Rabu, 19 Agustus 2015

Tata Cara Merapatkan Shaff dalam Shalat

🌺Tata Cara Merapatkan shaf🌺

Tentang rapatnya bahu, dalilnya amat jelas yakni:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوُّوا صُفُوفَكُمْ وَحَاذُوا بَيْنَ مَنَاكِبِكُمْ وَلِينُوا فِي أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ وَسُدُّوا الْخَلَلَ…

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Luruskan barisan kalian, rapatkanlah bahu-bahu kalian, bersikap lembutlah terhadap saudara kalian, dan tutuplah celah yang kosong ..”   (HR. Ahmad,   No. 21233. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir,    No. 7629. Syaikh Al Albany menshahihkannya dalam Shahihul Jami’ No.1840)

Tentang rapatnya kaki, hadits berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي
وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia bersabda: “Luruskan shaf kalian, sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku.“ Maka salah seorang di antara kami menempelkan bahunya dengan bahu kawannya, dan kakinya dengan kaki kawannya. (HR. Bukhari No.692)

Riwayat lain:

  فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يَلْزَقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَةِ صَاحِبِهِ وَكَعْبَهُ بِكَعْبِهِ

“Maka, aku melihat ada seseorang yang merapatkan bahunya dengan bahu kawannya, lututnya dengan lutut kawannya, dan mata kakinya dengan mata kaki kawannya.” (HR. Abu Daud No. 662. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah, 1/39, No. 32. Darul Ma’arif)

Imam Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan tentang makna ka’b (mata kaki):

وفي هذا الحديث: دلالة على أن الكعب هوَ العظم الناتيء في أسفل الساق، ليس هوَ في ظهر القدم، كما قاله قوم.

Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwasanya ka’b adalah tulang menonjol di bagian bawah betis, bukan bagian punggungnya kaki seperti yang dikatakan oleh segolongan manusia. (Fathul Bari, 6/283. Maktabah Ghuraba Al Atsariyah)

Hal serupa, namun lebih detil, disampaikan Al Hafizh Ibnu Hajar berikut ini:

واستدل بحديث النعمان هذا على أن المراد بالكعب في آية الوضوء العظم الناتئ في جانبي الرجل وهو عند ملتقى الساق والقدم وهو الذي يمكن أن يلزق بالذي بجنبه خلافا لمن ذهب أن المراد بالكعب مؤخر القدم وهو قول شاذ ينسب إلى بعض الحنفية ولم يثبته محققوهم وأثبته بعضهم في مسألة الحج لا الوضوء وأنكر الأصمعي قول من زعم أن الكعب في ظهر القدم

Hadist An Nu’man ini dijadikan dalil, bahwa maksud ka’b dalam ayat wudhu adalah tulang yang menonjol di bagian samping kaki, yaitu dipertemuan antara betis dengan kaki bagian bawah, itulah bagian yang memungkinkan terjadinya rapat bagian sisinya, hal ini menyelisihi pihak yang berpendapat bahwa ka’b adalah bagian belakang kaki, ini adalah pendapat yang janggal yang disandarkan sebagai pendapat sebagian Hanafiyah namun tidak diperkuat oleh para muhaqqiq mereka sendiri, namun sebagian mereka memperkuat makna ini dalam permasalahan haji bukan wudhu, tetapi Al Ashmu’i mengingkari pendapat pihak yang menyangka bahwa ka’b itu terletak di punggungnya kaki. (Fathul Bari, 2/211. Darul Ma’rifah)

Imam Al ‘Aini juga mengatakan:

أَي: يلزق كَعبه بكعب صَاحبه الَّذِي بحذائه. وَفِيه: دَلِيل على أَن الكعب هُوَ الْعظم الناتىء فِي مفصل السَّاق والقدم، وَهُوَ الَّذِي يُمكن إلزاقه

Yaitu menempelnya antara mata kakinya dengan mata kaki kawannya yang berada di sampingnya. Dalam hadits inib terdapat dalil bahwa ka’b adalah tulang yang menonjol pada daerah perbatasan antara betis dan kaki, itulah yang memungkinkan terjadinya persentuhan. (‘Umdatul Qari, 5/259-260)

Jadi, dr keterangan bbrp riwayat di atas yg bersentuhan adalah bahu, lutut (nampaknya ini tdk mudah), dan mata kaki (ka'b). Inilah yg jadi patokan lurusnya kaki yaitu bersentuhan mata kaki kita dgn sebelahnya.

Namun, ulama umumnya ulama  mengatakan, merapatkan shaf adalah sunah saja. Inilah pendapat Abu Hanifah, Syafi’I, dan  Malik. (‘Umdatul Qari, 8/455).   Bahkan Imam An Nawawi  mengklaim para ulama telah ijma’ atas kesunahannya.

Berikut perkataannya:

وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاء عَلَى اِسْتِحْبَاب تَعْدِيل الصُّفُوف وَالتَّرَاصّ فِيهَا

“Ulama telah ijma’ (aklamasi)  atas  sunahnya meluruskan shaf dan merapatkan shaf.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/384. Mauqi’ Ruh A Islam)

Apa yang dikatakan Imam An Nawawi ini, didukung oleh Imam Ibnu Baththal dengan perkataannya:

تسوية الصفوف من سنة الصلاة عند العلماء

“Meluruskan Shaf merupakan sunahnya shalat menurut para ulama. (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Bukhari, 2/344. Dar Ar Rusyd)

Alasannya, menurut mereka merapatkan shaf adalah untuk penyempurna dan pembagus shalat sebagaimana diterangkan dalam riwayat yang shahih.  Hal ini dikutip oleh Imam Al Aini, dari Ibnu Baththal,  sebagai berikut:

لأن حسن الشيء زيادة على تمامه وأورد عليه رواية من تمام الصلاة

“Karena, sesungguhnya membaguskan sesuatu hanyalah tambahan atas kesempurnaannya, dan hal itu telah ditegaskan dalam riwayat tentang kesempurnaan shalat.” (‘Umdatul Qari, 8/462)

Riwayat yang dimaksud adalah:

أقيموا الصف في الصلاة. فإن إقامة الصف من حسن الصلاة

“Aqimush Shaf (tegakkan/luruskan shaf) karena tegaknya shaf  merupakan diantara bagusnya shalat.” (HR. Bukhari No. 689. Muslim No. 435)

Imam An Nawawi mengatakan, maksud aqimush shaf  -dalam hadits lain aqiimuu shufuufakum- adalah meluruskannya (sawwuuhu), menyeimbangkannya ('addiluuhu ), dan merapatkannya (tarashshuuhu). (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/177. Maktabah Misykah. Lihat juga Aunul Mabud, 2/256)

Berkata Al Qadhi Iyadh tentang hadits ini:

دليل على أن تعديل الصفوف غير واجب ، وأنه سنة مستحبة .

“Hadits ini adalah dalil bahwa meluruskan shaf tidak wajib, dia adalah sunah yang disukai.” (Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmal Al Mu’allim Syarh Shahih Muslim, 2/193. Maktabah Misykah)

✔Tidak Sedikit Yang Mewajibkan

Jika kita mengumpulkan semua dalil-dalil yang ada, berserta menelaah alasan anjuran merapatkan shaf, dan ancaman bagi yang meninggalkannya, maka wajar dan maklum jika ada yang mengatakan wajib, seperti Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Hajar, Imam Al Karmani, dan lainnya. Kita tahu, tidak ada sunah yang jika ditinggalkan mendapatkan ancaman, sedangkan hal ini, telah jelas ancaman yang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kabarkan. Maka, indikasi kewajibannya adalah jelas menurut mereka.

Ada pun alasan Imam Ibnu Baththal, bahwa merapatkan shaf itu hanyalah tambahan untuk memperbagus dan menyempurnakan shalat, sehingga hukumnya sunah, adalah pendapat yang telah dikoreksi para ulama ini. Justru alasan yang dikemukakannya itu menjadi alasan buat  kelompok ulama yang mewajibkan. Sebab, sesuatu yang berfungsi  menjadi penyempurna sebuah kewajiban, maka sesuatu itu juga menjadi wajib hukumnya.

Hal ini ditegaskan oleh kaidah yang sangat terkenal:

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
“Kewajiban apa saja yang tidak bisa sempurna kecuali dengan ‘sesuatu’, maka sesuatu itu menjadi wajib  adanya.” (Imam As Subki, Al Asyhbah wan Nazhair, 2/90. Maktabah Misykah)

Jelas sekali bahwa kesempurnaan kewajiban shalat baru akan  terwujud dengan rapat dan lurusnya shaf, maka menurut kaidah ini- rapat dan lurusnya shaf adalah wajib ada demi kesempurnaan kewajiban tersebut. Hanya saja, kewajiban merapatkan shaf ini bukanlah termasuk kewajiban yang jika ditinggalkan dapat merusak shalat. Longgarnya shaf tidaklah membatalkan shalat, sebab itu bukan termasuk rukun shalat.

Maka dari itu, Imam Al Karmani mengatakan:

الصواب أن يقول فلتكن التسوية واجبة بمقتضى الأمر ولكنها ليست من واجبات الصلاة بحيث أنه إذا تركها فسدت صلات
ه
“Yang benar adalah yang mengatakan bahwa meluruskan shaf adalah wajib sebagai  konsekuensi dari perintah yang ada, tetapi itu bukan termasuk kewajiban-kewajiban shalat yang jika ditinggalkan akan merusak shalat.” (Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 8/455)

Imam  Al ‘Aini pun  mengatakan wajib dalam kitab lainnya:

فإن قيل: قوله- عليه السلام-:" أقيموا صفوفكم " أمر قارنه التكرار، وذكر معه الوعيد على تركه، فينبغي أن تكون إقامة الصفوف واجبا. قلت: فليكن واجبا، ولكنه ليس منْ واجبات الصلاة بحيث إنه إذا تركها أفسَد صلاته أو نقصها، ولكنه إذا تركها يأثم.

Maka, jika dikatakan bahwa sabdanya –‘Alaihis Salam- : “lurus dan rapatkanlah shaf kalian”  merupakan perintah yang berulang-ulang, dan juga disebutkan adanya ancaman kalau meninggalkannya, maka meluruskan shaf itu menjadi perkara yang wajib. Aku berkata: maka hal itu memang wajib, tetapi bukan termasuk kewajiban shalat yang jika ditinggalkan membuat shalatnya rusak (batal) atau berkurang, tetapi meninggalkannya adalah berdosa. (Imam Al Aini, Syarh Abi Daud, 3/212)

Yang pasti, merapatkan dan meluruskan shaf adalah budaya shalat pada zaman terbaik Islam. Sampai- sampai Umar memukul kaki Abu Utsman Al Hindi untuk merapatkan shaf. Begitu pula Bilal bin Rabbah telah memukul bahu para sahabat yang tidak rapat. Ini diceritakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar (Fathul Bari, 2/210), dan  Imam Al ‘Aini (‘Umdatul Qari, 8/463. Maktabah Misykah)

Demikianlah perselisihan para imam kaum muslimin tentang hukum merapatkan shaf dalam shalat.

Kenyataannya..,  mempertahankan rapat shaf (dgn bersentuhan bahu, lutut, dan mata kaki) secara  terus menerus sejak awal shalat sampai selesai  adalah hal yg sulit bagi jamaah. Maka, wajar jika Syaikh Utsaimin memfatwakan hal itu paling mungkin terjadi di awal shalat saja.

Wallahu A'lam

🌿🌿🌿🌿

FN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar