyata ada seseorang yang sangat ingin menghibahkan apa yang menjadi miliknya untuk orang lain. Ternyata ada hati seseorang yang begitu lapang, yang tak mengisi jiwanya untuk kepentingan dirinya, kecuali untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya. Sampai tatkala tak ada lagi yang layak diberikan kepada orang lain, ia menghadirkan kehormatan, kemuliaan, harga dirinya, untuk diberikan kepada orang lain. Lalu, semua caci maki, umpatan, hinaan, akan dijadikan sedekah dari dirinya untuk orang yang mencaci, mengumpat dan menghinanya. Subhanallah.
Abu Dhamdham pasti mempunyai logika keimanannya sendiri untuk memiliki sikap seperti itu. Sebab semua orang lazimnya mempunyai keinginan diri, menyimpan obsesinya untuk diri sendiri. Ibnul Qayyim rahimahullah mengomentari ungkapan Abu Dhamdham ra ini. Katanya, ”Kedermawanan Abu Dhamdham ini mencerminkan kelapangan hati, ketenangan jiwa, dan kebersihannya dari rasa memusuhi orang lain.” (Tahdzib Madarij As Saalikin, 407). Hati yang lapang, jiwa yang tenang dan tak menyimpan masalah dalam hati. Ketiganya saling bertautan. Hati yang sempit, menandakan jiwa yang selalu resah, dan keadaan itu umumnya dipicu oleh suasana tidak nyaman saat berinteraksi dengan orang lain. Dan ketiga hal itulah yang bisa diatasi oleh Abu Dhamdham hingga ia sangat ingin memberi, melebihi keinginannya untuk dirinya sendiri
Hampir tidak ada, orang yang keinginannya untuk memberi kepada orang lain lebih besar daripada keinginannya untuk diri sendiri. Seperti sahabat Abu Dhamdam radhiallahu anhu dan juga para sahabat lainnya. Karenanya, kita pasti aneh mendengarkan ucapan itu. Ternyata ada seseorang yang sangat ingin menghibahkan apa yang menjadi miliknya untuk orang lain. Ternyata ada hati seseorang yang begitu lapang, yang tak mengisi jiwanya untuk kepentingan dirinya, kecuali untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya. Sampai tatkala tak ada lagi yang layak diberikan kepada orang lain, ia menghadirkan kehormatan, kemuliaan, harga dirinya, untuk diberikan kepada orang lain. Lalu, semua caci maki, umpatan, hinaan, akan dijadikan sedekah dari dirinya untuk orang yang mencaci, mengumpat dan menghinanya. Subhanallah.
Abu Dhamdham pasti mempunyai logika keimanannya sendiri untuk memiliki sikap seperti itu. Sebab semua orang lazimnya mempunyai keinginan diri, menyimpan obsesinya untuk diri sendiri. Ibnul Qayyim rahimahullah mengomentari ungkapan Abu Dhamdham ra ini. Katanya, ”Kedermawanan Abu Dhamdham ini mencerminkan kelapangan hati, ketenangan jiwa, dan kebersihannya dari rasa memusuhi orang lain.” (Tahdzib Madarij As Saalikin, 407). Hati yang lapang, jiwa yang tenang dan tak menyimpan masalah dalam hati. Ketiganya saling bertautan. Hati yang sempit, menandakan jiwa yang selalu resah, dan keadaan itu umumnya dipicu oleh suasana tidak nyaman saat berinteraksi dengan orang lain. Dan ketiga hal itulah yang bisa diatasi oleh Abu Dhamdham hingga ia sangat ingin memberi, melebihi keinginannya untuk dirinya sendiri
Membersihkan hati dari rasa tidak enak dengan
saudara sesama Muslim, tidak mudah dan bahkan membutuhkan kesabaran berlipat.
Melapangkan dada, setelah melihat prilaku saudara yang mungkin membuat luka,
membikin kecewa, memunculkan amarah, seiring sejalan dengan kemampuan seseorang
melatih diri untuk mengendalikan diri saat marah. Dan itu tidak gampang. Karena
itulah, sikap tidak menyimpan luka, sikap lapang dada, sikap lapang jiwa yang
tidak menyimpan sedikitpun rasa yang mengganggu persaudaraan, adalah sifat-sifat
yang menjamin seseorang masuk surga.
Masalah ini yang ingin disampaikan Rasulullah saw,
saat ia tiga kali memuji seorang pemuda yang datang ke majlisnya, bahwa pemuda
yang datang itu adalah penghuni surga. Di tengah nasihat dan arahannya di dalam
masjid, Rasulullah saw tiba-tiba mengatakan, ”Akan datang pada kalian sekarang
seorang yang menjadi ahli surga.” Tak lama setelah itu, datanglah seorang pemuda
Anshar yang bersih janggutnya karena wudhu. Sedangkan tangannya yang kiri
menenteng dua sandalnya. Peristiwa serupa ini terjadi lagi keesokan harinya,
hingga tiga kali berulang.
Abdullah bin Umar radhiallahu anhu tersentak rasa keingintahuannya, dan berniat untuk bermalam di rumah pemuda itu, sampai ia tahu apa rahasianya, hingga mendapat sebutan ahli surga oleh Rasulullah saw, sebanyak tiga kali. Setelah tiga hari bermalam di rumah pemuda itu, Abdullah bin Umar ra merasa tak ada bagian hidupnya yang istimewa. Ia pun bertanya, dan menjelaskan maksud sebenarnya ia bermalam bersama pemuda itu. Pemuda itu menjawab, ”Saya tidak lebih seperti apa yang engkau lihat. Tapi, dalam jiwa saya tak sedikitpun ganjalan perasaan, dan saya tidak hasad sedikitpun atas kebaikan yang mereka terima.” Lalu, Abdullah bin Umar ra pun mengatakan, ”Inilah yang meninggikan kedudukanmu, yang kami tidak sanggup melakukannya.”
Abdullah bin Umar radhiallahu anhu tersentak rasa keingintahuannya, dan berniat untuk bermalam di rumah pemuda itu, sampai ia tahu apa rahasianya, hingga mendapat sebutan ahli surga oleh Rasulullah saw, sebanyak tiga kali. Setelah tiga hari bermalam di rumah pemuda itu, Abdullah bin Umar ra merasa tak ada bagian hidupnya yang istimewa. Ia pun bertanya, dan menjelaskan maksud sebenarnya ia bermalam bersama pemuda itu. Pemuda itu menjawab, ”Saya tidak lebih seperti apa yang engkau lihat. Tapi, dalam jiwa saya tak sedikitpun ganjalan perasaan, dan saya tidak hasad sedikitpun atas kebaikan yang mereka terima.” Lalu, Abdullah bin Umar ra pun mengatakan, ”Inilah yang meninggikan kedudukanmu, yang kami tidak sanggup melakukannya.”
Hati yang lapang, hati yang tak mempunyai dendam,
hati yang tak memiliki rasa kesal, dengan saudara sesama Muslim, adalah surga
dunia. Itu kesimpulan dari hadits panjang tentang Abdulah bin Umar dan pemuda
Anshar tersebut. Abdullah bin Umar radhiallahu anhu yang terkenal zuhud dan ahli
ibadah bahkan mengakui, bila dirinya tidak mampu memiliki kebersihan hati,
kelapangan dada, seperti pemuda itu.
Setidaknya kita harus berusaha mengusir rasa benci,
atau sekedar meminimalisir suasana yang tidak bersih dengan orang lain. Sebab
bila rasa dengki, hasad, ganjalan yang ada tak kunjung mampu kita redam, ada
bahaya besar yang akan menimpa kita. Hasad, dengki, memang pasti punya logikanya
sendiri, dalam arti pasti memiliki alasan untuk bisa dibenarkan. Tapi juga bisa
menjadi alasan untuk disalahkan. Alasan yang membenarkan itu sendiri, belum
tentu asli kebenarannya karena sangat mungkin ada dalam buaian dan bisikan
syetan yang membenarkan sesuatu yang keliru. Dan itu semua berakibat pada
perpecahan, perkubuan, bisa merebak, bahkan melebar tak melibatkan satu atau dua
orang tertentu melainkan satu kelompok orang. Sampai kita benar-benar menjadi
lemah dan berada dalam kondisi seperti yang tegas dilarang Allah swt dalam surat
Al Anfal ayat 46, ”... Dan janganlah kalian bertikai, lalu kalian menjadi gagal
dan kekuatan kalian hilang.... ”
Camkan dalam-dalam bagaimana persaudaraan yang
dihidupkan oleh Rasulullah saw di zaman kenabian, dan hidup bergerak dalam dunia
para sahabat dan orang-orang shalih. Mereka bukan tak pernah mengalami masalah,
merasa terluka, kecewa, dalam interaksi sesamanya. Mereka orang-orang yang
hatinya lapang, jiwanya bersih lalu paras mukanya menjadi bercahaya. Mereka
berhasil mengatasi permasalahan dalam hubungan mereka dengan sangat baik.
Dengar bagaimana perkataan Abu Dujjanah radhiallahu anhu saat sakit. Ketika itu,
para sahabatnya terkejut melihat wajah Abu Dujjanah berseri dan bercahaya,
padahal mereka tahu Abu Dujjanah dalam kondisi sakit parah yang mengantarkan
ajalnya. Merekapun bertanya kepada Abu Dujjanah, dan ia menjawab, ”Tak ada suatu
amalanpun yang paling aku pegang teguh kecuali dua hal. Pertama, aku
tidak mau bicara yang tidak bermanfaat. Kedua, hatiku bersih dari
perasaan yang mengganjal dengan kaum muslimin.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar