“Tak kenal maka tak sayang, tak sayang mak tak cinta”
Ini
adalah pribahasa Indonesia paling populer sepanjang masa perjalanan
sejarah bangsa ini yang mengartikan bahwa sebuah cinta tidak bisa datang
tiba-tiba dalam diri seseorang kepada orang lain. Kalau mau bisa
cinta, cara untuk menuju kesitu harusnya dengan mengenalnya lebih
dalam.
Mungkin
pribasaha ini juga cocok bagi mereka yang sepertinya atau memang
memandang madzhab-madzhab fiqih sebagai momok yang harus dijauhkan
karena banyaknya perbedaan diantara mereka yang memicu perpecahan.
Atau
mungkin bagi mereka yang sering sekali menganggap bahwa
madzhab-madzhab fiqih itu sudah terlalu jauh meninggalkan Quran dan
sunnah, karena terlalu banyak berdalil dengan akal para imam mereka
sendiri. Beranggapan seakan-akan para imam madzhab tidak mengerti ayat
dan hadits.
Dan
masih banyak lagi faktor yang membuat seseorang –hingga saat ini-
masih memandang madzhab fiqih sebagai sesuatu yang tidak perlu, karena
yang dibutuhkan itu ialah mengerjakan segala sesuatu dalam ibadah
dengan dalil al-Quran dan Sunnah saja tanpa harus melauli madzhab.
Akhirnya
ini yang membuat mereka benci dengan fiqih itu sendiri, madzhab lebih
khususnya. Karena beranggapan madzhab fiqih hasil olahan manusia yang ‘bisa salah’, berbeda dengan al-Quran dan sunnah yang memang turun dari Allah swt melalui manusia yang makshum dari kesalahan; Muhammad saw.
Mereka
tanpa sadar bahwa mereka juga memahami al-Quran dan sunnah dengan
pamahaman mereka sendiri yang sejatinya adalah mereka manusia yang
sangat rentan terjerumus dalam kesalahan.
Harusnya
mereka sadar, kalau saja bukan karena para imam tersebut, mereka
pastinya tidak akan tahu bagaimana caranya beribadah kepada Allah swt?
Anehnya mereka masih bisa mengejek fatwa-fatwa para imam!?
Mungkin Karena Tidak Kenal
Mungkin
kebencian mereka itu karena memang mereka tidak tahu atau tidak mau
tahu tentang siapa itu imam-imam madzhab fiqih. Seandainya mereka tahu
dan mempelajarinya, bagaimana terbentuknya madzhab fiqih itu sendiri,
siapa imam-imamm madzhab yang memang diakui sejagad ini, niscaya bukan
benci yang ada, tapi justru cinta yang akhirnya membawa mau ber-husnudzonn kepada para imam madzhab fiqih itu sendiri.
Jadi,
obat satu-satunya ya harus mengenal dulu siapa mereka sebetulnya?
Bagaimana proses terbentuknya madzhab itu sendiri? Lalu bagaimana Allah
swt menjadikan mereka punggawa-punggawa yang membumikan syariat-Nya
di muka bumi? Lalu seperti apa perjuangan mereka membentengi umat dari
serbuan pemikiran yang menggerus syarah di setiap zaman mereka hidup?
Ini yang semuanya mesti di kaji.
Para
imam madzhab bukan tidak mengerti ayat dan hadits, justru mereka
adalah orang-orang yang paling mengerti ayat dan hadits di zamannya.
Meninggalkannya mereka akan ayat dan hadits yang secara kasat mata kita
itu adalah dalil yang shahih, itu bukan berarti mereka tidak mengerti.
Justru kita yang tidak mengerti bagaimana cara mereka beristimbath dan
berdalil atas sebuah hukum.
Maka
menjadi penting untuk kita mengetahui bagaimana terbentuknya madzhab
fiqih itu sendiri dan bagaimana mereka berdalil dalam setiap hukumnya.
Ibnu Mas’ud = Imam Ahli Fiqih Iraq
Mestinya kita tahu proses pengutusan sayyidina Ibnu Mas’ud (32 H) oleh sayyidina Umar bin Khaththab (23 H) ke Kuffah sebagai qadhi (Hakim) ketika Islam sudah mulai berkembang sampai Persia. Dari sinilah bibit madzhab fiqih mulai ter-design.
Karena
seorang hakim, mau tidak mau pasti berijtihad.
Bagaimana tidak? toh
setiap hari sayyidina Ibnu Mas’ud selalu dihadapkan kepada suatu masalah
masyarakat. Apakah seorang hakim diam saja tanpa menggunakan akalnya
untuk memberika solusi bagi konsekuennya?
Dari ijtihad-ijtihad sayyidina Ibnu Mas’ud ini menjadi patokan dasar fiqih madrasah al-Kufa, (yang nantinya akan menjadi madzhab hanafi) yang dikumpulkan dan diamalkan kembali oleh Alqamah bin Qais (62 H).
Dari Alqamah, kemudian warisan fiqih kufah itu
diwariskan kepada muridnya, yaitu Ibrahim Al-Nakho’i (96 H), lalu
turun lagi ke murid beliau, yaitu Hammad bin Abi Sulaiman (120 H), dan
akhirnya sampai kepada Imam Abu Hanifah Al-Nukman bin Tsabit (150 H).
Umar dan Ibnu Umar = Bibit Fiqih Ahli Madinah
Begitu pun dengan apa yang dilakukan oleh sayyidina Umar bin Khathtab itu sendiri ketika menjawab khalifah sekaligus qadhi (hakim)
di madinah. Tentu banyak masalah yang dihadapi, banyak pengaduan dan
banyak problem keagamaa yang mesti dicari jalan keluarnya ketika itu.
Itu
kenapa yang banyak kita dengar dari kalangan sahabat ialah sayyidina
Umar yang paling banyak ijtihadnya. Ya tentu. Karena beliau adalah Hakim
dan khalifah, terlebih lagi bahwa masa kepimpinannya jauh lebih lama
dibanding khalifah yang lain.
Tentu
banyak masalah yang dipecahkan oleh beliau dengan ijtihad-ijtihadnya.
Tentu itu pada masalah yang memang tidak tersentuh secara langsung oleh
al-Quran dan hadits. Karena tidak mungkin seorang khalifah berijtihad
pada sesuatu yang sudah ada ketetapnnya dalam 2 teks suci itu.
Nah, ijtihad-ijtihad Umar bin Khthtab inilah yang disebut dengan istilah maslahah [المصلحة] dalam ilmu ushul, yang menjadi patokan dan rujukan terbentuk madrasah fiqih Ahli Madinah (yang kemudian menjadi madzhab Al-Maliki). Dan kemudian juga diwarisi oleh anaknya sendiri, yaitu Abdullah bin Umar (74 H).
Setelah
itulah muncul beberapa hali fiqih madinah yang hampir kesemuanya
menjadi penesehat khalifah Umar bin Abdul Aziz (101 H). para ahli fiqih
madinah ini, sering disebut oleh para sejarawan dengan sebutan 7 Ahli
fiqih madinah. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya
madzhab Imam Malik bin Anas, karena memang Imam Malik mewarisi
ijtihad-ijtihad mereka.
Kenal dan Cinta
Intinya
memang ketika mempelajari suatu pendapat madzhab, tidak cukup hanya
melihat luarannya saja, tidak cukup hanya melihat fatwanya saja. Perlu
didalami juga bagaimana proses terbentuknya madzhab itu sendiri, dan
bagaimana metode yang dipakai dalam mengistinbath sebuah hukum. Sehingga
kita tidak gampang mencela sebuah hasil ijtihad yang dilakukan oleh
para imam itu.
Kita
mempelajari ushul Al-Madzahib, dan bagaimana masa-masa ijtihad dari
zaman sahabat, Tabi’in, sampai terbuntuknya madrasah Al-Kufah dan juga
Madrasah Al-Hijaz, yang kemudian menelurkan banyak mujtahid serta para
ahli fiqih serta madzhab-madzhab fiqih yang terbentuk.
Kalau
kita mempelajari sejarahnya para Imam madzhab, kita akan tahu
bagaimana mulianya mereka memperjuangkan syariah dan membumikan syariah
di bumi Allah ini. dan kita juga tahu apa hikmah kenapa Allah memilih
mereka untuk menjaga syariah-Nya. itu yang akhirnya membuat kita cinta
mereka, yang dengan cinta ini akhirnya kita bisa menghargai ijtihad dan
fatwa ulama itu sehingga tidak gampang mencela.
Tidak asal berbicara: “mereka juga manusia yang bisa salah!”
7 Ahli Fiqih Madinah
Sebagaimana
disinggung sebelumnya, bahwa di madinah setelah wafatnya Ibnu Umar
pada tahun 74 H, dan mulai putusnya masa sahabat setelah kematian
beliau, muncul kemudian masa tabiin.
Dan
di Madinah, ada beberapa ulama yang memang mewarisi fiqih ahli madinah
dari Umar bin khaththab, sayyidah ‘Aisyah, Ibnu Abbas serta Ibnu Umar
itu sendiri.
Ulama menyebutnya dengan sebutan 7 Ahli Fiqih dari Madinah, dengan redaksi [فقهاء المدينة السبعة]. Dan mereka inilah yang disebut-sebut sebagai cikal bakal terbentuknya Madrasah Ahl Al-Hijaz yang kemudian menjadi madzhab Imam Malik bin Anas.
Lalu siapakah 7 orang yang dikatakan sebagai 7 Ahli Fiqih dari Madinah itu?
Mereka adalah para Tabi’in yang hidup di madinah, dan menjadi patokan serta rujukan ilmu serta fatwa dalam masalah syariah setelah wafatnya para sahabat –Ridhwanullah ‘alaihim-, baik bagi para penduduk madinah atau juga selain madinah.
Dan mereka inilah yang menjadi penasehat (Mustasyar)
bagi Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam hal syariah dan umat semasa
kepemimpinannya akan khalifah ketika itu di madinah. Mereka adalah:
[1] ‘Urwah bin Zubair bin Awwam
Seorang tabi’in yang terkenal sebagai salah satu punggawa ulama Madrasah Al-Hijaz. Beliau lahir tahun 22 Hijrah diakhir masa kepimpinan Umar bin Khaththab, dan wafat tahun 93 Hijrah di madinah.
Beliau adalah salah satu tabi’in yang
mempelajari fiqih dari tangan sayyidah ‘Aisyah. Sempat pindah ke
bashrah, lalu ke Mesir selama 7 tahun dan akhirnya kembali ke madinah
dan wafat di sana.
[2] Sa’id bin Al-Musayyib
Lahir di tahun ke 13 Hijrah dari kalangan bani Makhzum, salah satu qabilah masyhur dari kalangan quraisy, dan wafat di madinah tahun ke 94 Hijrah.
Karena kecerdasan dan kezuhudannya, beliau dijuliki sebagai sayyid Al-Tabi’in (Penghulunya para Tabi’in). selain itu beliau juga dijuliuki sebagai rawiyah Umar [راوية عمر] (Perawinya
sayyidina Umar), disebut demikian karena beliau adalah orang madinah
yang paling hafal dengan ijtihad-ijtihadnya umar serta qadha’-qadha’-nya
Diriwayatkan bahwa belaiau hidup dengan berjualan minyak wangi di madinah, dan sama sekali tidak pernah mau menerima hadiah, pemberian Cuma-Cuma.
[3] Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Al-Shiddiq
Beliau juga salah satu tabi’in yang
mempelajari fiqih dari tangan sayyidah ‘Aisyah, karena memang setelah
ayahnya, Muhammad bin Abi Bakr meninggal dunia, Al-Qasim kemudian
dirawat oleh bibinya, Sayyidah ‘Aisyah.
Lahir di Madinah tahun ke 37 hijrah dan wafat di qadid, salah satu tempat antara Madinah dan Mekkah ketika sedang berhaji pada tahun 107 Hijrah. Beberapa hari atau bulan sebelum meninggal dunia, beliau kehilangan penglihatannya.
Dan
perlu diketahui, bahwa beliau lah kakek dari Imam Madzhab Fiqih
Ja’fari dari kalangan Syiah, yaitu Imam Ja’far Al-Shadiq (80 – 148 H).
[4] Khorijah bin Zaid bin Tsabit Al-Anshari
Ulama berselisih tentang statusnya, apakah ia seorang tabi’in atau juga seorang sahabat, karena itu beberapa ulama menyebutkan bahwa ia seorang sahabat dan yang lain menyebutnya sebagai tabi’in.
Tapi beliau lebih dekat dengan status tabi’in, melihat tahun kelahiran beliau sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Zirikly dalam Al-I’lam. Beliau lahir di tahun ke 29 Hijrah, dari kalangan bani Khozraj dan wafat di madinah tahun ke 99 hijrah.
Beliau
lebih terkenal ketika itu dengan ijtihad dan fatwa beliau dalam
masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi dan dibahas sebelumnya
oleh yang lain. Selain itu, beliau juga sering menjadi rujukan penduduk
madinah dalam masalah waris.
[5] ‘Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud
Mendapat julukan Mufti Al-Madinah (Muftinya negeri Madinah), dan juga disebut sebagai A’lam Al-Tabi’in [أعلام التابعين] (paling
cerdasnya tabi’in). Ulama tidak mensepakati di tahun berapa beliau
lahir, sempat pindah ke bashrah namun akhirnya kembali ke madinah dan
beliau wafat di situ tahun ke 98 Hijrah.
Diantara
banyaknya ulama madinah ketika itu, beliaulah yang menjadi pengajar
langsung Umar bin Abdul Aziz dalam hal syariah dan sastra (adab), karena
memang kegemerannya akan sastra.
[6]Abu Bakr bin Abdirrahman bin Al-Harits Al-Makhzumi
Salah satu petinggi tabi’in yang mnedapat julukan sebagai Rahib Quraisy, (Pendetanya kaum Quraisy) karena ke-waro’an-nya yang sering sholat dan banyak puasa. Wafat di madinah tahun ke 94 Hijrah.
[7] Sulaiman bin Yasar
Lahir dari seorang ayah yang seorang Farsi (Persian) pada masa khilafah Utsman bin Affan, di tahun 34 Hijriyah. Dan wafat di madinah tahun ke 107 Hijrah.
Selain terkenal sebagai orang cerdas, beliau juga terkenal sebagai orang yang waro’, lagi
rajin berpuasa sunnah. Karena kecerdasannya, Sa’id bin Al-Musayyib
ketika dimintai fatwa oleh seseorang, beliau selalu mengatakan:
“datanglah kau ke Sulaiman bin Yasar, beliau orang yang paling cerdas yang tersisa pada zaman ini”.
Dalam kitabnya Al-Muqaddimah fi Ulum Al-Hadits (179), Imam
Ibnu Sholah meriwayatkan adanya perbedaan ulama tentang ahli fiqih
madinah ke-6 sebelum Sulaiman bin Yasar ini, antara 3 nama:
[-] Abu Bakr bin Abdirrahman
[-] Abu Salamah bin Abdirrahman bin ‘Auf (w. 104 H)
[-] Salim bin Abdillah bin Umar bin Khathtab (w. 106 H)
Ahmad Zarkasih, Lc
bersambung ke bagian 2 in_sya Allah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar