Senin, 23 November 2015

Mendamaikan ulama salaf dan khalaf, mungkinkah ?

🌿🍄 Mendamaikan Salaf dan Khalaf, Mungkinkah?"🍄🌿

✏ Farid Nu'man Hasan

Masalah penyikapan terhadap sifat-sifat Allah ﷻ, telah menjadi polemik keras sesama umat Islam. Telah memakan waktu belasan Abad lamanya, bahkan sampai saling mengkafirkan terjadi di antara mereka.

📕 Mereka yang mengaku mengikuti salaf meyakini bahwa Allah ﷻ mesti disifati sebagaimana zahirnya ayat dan hadits. Tanpa ta’wil, ta’thil, takyif, tahrif, dan tasybih. Menurut mereka, kita mesti mensifat Allah ﷻ sebagaimana Allah dan RasulNya sifati untuk diriNya. Ketika Allah ﷻ menyebut dirinya punya Wajah dan Tangan, beristiwa di atas ‘arsy, maka hendaknya itsbat (menetapkan) apa adanya sebagaimana adanya, begitulah Allah ﷻ, tanpa kita menyerupai dengan makhlukNya. Bahkan yang mengingkari pemahaman bahwa Allah ﷻ di atas ‘asry, di atas langit, maka dia tela kafir.

Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar, beliau berkata,

سألت أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقال قد كفر لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق سمواته فقلت إنه يقول أقول على العرش استوى ولكن قال لا يدري العرش في السماء أو في الأرض قال إذا أنكر أنه في السماء فقد كفر رواها صاحب الفاروق بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم

Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”. Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.”( Lihat Al ‘Uluw, Imam Adz Dzahabi, hal. 135-136, Maktab Adhwaus Salaf, Riyadh, cetakan pertama, 1995.)

Dan, masih banyak perkataan seperti ini dari para ulama Islam.

📘 Sementara itu, kelompok kedua, yaitu pihak yang menyadarkan pada pemahaman Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, dan mereka pun juga meyakininya sebagai pemahaman salaf, bahwa mereka memahami Allah ﷻ itu wujud, tanpa tempat dan arah (atas, bawah, kanan , kiri). Maha Suci Allah dari itu semua. Allah ﷻ tidak membutuhkan tempat dan arah, sebab tempat dan arah adalah makhluk. Allah ﷻ tidak membutuhkan makhluk, karena Dia qiyamuhu binafsihi, dan makhluklah yang membutuhkanNya. Jika Allah ﷻ di atas langit dan ‘arsy. Maka di manakah Allah ﷻ ketika langit  dan ‘arsy belum ada?

Bagi pihak ini, sifat-sifat Allah ﷻ mesti di ta’wil atau juga sebagian di tafwidh, itulah pemahaman Salaf yang sebenarnya. Seperti istawa di atas 'arsy, mesti dipahami istawla (berkuasa) bukan sedang duduk di atas ‘arsy, Allah di langit maknanya Allah itu Maha Tinggi, bukan bermakna zhahirnya.  Dan seterusnya. Bahkan mereka juga mengkafirkan pihak yang mengatakan Allah ﷻ memiliki tempat ayau berada di sebuah tempat.

Imam Ibn Nujaim Al Hanafi  Berkata:

ويكفر باثبات المكان لله تعالى, فإن قال: الله في السماء, فإن قصد حكاية ما جاء في ظاهر الأخبار لا يكفر, وإن أراد المكان كفر

Artinya: "Dan kafir orang yang menetapkan tempat bagi Allah Ta'ala, kalau ia berkata "Allah di langit" jika maksud ucapan tersebut adalah hanya menceritakan zhahirnya khabar maka ia tidak kufur, tetapi jika maksudnya adalah tempat bagi Allah maka ia kafir" (Al Bahr Ar Raa'iq,   5 / 129)

Imam Ibn Hajar al-Haitami dalam karyanya berjudul Al Minhâj Al Qawîm ‘Alâ Al Muqaddimah Al Hadhramiyyah menuliskan sebagai berikut:

واعلم أن القَرَافي وغيره حكوا عن الشافعي ومالك وأحمد وأبي حنيفة رضي الله عنهم القول بكفر القائلين بالجهة والتجسيم، وهم حقيقون بذلك

“Ketahuilah bahwa Al Qarafi dan lainnya telah meriwayatkan dari Al Imâm asy-Syafi’i, Al Imâm Malik, Al Imâm Ahmad dan Al Imâm Abu Hanifah bahwa mereka semua sepakat mengatakan bahwa seorang yang menetapkan arah bagi Allah dan mengatakan bahwa Allah adalah benda maka orang tersebut telah menjadi kafir. Mereka semua (para Imam madzhab) tersebut telah benar-benar menyatakan demikian” (Al Minhâj Al Qawîm,  Hal. 224)

Dalam kitab Syarh Al Fiqh Al Akbar yang telah disebutkan di atas, Imam Ali Al Qari menuliskan sebagai berikut:

فمن أظلم ممن كذب على الله أو ادعى ادعاءً معينًا مشتملاً على إثبات المكان والهيئة والجهة من مقابلة وثبوت مسافة وأمثال تلك الحالة، فيصير كافرًا لا محالة

“Maka barangsiapa yang berbuat zhalim dengan melakukan kedustaan kepada Allah dan mengaku dengan pengakuan-pengakuan yang berisikan penetapan tempat bagi-Nya, atau menetapkan bentuk, atau menetapkan arah; seperti arah depan atau lainnnaya, atau menetapkan jarak, atau semisal ini semua, maka orang tersebut secara pasti telah menjadi kafir” (Syarh Al Fiqh Al Akbar,  hal. 215)

Dan semisal ini masih banyak juga.

☑ Jalan Kompromis

Di antara dua pendapat ini, sebenarnya masih ada jalan untuk dikompromikan. Sebab pada dasarnya dua pemahaman ini bertemu dalam beberapa titik pokok. Di antaranya:

1. Keduanya sama-sama menghendaki kesucian dan keagungan bagi sifat-sifat Allah ﷻ

2. Keduanya sama-sama tidak ingin menyamakan Allah ﷻ dengan makhluk sedikit pun

3. Tapi, keduanya berbeda dalam caranya saja. Kelompok pertama mensucikan sifat-sifatNya dengan memangkas semua bentuk ta’wil, memahami apa adanya sebagaimana zahirnya. Kelompok kedua memberikan ta’wil dalam rangka mensucikannya dari ta’wil-ta’wil menyimpang, sebagai koridor, agar orang jahil dan awam memmiliki panduan apalagi setelah Islam menyebar ke negeri-negeri tak berbahasa Arab.

Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:

“Tidak dibenarkan mengkafirkan orang yang keliru dalam masalah ini kecuali terpenuhinya syarat-syarat kekufuran. Ini hanya ada pada khilafiyah yang kontradiktif dan hakiki.”

Lalu kata Beliau: “ada pun perbedaan-perbedaan lain seperti dalam ragam atau dalam masalah lafal serta ungkapan, merupakan khilaf ringan. Hal ini banyak terjadi dalam masalah-masalah khabariyah (keyakinan). “ (Majmu’ Fatawa, 6/58)

Imam Asy Syathibi Rahimahullah mengatakan:

“Salah satu masalah yang diperselisihkan adalah masalah sifat. Apabila kita teliti maksud kedua kelompok, kita dapatkan bahwa keduanya berkeyakinan melindungi kesucian, menafikan kekurangan dan meninggikan derajatNya. Perbedaan mereka hanyalah ada cara yang ditempuh, dan ini sama sekali tidak mengurangi niat suci mereka sama sekali. Alhasil, kadar perbedaan ini layaknya seperti perbedaan furu’ saja. (Al I’tisham, 2/187)

Syaikh Hasan Al Banna  Rahimahullah mengatakan:

أولا : اتفق الفريقان على تنزيه الله تبارك وتعالى عن المشابهة لخلقه .
ثانيا : كل منهما يقطع بأن المراد بألفاظ هذه النصوص في حق الله تبارك وتعالى غير ظواهرها التي وضعت لها هذه الألفاظ في حق المخلوقات ، وذلك مترتب على اتفاقهما على نفي التشبيه .

ثالثا : كل من الفريقين يعلم أن الألفاظ توضع للتعبير عما يجول في النفوس ، أو يقع تحت الحواس مما يتعلق بأصحاب اللغة وواضعيها ، وأن اللغات مهما اتسعت لا تحيط بما ليس لأهلها بحقائقه علم ، وحقائق ما يتعلق بذات الله تبارك وتعالى من هذا القبيل ، فاللغة أقصر من أن تواتينا بالألفاظ التي تدل على هذه الحقائق ، فالتحكم في تحديد المعاني بهذه الألفاظ تغرير .
وإذا تقرر هذا فقد اتفق السلف والخلف على أصل التأويل ، وانحصر الخلاف بينهما في أن الخلف زادوا تحديد المعنى المراد حيثما ألجأتهم ضرورة التنزيه إلى ذلك حفظا لعقائد العوام من شبهة التشبيه ، وهو خلاف لا يستحق ضجة ولا إعناتا
Pertama. Kedua kelompok sepakat dalam mensucikan Allah ﷻ dari bentuk penyerupaan dengan makhlukNya.

Kedua. Semua kelompok sepakat untuk memutuskan bahwa maksud lafal dalam nash-nash seperti ini sepenuhnya dalam konteks yang sesuai dengan zat Allah ﷻ, bukan sebagaimana dipahami untuk makhlukNya. Dengan demikian keduanya sepakat menghindari tasybih (penyerupaan Allah ﷻ dengan makhluk).

Ketiga. Semua pihak sepakat bahwa lafal-lafal ini disebutkan untuk mendekatkan pemahaman dalam benak, atau diletakkan dalam kerangka indrawi pengguna bahasa itu. Dan sebuah bahasa betapa pun tingginya, tidak mampu mengungkapkan sesuatu yang memang tidak dimengerti oleh penggunanya. Esensi yang berhubungan dengan zat Alah ﷻ dipahami dalam konteks tersebut. Bahasa memang memiliki kelemahan untuk mengungkapkan hakikat ini.

Jika sudah ditetapkan yang demikian ini, maka antara salaf dan khalaf sepakat  secara prinsip atas dasar-dasar ta’wil. Perbedaan mereka adalah bahwa khalaf menambahkan pembatasan makna yang dikandung dengan tetap menjaga kesucian Allah ﷻ dengan tujuan agar orang awam tidak terjerumus dalam pemahaman tasybih. Perbedaan seperti ini tidak seharusnya menghasilkan kegoncangan. (Majmu’ah Ar Rasail, Al Aqaid,  Hal. 330)

Lalu Beliau melanjutkan:

وخلاصة هذا البحث أن السلف والخلف قد اتفقا على أن المراد غير الظاهر المتعارف بين الخلق ، وهو تأويل في الجملة ، واتفقا كذلك على أن كل تأويل يصطدم بالأصول الشرعية غير جائز ، فانحصر الخلاف في تأويل الألفاظ بما يجوز في الشرع ، وهو هين كما ترى ، وأمر لجأ إليه بعض السلف أنفسهم ، وأهم ما يجب أن تتوجه إليه همم المسلمين الآن توحيد الصفوف 

Kesimpulannya, ulama khalaf dan salaf sepakat bahwa kandungan maksud itu bukan  pada lahiriyahnya lafal yang telah dikenal oleh makhluk, tapi ia adalah ta’wil yang masih global. Mereka juga sepakat bahwa semua ta’wil yang  bertentangan dengan syariat adalah terlarang. Perbedaan hanyalah terjadi pada perbedaan lafal yang masih dibenarkan oleh syara’, dan itu masalah ringan sebagaimana engkau lihat, dan ini juga hal yang para salaf sering  menggunakannya.  Yang terpenting untuk dilakukan  bagi kaum muslimin sekarang adalah penyatuan barisan, menghimpun kata sedapat yang kita mampu lakukan. (Ibid, Hal. 331)

Demikianlah jalan kompromis para ulama yang begitu jeli melihat titik persamaan, yang dengannya pertumpahan darah dan fitnatut takfir bisa dihindari.

Maka, semuanya adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Asfarayini berikut ini.
[الفائدة الرابعة التعريف بأهل السنة]
(الرَّابِعَةُ) : أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ ثَلَاثُ فِرَقٍ: الْأَثَرِيَّةُ وَإِمَامُهُمْ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَالْأَشْعَرِيَّةُ وَإِمَامُهُمْ أَبُو الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ، وَالْمَاتُرِيدِيَّةُ وَإِمَامُهُمْ أَبُو مَنْصُورٍ الْمَاتُرِيدِيُّ، وَأَمَّا فِرَقُ الضَّلَالِ فَكَثِيرَةٌ جِدًّا

Faidah yg keempat: Definisi Ahlus Sunnah.
Keempat: Ahlus Sunnah ada tiga kelompok.

1⃣ Al Atsariyah, imam mereka adalah Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah

2⃣ Al Asy'ariyah,  imam mereka adalah Imam Abul Hasan Al Asy'ariy Rahimahullah

3⃣ Al Maturidiyah, imam mereka adalah Imam Abu Manshur Al Maturidiy Rahimahullah
Adapun firqoh sesat sangat banyak... (Lawami' Al Anwar Al Bahiyah wa Sawathi' Al Asrar Al Atsariyah, Imam Syamsuddin As Safariyniy Al Hambaliy)

Jadi, kalau ada yang mengatakan Al Asy’ariyah bukan Ahlus Sunnah adalah berlebihan. Kadang pengikut Asy’riyah juga menyerang golongan Al Atsariyah, yang dua abad belakangan disebut dengan Wahabiyah, dengan sebutan mujassimah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

وَأَمَّا لَعْنُ الْعُلَمَاءِ لِأَئِمَّةِ الْأَشْعَرِيَّةِ فَمَنْ لَعَنَهُمْ عُزِّرَ. وَعَادَتْ اللَّعْنَةُ عَلَيْهِ فَمَنْ لَعَنَ مَنْ لَيْسَ أَهْلًا لِلَّعْنَةِ وَقَعَتْ اللَّعْنَةُ عَلَيْهِ. وَالْعُلَمَاءُ أَنْصَارُ فُرُوعِ الدِّينِ وَالْأَشْعَرِيَّةُ أَنْصَارُ أُصُولِ الدِّينِ.
مجموع الفتاوى : 16/4

Adapun melaknat para ulama asy'ariyah, maka melaknat mereka mesti dita'zir (dihukum), dan laknat itu kembali kepada pelakunya. Barangsiapa yang melaknat org yang tdk berhak dilaknat maka laknat itu kembali kepada si pelaknat. Para ulama adalah pembela cabang-cabang agama, dan golongan asy'ariyah adalah pembela-pembela dasar-dasar agama. (Majmu' Al Fatawa, 4/16)

Para imam seperti Imam Ibnu Hajar Al 'Asqalani,  Ibnu Hajar Al Haitami, An Nawawi, Ibnu Furak, Ibnul Jauzi, Al Ghazali, Al Bulqini, Al Baqilani, Al Juwaini, Abu Syamah, Ibnu An Nahwi, As Suyuthi, Ali Al Qari, Zakariya Al Anshari, Al Qalyubi, Al Qasthalani, ... dll -Rahimahumullah- semua ini Asy'ariyah.

Diperkirakan Asy’ariyah adalah mayoritas umat Islam hari ini, juga dianut oleh mayoritas kampus-kampus Islam ternama. Walau untuk ini belum ada sensus atau data yan bisa menjadi komparasinya.

Mereka semua  Ahlus Sunnah dan dalam satu rumah bersama Imam Ahmad,  Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Muhammad bin Abdil Wahhab..  hanya saja mgkin yg satu ada di ruang tamu, yg lain ruang makan, tapi masih satu rumah yang sama, Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Sikap menuduh yg lain bukan ahlus sunnah adalah sikap yg paling sensitif terjadinya perpecahan umat Islam. Hendaknya setiap muslim berhati-hati dalam masalah ini.

Wallahu A'lam

Kembali Dengan Cinta

KEMBALI DENGAN CINTA

Hari ini mendapat berita yang unik sekaligus mengharukan. Seorang politikus, anggota dewan sebuah partai nasionalis meninggal dan dimakamkan dengan diantar mobil layanan PKS. Unik, karena partai tempat sang politikus beraktifitas selama ini juga dikenal mempunyai beberapa mobil layanan sejenis, mengapa tidak digunakan untuk mengantarkan salah satu kader terbaiknya ?. Mengharukan, karena ternyata almarhum berwasiat khusus sebelum meninggal, agar dimakamkan dengan diantar mobil layanan PKS, bukan yang lainnya.

Tentu hal ini menjadikan sebagian pelayat yang hadir mengernyitkan dahi dan bertanya-tanya. Mengingat sejarahnya partai nasionalis tersebut hampir selalu menjadi “lawan politik” PKS dibeberapa kesempatan, dari pemilu, pilpres hingga pilkada. Perbedaan ideologis yang diusung kedua partai tersebut pun kerap menjadikan massa akar rumputnya seolah selalu berhadap-hadapan, baik di dunia nyata, apalagi di dunia maya.

Ternyata kejadian mengharukan diatas bukanlah hal sederhana, kita bisa menjadikannya sebagai inspirasi sekaligus mengambil pelajaran. Kejadian yang bermula dari ‘wasiat’ di atas mengantarkan saya pada kenangan sosok Buya Hamka. Politisi, ulama sekaligus sastrawan muslim ini ternyata beberapa kali juga mendapatkan wasiat yang serupa dari musuh-musuh politiknya.

Yang pertama adalah Bung Karno, yang saat itu memaksakan ideologi nasakomnya, Buya Hamka turut menjadi korban. Beliau dipenjarakan oleh pemerintahan orde lama sepanjang 2 tahun 4 bulan dengan tuduhan subversif. Bukan itu saja, bahkan karya-karyanya juga ditarik dari peredaran. Buya Hamka menggunakan waktunya di tahanan untuk menyelesaikan kitab Tafsir Al Azhar yang monumental.

Roda zaman berputar. Hamka bebas dari penjara sementara Bung Karno kehilangan kekuasaannya, mulai diasingkan dan jatuh sakit-sakitan. Lama tak ada komunikasi antara keduanya. Hingga pada Juni 1970 Bung Karno menyampaikan pesan ke Buya Hamka melalui Mayjen Soeryo sang ajudan, yang berbunyi “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku..”. Pesan itu diterima Buya Hamka bersaman dengan wafatnya Bung Karno. Maka ia segera berangkat untuk melihat jenazah Bung Karno dan kemudian menjadi imam sholat jenazahnya. Beberapa pelayat yang hadir tak kuasa menahan air mata menyaksikan momentum mengharukan tersebut. Permusuhan dan kebencian ada batasnya.

Sosok lain yang tak kalah keras pertentangannya dengan Buya Hamka adalah Muhammad Yamin. Meskipun sama-sama berasal dari Sumatera Barat, namun diantara keduanya terjadi pertentangan dalam masalah ideologi perjuangan. Pertentangan ini kerap muncul dan meledak dalam sidang-sidang Majlis Konstutiante. Buya Hamka yang berasal dari Masyumi kokoh dan teguh memperjuangkan Islam sebagai dasar bernegara, sementara Muhammad Yamin dari PNI adalah seorang nasionalis yang cenderung sekuler. Kebenciannya kepada Buya Hamka begitu terasa dan diketahui banyak orang karena diulang-ulang oleh Muhammad Yamin dalam berbagai kesempatan berbicara dan berpidato.

Tapi kebencian dan permusuhan itu ada batasnya. Tahun 1962 Muhammad Yamin jatuh sakit dan dirawat di RSPAD selama beberapa hari terus bertambah parah, hingga kemudian menyuruh Chairul Shaleh untuk menyampaikan pesannya kepada Buya Hamka. Pesan itu berisi “"Bila saya wafat, tolong Hamka bersedia menemani di saat-saat akhir hidupku dan ikut mengantar jenazahku ke kampung halamanku di Talawi" . Chaerul Saleh juga menambahkan bahwa, Yamin khawatir, masyarakat Talawi, Sumatera Barat, tempatnya berasal, tidak berkenan menerima jenazahnya

Mendengar hal tersebut, Hamka segera menemui Yamin yang tergolek lemah. Takdir Allah indah menggoreskan Hamka menemani Yamin disaat-saat akhirnya, dengan kedua tangan berjabat erat, bahkan Hamka masih sempat melantunkan Al Fatihah dan kalimat tauhid dengan lembut di telinga Yamin. Hamka pun menunaikan janji dengan mengantarkan Yamin ke tempat peristirahatannya terakhir di Talawi.

Dua kejadian di atas menggoreskan pertanyaan dalam hati. Hal apakah yang kiranya menggerakkan hati yang lama berjauhan bahkan bermusuhan untuk bersatu mendekat penuh harap ? Saya tidak melihat kecuali keistiqomah, kejujuran dan ketulusan Buya Hamka dalam memperjuangkan dan mengamalkan syariat Islam – lah yang menjadikan hati-hati yang dulu begitu membenci, memusuhi dan menentang, dalam akhir hidupnya harus mengakui dengan jujur bahwa Hamka dengan ideologi Islamnya lah yang layak menjadi teman menuju peristirahan terakhir.

Hari-hari ini begitu banyak para pembenci dan penentang dakwah Islam, memusuhi tanpa henti siang dan malam, baik dengan tusukan jari jemari di dunia maya maupun lirikan sinis yang terpendam saat berpapasan. Jika para aktifis dakwah bisa mencontoh Buya Hamka yang terus istiqomah dengan ketulusan, kejujuran, dalam memperjuangkan apa yang diyakininya, maka insya Allah benih-benih permusuhan itu tidak akan abadi. Tanpa perlu harus menunggu di ujung usia, bisa jadi cinta akan menggantikan kebencian.

Sebagaimana Pramodya Ananta Toer yang sudah kenyang “bermusuhan” dengan Hamka di masa orde lama. Saat akan menikahkan putrinya, ia meminta calon menantu untuk masuk Islam dan belajar Islam pada Buya Hamka. Ketika ditanya mengapa ia melakukan hal tersebut, dengan tegas Pramudya menyampaikan "Saya lebih mantap mengirim calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik".

Sama dengan kisah Pramudya, saya sering mendengar testimoni tentang beberapa tokoh partai nasionalis di suatu daerah, dimana mereka dengan rela dan bangga berbondong-bondong menyekolahkan putra-putrinya di sekolah Islam yang dikelola oleh para aktifis dakwah. Dalam hal pendidikan terbaik, mereka mempercayakan tarbiyah Islam sebagai solusi.

Maka kebencian dan permusuhan itu pastilah akan tergerus dengan keistiqomahan dan ketulusan para aktifis dakwah, dan berganti dengan cinta. Sebuah cinta terhadap ajaran yang fitrah, yang jika tidak saat ini maka diujung masa akan banyak jiwa-jiwa yang kembali mendekat.

Sayup-sayup terdengar senandung masa belia :
“ Cinta kan membawamu … kembali di sini . menuai rindu, membasuh perih”

Hatta Syamsuddin
www.indonesiaoptimis.com

Kamis, 19 November 2015

Mengenal Madzhab Dalam Fiqih (bagian 1)


“Tak kenal maka tak sayang, tak sayang mak tak cinta”
Ini adalah pribahasa Indonesia paling populer sepanjang masa perjalanan sejarah bangsa ini yang mengartikan bahwa sebuah cinta tidak bisa datang tiba-tiba dalam diri seseorang kepada orang lain. Kalau mau bisa cinta, cara untuk menuju kesitu harusnya dengan mengenalnya lebih dalam. 

Mungkin pribasaha ini juga cocok bagi mereka yang sepertinya atau memang memandang madzhab-madzhab fiqih sebagai momok yang harus dijauhkan karena banyaknya perbedaan diantara mereka yang memicu perpecahan.

Atau mungkin bagi mereka yang sering sekali menganggap bahwa madzhab-madzhab fiqih itu sudah terlalu jauh meninggalkan Quran dan sunnah, karena terlalu banyak berdalil dengan akal para imam mereka sendiri. Beranggapan seakan-akan para imam madzhab tidak mengerti ayat dan hadits.

Dan masih banyak lagi faktor yang membuat seseorang –hingga saat ini- masih memandang madzhab fiqih sebagai sesuatu yang tidak perlu, karena yang dibutuhkan itu ialah mengerjakan segala sesuatu dalam ibadah dengan dalil al-Quran dan Sunnah saja tanpa harus melauli madzhab.

Akhirnya ini yang membuat mereka benci dengan fiqih itu sendiri, madzhab lebih khususnya. Karena beranggapan madzhab fiqih hasil olahan manusia yang ‘bisa salah’, berbeda dengan al-Quran dan sunnah yang memang turun dari Allah swt melalui manusia yang makshum dari kesalahan; Muhammad saw.

Mereka tanpa sadar bahwa mereka juga memahami al-Quran dan sunnah dengan pamahaman mereka sendiri yang sejatinya adalah mereka manusia yang sangat rentan terjerumus dalam kesalahan.

Harusnya mereka sadar, kalau saja bukan karena para imam tersebut, mereka pastinya tidak akan tahu bagaimana caranya beribadah kepada Allah swt? Anehnya mereka masih bisa mengejek fatwa-fatwa para imam!?

Mungkin Karena Tidak Kenal

Mungkin kebencian mereka itu karena memang mereka tidak tahu atau tidak mau tahu tentang siapa itu imam-imam madzhab fiqih. Seandainya mereka tahu dan mempelajarinya, bagaimana terbentuknya madzhab fiqih itu sendiri, siapa imam-imamm madzhab yang memang diakui sejagad ini, niscaya bukan benci yang ada, tapi justru cinta yang akhirnya membawa mau ber-husnudzonn kepada para imam madzhab fiqih itu sendiri.

Jadi, obat satu-satunya ya harus mengenal dulu siapa mereka sebetulnya? Bagaimana proses terbentuknya madzhab itu sendiri? Lalu bagaimana Allah swt menjadikan mereka punggawa-punggawa yang membumikan syariat-Nya di muka bumi? Lalu seperti apa perjuangan mereka membentengi umat dari serbuan pemikiran yang menggerus syarah di setiap zaman mereka hidup? Ini yang semuanya mesti di kaji.

Para imam madzhab bukan tidak mengerti ayat dan hadits, justru mereka adalah orang-orang yang paling mengerti ayat dan hadits di zamannya. Meninggalkannya mereka akan ayat dan hadits yang secara kasat mata kita itu adalah dalil yang shahih, itu bukan berarti mereka tidak mengerti. Justru kita yang tidak mengerti bagaimana cara mereka beristimbath dan berdalil atas sebuah hukum.

Maka menjadi penting untuk kita mengetahui bagaimana terbentuknya madzhab fiqih itu sendiri dan bagaimana mereka berdalil dalam setiap hukumnya.

Ibnu Mas’ud = Imam Ahli Fiqih Iraq

Mestinya kita tahu proses pengutusan sayyidina Ibnu Mas’ud (32 H) oleh sayyidina Umar bin Khaththab (23 H) ke Kuffah sebagai qadhi (Hakim) ketika Islam sudah mulai berkembang sampai Persia. Dari sinilah bibit madzhab fiqih mulai ter-design.
Karena seorang hakim, mau tidak mau pasti berijtihad. 

Bagaimana tidak? toh setiap hari sayyidina Ibnu Mas’ud selalu dihadapkan kepada suatu masalah masyarakat. Apakah seorang hakim diam saja tanpa menggunakan akalnya untuk memberika solusi bagi konsekuennya?

Dari ijtihad-ijtihad sayyidina Ibnu Mas’ud ini menjadi patokan dasar fiqih madrasah al-Kufa, (yang nantinya akan menjadi madzhab hanafi) yang dikumpulkan dan diamalkan kembali oleh Alqamah bin Qais (62 H).

Dari Alqamah, kemudian warisan fiqih kufah itu diwariskan kepada muridnya, yaitu Ibrahim Al-Nakho’i (96 H), lalu turun lagi ke murid beliau, yaitu Hammad bin Abi Sulaiman (120 H), dan akhirnya sampai kepada Imam Abu Hanifah Al-Nukman bin Tsabit (150 H).

Umar dan Ibnu Umar = Bibit Fiqih Ahli Madinah

Begitu pun dengan apa yang dilakukan oleh sayyidina Umar bin Khathtab itu sendiri ketika menjawab khalifah sekaligus qadhi (hakim) di madinah. Tentu banyak masalah yang dihadapi, banyak pengaduan dan banyak problem keagamaa yang mesti dicari jalan keluarnya ketika itu.

Itu kenapa yang banyak kita dengar dari kalangan sahabat ialah sayyidina Umar yang paling banyak ijtihadnya. Ya tentu. Karena beliau adalah Hakim dan khalifah, terlebih lagi bahwa masa kepimpinannya jauh lebih lama dibanding khalifah yang lain.

Tentu banyak masalah yang dipecahkan oleh beliau dengan ijtihad-ijtihadnya. Tentu itu pada masalah yang memang tidak tersentuh secara langsung oleh al-Quran dan hadits. Karena tidak mungkin seorang khalifah berijtihad pada sesuatu yang sudah ada ketetapnnya dalam 2 teks suci itu.  

Nah, ijtihad-ijtihad Umar bin Khthtab inilah yang disebut dengan istilah maslahah [المصلحة] dalam ilmu ushul, yang menjadi patokan dan rujukan terbentuk madrasah fiqih Ahli Madinah (yang kemudian menjadi madzhab Al-Maliki). Dan kemudian juga diwarisi oleh anaknya sendiri, yaitu Abdullah bin Umar (74 H).

Setelah itulah muncul beberapa hali fiqih madinah yang hampir kesemuanya menjadi penesehat khalifah Umar bin Abdul Aziz (101 H). para ahli fiqih madinah ini, sering disebut oleh para sejarawan dengan sebutan 7 Ahli fiqih madinah. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya madzhab Imam Malik bin Anas, karena memang Imam Malik mewarisi ijtihad-ijtihad mereka.

Kenal dan Cinta

Intinya memang ketika mempelajari suatu pendapat madzhab, tidak cukup hanya melihat luarannya saja, tidak cukup hanya melihat fatwanya saja. Perlu didalami juga bagaimana proses terbentuknya madzhab itu sendiri, dan bagaimana metode yang dipakai dalam mengistinbath sebuah hukum. Sehingga kita tidak gampang mencela sebuah hasil ijtihad yang dilakukan oleh para imam itu.

Kita mempelajari ushul Al-Madzahib, dan bagaimana masa-masa ijtihad dari zaman sahabat, Tabi’in, sampai terbuntuknya madrasah Al-Kufah dan juga Madrasah Al-Hijaz, yang kemudian menelurkan banyak mujtahid serta para ahli fiqih serta madzhab-madzhab fiqih yang terbentuk.

Kalau kita mempelajari sejarahnya para Imam madzhab, kita akan tahu bagaimana mulianya mereka memperjuangkan syariah dan membumikan syariah di bumi Allah ini. dan kita juga tahu apa hikmah kenapa Allah memilih mereka untuk menjaga syariah-Nya. itu yang akhirnya membuat kita cinta mereka, yang dengan cinta ini akhirnya kita bisa menghargai ijtihad dan fatwa ulama itu sehingga tidak gampang mencela.
Tidak asal berbicara: “mereka juga manusia yang bisa salah!”

7 Ahli Fiqih Madinah

Sebagaimana disinggung sebelumnya, bahwa di madinah setelah wafatnya Ibnu Umar pada tahun 74 H, dan mulai putusnya masa sahabat setelah kematian beliau, muncul kemudian masa tabiin.
Dan di Madinah, ada beberapa ulama yang memang mewarisi fiqih ahli madinah dari Umar bin khaththab, sayyidah ‘Aisyah, Ibnu Abbas serta Ibnu Umar itu sendiri. 

Ulama menyebutnya dengan sebutan 7 Ahli Fiqih dari Madinah, dengan redaksi [فقهاء المدينة السبعة]. Dan mereka inilah yang disebut-sebut sebagai cikal bakal terbentuknya Madrasah Ahl Al-Hijaz yang kemudian menjadi madzhab Imam Malik bin Anas.  
Lalu siapakah 7 orang yang dikatakan sebagai 7 Ahli Fiqih dari Madinah itu?
Mereka adalah para Tabi’in yang hidup di madinah, dan menjadi patokan serta rujukan ilmu serta fatwa dalam masalah syariah setelah wafatnya para sahabat –Ridhwanullah ‘alaihim-, baik bagi para penduduk madinah atau juga selain madinah.

Dan mereka inilah yang menjadi penasehat (Mustasyar) bagi Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam hal syariah dan umat semasa kepemimpinannya akan khalifah ketika itu di madinah. Mereka adalah: 

[1] ‘Urwah bin Zubair bin Awwam
Seorang tabi’in yang terkenal sebagai salah satu punggawa ulama Madrasah Al-Hijaz. Beliau lahir tahun 22 Hijrah diakhir masa kepimpinan Umar bin Khaththab, dan wafat tahun 93 Hijrah di madinah.
Beliau adalah salah satu tabi’in ­yang mempelajari fiqih dari tangan sayyidah ‘Aisyah. Sempat pindah ke bashrah, lalu ke Mesir selama 7 tahun dan akhirnya kembali ke madinah dan wafat di sana.

[2] Sa’id bin Al-Musayyib
Lahir di tahun ke 13 Hijrah dari kalangan bani Makhzum, salah satu qabilah masyhur dari kalangan quraisy, dan wafat di madinah tahun ke 94 Hijrah.
Karena kecerdasan dan kezuhudannya, beliau dijuliki sebagai sayyid Al-Tabi’in (Penghulunya para Tabi’in). selain itu beliau juga dijuliuki sebagai rawiyah Umar [راوية عمر] (Perawinya sayyidina Umar), disebut demikian karena beliau adalah orang madinah yang paling hafal dengan ijtihad-ijtihadnya umar serta qadha’-qadha’-nya

Diriwayatkan bahwa belaiau hidup dengan berjualan minyak wangi di madinah, dan sama sekali tidak pernah mau menerima hadiah, pemberian Cuma-Cuma.

[3] Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Al-Shiddiq
Beliau juga salah satu tabi’in ­yang mempelajari fiqih dari tangan sayyidah ‘Aisyah, karena memang setelah ayahnya, Muhammad bin Abi Bakr meninggal dunia, Al-Qasim kemudian dirawat oleh bibinya, Sayyidah ‘Aisyah.

Lahir di Madinah tahun ke 37 hijrah dan wafat di qadid, salah satu tempat antara Madinah dan Mekkah ketika sedang berhaji pada tahun 107 Hijrah. Beberapa hari atau bulan sebelum meninggal dunia, beliau kehilangan penglihatannya.
Dan perlu diketahui, bahwa beliau lah kakek dari Imam Madzhab Fiqih Ja’fari dari kalangan Syiah, yaitu Imam Ja’far Al-Shadiq (80 – 148 H).

[4] Khorijah bin Zaid bin Tsabit Al-Anshari
Ulama berselisih tentang statusnya, apakah ia seorang tabi’in atau juga seorang sahabat, karena itu beberapa ulama menyebutkan bahwa ia seorang sahabat dan yang lain menyebutnya sebagai tabi’in.

Tapi beliau lebih dekat dengan status tabi’in, melihat tahun kelahiran beliau sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Zirikly dalam Al-I’lam. Beliau lahir di tahun ke 29 Hijrah, dari kalangan bani Khozraj dan wafat di madinah tahun ke 99 hijrah.  

Beliau lebih terkenal ketika itu dengan ijtihad dan fatwa beliau dalam masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi dan dibahas sebelumnya oleh yang lain. Selain itu, beliau juga sering menjadi rujukan penduduk madinah dalam masalah waris.

[5] ‘Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud
Mendapat julukan Mufti Al-Madinah (Muftinya negeri Madinah), dan juga disebut sebagai A’lam Al-Tabi’in [أعلام التابعين] (paling cerdasnya tabi’in). Ulama tidak mensepakati di tahun berapa beliau lahir, sempat pindah ke bashrah namun akhirnya kembali ke madinah dan beliau wafat di situ tahun ke 98 Hijrah.
Diantara banyaknya ulama madinah ketika itu, beliaulah yang menjadi pengajar langsung Umar bin Abdul Aziz dalam hal syariah dan sastra (adab), karena memang kegemerannya akan sastra.

[6]Abu Bakr bin Abdirrahman bin Al-Harits Al-Makhzumi
Salah satu petinggi tabi’in yang mnedapat julukan sebagai Rahib Quraisy, (Pendetanya kaum Quraisy) karena ke­-waro’an-nya yang sering sholat dan banyak puasa. Wafat di madinah tahun ke 94 Hijrah.

[7] Sulaiman bin Yasar
Lahir dari seorang ayah yang seorang Farsi (Persian) pada masa khilafah Utsman bin Affan, di tahun 34 Hijriyah. Dan wafat di madinah tahun ke 107 Hijrah.

Selain terkenal sebagai orang cerdas, beliau juga terkenal sebagai orang yang waro’, lagi rajin berpuasa sunnah. Karena kecerdasannya, Sa’id bin Al-Musayyib ketika dimintai fatwa oleh seseorang, beliau selalu mengatakan:
“datanglah kau ke Sulaiman bin Yasar, beliau orang yang paling cerdas yang tersisa pada zaman ini”.
Dalam kitabnya Al-Muqaddimah fi Ulum Al-Hadits (179), Imam Ibnu Sholah meriwayatkan adanya perbedaan ulama tentang ahli fiqih madinah ke-6 sebelum Sulaiman bin Yasar ini, antara 3 nama:
[-] Abu Bakr bin Abdirrahman
[-] Abu Salamah bin Abdirrahman bin ‘Auf (w. 104 H)
[-] Salim bin Abdillah bin Umar bin Khathtab (w. 106 H)

Ahmad Zarkasih, Lc
bersambung ke bagian 2 in_sya Allah




Bermazhab, untuk apa ?


Ketika kita membicarakan madzhab-madzhab fiqih, sejatinya kita tidak hanya membicarakan Imam Abu Hanifah sendiri, juga tidak Imam Mailk bin Anas sendirian sebagai “Founder” madzhab al-Malikiyah, tidak juga membicarakan Imam al-Syafi’i sendiri saja, dan bukan juga kita membicarakan fatwa-fatwa Imam Ahmad saja sebagai “ikon” madzhab al-Hanabilah. 

Akan tetapi, bukan beliau-beliau yang kita bicarakan, melainkan kita sedang membicarakan sebuah institusi besar yang diampuh oleh orang-orang dengan keilmuan luas yang mumpuni dalam bidang syariah dan hukum, serta tentara-tentara akademisi yang militant dalam melakukan penelitian hukum serta menggali illah dan hikam dari setiap hukum dan dalil yang ada, baik itu ayat atau juga hadits.

Mereka yang bekerja untuk istitusi madzhab bukan dalam waktu harian atau bulanan, akan tetapi mereka bekerja dalam waktu tahunan bahkan jauh lebih panjang dari sekdar tahunan. Bukan hanya itu, pekerjaan mereka pun bersambung, tidak hanya berhenti pada satu masa; apa yang dikerjakan di masa sebelumnya terus dikaji dan disempurnakna oleh para punggawa-punggawa madzhab di masa selanjutnya.

Mereka inilah yang kemudian mengkaji dan mendalami kaidah-kaidah ushul (induk) yang telah dirumuskan oleh Imam madzhab mereka, serta menjelaskan apa yang rancu dari kaidah tersebut, mengoreksi, emanmbahkan serta memperbaiki apa yan sekiranya punya kemungkinan salah aplikasi. Kemudian memberikan sample-sample furu’ (cabang) dalam kktab-kitab mereka, serta juga merumuskan kaidah ushul baru yang Imam mereka belum merumuskan itu berdasarkan apa yang sudah digariskan dalam madzhab sang Imam.

Sampai kita melihat bahwa apa yang dilakukan oleh sang Imam madzhab dan tentara ulama dalam setiap madzhab yang bekerja puluhan bahkan ratusan tahun tersebut tidak lagi meninggalkan masalah yang kosong jawaban kecuali sudah disiapkan oleh mereka kaidah ushul untuk dicocokan dengan masalah yang muncul.

Itu dia kenapa dalam satu madzhab kita menemukan adanya tingkatan-tingkatan ijtihad dan level ulama yang berbeda-beda dengan kelas mereka masing-masing. Karena memang semua bekerja dalam bidang dan keahlian masing-masing, guna saling melengkapi dan menyempurnakan sebuah “jalan” (madzhab) bagi para awam untuk bisa memahami syariah ini secara komprehensif. Di situlah fungsi madzhab.

Setiap madzhab punya level-level dan tingkatan mujtahid yang berbeda dengan madzhab lain, hanya saja secara global kita bisa mengklasifikasi dalam 2 level mujtahid; [1] Mujtahid Muthlaq, dan [2] mujtahid fi al-Madzhab. 

Dari ulama-ulama pada 2 level ini lah kemudian muncul banyak sekali istilah-istilah ushul dalam masing-masing madzhab, serta merumuskan beberapa kaidah ushul dan Fiqih­-nya. seperti kaidah ‘am wa al-khash, nash, Zahir, Majaz, Muta’awwil, Muhtamal, naskh mansukh.

Lebih rumit lagi istilah-istilah dalam istinbath hukum, seperti haml al-Muqayyad ‘ala al-Muthlaq, takhriij ushul ala al-furu’, takhrij Furu ala al-Ushul dan lain-lain yang mana para ulama madzhab tersebut bekerja dalam jangka abad (bukan tahunan) untuk sebuah “jalan” bersyariah.

Tingkatan-tingkatan Mujtahid dalam Madzhab

1. Mujtahid Muthlaq

[1.1] Mujathid Muthlaq Mustaqil

Beliau adalah 4 Imam yang masyhur; Imam Abu Hanifah al-Bu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau-beliau adalah orang pertama yang merumuskan dan menggariskan jalan madzhab serta memformulasikan kaidah-kaidah ushul (induk) untuk madzhab serta sedikit mambahas masalah Furu’-nya.

[1.2] Mujtahid Muthlaq Muntasib

Mereka yang ada dalam level ini sejatinya orang-orang dengan keilmuan yang sudah mencapai derajat Mujtahid muthlaq setara dengan Mujtahid Muthlaq Mustaqil. Hanya saja mereka tidak menciptakan kaidah baru yang independen, akan tetapi mereka tetap loyal kepada guru-guru mereka, yaitu para Imam yang empat.

Mereka berjalan sesuai dengan apa yang sudah digariskan oleh guru-guru mereka, dan pekerjaan yang paling sangat terlihat jelas hasilnya ialah mereka ini yang menjelaskan kaidah-kaidah yang sudah digariskan oleh guru mereka karena mereka adalah orang-orang terdekat sang Imam. Mereka yang menjadi penghubung antara kecerdasan sang Imam dan keawaman umat Islam terhadap syariah.

Kadang mereka juga berbeda dalam beberapa hal furu’iyyah dengan guru-guru mereka, akan tetapi tetapi ber-intisab kepada madzhab guru mereka. Imam Ya’qub Abu Yusuf dan juga Imam Muhammad al-Syaubani, contoh 2 mujtahid muntasib dari madzhab al-Hanafiyah. Imam Ibn al-Qasim serta Imam Sahnun dari madzahb al-Malikiyah. Imam al-Buwaithi dan juga Imam al-Muzani dari kalangan al-Syafi’iyyah.

2. Mujtahid fi al-Madzhab

[2.1] Mujtahid Mukharrij atau Ashhab al-Wujuh

Mereka adalah tingkatan ulama yang hidup setelah masa Mujtahid muntasib. Dalam sejarahnya, mereka inilah yang membuat madzhab menjadi jauh lebih berkembang dan lebih dinamis dibanding sebelumnya.

Mereka tidak membuat kaidah-kaidah baru dalam madzhab, akan tetapi mereka melengkapi apa yang terlewat dari ulama-ulama madzhab sebelumnya. Mereka menyimpulkan hukum beberapa –bahkan banyak- hukum masalah furu’iyyah yang tidak dijelaskan oleh sang Imam dan para murid serta sahabatnya, dengan menggunakan dasar serkat kaidah induk yang telah dirumuskan oleh ulama sebelumnya dalam mdazhab tersebut, sambil meneliti dan menyempurnakn redaksi-redaksi kaidah yang –sekiranya- tidak sempurna.

[2.2] Mujtahid Tarjih

Mereka hidup berbarengan atau setelah ulama mujtahid takhrij. Apa yang mereka lakukan tidak kalah penting dengan apa yang dilakukan oleh pendahulunya, walaupun memang tingkatan keilmuan yang mereka miliki tidak seluas apa yang dimiliki oleh ulama sebelumnya.

Bisa dikatakan mereka yang membuat madzhab lebih sistemik dan mudah untuk diklasifikasi. Mereka melakukan verifikasi dalam setiap hukum-hukum yang sudah disimpulkan oleh para pendahulunya, jika memang itu ada 2 atau 3 atau bahkan lebih dalam satu masalah yang sama. Dan adanya 2 sampai lebih pendapat dalam masalah yang sama di satu madzhab adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.

Dan dari perbedaan-perbedaan itu, mujtahid tarjih-lah yang kemudian mengklasifikasi mana yang sesuai dengan madzhab dan mana pendapat yang bukan resmi pendapat madzhab melainkan ijtihad personal salah satu ulamanya saja.

Mereka yang sering sekali menyebut dalam kitab-kitab mereka setelah membandingkan 2 atau lebih pendapat yang berseberangan dengan istilah; hadza aula (ini pendapat yang lebih utama), hadza ashahhu riwayatin (ini riwayat yang benar), hadza huwa al-madzhab (inilah pendapat madzhab), hadza huwa azhar ‘inda al-madzhab (ini yang lebih jelas dalam madzhab), hadza awfaq lil-Qiyas (ini pendapat yang lebih sesuai dengan qiyas).

Beberapa ulama memasukan tingkatan ulama ini ke tingkatan di atasnya, yakni tingkatan ujtahid Mukharrij, melihat pekerjaan yang dilakukan hampir sama, dan banyak ulama madzhab yang melakukan 2 pekerjaan ini. Akan tetapi, Imam Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul-Fiqh menjelaskan bahwa keduanya berbeda.

[2.3] Mujtahid fatwa

Mereka adalah ulama-ulama yang memang tidak sampai pada level mujtahid muthlaq, dan tidak juga setara dengan mujtahid mukharrij atau mujtahid tarjih dalam madzhab. Akan tetapi mereka adalah seorang faqih yang mumpuni, royal terhadap mafdzhab Imamnya, menghafal dalil dalam setiap masalah dari pendapat-pendapat madzhab tersebut.

Ima Ibn Shalah dalam kitabnya Adabul-Muftiy wa al-Mustaftiy, menyebutkan bahwa ulama level ini tidak sampai pada derajat Mujtahid tarjih atau juga mukhaarij karena punya cacat dalam kemampuan ushul-fiqh madzhabnya.

Untuk Apa Ini Semua?

Lalu menjadi pertanyaan kemudian, sebenarnya untuk apa itu semua? Kenapa harus ada banyak istilah rumit? Kenapa harus banyak orang terlibat?

Jawabannya ialah untuk mengurangi dan memperkecil kemungkinan salah dan keliru dalam memahami syariah serta menyimpulan sebuah hokum dari teks-teks syariah. Karena semakin banyak orang yang terlibat di dalamnya, semakin banyak sesuatu yang bisa dikoreksi. Dan itu terus berulang di setiap generasinya.

Apa yang sudah ada di masa ulama sebelumnya, deteliti oleh ulama sesudahnya, disempurnakan, dijelaskan apa yang masih rancu dan ditambahka apa yang mungkin harus ditambahkan. Semakin banyak orang yang bekerja untuk menyempurnakan itu, semakin sedikit kesalahan yang akan timbul.

Layaknya sebuah penemuan teknologi, yang dari tahun ketahun selalu diteliti dan diupgrade ke penemuan yang lebih muthakhir dan yang terpenting ialah mempermudah pengguna serta memberikan kenamanan, dan penting lagi yaitu memperkecil kemungkinan bahaya yang muncul yang bisa saja melukai pengguna.

Jadi ini bukan masalah mempersulit syariah, justru ini memudahkan kita untuk memahami syariah secara komprehensif, dengan melihat kenyataan bahwa banyak dalil baik dari ayat atau hadits yang nyatanya masing-masing bersinggungan dalam kandungan hukumnya.

Dan harus dicamkan baik-baik, bahwa memahami dalil-dalil yang ada itu tidak cukup untuk hanya diterjemahkan saja. Kalau seandainya syariah serta dalil-dalilnya bisa dipahami hanya dengan terjemahannya saja, lalu buat apa ulama sejak 14 abad tahun lalu repot-repot membuat kitab tafsir yang berpuluh jilid? Buat apa juga repot-repot menulis kitab syarah (penjelasan) hadits kalau hanya bisa dipahami dengan  terjemah?

Melihat kenyataan seperti itu, lalu apakah masih kita akan mengatakan “kita kembali ke al-Quran dan hadits langsung, tanpa harus bermadzhab karena mereka juga manusia yang bisa salah, dan perkataan mereka tidak bisa dijadikan dalil!” masih kah kita berkata demikian?

Kalau madzhab bisa salah, apakah kita terbebas dari kesalahan dalam memamahi syariah denga akal yang sempit ini?

Mana yang lebih mungkin salah, pekerjaan yang dikerjakan oleh satu kelompok besar yang bekerja saling melengkapi, atau mereka yang bekerja sendirian?

Mana yang lebih mungkin salah, para ulama madzhab yang hidupnya jauh lebih dekat ke masa Nabi atau kita yang sudah terpisah ribuan tahun dari zaman Nabi?

Wajib kembali ke al-quran dan sunnah, akan tetapi kita tidak mungkin bisa memahami al-quran dan sunnah tanpa peran sebuah madzhab fiqih!

Wallahu a’lam

Ahmad Zarkasih, Lc

AKhlaq dan Adab para Ulama dalam menyampaikan Pendapat/Ijtihad


Kalau membaca sejarahnya, setelah Nabi saw wafat, kita pasti akan mendapati para sahabat Nabi saw sangat menjaga sekali agar tidak ada yang namanya pemalsuan hadits. Dari itu setiap kali mereka mendengar ada orang yang mengaku mempunyai riwayat hadits dari Nabi saw, mereka tidak langsung mempercayainya. 

Kalau Nabi masih hidup, dengan mudah sekali para sahabat meminta kepastian dan meurujuk kepada Nabi saw tentang kabar yang mereka dengar. Tapi ketika Nabi saw sudah wafat, kepada siapa mereka meminta kepastian itu? 

Itu wajar saja, karena selepas kepergian Nabi saw, banyak pembenci Islam yang masuk Islam bukan untuk Islam, tapi untuk mencederai ajaran Islam itu sendiri. Dan salah satu jalan pencederaan syariah itu ialah melalui jalur pemalsuan hadits. Untuk itu mereka para sahabat sanbgat ketat sekali menerima hadits. 

Di samping itu juga mereka khawatir, kalau tidak teliti benar dalam menerima, mereka bisa salah menisbatkan kalimat tersebut kepada Nabi saw padahal sejatinya Nabi tidak mengucapkan itu, yang mana Nabi saw telah mengancam pelakunya dengan neraka.
وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“siapa yang berbohong atasku, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka” (Muttafaq ‘alayh)

Ini yang banyak direkam oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka ketika menceritakan kondisi setelah wafatnya Nabi saw dari sisi periwayatn hadits dan perkembangan tasyri’ Islam (pensyariatan hukum islam). Salah satu diantara mereka yang detail menceritakan itu ialah Sheikh Muhammad al-Khudhori Bik dalam kitabnya Tarikh Tasyri’ Al-Islami.

Birokrasi Penerimaan Hadits

Singkatnya, para sahabat tidak berani asal menerima perkataan orang yang mengaku bahwa ia mendengar hadits dari Nabi saw, kecuali setelah melalui beberapa birokrasi yang mereka terapkan.

Khalifah pertama contohnya, Sayyidina Abu Bakr yang mensyaratkan harus ada saksi. Jadi, jika ada yang datang lalu mengatakan “qola Rasulullah: ….” (Rasulullah saw bersabda: ….. ), tidak sampai selesai, sayyidina Abu Bakr telah memberhentikannya sambil menanyakan 2 pertanyaan ini:
“Man sami’a ma’aka hadza?” (siapa lagi selain kamu yang mendengar ini?)
“Man Syahida laka fi hadza?” (siapa yang jadi saksimu di hadits ini?)

Jadi untuk sayyidina Abu bakr, birokrasi utama dalam periwayatan hadits itu ketat, yaitu harus ada saksi atau ada orang lain yang sama-sama mendengar. Jadi kalau hanya satu orang yang berkata, itu hanya pengakuan dan belum bisa diterima. 

Itu yang dilakukan oleh sayyidina Abu Bakr, berbeda dengan apa yang dilakukan oleh sayyidina Ali bin Abi Thalib di Kufah. Beliau sadar jarak jauhnya dengan pusat wayhu (madinah), dan ketika itu tidak banyak jumlah sahabat yang imigrasi ke Kufah dari Madinah. Beliau tidak mensyaratkan saksi, karena itu cukup suli sekali, tapi beliau mensyaratkan adanya yamin atau sumpah.
Jadi, siapapun yang mengatakan “qola Rasulullah: ….” (Rasulullah saw bersabda: ….. ), ia tidak langsung diterima kecuali setelah ia bersumpah bahwa ia telah benar punya riwayat hadits itu. 

Sebenarnya ini juga yang menjadi poin atau sumbu perbedaan antara ijtihadnya ulama Madinah (basis madzhab Maliki) dan Ulama Iraq (basis madzhab Hanafi).

Bisa jadi hadits yang diterima di Madinah tapi tidak di Kufah, namun bisa juga sebaliknya, di Kufah diterima, namun di Madinah malah tidak.

Sayyidina Umar Menolak Hadits

Contoh yang masyhur ialah apa yang dilakukan oleh sayyidina Umar bin Khaththab yang mana beliau mengikuti jejak sayyidina Abu Bakr dalam penerimaan hadits. Ketika itu beliau mengatakan bahwa wanita yang ditalak tiga (bainunah kubra) itu masih tetap punya hak nafaqah dan tempat tingggal dari suaminya, dengan dalil ayat 1 surat Al-Talaq.

Dalam ayat disebutkan secara tegas bahwa seorang suami tidak boleh mengeluarkan istrinya kecuali jika si istri melakukan perzinahan. Artinya walaupun sudah di talak 3, wanita tetap diberikan tempat tinggal, dan pemberian tempat tinggal tidak mungkin kecuali didalamnya juga termasuk nafkah. Seperti wanita-wanita lain yang ditalak 1 atau 2 (talak raj’i).

Jadi, menurut sayyidina Umar, wanita yang ditalak 3 (talak bain) itu tetap punya hak tempat tinggal dan nafkah. Akan tetapi kemudian, fatwa sayyidina Umar ini ditentang oleh salah seorang wanita yang bernama Fatimah binti Qois.

Beliau menyanggah fatwa sayyidina Umar dan mengatakan bahwa wanita yang ditalak 3 itu tidak punya hak nafkah dan juga tempat tinggal, dengan dalil bahwa ia (Fatimah binti qois) itu pernah melapor ke Nabi bahwa suaminya menceraikannya 3 kali dan Nabi saw tidak memberikannya hak nafkah serta hak tempat tinggal. Dan hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. 27344).

Akan tetapi sayyidina Umar membantah kesaksian wanita tersebut sambil berkata: 

لَا نَدَعُ كِتَابَ رَبِّنَا، وَسُنَّةَ نَبِيِّنَا، بِقَوْلِ امْرَأَةٍ، لَا أَدْرِي أَصَدَقَتْ، أَمْ كَذَبَتْ
“kami tidak akan meninggalkan quran dan sunnah Nabi dengan (mengambil) perkataan seorang wanita yang kita tidak tahu, yang bisa saja ia ingat bisa juga ia lupa.” (Musnad Ishaq bin Rohawaih, no. 2366)

Perkataan sayyidina Umar ini menjadi salah satu bukti ketatnya birokrasi penerimaan hadits ketika itu, sebagaimana kekhawatiran mereka akan kesalahan menisbatkan sebuah perkataan atau hadits kepada Nabi saw yang bisa saja keliru. Ini banyak direkam oleh para ulama    sejarah dan ushul. (al-Fushul fi al-Ushul 3/103)

Penisbatan Ijtihad Fiqih

Dan kehati-hatian dan kekhawatiran para sahabat dalam penisbatan qaul atau perkataan kepada Nabi saw, yang akhirnya membuat mereka sangat ketat karena takut salah dan akhirnya jatuh kepada ancaman neraka dari nabi saw tersebut merambat kepada fatwa-fatwa dan ijtihad mereka dalam masalah hukum (fiqih).

Ya. Ketika mereka berijtihad dalam sebuah masalah yang memang tidak ada hadits atau ada hadits namun mereka tidak menerimanya, mereka berijtihad dan hasil ijtihadnya tersebut mereka katakan sebagai hasil ijtihadnya, dan itu pendapatnya.
Mereka sama sekali tidak mengatakan “ini adalah pendapat yang Allah dan Rasul-Nya inginkan!”. Tidak juga mereka katakan: “ini adalah pendapat yang benar menurut Allah dan rasul-Nya!”. Walaupun mereka orang-orang terdekat dengan Nabi saw, orang yang paling paham dengan al-Quran dan Sunnah, mereka tidak sampai hati menisbatkan hasil ijtihad mereka kepada Allah swt dan rasul-Nya.

Kenapa?
Khawatir kalau apa yang mereka ijtihadkan itu bukanlah sebuah kebenenaran yang Allah swt dan Rasul-Nya inginkan. Mereka hanya emnjalankan tugas ijtihad, tapi tidak bertugas untuk mengaku-ngaku bahwa ijtihadnya yang paling benar. Karena itu mereka tidak mengatakan: “ini pendapat yang sesuai Kitab dan Sunnah!”.

Tapi justru dengan tegas mereka, para sahabat mengatakan bahwa hasil ijtihadnya itu adalah pendapatnya sendiri. Kalimat yang masyhur seperti ini:
“ini adalah pendapatku, kalau ini benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku ini.”

Kehati-hatian mereka membuat mereka menjadi sangat tawadhu’ sekali. Perkataan sahabat yang seperti ini banyak ditulis oleh ulama dalam kitab-kitab mereka, termasuk sheikh al-Islam Ibnu Taimiyah (728 H), dalam banyak halaman di kitab beliau Majmu’ al-Fatawa, salah satunya di Bab 10, hal. 450: 

وقد قال أبو بكر وابن مسعود وغيرهما من الصحابة فيما يفتون فيه باجتهادهم: إن يكن صوابا فمن الله وإن يكن 
خطأ فهو مني ومن الشيطان والله ورسوله بريئان منه

“dan Abu Bakr serta Ibnu Mas’ud serta sahabat lainnya telah berkata dalam setiap fatwa yang merekaijtihadkan: ini adalah pendapatku, kalau ini benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku ini.”

Jadi, tidak gampang mengatakan: “ini yang benar sesuai quran dan sunnah!”. Sebagaimana juga para sahabat mengajarkan itu. 

Karena bisa saja ijtihadnya itu salah, akhirnya ia menisbatkan pendapat yang salah kepada Allah dan Nabi saw. Naudzubillah.

Ijtihad Ulama Madzhab

Dan cara hati-hati serta tawadhu’ inilah yang kemudian diteruskan budayanya oleh para ulama setelahnya, termasuk para imam madzhab dan ulama dalam setiap ijtihad yang mereka lakukan.

Kalau kita buka kitab-kitab madzhab, kita akan dapati bahwa ulama mereka tidak pernah mengatakan: “inilah pendapat yang benar/rojih menurut kitab dan sunnah.”. tidak seperti itu! Mereka justru menisbatkan fatwa mereka ke imam mereka sendiri atau ke madzhab mereka.

Dalam hal ini, para fuqaha’ punya kalimat masyhur sekali untuk menunjukkan penisbatan pendapat tersebut kepada madzhab mereka, yakni bahwa ini adalah fatwa kami atau hasil ijtihad kami. Salah satunya dan ini yang paling sering, yaitu kata ‘Indana [عندنا] (menurut kami). Mereka tidak mengatakan: ‘inda al-Quran wa sunnah [عند القران والسنة] (menurut Quran dan Sunnah).

Madzhab Hanafi
وَأَمَّا الصَّبِيُّ وَالْمَجْنُونُ إذَا قَتَلَ مُوَرِّثَهُ لَمْ يُحْرَمْ الْمِيرَاثَ عِنْدَنَا
“dan adapun jika orang gila atau anak kecil membunuh pewarisnya, ia tidak diharamkan mendapat warisan menurut kami”. (al-Mabsuth 30/48)

Madzhab Maliki
وَالْعِيدُ مَأْخُوذٌ مِنَ الْعَوْدِ لِتَكَرُّرِهِ فِي كُلِّ سَنَةٍ وَهُوَ عِنْدَنَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ
dan ‘Ied (sholat Ied) itu diambil dari kata al-‘aud (kembali) karena sering terulang/kembali setiap tahun, dan sholat ini menurut kami hukumnya sunnah muakkad” (al-Dzakhiroh 2/417)

Madzhab Al-Syafi’i
في نجاسة الآدمي بالموت: قد ذكرنا أن الأصح عندنا أنه لا ينجس
“dalam kenajisan manusia karena meninggal: sebagaimana yang telah kami sebutkan, bahwa yang benar menurut kami adalah ia tidak najis” (Al-Majmu’ 2/563)

Madzhab Al-Hanabilah
تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي مَالِ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ، بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا.
wajib (mengeluarkan) zakat dari harta anak kecil dan orang gila tanpa ada yang menyelisih, menurut kami”  (Al-Inshaf ¾)

Ya. Mereka mengikuti apa yang dilakukan oleh para sahabat dan guru-guru mereka dali ulama salaf yang memang seperti itu. Bukan karena mereka tidak berhukum dengan al-Quran dan Sunnah. Bukan! Justru mereka lah para ulama yang Allah berikan kefahaman komrehensif terhadap al-Quran dan Sunnah.

Mereka tentu sangat mengerti tentang itu semua. Mereka melakukan itu karena memang khawatir akhirnya mereka berbohong atas Quran dan sunnah. Karena itu lebih selamat (dan memang begitu seharusnya) mereka menisbatkan fatwa dan ijtihadnya kepada dirinya sendiri, sambil bersyukur kalau ijtihadnya benar, itu adalah dari Allah swt bukan dirinya sendiri.
jadi, itu dia kenapa para ulama menisbatkan ijtihad dan fatwa mereka kepada diri mereka sendiri, mereka mengatakan: "Ini pendapat yang benar menurut kami!". Dan sama sekali tidak mengatakan: "ini pendapat yang benar menurut al-Quran dan Sunnah!". khawatir itu penisbatan yang jadi dusta atas nama al-Quran dan Sunnah.
Wallahu a’lam. 

Ahmad Zarkasih, Lc