“Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira “.(QS:Yunus:58)
Abu Saikh mengeluarkan riwayat dari Ibnu Abas ra. tentang tafsir ayat
ini: bahwa yang dimaksud dari kurnia Allah disini adalah Ilmu dan yang
dimaksud dari rahmat Allah adalah Nabi Muhammad saw. Allah berfirman:
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam”. (Al hafidz As-Suyutiy, Ad-Dur al-Mansur/4 hal.364).
Penafsiran serupa dapat pula kita jumpai di kitab Ruhul Maani 10. hal.
141, Tafsir Abi Suud 4. hal.156, Tafsir Kabir 18 hal. 123.
Hal ini bukan
berarti kita menafikan penafsiran yang lian, seperti menafsiri makna
rahmat disini dengan al Quran, Iman, Islam, atau yang lainnya, karena
memang rahmat Allah sangat luas dan rahmat terbesar bagi kita adalah
Nabi Muhammad saw. karena beliu adalah rahmat seluruh alam.
bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah Dia berikan kepada kita
adalah suatu kewajiban bagi kita. Ekpresi syukur dapat dilakukan dengan
beragam cara selama dalam nilai-nilai ketaatan kepada Allah. Mengingat
hari-hari tertentu dimana kita mendapat nikmat dengan selalu
mensyukurinya adalah hal yang diajarkan Nabi saw.
Nabi saw. ketika ditanya tentang puasa hari senin beliu menjawab” hari
tersebut adalah hari saya dilahirkan dan hari saya diutus atau hari saya
diturunkan”(HR. Muslim)
Al Hafidz Ibnu Rojab al Hambaliy mengomentari hadis ini:” Didalam
hadis ini ada sebuah isyaroh, yaitu disunahkanya berpuasa pada hari-hari
Allah memberi nikmat kepada hambnya. Dan nikmat terbesar bagi umat ini
adalah adanya Nabi Muhammad dan diutusnya beliu sebagai rasul bagi
mereka, sebagaimana firman Allah: “Sungguh Allah telah memberi karunia
kepada orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang
rasul dari golongan mereka sendiri” maka puasa pada hari dimana Allah
memperbaharui nikmat hambanya yang beriman adalah sangat terpuji, dan
hal tersebut kategori membayar nikmat dengan rasa syukur.
Dari Ibnu Abas ra. bahwa Rasulullah datang ke Madinah dan menemukan
kaum Yahudi sedang berpuasa hari Asyura, maka Nabi bertanya kepada
mereka:” Hari apa ini yang Engkau puasai?” mereka menjawab: “Ini adalah
hari besar, hari Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya dan meneggelamkan
Firaun dan kaumnya kemudian Musa mempusai hari tersebut karena rasa
syukur, maka kamipun ikut berpuasa”. Maka Nabi saw. berkata “Kami lebih
berhak dan lebih utama terhadap Musa as. dari pada kalian, kemudian Nabi
berpuasa dan memerintahkan untuk berpusa pada hari tersebut(HR.Bukhori
dan Muslim)
Al Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaniy mengatakan: “Dan dapat diambil faidah
dari hadis tersebut adalah sikap syukur kepada Allah atas anugrah yang
telah Dia berikan pada hari tertentu berupa pemberian nikmat atau
dihindarkan dari bahaya, dan syukur tersebut diulang setiap tahun pada
hari yang sama dan syukur kepada Allah dapat dilakukan dengan
macam-macam ibadah seperti sujud, puasa, shodaqoh, membaca al-Quran. Dan
nikmat mana yang lebih besar dari nikmat adanya Nabi Muhammad, Nabi
rahmat?”. Kemudian Ibnu Hajar menjadikan hadis ini sebagai dalil
dianjurkannya perayaan maulid Nabi.(Al Hawiy Lilfatawa.2/196)
Perayaan Mulid Dan Kontroversial Ma’na Bid’ah
Peryataan bahwa perayaan maulid Nabi adalah amalan bida’h adalah
peryataan sangat tidak tepat, karena bida’h adalah sesuatu yang baru
atau diada-adakan dalam Islam yang tidak ada landasan sama sekali dari
dari al-Quran dan as-Sunah, adapun maulid walaupun suatu yang baru di
dalam Islam akan tetapi memiliki landasan dari al-Quran dan as-Sunah.
Di dalam maulid Nabi didalamya banyak sekali nilai ketaatan, seperti:
sikap syukur, membaca dan mendengarkan bacaan al Quran, bersodaqoh,
mendengarkan mauidhoh hasanah atau menuntut ilmu, mendengarkan kembali
sejarah dan keteladanan Nabi, dan membaca sholawat yang kesemuanya telah
dimaklumi bersama bahwa hal tersebut sangat dianjurkan oleh agama dan
ada dalilnya di dalam al-Quran dan as-Sunah.
1. Pengkhususan Waktu
Ada yang menyatakan bahwa menjadikan maulid dikatakan bid’ah adalah
adanya pengkhususan (takhsis) dalam pelakanaan di dalam waktu tertentu,
yaitu bulan Rabiul Awal yang hal itu tidak dikhususkan oleh syariat.
Pernyataan ini sebenarnaya perlu di tinjau kembali, karena takhsis yang
dilarang di dalam Islam ialah takhsis dengan cara meyakini atau
menetapkan hukum suatu amal bahwa amal tersebut tidak boleh diamalkan
kecuali hari-hari khusus dan pengkhususan tersebut tidak ada landasan
dari syar’iy sendiri(Dr. Alawy bin Shihab, Intabih Dinuka fi Khotir.
hal.27).
Hal ini berbeda dengan penempatan waktu perayaan maulid Nabi
pada bulan Rabiul Awal, karena orang yang melaksanakan maulid Nabi sama
sekali tidak meyakini, apalagi menetapkan hukum bahwa maulid Nabi tidak
boleh dilakukan kecuali bulan Robiul Awal, maulid Nabi bisa diadakan
kapan saja, dengan bentuk acara yang berbeda selama ada nilai ketaatan
dan tidak bercampur dengan maksiat. Pengkhususan waktu maulid disini
bukan kategori takhsis yang di larang syar’iy tersebut, akan tetapi
masuk kategori tartib(penertiban).
Pengkhususan waktu tertentu dalam
beramal sholihah adalah diperbolehkan, Nabi Muhammad sendiri
mengkhusukan hari tertentu untuk beribadah dan berziaroh ke masjid kuba,
seperti diriwatkan Ibnu Umar bahwa Nabi Muhammad mendatangi masjid Kuba
setiap hari Sabtu dengan jalan kaki atau dengan kendaraan dan sholat
sholat dua rekaat disana (HR.Bukhori dan Muslim). Ibnu Hajar
mengomentari hadis ini mengatakan: “bahwa hadis ini disertai banyaknya
riwayatnya menunjukan diperbolehkan mengkhususan sebagian hari-hari
tertentu dengan amal-amal solihah dan dilakukan terus menerus”.(Fathul
Bariy.3 hal. 84) Imam Nawawi juga berkata senada di dalam kitab Syarah
Sohih Muslim.
Para sahabat Anshor juga menghususkan waktu tertentu untuk
berkumpul untuk bersama-sama mengingat nikmat Allah,( yaitu datangnya
Nabi saw) pada hari Jumat atau mereka menyebutnya Yaumul ‘Urubah dan
direstui Nabi. Jadi dapat difahami, bahwa pengkhususan dalam jadwal
Maulid, Isro’ Mi’roj dan yang lainya hanyalah untuk penertiban
acara-acara dengan memanfaatkan momen yang sesui, tanpa ada keyakinan
apapun, hal ini seperti halnya penertiban atau pengkhususan waktu
sekolah, penghususan kelas dan tingkatan sekolah yang kesemuanya tidak
pernah dikhususkan oleh syariat, tapi hal ini diperbolehkan untuk
ketertiban, dan umumnya tabiat manusia apabila kegiatan tidak terjadwal
maka kegiatan tersebut akan mudah diremehkan dan akhirnya dilupakan atau
ditinggalkan.
Acara maulid diluar bulan Rabiul Awal sebenarnya telah ada dari dahulu,
seperti acara pembacaan kitab Dibagh wal Barjanji atau kitab-kitab yang
berisi sholawat-sholawat yang lain yang diadakan satu minggu sekali di
desa-desa dan pesantren, hal itu sebenarnya adalah kategori maulid,
walaupun di Indonesia masyarakat tidak menyebutnya dengan maulid, dan
jika kita berkeliling di negara-negara Islam maka kita akan menemukan
bentuk acara dan waktu yang berbeda-beda dalam acara maulid Nabi, karena
ekpresi syukur tidak hanya dalam satu waktu tapi harus terus menerus
dan dapat berganti-ganti cara, selama ada nilai ketaatan dan tidak
dengan jalan maksiat. Semisal di Yaman, maulid diadakan setiap malam
jumat yang berisi bacaan sholawat-sholawat Nabi dan ceramah agama dari
para ulama untuk selalu meneladani Nabi. Penjadwalan maulid di bulan
Rabiul Awal hanyalah murni budaya manusia, tidak ada kaitanya dengan
syariat dan barang siapa yang meyakini bahwa acara maulid tidak boleh
diadakan oleh syariat selain bulan Rabiul Awal maka kami sepakat ini
adalah bid’ah dholalah.
2.Tidak Pernah Dilakukan Zaman Nabi Atau Sahabat.
Diatara orang yang mengatakan maulid adalah bid’ah adalah karena acara
maulid tidak pernah ada di zaman Nabi, sahabat atau kurun salaf.
Pendapat ini muncul dari orang yang tidak faham bagaimana cara
mengeluarkan hukum(istimbat) dari al-Quran dan as-Sunah. Sesuatu yang
tidak dilakukan Nabi atau Sahabat –dalam term ulama usul fiqih disebut
at-Tark – dan tidak ada keterangan apakah hal tersebut diperintah atau
dilarang maka menurut ulama ushul fiqih hal tersebut tidak bisa
dijadikan dalil, baik untuk melarang atau mewajibkan. Sebagaimana
diketahui pengertian as-Sunah adalah perkatakaan, perbuatan dan
persetujuan beliu. Adapun at-Tark tidak masuk di dalamnya. Sesuatu yang
ditinggalkan Nabi atau sohabat mempunyai banyak kemungkinan, sehingga
tidak bisa langsung diputuskan hal itu adalah haram atau wajib. Disini
akan saya sebutkan alasan-alasan kenapa Nabi meninggalkan sesuatu:
Nabi meniggalkan sesuatu karena hal tersebut sudah masuk didalam ayat
atau hadis yang maknanya umum, seperti sudah masuk dalam makna ayat
:”dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”(QS.
Al-Haj:77). Kebajikan maknanya adalah umum dan Nabi tidak menjelaskan
semua secara rinci.
Nabi meninggalkan sesutu karena takut jika hal itu beliu lakukan akan
dikira umatnya bahwa hal itu adalah wajib dan akan memberatkan umatnya,
seperti Nabi meninggalkan sholat tarawih berjamaah bersama sohabat
karena khawatir akan dikira sholat terawih adalah wajib.
Nabi meninggalkan sesuatu karena takut akan merubah perasaan sahabat,
seperti apa yang beliu katakan pada siti Aisyah:” Seaindainya bukan
karena kaummu baru masuk Islam sungguh akan aku robohkan ka’bah dan
kemudian saya bangun kembali dengan asas Ibrahim as. Sungguh Quraiys
telah membuat bangunan ka’bah menjadi pendek”(HR. Bukhori dan Muslim)
Nabi meningglakan untuk merekontrusi ka’bah karena menjaga hati mualaf
ahli Mekah agar tidak terganggu.
Nabi meninggalkan sesuatu karena telah menjadi adatnya, seperti di dalam
hadis: Nabi disuguhi biawak panggang kemudian Nabi mengulurkan
tangannya untuk memakannya, maka ada yang berkata:” itu biawak!”, maka
Nabi menarik tangannya kembali, dan beliu ditanya:” apakah biawak itu
haram? Nabi menjawab:”tidak, saya belum pernah menemukannya di bumi
kaumku, saya merasa jijik!”(QS. Bukhori dan Muslim) hadis ini menunjukan
bahwa apa yang ditinggalkan Nabi setelah sebelumnya beliu terima hal
itu tidak berarti hal itu adalah haram atau dilarang.
Nabi atau sahabat meninggalkan sesuatu karena melakukan yang lebih
afdhol. Dan adanya yang lebih utama tidak menunjukan yang
diutamai(mafdhul) adalah haram.dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan
yang lain(untuk lebih luas lih. Syekh Abdullah al Ghomariy. Husnu
Tafahum wa ad Dark limasalati at-Tark)
Dan Nabi bersabda:” Apa yang dihalalakan Allah di dalam kitab-Nya
maka itu adalah halal, dan apa yang diharamkan adalah haram dan apa yang
didiamkan maka itu adalah ampunan maka terimalah dari Allah ampunan-Nya
dan Allah tidak pernah melupakan sesuatu, kemudian Nabi membaca:” dan
tidaklah Tuhanmu lupa”.(HR. Abu Dawud, Bazar dll.) dan Nabi juga
bersabda:”Sesungguhnya Allah menetapkan kewajiban maka jangan enkau
sia-siakan dan menetapkan batasan-batasan maka jangan kau melewatinya
dan mengharamkan sesuatu maka jangan kau melanggarnya, dan dia
mendiamkan sesuatu karena untuk menjadi rahmat bagi kamu tanpa
melupakannya maka janganlah membahasnya”.(HR.Daruqutnhi)
Dan Allah berfirman:”. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka
terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya”.(QS.Al Hasr:7) dan Dia tidak berfirman dan apa yang
ditinggalknya maka tinggalkanlah. Maka dapat disimpulkan bahwa “at-Tark”
tidak memeberi faidah hukum haram, dan alasan pengharaman maulid dengan
alasan karena tidak dilakukan Nabi dan s
ahabat sama dengan berdalil dengan sesuatu yang tidak bisa dijadikan dalil!
Imam Suyuti menjawab peryataan orang yang mengatakan:” saya tidak tahu
bahwa maulid ada asalnya di Kitab dan Sunah” dengan jawaban:” tidak
mengetahui dalil bukan berarti dalil itu tidak ada”, peryataannya Imam
Suyutiy ini didasarkan karena dia sendiri dan Ibnu Hajar al-Asqolaniy
telah mampu mengeluarkan dalil-dalil maulid dari as-Sunah.( Syekh Ali
Jum’ah. Al-Bayan al-Qowim.hal.28)
Pendapat Ulama-Ulama Klasik dan Konteporer tentang Maulid
1.Imam Yahya Bin Syorof an-Nawawiy
“Dan yang terbaik diantara sesuatu yang baru di zaman kita ini adalah
apa yang dilakukan setiap tahun, yaitu pada hari kelahiran Nabi (Maulid
Nabi) yang berisi shodaqoh, menampilkan keindahan dan kebahagiaan. Hal
tersebut adalah bentuk rasa cinta dan memulyakan Nabi di dalam hati
orang melakukan maulid dan bentuk ugkapan syukur kepada Allah atas
anugrah yang beliau berikan yaitu menciptakan Nabi Muhammad untuk
menjadi rahmat untuk seluruh alam” (Al-Ba’is ala Inkarilbida’ wal
Hawadis. Hal. 3)
2. Al Hafidz Imam as-Suyutiy
“Ada sebuah pertanyaan tentang acara maulid Nabi di bulan Robiul Awal,
apakah hukumnya menurut syariat, apakah terpuji atau tercela? Apakah
orang yang melakukannya mendapat pahala atau tidak? Jawaban saya adalah …
maulid Nabi termasuk bid’ah hasanah yang bagi pelakunya akan mendapat
pahala, di karnakan di dalamnya ada rasa mengagungkan Rasul dan
memperlihatkan kebahagian karena lahirnya Nabi Muhammad”.(Al Hawi
lilfatawa/2. hal. 221)
3. Ibnu Taimiyah
“Dan maulid adalah sesuatu yang baru yang di buat sebagian manusia,
munkin untuk menyaingi Nasrani di dalam Milad Nabi Isa as. atau karena
rasa cinta dan memulyakan Nabi, sungguh Allah akan memberi pahala atas
rasa cinta dan kesungguhan ini”(Iqtidho Shirotil Mustaqim. Hal. 266)
Dan ulama-ulama lain yang menyatakan dianjurkannya maulud atau mengarang
kitab tentang maulid Nabi adalah: Ibnu Hajar al Asqolani (lih. Al Hawi
Lilfatawa), Al Hafidz al Iroqiy (lih.Al-maulud al-Haniy fi al-Maulid
an-Nabawiy), Ibnu Jauziy (lih.Mauludul Urus), Ibnul Haj al-Malikiy(
Al-Madkhol), Ibnu Katsir, Imam Sakhowi, Imam Qostholaniy, Imam
as-Subkiy, Dr. Yusuf Qordhowiy(Mufti Qatar), Dr. Sa’id Romadhon
al-Buthiy, Sayid Muhamad Bin Alawi al Malikiy, Saikh Ahmad Bin Abdul
Aziz al-Mubarok(Mufti Emirat Arab),Saikh Isa Bin Abdullah Al
Humairiy(ketua majlis Fatwa dan kajian Pemerintahan Dubai), Syaikh Ali
Jum’ah(Mufti Mesir) Sayed Ali Mashur(Mufti Hadhromaut) dll.
Kisah Peringanan Azab Abu Lahab pada Hari Senin
Para ulama ilmu hadis, seperti Imam Bukhoriy, al Hafidz Ibnu Hajar, al
Hafidz Ibnu Katsir, al-Hafidz al-Baihaqiy, al-Hafidz al-Baghowiy, Imam
Son’aniy dan yang lainnya di dalam kitab-kitab hadis dan siroh yang
mereka tulis menyebutakan bahwa Sahabat Abas bin Abdil Mutholib bermimpi
bertemu Abu Lahab yang telah wafat, dan Sahabt Abas bertanya tentang
keadaannya, Abu Lahab menjawab: bahwa dirinya terus disiksa di kubur,
tapi untuk hari senin siksanya diringankan disebabkan dia sewaktu hidup
pernah memerdekakan budak karena bahagia waktu Nabi saw. lahir.(Untuk
mengetahui lebih jelas mengenai bahwa cerita ini dapat menjadi hujah
menurut ilmu hadis, lih. Sayed. Dr, Muhammad al-Malikiy, Mafahim Yajibu
Antushohah. Hal 252).
Al-Hafidz Syamsyudiin as-Dimsiqiy setelah mendengar cerita ini dia menulis sebuah syair:
Jika Abu Lahab yang kafir ini telah jelas celanya dan merugi dineraka selamanya
Datang setiap senin tuk selamanya ringan adzab sebab senang kelahiran Ahmad
Lalu apa diduga dengan hamba yang hidupnya bahagia sebab ahmad dan mati
keadaan bertauhid. (lih. Marud as-Shoodiy fi Mauludi al Hadiy)
Dapat difahami dari cerita dan syair tersebut, bahwa ekpresi kebahagiaan
atas lahirnya Nabi Muhammadpun mampu menurunkan rahmat Allah kepada
paman Nabi, Abu Lahab yang kafir, lalu bagaimana dengan kita yang muslim
yang selalu senang dan bahagia dengan kelahiran Nabi Muhammad!. Dan
jika kita mau merenungi kenapa Nabi tidak membuat perayaan maulid ini
sebenarnya juga adalah rahmat bagi kita, karena kita dapat
mengekpresikan kebahagiaan maulid Nabi dengan jenis ibadah yang sesui
kemampuan kita dan dengan hati suka rela. .
Hal ini dapat kita ketahui
dari cerita sahabat-sahabat Nabi dan kaum Yahudi yang mengekpresikan
sikap sukurnya dengan ibadah yang bebeda-beda tanpa bertanya dulu kepada
Nabi, tapi semuanaya disetujui oleh Nabi. Dan telah menjadi sifat
rahmat Nabi kepada umatnya bahwa beliu sering meniggalkan amal karena
khawatir akan dikira amal itu wajib, dan nanti akan memberatkan umatnya,
karena banyaknya kewajiban, yang sebenarya amal tersebut boleh
dilakukan. Seperti dalam ilmu Ushul Fiqih, Nabi tidak melakukan suatu
amal secara rutin(muwadhobah) untuk memberi tahu bahwa amal itu tidak
wajib, tapi sunah, dan Nabi meninggalkan amal yang boleh
dilakukan(mubah) agar tidak dikira amal itu sunah atau wajib.(M.
Sulaiman al-Asqor, Af’alul Rasul. Hal. 54) .Jika memang maulid adalah
ekpresi syukur, maka jangan sampai hal ini menjadi sebab perpecahan
dengan sesama muslim karena perbedaan pemahaman tentang hukum maulid,
agar makna rahmat itu tetap terasa. Mari kita saling bekerja sama dalam
hal yang kita sepakati, dan saling memaafkan dalam hal yang kita berbeda
pendapat.Wallahu a’lam bi showab.
Oleh: Zarnuzi Ghufron*)
*) Penulis adalah ketua LMI-PCI NU Yaman dan sekarang sedang belajar di
Fakultas Syariah wal Qonun Univ. Al-Ahgoff. Hadramaut, Yaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar