Jumat, 30 Januari 2015

tentang perayaan MAULID Nabi

“Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira “.(QS:Yunus:58)

Abu Saikh mengeluarkan riwayat dari Ibnu Abas ra. tentang tafsir ayat ini: bahwa yang dimaksud dari kurnia Allah disini adalah Ilmu dan yang dimaksud dari rahmat Allah adalah Nabi Muhammad saw. Allah berfirman:
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (Al hafidz As-Suyutiy, Ad-Dur al-Mansur/4 hal.364). Penafsiran serupa dapat pula kita jumpai di kitab Ruhul Maani 10. hal. 141, Tafsir Abi Suud 4. hal.156, Tafsir Kabir 18 hal. 123. 


Hal ini bukan berarti kita menafikan penafsiran yang lian, seperti menafsiri makna rahmat disini dengan al Quran, Iman, Islam, atau yang lainnya, karena memang rahmat Allah sangat luas dan rahmat terbesar bagi kita adalah Nabi Muhammad saw. karena beliu adalah rahmat seluruh alam.
bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah Dia berikan kepada kita adalah suatu kewajiban bagi kita. Ekpresi syukur dapat dilakukan dengan beragam cara selama dalam nilai-nilai ketaatan kepada Allah. Mengingat hari-hari tertentu dimana kita mendapat nikmat dengan selalu mensyukurinya adalah hal yang diajarkan Nabi saw.
 

Nabi saw. ketika ditanya tentang puasa hari senin beliu menjawab” hari tersebut adalah hari saya dilahirkan dan hari saya diutus atau hari saya diturunkan”(HR. Muslim)

Al Hafidz Ibnu Rojab al Hambaliy mengomentari hadis ini:” Didalam hadis ini ada sebuah isyaroh, yaitu disunahkanya berpuasa pada hari-hari Allah memberi nikmat kepada hambnya. Dan nikmat terbesar bagi umat ini adalah adanya Nabi Muhammad dan diutusnya beliu sebagai rasul bagi mereka, sebagaimana firman Allah: “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri” maka puasa pada hari dimana Allah memperbaharui nikmat hambanya yang beriman adalah sangat terpuji, dan hal tersebut kategori membayar nikmat dengan rasa syukur.

Dari Ibnu Abas ra. bahwa Rasulullah datang ke Madinah dan menemukan kaum Yahudi sedang berpuasa hari Asyura, maka Nabi bertanya kepada mereka:” Hari apa ini yang Engkau puasai?” mereka menjawab: “Ini adalah hari besar, hari Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya dan meneggelamkan Firaun dan kaumnya kemudian Musa mempusai hari tersebut karena rasa syukur, maka kamipun ikut berpuasa”. Maka Nabi saw. berkata “Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa as. dari pada kalian, kemudian Nabi berpuasa dan memerintahkan untuk berpusa pada hari tersebut(HR.Bukhori dan Muslim)
 

Al Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaniy mengatakan: “Dan dapat diambil faidah dari hadis tersebut adalah sikap syukur kepada Allah atas anugrah yang telah Dia berikan pada hari tertentu berupa pemberian nikmat atau dihindarkan dari bahaya, dan syukur tersebut diulang setiap tahun pada hari yang sama dan syukur kepada Allah dapat dilakukan dengan macam-macam ibadah seperti sujud, puasa, shodaqoh, membaca al-Quran. Dan nikmat mana yang lebih besar dari nikmat adanya Nabi Muhammad, Nabi rahmat?”. Kemudian Ibnu Hajar menjadikan hadis ini sebagai dalil dianjurkannya perayaan maulid Nabi.(Al Hawiy Lilfatawa.2/196)

Perayaan Mulid Dan Kontroversial Ma’na Bid’ah
 

Peryataan bahwa perayaan maulid Nabi adalah amalan bida’h adalah peryataan sangat tidak tepat, karena bida’h adalah sesuatu yang baru atau diada-adakan dalam Islam yang tidak ada landasan sama sekali dari dari al-Quran dan as-Sunah, adapun maulid walaupun suatu yang baru di dalam Islam akan tetapi memiliki landasan dari al-Quran dan as-Sunah.
 

Di dalam maulid Nabi didalamya banyak sekali nilai ketaatan, seperti: sikap syukur, membaca dan mendengarkan bacaan al Quran, bersodaqoh, mendengarkan mauidhoh hasanah atau menuntut ilmu, mendengarkan kembali sejarah dan keteladanan Nabi, dan membaca sholawat yang kesemuanya telah dimaklumi bersama bahwa hal tersebut sangat dianjurkan oleh agama dan ada dalilnya di dalam al-Quran dan as-Sunah.

1. Pengkhususan Waktu

Ada yang menyatakan bahwa menjadikan maulid dikatakan bid’ah adalah adanya pengkhususan (takhsis) dalam pelakanaan di dalam waktu tertentu, yaitu bulan Rabiul Awal yang hal itu tidak dikhususkan oleh syariat. Pernyataan ini sebenarnaya perlu di tinjau kembali, karena takhsis yang dilarang di dalam Islam ialah takhsis dengan cara meyakini atau menetapkan hukum suatu amal bahwa amal tersebut tidak boleh diamalkan kecuali hari-hari khusus dan pengkhususan tersebut tidak ada landasan dari syar’iy sendiri(Dr. Alawy bin Shihab, Intabih Dinuka fi Khotir. hal.27).

Hal ini berbeda dengan penempatan waktu perayaan maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal, karena orang yang melaksanakan maulid Nabi sama sekali tidak meyakini, apalagi menetapkan hukum bahwa maulid Nabi tidak boleh dilakukan kecuali bulan Robiul Awal, maulid Nabi bisa diadakan kapan saja, dengan bentuk acara yang berbeda selama ada nilai ketaatan dan tidak bercampur dengan maksiat. Pengkhususan waktu maulid disini bukan kategori takhsis yang di larang syar’iy tersebut, akan tetapi masuk kategori tartib(penertiban).

Pengkhususan waktu tertentu dalam beramal sholihah adalah diperbolehkan, Nabi Muhammad sendiri mengkhusukan hari tertentu untuk beribadah dan berziaroh ke masjid kuba, seperti diriwatkan Ibnu Umar bahwa Nabi Muhammad mendatangi masjid Kuba setiap hari Sabtu dengan jalan kaki atau dengan kendaraan dan sholat sholat dua rekaat disana (HR.Bukhori dan Muslim). Ibnu Hajar mengomentari hadis ini mengatakan: “bahwa hadis ini disertai banyaknya riwayatnya menunjukan diperbolehkan mengkhususan sebagian hari-hari tertentu dengan amal-amal solihah dan dilakukan terus menerus”.(Fathul Bariy.3 hal. 84) Imam Nawawi juga berkata senada di dalam kitab Syarah Sohih Muslim.

Para sahabat Anshor juga menghususkan waktu tertentu untuk berkumpul untuk bersama-sama mengingat nikmat Allah,( yaitu datangnya Nabi saw) pada hari Jumat atau mereka menyebutnya Yaumul ‘Urubah dan direstui Nabi. Jadi dapat difahami, bahwa pengkhususan dalam jadwal Maulid, Isro’ Mi’roj dan yang lainya hanyalah untuk penertiban acara-acara dengan memanfaatkan momen yang sesui, tanpa ada keyakinan apapun, hal ini seperti halnya penertiban atau pengkhususan waktu sekolah, penghususan kelas dan tingkatan sekolah yang kesemuanya tidak pernah dikhususkan oleh syariat, tapi hal ini diperbolehkan untuk ketertiban, dan umumnya tabiat manusia apabila kegiatan tidak terjadwal maka kegiatan tersebut akan mudah diremehkan dan akhirnya dilupakan atau ditinggalkan.

Acara maulid diluar bulan Rabiul Awal sebenarnya telah ada dari dahulu, seperti acara pembacaan kitab Dibagh wal Barjanji atau kitab-kitab yang berisi sholawat-sholawat yang lain yang diadakan satu minggu sekali di desa-desa dan pesantren, hal itu sebenarnya adalah kategori maulid, walaupun di Indonesia masyarakat tidak menyebutnya dengan maulid, dan jika kita berkeliling di negara-negara Islam maka kita akan menemukan bentuk acara dan waktu yang berbeda-beda dalam acara maulid Nabi, karena ekpresi syukur tidak hanya dalam satu waktu tapi harus terus menerus dan dapat berganti-ganti cara, selama ada nilai ketaatan dan tidak dengan jalan maksiat. Semisal di Yaman, maulid diadakan setiap malam jumat yang berisi bacaan sholawat-sholawat Nabi dan ceramah agama dari para ulama untuk selalu meneladani Nabi. Penjadwalan maulid di bulan Rabiul Awal hanyalah murni budaya manusia, tidak ada kaitanya dengan syariat dan barang siapa yang meyakini bahwa acara maulid tidak boleh diadakan oleh syariat selain bulan Rabiul Awal maka kami sepakat ini adalah bid’ah dholalah.


2.Tidak Pernah Dilakukan Zaman Nabi Atau Sahabat.
 

Diatara orang yang mengatakan maulid adalah bid’ah adalah karena acara maulid tidak pernah ada di zaman Nabi, sahabat atau kurun salaf. Pendapat ini muncul dari orang yang tidak faham bagaimana cara mengeluarkan hukum(istimbat) dari al-Quran dan as-Sunah. Sesuatu yang tidak dilakukan Nabi atau Sahabat –dalam term ulama usul fiqih disebut at-Tark – dan tidak ada keterangan apakah hal tersebut diperintah atau dilarang maka menurut ulama ushul fiqih hal tersebut tidak bisa dijadikan dalil, baik untuk melarang atau mewajibkan. Sebagaimana diketahui pengertian as-Sunah adalah perkatakaan, perbuatan dan persetujuan beliu. Adapun at-Tark tidak masuk di dalamnya. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi atau sohabat mempunyai banyak kemungkinan, sehingga tidak bisa langsung diputuskan hal itu adalah haram atau wajib. Disini akan saya sebutkan alasan-alasan kenapa Nabi meninggalkan sesuatu:

Nabi meniggalkan sesuatu karena hal tersebut sudah masuk didalam ayat atau hadis yang maknanya umum, seperti sudah masuk dalam makna ayat :”dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”(QS. Al-Haj:77). Kebajikan maknanya adalah umum dan Nabi tidak menjelaskan semua secara rinci.
 

Nabi meninggalkan sesutu karena takut jika hal itu beliu lakukan akan dikira umatnya bahwa hal itu adalah wajib dan akan memberatkan umatnya, seperti Nabi meninggalkan sholat tarawih berjamaah bersama sohabat karena khawatir akan dikira sholat terawih adalah wajib.
Nabi meninggalkan sesuatu karena takut akan merubah perasaan sahabat, seperti apa yang beliu katakan pada siti Aisyah:” Seaindainya bukan karena kaummu baru masuk Islam sungguh akan aku robohkan ka’bah dan kemudian saya bangun kembali dengan asas Ibrahim as. Sungguh Quraiys telah membuat bangunan ka’bah menjadi pendek”(HR. Bukhori dan Muslim) Nabi meningglakan untuk merekontrusi ka’bah karena menjaga hati mualaf ahli Mekah agar tidak terganggu.
 

Nabi meninggalkan sesuatu karena telah menjadi adatnya, seperti di dalam hadis: Nabi disuguhi biawak panggang kemudian Nabi mengulurkan tangannya untuk memakannya, maka ada yang berkata:” itu biawak!”, maka Nabi menarik tangannya kembali, dan beliu ditanya:” apakah biawak itu haram? Nabi menjawab:”tidak, saya belum pernah menemukannya di bumi kaumku, saya merasa jijik!”(QS. Bukhori dan Muslim) hadis ini menunjukan bahwa apa yang ditinggalkan Nabi setelah sebelumnya beliu terima hal itu tidak berarti hal itu adalah haram atau dilarang.
 

Nabi atau sahabat meninggalkan sesuatu karena melakukan yang lebih afdhol. Dan adanya yang lebih utama tidak menunjukan yang diutamai(mafdhul) adalah haram.dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain(untuk lebih luas lih. Syekh Abdullah al Ghomariy. Husnu Tafahum wa ad Dark limasalati at-Tark)

Dan Nabi bersabda:” Apa yang dihalalakan Allah di dalam kitab-Nya maka itu adalah halal, dan apa yang diharamkan adalah haram dan apa yang didiamkan maka itu adalah ampunan maka terimalah dari Allah ampunan-Nya dan Allah tidak pernah melupakan sesuatu, kemudian Nabi membaca:” dan tidaklah Tuhanmu lupa”.(HR. Abu Dawud, Bazar dll.) dan Nabi juga bersabda:”Sesungguhnya Allah menetapkan kewajiban maka jangan enkau sia-siakan dan menetapkan batasan-batasan maka jangan kau melewatinya dan mengharamkan sesuatu maka jangan kau melanggarnya, dan dia mendiamkan sesuatu karena untuk menjadi rahmat bagi kamu tanpa melupakannya maka janganlah membahasnya”.(HR.Daruqutnhi)

Dan Allah berfirman:”. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.(QS.Al Hasr:7) dan Dia tidak berfirman dan apa yang ditinggalknya maka tinggalkanlah. Maka dapat disimpulkan bahwa “at-Tark” tidak memeberi faidah hukum haram, dan alasan pengharaman maulid dengan alasan karena tidak dilakukan Nabi dan s
ahabat sama dengan berdalil dengan sesuatu yang tidak bisa dijadikan dalil!
 

Imam Suyuti menjawab peryataan orang yang mengatakan:” saya tidak tahu bahwa maulid ada asalnya di Kitab dan Sunah” dengan jawaban:” tidak mengetahui dalil bukan berarti dalil itu tidak ada”, peryataannya Imam Suyutiy ini didasarkan karena dia sendiri dan Ibnu Hajar al-Asqolaniy telah mampu mengeluarkan dalil-dalil maulid dari as-Sunah.( Syekh Ali Jum’ah. Al-Bayan al-Qowim.hal.28)

Pendapat Ulama-Ulama Klasik dan Konteporer tentang Maulid
 

1.Imam Yahya Bin Syorof an-Nawawiy
“Dan yang terbaik diantara sesuatu yang baru di zaman kita ini adalah apa yang dilakukan setiap tahun, yaitu pada hari kelahiran Nabi (Maulid Nabi) yang berisi shodaqoh, menampilkan keindahan dan kebahagiaan. Hal tersebut adalah bentuk rasa cinta dan memulyakan Nabi di dalam hati orang melakukan maulid dan bentuk ugkapan syukur kepada Allah atas anugrah yang beliau berikan yaitu menciptakan Nabi Muhammad untuk menjadi rahmat untuk seluruh alam” (Al-Ba’is ala Inkarilbida’ wal Hawadis. Hal. 3)
 

2. Al Hafidz Imam as-Suyutiy
“Ada sebuah pertanyaan tentang acara maulid Nabi di bulan Robiul Awal, apakah hukumnya menurut syariat, apakah terpuji atau tercela? Apakah orang yang melakukannya mendapat pahala atau tidak? Jawaban saya adalah … maulid Nabi termasuk bid’ah hasanah yang bagi pelakunya akan mendapat pahala, di karnakan di dalamnya ada rasa mengagungkan Rasul dan memperlihatkan kebahagian karena lahirnya Nabi Muhammad”.(Al Hawi lilfatawa/2. hal. 221)
 

3. Ibnu Taimiyah
“Dan maulid adalah sesuatu yang baru yang di buat sebagian manusia, munkin untuk menyaingi Nasrani di dalam Milad Nabi Isa as. atau karena rasa cinta dan memulyakan Nabi, sungguh Allah akan memberi pahala atas rasa cinta dan kesungguhan ini”(Iqtidho Shirotil Mustaqim. Hal. 266)
 

Dan ulama-ulama lain yang menyatakan dianjurkannya maulud atau mengarang kitab tentang maulid Nabi adalah: Ibnu Hajar al Asqolani (lih. Al Hawi Lilfatawa), Al Hafidz al Iroqiy (lih.Al-maulud al-Haniy fi al-Maulid an-Nabawiy), Ibnu Jauziy (lih.Mauludul Urus), Ibnul Haj al-Malikiy( Al-Madkhol), Ibnu Katsir, Imam Sakhowi, Imam Qostholaniy, Imam as-Subkiy, Dr. Yusuf Qordhowiy(Mufti Qatar), Dr. Sa’id Romadhon al-Buthiy, Sayid Muhamad Bin Alawi al Malikiy, Saikh Ahmad Bin Abdul Aziz al-Mubarok(Mufti Emirat Arab),Saikh Isa Bin Abdullah Al Humairiy(ketua majlis Fatwa dan kajian Pemerintahan Dubai), Syaikh Ali Jum’ah(Mufti Mesir) Sayed Ali Mashur(Mufti Hadhromaut) dll.

Kisah Peringanan Azab Abu Lahab pada Hari Senin
 

Para ulama ilmu hadis, seperti Imam Bukhoriy, al Hafidz Ibnu Hajar, al Hafidz Ibnu Katsir, al-Hafidz al-Baihaqiy, al-Hafidz al-Baghowiy, Imam Son’aniy dan yang lainnya di dalam kitab-kitab hadis dan siroh yang mereka tulis menyebutakan bahwa Sahabat Abas bin Abdil Mutholib bermimpi bertemu Abu Lahab yang telah wafat, dan Sahabt Abas bertanya tentang keadaannya, Abu Lahab menjawab: bahwa dirinya terus disiksa di kubur, tapi untuk hari senin siksanya diringankan disebabkan dia sewaktu hidup pernah memerdekakan budak karena bahagia waktu Nabi saw. lahir.(Untuk mengetahui lebih jelas mengenai bahwa cerita ini dapat menjadi hujah menurut ilmu hadis, lih. Sayed. Dr, Muhammad al-Malikiy, Mafahim Yajibu Antushohah. Hal 252).
 

Al-Hafidz Syamsyudiin as-Dimsiqiy setelah mendengar cerita ini dia menulis sebuah syair:
Jika Abu Lahab yang kafir ini telah jelas celanya dan merugi dineraka selamanya
Datang setiap senin tuk selamanya ringan adzab sebab senang kelahiran Ahmad
Lalu apa diduga dengan hamba yang hidupnya bahagia sebab ahmad dan mati keadaan bertauhid. (lih. Marud as-Shoodiy fi Mauludi al Hadiy)
 

Dapat difahami dari cerita dan syair tersebut, bahwa ekpresi kebahagiaan atas lahirnya Nabi Muhammadpun mampu menurunkan rahmat Allah kepada paman Nabi, Abu Lahab yang kafir, lalu bagaimana dengan kita yang muslim yang selalu senang dan bahagia dengan kelahiran Nabi Muhammad!. Dan jika kita mau merenungi kenapa Nabi tidak membuat perayaan maulid ini sebenarnya juga adalah rahmat bagi kita, karena kita dapat mengekpresikan kebahagiaan maulid Nabi dengan jenis ibadah yang sesui kemampuan kita dan dengan hati suka rela. .

Hal ini dapat kita ketahui dari cerita sahabat-sahabat Nabi dan kaum Yahudi yang mengekpresikan sikap sukurnya dengan ibadah yang bebeda-beda tanpa bertanya dulu kepada Nabi, tapi semuanaya disetujui oleh Nabi. Dan telah menjadi sifat rahmat Nabi kepada umatnya bahwa beliu sering meniggalkan amal karena khawatir akan dikira amal itu wajib, dan nanti akan memberatkan umatnya, karena banyaknya kewajiban, yang sebenarya amal tersebut boleh dilakukan. Seperti dalam ilmu Ushul Fiqih, Nabi tidak melakukan suatu amal secara rutin(muwadhobah) untuk memberi tahu bahwa amal itu tidak wajib, tapi sunah, dan Nabi meninggalkan amal yang boleh dilakukan(mubah) agar tidak dikira amal itu sunah atau wajib.(M. Sulaiman al-Asqor, Af’alul Rasul. Hal. 54) .Jika memang maulid adalah ekpresi syukur, maka jangan sampai hal ini menjadi sebab perpecahan dengan sesama muslim karena perbedaan pemahaman tentang hukum maulid, agar makna rahmat itu tetap terasa. Mari kita saling bekerja sama dalam hal yang kita sepakati, dan saling memaafkan dalam hal yang kita berbeda pendapat.Wallahu a’lam bi showab.

Oleh: Zarnuzi Ghufron*)
*) Penulis adalah ketua LMI-PCI NU Yaman dan sekarang sedang belajar di Fakultas Syariah wal Qonun Univ. Al-Ahgoff. Hadramaut, Yaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar