Asy-syaja’ah
(keberanian) adalah salah satu ciri yang dimiliki orang yang istiqamah
di jalan Allah, selain ciri-ciri berupa al-ithmi’nan (ketenangan) dan
at-tafaul (optimisme). Jadi orang yang istiqamah akan senantiasa berani,
tenang dan optimis karena yakin berada di jalan yang benar dan yakin
pula akan dekatnya pertolongan Allah.
Namun
memang tak mudah untuk menjadi orang yang istiqamah atau teguh
pendirian memegang nilai-nilai kebenaran dan senantiasa berada di jalan
Allah. Bahkan Rasulullah saw. mengatakan bahwa turunnya surat Hud membuat beliau beruban karena di dalamnya ada ayat (QS. Huud [11]: 112) yang memerintahkan untuk beristiqamah,
"Maka
tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu
dan (juga) orang yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."
Rasulullah
saw. Memahami benar makna istiqamah yang sesungguhnya sampai ketika Abu
Sufyan bertanya hal terpenting apa dalam Islam yang membuatnya tak
perlu bertanya lagi, beliau menjawab, "Berimanlah kepada Allah dan
kemudian beristiqamahlah (terhadap yang kau imani tersebut)".
Di
kesempatan lain, Rasulullah saw. juga mengatakan tantangan buat orang
yang istiqamah memegang Islam di akhir zaman, begitu berat laksana
menggenggam bara api. Keberanian untuk tetap istiqamah walau nyawa
taruhannya nampak pada diri orang-orang beriman di dalam surat
Al-Buruuj (QS. 85) yang dimasukkan ke dalam parit dan dibakar oleh
as-habul ukhdud hanya karena mereka menyatakan keimanannya kepada Allah
Taala.
Begitu
pula Asiah, istri Fir’aun dan Masyitah, pelayan Fir’aun, kedua-duanya
harus menebus keimanan mereka kepada Allah dengan nyawa mereka. Asiah di
tiang penyiksaannya dan Masyitah di kuali panas mendidih beserta
seluruh keluarganya karena mereka berdua tak sudi menuhankan Fir’aun.
Demikian sulitnya untuk mempertahankan keistiqamahan di jalan Allah, dan
demikian sulit pula untuk mewujudkan asy-syaja’ah sebagai salah satu
aspeknya.
Secara
manusiawi seseorang memang memiliki sifat khauf (takut) sebagai lawan
sifat asy-syaja’ah. Namun sifat khauf thabi’i (alamiah) yang diadakan
Allah di dalam diri manusia sebagai mekanisme pertahanan diri seperti
takut terbakar, tenggelam, terjatuh dimangsa binatang buas, harus berada
di bawah khauf syar’I yakni takut kepada Allah Ta’ala. Hal tersebut
secara indah dan heroik terlihat gamblang pada kisah Nabi Musa a.s,
Ibrahim a.s dan Muhammad saw.
Rasa
takut pada kemungkinan tenggelam ke Laut Merah teratasi oleh
ketenangan, optimisme dan keberanian Nabi Musa a.s yang senantiasa yakin
Allah bersamanya dan akan menunjukinya jalan. Dan benar saja Allah
memberinya jalan keluar berupa mukjizat berupa terbelahnya Laut Merah
dengan pukulan tongkatnya sehingga bisa dilalui oleh Nabi Musa dan
pengikutnya. Kemudian laut itu menyatu kembali dan menenggelam kan Fir’aun beserta tentaranya.
Kisah
yang tak kalah mencengangkannya terlihat pada peristiwa pembakaran Nabi
Ibrahim a.s. Rasa takut thabi’i terhadap api dan terbakar olehnya
teratasi oleh rasa takut syar’I yakni takut kepada Allah saja. Dan
subhanallah, pertolongan Allah datang dengan perintah Nya kepada api
agar menjadi dingin dan sejuk serta menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s.
Keberanian,
ketawakalan dan kepasrahan pada Allah yang membuahkan pertolongan-Nya
juga terlihat pada saat Rasulullah Muhammad SAW bersama sahabat setianya
Abu Bakar Ash-Shidiq berada di gua Tsur untuk bersembunyi dalam rangka
strategi hijrah ke Yatsrib (Madinah).
Kaki-kaki
musuh yang lalu lalang tidak menggetarkan Rasulullah dan ketika Abu
Bakar begitu mengkhawatirkan keselamatan Rasulullah SAW, beliau
menenangkannya dengan berkata, "Jangan takut, sesungguhnya Allah bersama
kita" (QS 9: 40). Dan ternyata terbukti Allah Ta’ala memberikan
pertolongan melalui makhluk-makhluk-Nya yang lain. Burung merpati yang
secara kilat membuat sarang, begitu pula laba-laba di mulut gua, membuat
musyrikin Quraisy yang mengejar yakin gua itu tak mungkin dilalui oleh
manusia.
Realita Dewasa Ini
Dunia
dewasa ini dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki sifat pengecut.
Sebuah hadits Nabi saw. memprediksikan di suatu masa umat Islam akan
menjadi bulan-bulanan dan santapan empuk musuh-musuh Islam karena sudah
mengidap penyakit wahn, yakni cinta dunia dan takut mati. Ya, penyakit
wahn-lah yang menyebabkan di antara umat Islam pun banyak yang menjadi
pengecut sehingga tidak lagi disegani oleh musuh-musuhnya yakni kaum kufar dan musyrikin.
Dahulu yang membuat gentar musuh-musuh Islam adalah keberanian tentara-tentara pejuang-pejuang Islam yang menghambur ke medan
perang dengan suka cita karena pilihannya sama-sama baik yakni hidup
mulia dengan meraih kemenangan atau mati syahid di jalan Allah.
Sementara
kini umat Islam terpenjara oleh dunia, begitu cinta dan tertambat pada
kenikmatan dunia sehingga begitu takut akan kematian yang dianggap
sebagai pemutus kelezatan dan kenikmatan dunia. Begitu banyak orang yang
tidak memiliki daya tahan tinggi terhadap segala tantangan dan
kesulitan sehingga mudah surut, menyerah atau berputus-asa.
Padahal
dalam kehidupan yang semakin berat dan sulit dewasa ini begitu banyak
tantangan dan marabahaya yang harus disikapi dan dihadapi dengan berani,
karena bersikap pengecut dan melarikan diri dari persoalan hidup yang
berat tidak akan pernah menyelesaikan masalah.
Kemudian
banyak pula orang yang tidak berani bersikap jujur atau berterus terang
terhadap diri sendiri termasuk menyadari kekurangan, kelemahan dan
keterbatasan diri. Dan sebaliknya berani mengakui kelebihan, kekuatan
dan kemampuan orang lain.
Seorang
pengecut biasanya juga tak akan mau mengakui kesalahan. Bersikap keras
kepala, mau menang sendiri dan menganggap diri tak pernah berbuat salah
sebenarnya justru akan menguatkan kepengecutan seseorang yang berlindung
dibalik semua sikap tersebut.
Sikap
pengecut lainnya adalah tidak mampu bersikap obyektif terhadap diri
sendiri yakni berani menerima kenyataan bahwa ada posisi negatif dan
positif dalam dirinya.
Dan akhirnya sifat kepengecutan yang jelas adalah ketidakmampuan menahan nafsunya di saat marah.
Salah
satu ciri orang bertakwa adalah mampu menahan amarah dan
memaafkan kesalahan orang lain (QS. 3:134). Yang disebut orang kuat
adalah orang yang mau menahan dan meredam amarahnya serta tetap bisa
mengendalikan dirinya di saat marah sekalipun.
Jika
seseorang bertindak brutal dan mengeluarkan caci maki serta kata-kata
kotor, ia justru masuk kategori orang yang pengecut karena tak mampu
mengendalikan diri dan menahan marah.
Macam-macam Syaja’ah
Syaja’ah atau pemberani/kesatria tentu saja berbeda dengan bersikap
nekat, "ngawur" atau tanpa perhitungan dan pertimbangan. Asy-syaja’ah
adalah keberanian yang didasari pertimbangan matang dan penuh
perhitungan karena ingin meraih ridha Allah. Dan untuk meraih ridha
Allah, tentu saja diperlukan ketekunan kecermatan dan kerapian kerja
(itqan). Buka keberanian yang tanpa perhitungan, namun juga bukan
terlalu perhitungan dan pertimbangan yang melahirkan ketakutan.
Paling tidak ada beberapa macam bentuk asy-syaja’ah (keberanian), yakni:
1. Memiliki daya tahan besar
Seseorang
dapat dikatakan memiliki sifat berani jika ia memiliki daya tahan yang
besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja bahaya
dan penyiksaan
karena ia berada di jalan Allah. Berterus terang dalam kebenaran "Qulil
haq walau kaana muuran" (katakan yang benar meskipun itu pahit) dan
berkata benar di hadapan penguasa yang zhalim adalah juga salah satu
bentuk jihad bil lisan. Jelas saja dibutuhkan keberanian menanggung
segala resiko bila kita senantiasa berterus terang dalam kebenaran.
2. Kemampuan menyimpan rahasia
Orang
yang berani adalah orang yang bekerja dengan baik, cermat dan penuh
perhitungan terutama dalam persiapan jihad menghadapi musuh-musuh Islam.
Kemampuan merencanakan dan mengatur strategi termasuk di dalamnya mampu
menyimpan rahasia adalah merupakan bentuk keberanian yang bertanggung
jawab.
3. Mengakui kesalahan
Salah
satu orang yang memiliki sifat pengecut adalah tidak mau mengakui
kesalahan, mencari kambing hitam dan bersikap "lempar batu, sembunyi
tangan" Sebaliknya orang yang memiliki sifat syaja’ah berani mengakui
kesalahan, mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan dan
bertanggung jawab.
4. Bersikap obyektif terhadap diri sendiri
Ada
orang yang cenderung bersikap over estimasi terhadap dirinya,
menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni dan tidak memiliki kelemahan
serta kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap under estimasi terhadap
dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak mampu berbuat apa-apa dan
tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas tidak
proporsional dan tidak obyektif. Orang yang berani akan bersikap
obyektif, dalam mengenali dirinya yang memiliki sisi baik dan buruk.
5. Menahan nafsu di saat marah
Seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu ber–mujahadah li nafsi,
melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri
dan menahan tangannya padahal ia punya kemampuan dan peluang untuk
melampiaskan amarahnya.
Contoh Figur Sahabat dan Sahabiyah yang Memiliki Sifat Syaja’ah
Berani
karena benar dan rela mati demi kebenaran. Slogan tersebut pantas
dilekatkan pada diri sahabat-sahabat dan sahabiyah-sahabiyah Rasulullah
saw. karena keagungan kisah-kisah perjuangan mereka.
Rasulullah
Muhammad saw. sendiri menjadi teladan utama saat beliau tak bergeming
sedikit pun ketika disuruh menghentikan dakwahnya. Beliau pun berucap
dengan kata-katanya yang masyhur, "Walaupun matahari diletakkan di
tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan pernah
menghentikan dakwahku ini".
Keberanian
dan keteguhan sikap nampak pula pada diri sepupu dan menantu Nabi saw.,
Ali bin Abu Thalib r.a. Ali mengambil peran yang sangat beresiko,
menggantikan Rasulullah di tempat tidur untuk mengelabui musuh-musuh
yang mengepung. Dan benar saja ketika tahu mereka dikelabui, mereka pun
marah serta memukuli Ali hingga babak belur.
Khalifah
kedua yakni Umar bin Khathab juga sangat terkenal dengan ketegasan
sikap dan keberaniannya. Ketika mau hijrah berbeda dengan
sahabat-sahabat lain yang sembunyi-sembunyi, Umar malah berteriak
lantang, "Umar mau hijrah, barang siapa yang ingin anak istrinya menjadi
yatim dan janda, hadanglah Umar".
Keberanian
mempertahankan aqidah hingga mati nampak pada Sumayyah, ibunda Ammar
bin Yasir. Beliau menjadi syahidah pertama dalam Islam yang menumbuh
suburkan perjuangan dengan darahnya yang mulia.
Begitu
pula Khubaib bin Adiy yang syahid di tiang salib penyiksaan dan Habib
bin Zaid yang syahid karena tubuhnya dipotong-potong satu demi satu
selagi ia masih hidup. Mereka berani bertaruh nyawa demi mempertahankan
akidah dan itu terbukti dengan syahidnya mereka berdua.
Bilal
dan Khabab bin Al-Irts, yang mantan budak disiksa dengan ditimpa batu
besar (Bilal) dan disetrika punggungnya (Khabab) adalah bukti bahwa
keberanian tidak mengenal lapisan dan strata sosial.
Ada
pula anak bangsawan seperti Mush’ab bin Umair dan Sa’ad bin Abi Waqqash
yang diusir dan tidak diakui lagi sebagai anak oleh orangtua mereka
karena masuk Islam. Dan akhirnya wanita-wanita perkasa dan pemberani
seperti Shafiyah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah saw., Nusaibah
binti Ka’ab, perisai Rasulullah saw. dan Fatimah, putri Rasulullah saw.
yang menjadi bukti wanita tak kalah berani dibandingkan laki-laki dalam
mempertahankan kebenaran.
Kiat-kiat Memiliki Sifat Syaja’ah
Dengan segala kesederhanaannya, prajurit muslim Rubyi menemui Panglima besar Persia, Rustum. Pedangnya yang menyembul di pinggangnya menyaruk-nyaruk bentangan karpet mewah Persia yang digelar. Seolah-olah ingin berkata, "Aku tak butuh dan tak silau oleh semua kemewahan ini".
Rubyi
bahkan berorasi dengan lantangnya, "Kami datang untuk membebaskan
kalian dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Kami datang
untuk membebas kan kalian dari kesempitan dunia menuju keluasan dunia dan akhirat".
Keberanian,
yang ditunjukkan Rubyi adalah buah dari keimanan dan ketakwaannya.
Karena ia meyakini hanya Allahlah Yang Maha Besar dan patut ditakuti,
dan manusia sehebat dan sekaya apapun kecil dibandingkan Allah Yang
Agung.
Jadi
kiat utama untuk memiliki sifat syaja’ah adalah adanya daya dukung
ruhiyah berupa keimanan dan ketakwaan yang mantap. Iman dan takwa ini
akan membuat seseorang tidak takut pada apapun dan siapa pun selain
Allah.
Kemudian bermujahadah melawan segala rasa takut, cemas dan khawatir yang secara manusiawi ada pada setiap manusia.
Berikutnya
bisa pula dengan cara yang dicontohkan oleh Rasulullah saat menasihati
Khabbab bin Harits yang berkeluh kesah atas beratnya penderitaan yang
dialaminya, beliau mengingatkan Khabbab akan perjuangan para Nabi dan
orang-orang shaleh terdahulu yang jauh lebih berat tapi mereka tetap
berani dan tabah. Jadi kita bisa memupuk keberanian dan kesabaran dengan
berkata, "Ah... cobaan ini belum seberapa dibanding yang pernah dialami
orang-orang shaleh terdahulu".
Dan akhirnya kejelasan misi dan visi perjuangan serta senantiasa
mengingat-ingat imbalan optimal berupa ampunan dan surga-Nya kiranya
akan memperbesar keberanian dan semangat juang, insya Allah. Wallahu
a’lam.