Selasa, 25 Februari 2014

Kaidah Manfaat dan Mafsadat

Kaidah Manfaat dan Mafsadat



Oleh: al-Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf

الشَارِعُ لَا يَأْمُرُ إِلَّا بِمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةٌ أَوْ رَاجِحَةٌ
وَلَا يَنْهَى إِلَّا عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةٌ أَوْ رَاجِحَةٌ
Syari’at tidak memerintahkan kecuali sebuah kemaslahatan murni atau yang rojih
Dan tidak melarang kecuali yang murni sebuah mafsadat atau yang rojih

Makna Kaidah
Asy-Syari’ adalah pembuat syari’at, yaitu Alloh, baik langsung dari al-Qur‘an ataupun lewat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dalam sunnah beliau. Karena sunnah beliau pun pada dasarnya adalah wahyu dari Alloh. Sebagaimana firman-Nya:
Dan tiadalah yang dia (Muhammad) ucapkan itu (al-Qur‘an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. an-Najm [53]: 3-4)
Kholishoh adalah murni sebuah kemaslahatan, tanpa ada unsur mafsadat dan madhorot sedikit pun. Begitu pula sesuatu yang mengandung sebuah mafsadat yang murni tanpa ada maslahat sedikit pun.
Rojihah adalah sebuah kemaslahatan yang masih mengandung sedikit mafsadat, namun maslahatnya jauh lebih besar. Begitu pula sebaliknya, sebuah mafsadat yang sedikit mengandung kemaslahatan namun mafsadatnya jauh lebih besar.

Jadi, makna kaidah ini adalah bahwa Alloh dan Rosul-Nya tidak akan memerintahkan sesuatu kecuali apabila mengandung sebuah kemaslahatan murni tanpa ada unsur mafsadat sedikit pun atau sebuah maslahat besar meskipun ada sedikit mafsadatnya. Demikian pula, Alloh dan Rosul-Nya tidak akan melarang sesuatu kecuali apabila mengandung mafsadat murni tanpa ada kemaslahatan sedikit pun atau sebuah mafsadat besar meskipun sedikit berbalutkan kemaslahatan.

Dalil Kaidah
Banyak sekali dalil dari al Qur‘an dan as sunnah yang menunjukkan atas kaidah ini. Bahkan hal ini disepakati oleh para ulama’. Diantara yang menunjukkan atas kaidah ini adalah:
Firman Alloh:
Sesungguhnya Alloh menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Alloh melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. an-Nahl [16]: 90)
Pada ayat ini Alloh memerintah dan melarang. Perhatikanlah yang diperintahkan Alloh, semuanya adalah sesuatu yang mengandung kemaslahatan. Juga perhatikanlah yang dilarang oleh-Nya, semuanya mengandung mafsadat (kerusakan).
Semua perintah serta larangan dalam al-Qur‘an dan sunnah pun demikian. Tidak ada satu pun perintah melainkan pasti mengandung maslahat dan sebaliknya tidak ada satu pun larangan melainkan mengandung mafsadat. Di antara sabda Rosululloh yang menunjukkan atas hal ini adalah:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ (وَفِيْ رِوَايَةٍ: صَالِحَ) الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. al-Bukhori dalam Adab Mufrod: 273, al-Hakim: 2/613, Ahmad: 2/318. Lihat ash-Shohihah: 45)

Hadits di atas mengisyaratkan bahwa diutusnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah untuk membawa dan menyempurnakan kemuliaan akhlak. Sedangkan kesempurnaan akhlak tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya kemaslahatan dan hilangnya mafsadat.
Dalil-dalil lainnya masih banyak. Oleh karena itu, para ulama sepakat atas hal ini. Bahkan mayoritas ulama menegaskan bahwa syari’at ini dibangun atas dasar kaidah ini dan semua hukum serta cabang-cabangnya kembali pada kaidah dasar ini. (Lihat Syarah Qowa’id Sa’diyyah hlm. 23)

Syaikh Abdurrohman as-Sa’di Rohimahulloh berkata: “Ini adalah dasar yang mencakup semua syari’at Islam, tidak ada yang tertinggal sedikit pun baik yang berhubungan dengan masalah ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), baik yang berhubungan dengan hak Alloh ataupun hak makhluk.” (al-Qowa’id wal Ushul Jami’ah hlm. 9)

Macam-Macam Maslahat dan Mafsadat
Kalau dicermati, maka kaidah ini mencakup empat hal:
Pertama: Maslahat murni.
Contohnya iman kepada Alloh serta mentauhidkan-Nya. Ini adalah sebuah kemaslahatan murni bagi hati, jiwa, bahkan badan baik untuk dunia maupun akhirat.

Kedua: Mafsadat murni.
Contohnya kemusyrikan dan kekafiran. Ini adalah mafsadat murni baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat baik bagi jiwa maupun badan. Namun, perlu diingat, maslahat dan mafsadat yang dimaksud dalam kaidah ini adalah maslahat dan mafsadat dalam tinjauan syar’i.

Ketiga: Maslahat rojih.
Contohnya jihad fi sabilillah melawan orang-orang kafir. Banyak maslahat besar yang diraih dengan berjuang membela agama Alloh untuk menghancurkan kekuatan kafir. Namun, banyaknya keutamaan ini terkadang mengandung beberapa mafsadat dalam kehidupan dunia seseorang. Oleh karena itu, terkadang jiwa agak berat untuk menjalankannya. Alloh berfirman:

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Alloh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. al-Baqoroh [2]: 216)
Namun, bagi yang diberi taufiq oleh Alloh untuk menjalankannya niscaya akan mendapatkan banyak sekali keutamaan dunia maupun akhirat atau salah satu dari keduanya. Alloh memerintahkan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam untuk berkata kepada orang-orang kafir:
Katakanlah: “Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan. Dan kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Alloh akan menimpakan kepadamu azab (yang besar) dari sisi-Nya, atau (azab) dengan tangan kami. Sebab itu tunggulah, sesungguhnya kami menunggu-nunggu bersamamu.” (QS. at-Taubah [9]: 52)

Keempat:
Mafsadat rojih.
Contohnya khomr (minuman keras) dan perjudian. Alloh berfirman:
Mereka bertanya kepadamu tentang khomr dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. al-Baqoroh [2]: 219)
Oleh karena itu, Alloh kemudian melarangnya secara mutlak sebagaimana dalam firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khomr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. al-Ma‘idah [2]: 90-91)

Apabila Maslahat dan Mafsadat Berbenturan
Masalah ini tidak lepas dari tiga kemungkinan: Kemungkinan Pertama:
Benturan antara dua kemaslahatan yang tidak mungkin keduanya dikerjakan. Solusinya, kerjakanlah maslahat yang lebih besar meskipun dengan meninggalkan yang lebih kecil.


Kemungkinan Kedua:
Benturan antara dua mafsadat yang tidak mungkin keduanya ditinggalkan. Solusinya, tinggalkanlah mafsadat yang lebih besar meskipun dengan mengerjakan mafsadat yang lebih kecil.
Syaikh as-Sa’di Rohimahulloh meringkaskan masalah ini dalam kaidah beliau:


الدِّيْنُ مَبْنِيٌّ عَلَى الْمَصَالِحِ فِيْ جَلْبِهَا واَلدَّرْءِ لِلْقَبَائِحِ
فَإِذَا تَزَاحَمَ عَدَدُ الْمَصَالِحِ يُقَدَّمُ الْأَعْلَى مِنَ الْمَصَالِحِ

وَضِدُّهُ تَزَاحُمُ الْمَفَاسِدِ فَارْتَكِبْ الْأَدْنَى مِنَ الْمَفَاسِدِ

Agama ini dibangun atas dasar meraih kemaslahatan
Juga untuk menolak sebuah mafsadat
Maka jika beberapa maslahat benturan
Harus dikedepankan maslahat yang paling besar
Kebalikannya, jika benturan antara beberapa mafsadat
Maka kerjakan mafsadat yang paling ringan.

Kemungkinan Ketiga:
Benturan antara maslahat dan mafsadat, dalam artian kalau ingin mengerjakan kemaslahatan tersebut maka mesti melakukan mafsadatnya. Jika hal ini yang terjadi maka secara umum dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Apabila mafsadatnya lebih besar dibanding maslahatnya, maka menghindari mafsadat itu dikedepankan daripada meraih kemaslahatan tersebut.
2. Apabila maslahatnya jauh lebih besar dibandingkan dengan mafsadat yang akan timbul, maka meraih maslahat itu lebih diutamakan daripada menghindari mafsadatnya.
Oleh karena itu, jihad berperang melawan orang kafir disyari’atkan, karena meskipun ada mafsadatnya yaitu hilangnya harta, jiwa dan lainnya, namun maslahat menegakkan kalimat Alloh di muka bumi jauh lebih utama dan lebih besar.
3. Apabila maslahat dan mafsadat seimbang, maka secara umum saat itu menolak mafsadat lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan yang ada. Berdasarkan kaidah umum:

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ (Menghilangkan mafsadat itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah maslahat).

Untuk mengetahui perincian permasalahan ini lihat kembali kaidah :

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
 (Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan).

Contoh penerapan kaidah:

Syaikh Abdurrohman as-Sa’di Rohimahulloh berkata: “Berdasarkan kaidah ini, semua ilmu dan penemuan teknologi modern yang bermanfaat untuk kehidupan manusia baik untuk urusan agama maupun dunia mereka, maka itu termasuk apa yang diperintahkan oleh Alloh dan Rosul-Nya, juga termasuk apa yang dicintai oleh Alloh dan Rosul-Nya serta termasuk nikmat Alloh yang diberikan kepada para hamba-Nya karena itu semua mengandung maslahat yang dhoruri maupun sekadar sebagai penyempurna sebuah kemaslahatan. Sebab itu, peranti faksimile dan segala penemuan lainnya sangat sesuai dengan kaidah ini. Sebagiannya termasuk perkara yang wajib, sebagiannya lagi ada yang sunnah juga ada yang mubah, itu semua tergantung pada maksud dan hasilnya nanti. Yang mana ini masuk dalam kaidah besar:

الوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ
(Perantara itu mempunyai hukum maksud dan tujuannya).” (al-Qowa’id hlm. 12)
 
Kaidah ini insya Alloh akan kita bahas pada edisi mendatang.
Wallohu A’lam.
sumber: http://alfurqon.co.id (silahkan merujuk ke web tersebut untuk mengambil faidah yang lebih banyak)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar