Tulisan ini bukan dibuat untuk menafikan nilai-nilai
baik yang sudah seharusnya ditebar bagi kebaikan ummat, tapi lebih kepada ajakan
untuk selalu mewaspadai bibit riya' yang bisa merontokkan benih amal yang kita
tabung sebagai bekal menuju kampung keabadian. Kita mungkin saja terkena virus
ini. Mewaspadainya sambil beramal sholih itu harus. Mencermati hati agar tidak
mudah terlena dengan kepopuleran itu perlu. Mengagumi pekerjaan mereka yang
mungkin di mata umum termarginalkan dan dianggap remeh, itu bisa jadi mengasah
mata batin kita untuk kembali berada pada jalur keikhlasan.
Setiap aku melihat seorang yang -cenderung- renta, menyapu jalanan atau membersihkan fasilitas umum dengan rutin dan tekun, aku merasa kagum pada keikhlasannya...
Demikian pula ketika mengomentari seorang sahabat yang berprofesi sebagai Ustadz yang kerap berkeliling dengan sepeda dari kampung ke kampung. Ustadz tersebut menderita albino sehingga memiliki penglihatan yang sangat kurang tajam, karenanya ia harus bersepeda super lambat dan hati-hati.
"Mungkin dia tidak terkenal di dunia, tapi bisa jadi begitu populer di kalangan penduduk langit".. begitulah komentar singkat yg sering terucap..
Dalam pikiranku, tiap insan yang memiliki
kecenderungan bergaul dan memperluas jaringan kekerabatannya dalam satu
komunitas di ruang lingkup tertentu, cukup menjadi pemicu yang membuatnya rentan
terjangkiti virus popularitas. Semakin banyak dikenal orang, semakin hati
membuncah ingin terus menjaga kelestarian pamor dan memperluasnya jika mungkin.
Angin bangga diri meniup makin kencang ketika sesuatu yang ditonjolkan telah
menyedot perhatian orang banyak dan menjadi buah bibir yang sering
diperbincangkan dari waktu ke waktu.
Karena itu, demi mendongkrak kesan yang sudah dibangun pada benak publik tentangnya, segala bentuk keunikan gaya hidup, prilaku, karya tulis, tutur kata, ataupun asesoris dalam penampilan, senantiasa diasah agar dapat tampil berbeda dari kelaziman. Kenyataan ini tak dipungkiri telah menjadikan popularitas sebagai sesuatu yang didamba bagi mereka yang banyak berprofesi di depan layar. Dengan kata lain, sebagai orang yang memiliki kapasitas amal atau ilmu tertentu yang mengharuskannya lebih sering tampil di muka khalayak.
Karena itu, demi mendongkrak kesan yang sudah dibangun pada benak publik tentangnya, segala bentuk keunikan gaya hidup, prilaku, karya tulis, tutur kata, ataupun asesoris dalam penampilan, senantiasa diasah agar dapat tampil berbeda dari kelaziman. Kenyataan ini tak dipungkiri telah menjadikan popularitas sebagai sesuatu yang didamba bagi mereka yang banyak berprofesi di depan layar. Dengan kata lain, sebagai orang yang memiliki kapasitas amal atau ilmu tertentu yang mengharuskannya lebih sering tampil di muka khalayak.
Salah satu contoh yang paling mudah untuk melihat
gejala penyakit ini adalah pada mereka yang berkecimpung di dunia hiburan. Di
dunia entertainment, dimana kepopuleran suatu hal yang dicari dan sangat melekat
pada pelakunya telah memotivasi para artis pujaan dalam mencari sensasi. Melalui
hal-hal kecil seperti cara berpakaian, gaya bicara, model rambut, koleksi
barang-barang antik, sampai rela melakukan hal yang berdampak merugikan diri
sendiri seperti bergonta-ganti pasangan, bercerai, berselingkuh, terjerat
kriminalitas atau narkoba dipublikasikan begitu gencarnya di setiap media.
Bahkan kadang berita itu direkayasa sedemikian rupa demi menaikkan rating
ketenaran yang sudah diincar.
Taraf ini mungkin bisa dikategorikan kronis, karena sudah tak peduli lagi oleh rasa malu hingga meraih popularitas lewat pengumbaran aib pribadi.
Di kalangan yang lebih menonjolkan kadar intelektualitas, pun mewabah.
Tak kurang tokoh sosial, politik, ekonomi, budaya, termasuk agama, dapat terserang candu popularitas ketika ide atau opini mereka terekam oleh media dan diapresiasi masyarakat. Tak peduli apakah sambutan hangat ataupun cibiran sinis, yang penting namanya terlibat dalam perbincangan terkini. Titel pun mulai disemat di depan nama demi menjaga citra muatan kecerdasan (baca : IQ), sebagai bukti terhadap wewenang ilmiah yang dimiliki. Terkadang deretannya begitu panjang, hingga menenggelamkan nama si pemilik gelar sendiri : Prof. Dr. dr. H. Fulan bin Fulan, Msc. MBA. SH. ST.
Semakin runyam kemudian ketika virus ini dengan semena-mena hinggap pada mereka yang kerap dijuluki Aktivis Dakwah atau lebih kita kenal dengan Da'i.
Seorang aktivis dalam benak kita tentulah orang yang harus selalu aktif dalam menjalankan roda hidupnya. Bila dikaitkan dengan kata Dakwah, maka setiap aktivitasnya mestilah diupayakan agar selalu berlandaskan nafas dan semangat menebar nilai-nilai Islam di setiap segmen kehidupan masyarakat sekitarnya. (Oh, heroik sekali kedengarannya...)
Keadaan ini tentu membuat para da'i harus tampil sebagai penggerak bagi tumbuhnya motivasi beramal sholih, minimal di lingkungan sekitar. Dimana ia harus menjadi contoh pertama yang memang layak untuk diikuti. Betul ga ?
Nah, disinilah timbulnya celah si bibit virus popularitas berkembang biak.
Dalam konteks istilah agama, virus ini mungkin identik dengan Riya'. Salah satu penyakit hati yang ditakuti karena dapat 'membumihanguskan' amalan karena sifatnya samar dan sulit dideteksi oleh penderitanya sendiri.
Begitu bahayanya dampak Riya', Rasulullah saw sampai memberi 'warning' bagi para sahabat dengan bersabda : " Yang paling aku takuti menjangkiti kalian adalah syirik kecil, yaitu penyakit riya' ". Karena ia mampu menyelusup halus, merayap menguasai hati, mecairkan ikhlas dan memusnahkan pahala. Ibarat semut hitam yang berjalan di batu hitam di malam yang gelap gulita. Siapakah yang bisa melihat keberadaannya kecuali Allah swt ? Siapa yang tidak bergidik ngeri membayangkan kemungkinan susah payah kita memberi kebaikan pada orang lain hangus tak berbekas karena ulah hati yang jumawa ?
Taraf ini mungkin bisa dikategorikan kronis, karena sudah tak peduli lagi oleh rasa malu hingga meraih popularitas lewat pengumbaran aib pribadi.
Di kalangan yang lebih menonjolkan kadar intelektualitas, pun mewabah.
Tak kurang tokoh sosial, politik, ekonomi, budaya, termasuk agama, dapat terserang candu popularitas ketika ide atau opini mereka terekam oleh media dan diapresiasi masyarakat. Tak peduli apakah sambutan hangat ataupun cibiran sinis, yang penting namanya terlibat dalam perbincangan terkini. Titel pun mulai disemat di depan nama demi menjaga citra muatan kecerdasan (baca : IQ), sebagai bukti terhadap wewenang ilmiah yang dimiliki. Terkadang deretannya begitu panjang, hingga menenggelamkan nama si pemilik gelar sendiri : Prof. Dr. dr. H. Fulan bin Fulan, Msc. MBA. SH. ST.
Semakin runyam kemudian ketika virus ini dengan semena-mena hinggap pada mereka yang kerap dijuluki Aktivis Dakwah atau lebih kita kenal dengan Da'i.
Seorang aktivis dalam benak kita tentulah orang yang harus selalu aktif dalam menjalankan roda hidupnya. Bila dikaitkan dengan kata Dakwah, maka setiap aktivitasnya mestilah diupayakan agar selalu berlandaskan nafas dan semangat menebar nilai-nilai Islam di setiap segmen kehidupan masyarakat sekitarnya. (Oh, heroik sekali kedengarannya...)
Keadaan ini tentu membuat para da'i harus tampil sebagai penggerak bagi tumbuhnya motivasi beramal sholih, minimal di lingkungan sekitar. Dimana ia harus menjadi contoh pertama yang memang layak untuk diikuti. Betul ga ?
Nah, disinilah timbulnya celah si bibit virus popularitas berkembang biak.
Dalam konteks istilah agama, virus ini mungkin identik dengan Riya'. Salah satu penyakit hati yang ditakuti karena dapat 'membumihanguskan' amalan karena sifatnya samar dan sulit dideteksi oleh penderitanya sendiri.
Begitu bahayanya dampak Riya', Rasulullah saw sampai memberi 'warning' bagi para sahabat dengan bersabda : " Yang paling aku takuti menjangkiti kalian adalah syirik kecil, yaitu penyakit riya' ". Karena ia mampu menyelusup halus, merayap menguasai hati, mecairkan ikhlas dan memusnahkan pahala. Ibarat semut hitam yang berjalan di batu hitam di malam yang gelap gulita. Siapakah yang bisa melihat keberadaannya kecuali Allah swt ? Siapa yang tidak bergidik ngeri membayangkan kemungkinan susah payah kita memberi kebaikan pada orang lain hangus tak berbekas karena ulah hati yang jumawa ?
Maka jika seorang da'i sudah terpedaya dengan virus
popularitas tadi, bukan tidak mungkin yang ia dapat adalah memang ketenaran di
mata penduduk bumi. Setiap lapisan masyarakat mengenalnya, harum namanya di
seantero jagad...namun ternyata penduduk langit enggan menyapanya. Bahkan
mengetahui keberadaannya pun tidak. Sungguh menyedihkan bukan ?
Alangkah amat jauh ketertipuan atas bangga diri terhadap popularitas semu. Alangkah besar kerugian kita disisi Allah. Berjuang dengan dalih menegakkan agama-Nya, namun cuma catatan kosong yang kita hadapi di akhirat. Na'udzu biLlahi min dzaalik.
Mari kita berlindung kepada Allah dari hal-hal yg membuat kita besar di mata manusia, tapi kosong di mata Allah....
Wallahu a'lam....
Alangkah amat jauh ketertipuan atas bangga diri terhadap popularitas semu. Alangkah besar kerugian kita disisi Allah. Berjuang dengan dalih menegakkan agama-Nya, namun cuma catatan kosong yang kita hadapi di akhirat. Na'udzu biLlahi min dzaalik.
jadi ingat kisah kehidupan Uwaisy Al
Qarni...terutama ketika wafatnya..
dimana konon byk manusia berjubah putih berdesakan melayat dan mengurus jenazahnya...
menurut (sebagian) ulama, Uwaisy Al Qarni adalah salah satu contoh seseorang yg tidak populer di dunia, tapi populer di akhirat....
Ya Rabb...
janganlah Engkau jadikan dunia ini menjadi tujuan dan cita-cita utama kami....
dimana konon byk manusia berjubah putih berdesakan melayat dan mengurus jenazahnya...
menurut (sebagian) ulama, Uwaisy Al Qarni adalah salah satu contoh seseorang yg tidak populer di dunia, tapi populer di akhirat....
Ya Rabb...
janganlah Engkau jadikan dunia ini menjadi tujuan dan cita-cita utama kami....
Mari kita berlindung kepada Allah dari hal-hal yg membuat kita besar di mata manusia, tapi kosong di mata Allah....
Wallahu a'lam....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar