“Aku benar-benar melihat malaikat sedang memandikan Hanzhalah di antara
langit dan bumi dengan air dari awan dalam sebuah tempat besar terbuat
dari perak.” Sahabat Urwah ra menegaskan kesaksiannya tentang kesyahidan
Hanzhalah di perang Uhud.
Mekkah menggelegak terbakar kebencian terhadap orang-orang Muslim karena
kekalahan mereka di Perang Badar dan terbunuhnya sekian banyak pemimpin
dan bangsawan mereka saat itu. Hati mereka membara dibakar keinginan
untuk menuntut balas. Bahkan karenanya Quraisy melarang semua penduduk
Mekah meratapi para korban di Badar dan tidak perlu terburu-buru menebus
para tawanan, agar orang-orang Muslim tidak merasa di atas angin karena
tahu kegundahan dan kesedihan hati mereka.
Hingga tibalah saatnya Perang Uhud. Di antara pahlawan perang yang
bertempur tanpa mengenal rasa takut pada waktu itu adalah Hanzhalah bin
Abu Amir. Nama lengkapnya Hanzhalah bin Abu ‘Amir bin Shaifi bin Malik
bin Umayyah bin Dhabi’ah bin Zaid bin Uaf bin Amru bin Auf bin Malik
al-Aus al-Anshory al-Ausy. Pada masa jahiliyah ayahnya dikenal sebagai
seorang pendeta, namanya Amru.
Suatu hari ayahnya ditanya mengenai kedatangan Nabi dan sifatnya hingga
ketika datang, orang-orang dengan mudahnya dapat mengenalnya. Ayahnya
pun menyebutkan apa yang ditanyakan. Bahkan secara terang-terangan
dirinya akan beriman dengan kenabian itu.
Ketika Allah turunkan Islam di jazirah Arab untuk menuntun jalan
kebenaran melalui nabi terakhir. Justru dirinya mengingkarinya. Bahkan
dirinya hasud dengan kenabian Muhammad. Tak lama kemudian Allah bukakan
hati anaknya, Hanzhalah untuk menerima kebenaran yang dibawa Rasulullah.
Sejak itulah jiwa dan raganya untuk perjuangan Islam.
Kebencian ayahnya terhadap Rasulullah membuat darahnya naik turun.
Bahkan meminta izin Rasulullah untuk membunuhnya. Tapi Rasulullah tidak
mengizinkan. Sejak itulah keyakinan akan kebenaran ajaran Islam semakin
menancap di relung hatinya. Seluruh waktunya digunakan untuk menimba
ilmu dari Rasulullah.
Di tengah kesibukkannya mengikuti da’wah Rasulullah yang penuh dinamika,
tak terasa usia telah menghantarkannya untuk memasuki fase kehidupan
berumah tangga. Disamping untuk melakukan regenerasi, tentu ada nikmat
karunia Allah yang tak mungkin terlewatkan.
Hanzhalah menikahi Jamilah binti Abdullah bin Ubay bin Salul, anak
sahabat bapaknya. Mertuanya itu dikenal sebagai tokoh munafik,
menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keimanan. Dia berpura-pura
membela Nabi saw dalam Perang Uhud; namun ketika rombongan pasukan
muslim bergerak ke medan laga, ia menarik diri bersama orang-orangnya,
kembali ke Madinah.
Sementara itu Madinah dalam keadaan siaga penuh. Kaum muslimin sudah
mencium gelagat dan gerak-gerik rencana penyerangan oleh pasukan Abu
Shufyan. Situasi Madinah sangat genting.
Namun walau dalam situasi seperti itu, Hanzhalah dengan tenang hati dan
penuh keyakinan akan melangsungkan pernikahannya. Sungguh tindakannya
itu merupakan gambaran sosok yang senantiassa tenang menghadapi berbagai
macam keadaan.
Hanzhalah menikahi Jamilah, sang kekasih, pada suatu malam yang paginya
akan berlangsung peperangan di Uhud. Ia meminta izin kepada Nabi saw
untuk bermalam bersama istrinya. Ia tidak tahu persis apakah itu
pertemuan atau perpisahan. Nabi pun mengizinkannya bermalam bersama
istri yang baru saja dinikahinya.
Mereka memang baru saja menjalin sebuah ikatan. Memadu segala rasa dari
dua lautan jiwa. Berjanji, menjaga bahtera tak akan karam walau kelak
badai garang menghadang. Kini, dunia seakan menjadi milik berdua. Malam
pertama yang selalu panjang bagi setiap mempelai dilalui dengan penuh
mesra. Tak diharapkannya pagi segera menjelang. Segala gemuruh hasrat
tertumpah. Sebab, sesuatu yang haram telah menjadi halal.
Langit begitu mempesona. Kerlip gemintang bagaikan menggoda rembulan
yang sedang kasmaran. Keheningannya menjamu temaramnya rembulan,
diukirnya do’a-do’a dengan goresan harapan, khusyu’, berharap regukan
kasih sayang dari Sang Pemilik Cinta. Hingga tubuh penat itupun bangkit,
menatap belahan jiwa dengan tatapan cinta. Hingga, sepasang manusia itu
semakin dimabuk kepayang.
Indah…
Sungguh sebuah episode yang teramat indah untuk dilewatkan. Namun disaat
sang pengantin asyik terbuai wanginya aroma asmara, seruan jihad
berkumandang dan menghampiri gendang telinganya.
“Hayya ‘alal jihad… hayya ‘alal jihad…!!!”
Pemuda yang belum lama menikmati indahnya malam pertama itu tersentak.
Jiwanya sontak terbakar karena ghirah. Suara itu terdengar sangat tajam
menusuk telinganya dan terasa menghunjam dalam di dadanya. Suara itu
seolah-olah irama surgawi yang lama dinanti. Hanzalah harus mengeluarkan
keputusan dengan cepat. Bersama dengan hembusan angin fajar pertama,
Hanzhalah pun segera melepaskan pelukan diri dari sang istri.
Dia segera menghambur keluar, dia tidak menunda lagi keberangkatannya,
supaya ia bisa mandi terlebih dahulu. Istrinya meneguhkan tekadnya untuk
keluar menyambut seruan jihad sambil memohon kepada Allah agar suaminya
diberi anugerah salah satu dari dua kebaikan, menang atau mati syahid,
Dia berangkat diiringi deraian air mata kekasih yang dicintainya. Ia
berangkat dengan kerinduan mengisi relung hatinya. Kerinduan saat-saat
pertama yang sebelumnya sangat dinantikannya, saat mereka berdua terikat
dalam jalinan suci. Namun semua itu berlalu bagaikan mimpi. Hanzalahpun
akhirnya berangkat menuju medan laga untuk memenangkan cinta yang lebih
besar atas segalanya. Bahkan untuk meraih kemenangan atas dirinya
sendiri.
Kenikmatan yang bagai tuangan anggur memabukkan tak akan membuatnya
terlena. Sehingga, iringan do’alah yang mengantar kepergiannya ke medan
jihad. Dia bergegas mengambil peralatan perang yang memang telah lama
dipersiapkan. Baju perang membalut badan, sebilah pedang terselip
dipinggang. Siap bergabung dengan pasukan yang dipimpin Rasulullah saw.
Berperang bersama Hamzah, Abu Dujanah, Zubayr, Muhajirin dan Anshar yang
terus berperang dengan yel-yel, seolah tak ada lagi yang bisa menahan
mereka. Bulu-bulu putih pakaian Ali, surban merah Abu Dujanah, surban
kuning Zubayr, surban hijau Hubab, melambai-lambai bagaikan bendera
kemenangan, memberi kekuatan bagi barisan di belakangnya.
Tubuh Hanzhalah yang perkasa serta merta langsung berada di atas
punggung kuda. Sambil membenahi posisinya di punggung kuda, tali kekang
ditarik dan kuda melesat secepat kilat menuju barisan perang yang tengah
bekecamuk. Tangannya yang kekar memainkan pedang dengan gerakan menebas
dan menghentak, menimbulkan efek bak hempasan angin puting beliung.
Musuh datang bergulung. Merimbas-rimbas. Tak gentar, ia justru merangsek
ke depan. Menyibak. Menerjang kecamuk perang. Nafasnya tersengal.
Torehan luka di badan sudah tak terbilang. Tujuan utama ingin berhadapan
dengan komandan pasukan lawan. Serang! Musuhpun bergelimpangan.
Takbir bersahut-sahutan. Lantang membahana bagai halilintar. Berdentam.
Mendesak-desak ke segenap penjuru langit. Hanzhalah terus melabrak.
Terjangannya dahsyat laksana badai. Pedangnya berkelebat. Suaranya
melenting-lenting. Kilap mengintai. Deras menebas. Berkali-kali orang
Quraisy yang masih berkutat dalam lembah jahiliyah itu mati terbunuh di
tangannya.
Sementara itu, dari kejauhan Abu Sufyan melihat lelaki yang gesit itu. Dia ingin sekali mendekat dan membunuhnya, tetapi nyalinya belum juga cukup untuk membalaskan dendam kepada pembunuh anaknya di perang Badar itu.
Situasi berbalik, kali ini giliran Hanzhalah mendekati Abu Sufyan ketika
teman-temannya justru melarikan diri ketakutan. Abu Sufyan terpaksa
melayaninya dalam duel satu lawan satu. Abu Sufyan terjatuh dari
kudanya. Wajahnya pucat, ketakutan.
Pedang Hanzhalah yang berkilauan siap merobek lehernya. Dalam hitungan
detik, nyawanya akan melayang. Tapi, dalam suasana genting itu, Abu
Sufyan berteriak minta tolong, “Hai orang-orang Quraisy, tolong aku.”
Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Syadad bin
Al-Aswad yang memang sudah disiagakan untuk menghabisi Hanzhalah,
behasil menelikung gerakan hanzhalah dan menebas tengkuknya dari
belakang. Tubuh yang gagah dan tegap itu jatuh berdebum ke tanah,
boom!!! Para sahabat yang berada di sekitar dirinya mencoba untuk
memberi pertolongan, namun langkah mereka terhenti.
Lantas orang-orang Quraisy di sekitarnya tanpa ampun mengayunkan
pedangnya kepada Hanzhalah, dari kiri, kanan, dan belakang, sehingga
Hanzhalah tersungkur. Dalam kondisi yang sudah parah, darah mengalir
begitu deras dari tubuhnya, ia masih dihujani dengan lemparan tombak
dari berbagai penjuru.
Tak lama kecamuk perang surut. Sepi memagut. Mendekap perih di banyak
potongan tubuh yang tercerabut. Ia syahid di medan Uhud. Di sebuah
gundukan tanah yang tampak masih basah, jasadnya terbujur.
Semburat cahaya terang dari langit membungkus jenazah Hanzhalah dan
mengangkatnya ke angkasa setinggi rata-rata air mata memandang. Juga
tejadi hujan lokal dan tubuhnya terbolak-balik seperti ada sesuatu yang
hendak diratakan oleh air ke sekujur tubuh Hanzhalah. Bayang-bayang
putih juga berkelebat mengiringi tetesan air hujan. Hujan mereda, cahaya
terang padam diiringi kepergian bayang-bayang putih ke langit dan tubuh
Hanzhalah kembali terjatuh dengan perlahan.
Subhanallah! Padahal sedari tadi hujan tak pernah turun mengguyur,
setetes-pun. Para sahabat yang menyaksikan tak urung heran. Para sahabat
kemudian membawa jenazah yang basah kuyup itu ke hadapan Rasulullah saw
dan menceritakan tentang peristiwa yang mereka saksikan. Rasulullah
meminta agar seseorang segera memanggil istri Hanzhalah.
Begitu wanita yang dimaksud tiba di hadapan Rasul, beliau menceritakan
begini dan begini tentang Hanzhalah dan bertanya: “Apa yang telah
dilakukan Hanzhalah sebelum kepergiannya ke medan perang?”
Wanita itu tertunduk. Rona pipinya memerah, dengan senyum tipis ia
berkata: “Hanzhalah pergi dalam keadaan junub dan belum sempat mandi ya
Rasulullah!”
Rasulullah kemudian berkata kepada yang hadir. “Ketahuilah oleh kalian.
Bahwasannya jenazah Hanzhalah telah dimandikan oleh para malaikat.
Bayang-bayang putih itu adalah istri-istrinya dari kalangan bidadari
yang datang menjemputnya.”
Dengan malu-malu mereka (para bidadari) berkata; “Wahai Hanzhalah, wahai
suami kami. Lama kami telah menunggu pertemuan ini. Mari kita
keperaduan.”
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu
perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?. (yaitu)
kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu
mengetahuinya, niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu
ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan
kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah
keberuntungan yang besar.” (QS 61:10-12).
Sumber dari ‘Yas’alunaka Fiddiini wal Hayaah’ yang diterjemahkan menjadi
“Dialog Islam” karya Dr. Ahmad Asy-Syarbaasyi (dosen Universitas
Al-Azhar, Cairo), Penerbit Zikir, Surabaya, 1997, cetakan pertama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar