Jumat, 25 Oktober 2013

STOP Sekarang JUGA !!!

Dalam sebuah obrolan...

"iya tuh....suamiku juga kalo tidur bisa menghasilkan suara yg dolby stereo...
sampe2 aku mesti pindah tempat tidur kalo mau tidur nyenyak...."

"istriku ga bisa liat buku resep masakan.... tiap ada yg baru selalu dibeli...padahal itu buku numpuk aja di lemari.... kagak pernah dicoba..."

"iya tuh.... cuek banget...padahal aku ini kan istrinya...mosok gandengan aja ga mau...apa dia malu ya memiliki istri macam aku ini...."

"masku memang emosional....gampang marah...."

"boro-boro ngobrol.... wong kalo dah sampe rumah ia asik dg gajetnya.... lupa bahwa ada anak2 dan istri yg juga butuh perhatian..."

"giliran cerita sama temennya...lancar banget kata2nya keluar....tapi giliran aku minta cerita, dia selalu bilang ga ada yg bisa dieritain..."

de_el_el

---

seringkali kita mendengar obrolan2 seperti diatas...
bahkan mungkin kita malah menjadi pelakunya...
kita anggap hal itu biasa...
sudah lazim di kehidupan masy kita, menceritakan hal2 seperti itu...
tak jarang malah ditambahin ketawa-ketiwi ketika menceritakan pasangan kita....

Kadang-kadang, menceritakan kelemahan pasangan ini terjadi secara tidak sadar. Karena bermula dari mengobrol dengan teman kerja, atau mengobrol dan curhat dengan teman, termasuk via socmed yg lagi marak (wasap, BBM, dll)....akhirnya berujung membuka rahasia pasangan secara vulgar dan detail.

Ketika curhat, semua kelemahan dan kesalahan pasangan diungkapkan secara gamblang dan vulgar.
Setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan kelemahan. Tidak ada manusia yang sempurna, tanpa kekurangan dan kesalahan. Dalam setiap konflik suami dan isteri, selalu ada saham masalah dari kedua belah pihak. Besar kecilnya saham bisa berbeda, namun saham selalu berasal dari kedua belah pihak.

Justru karena menyadari bahwa suami dan isteri memiliki kekurangan dan kesalahan itulah, sudah selayaknya suami tidak boleh menceritakan kelemahan isterinya kepada orang lain, sebagaimana isteri tidak boleh menceritakan kelemahan suaminya kepada orang lain. Perbuatan itu, satu sisi masuk kategori menggunjing yang tercela, sisi lain akan menyebabkan tersebarnya aib atau kelemahan pasangan kepada orang-orang yang tidak berhak mendengar, dan tidak punya kompetensi untuk menyelesaikan masalah.
Rahasia pasangan harus selalu dijaga dengan baik, jangan sampai dijadikan komoditas untuk diumbar dan dibuka kepada orang lain. Perbuatan menceritakan kelemahan dan kekurangan pasangan itu tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan bisa menimbulkan permasalahan baru yang lebih kompleks. Apalagi ketika menggunjing pasangan ini menjadi semacam kesenangan atau kegemaran yang dilakukan di sembarang tempat. Dijadikan bahan candaan.... Ini akan membuat semakin rumitnya persoalan.
parahnya lagi....terkadang sampe urusan kasur pun diceritain ke forum....

".... diantara kebiasaan buruknya, kalau habis main di ranjang, dia langsung ngorok tidur. Aku kan maunya diajak ngobrol dulu..." 

apa sih pentingnya menceritakan hal2 tersebut ?
gara2 hobby curhat gituan, yg terjadi adalah kelemahan dan kekurangan pasangan akhirnya tersebar kemana-mana.
sang istri yang harusnya menjaga nama baik suami, menjaga wibawa suami, namun ternyata justru menceritakan semua aib suaminya kepada orang banyak, tanpa sadar hingga banyak orang tahu persoalan keluarga mereka.
demikian juga sebaliknya....
Jika masih ada yang seneng menceritakan kelemahan dan kekurangan pasangan, mari segera berhenti...
STOP...Sekarang JUGA !!!

Segera lakukan Introspeksi diri, istighfar dan taubat, dan yang lebih penting, jangan ulangi lagi.
Selesaikan semua masalah secara privat, antara suami dan isteri sendiri. Jika tidak mampu, mintalah bantuan kepada pihak yang dipercaya, misalnya konselor, ustadz, dll
Jangan umbar aib pasangan kepada orang lain....

sekian....






Rabu, 23 Oktober 2013

Jangan merasa lemah dan menyerah

" Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman."
(Ali 'Imraan : 139)..

Sungguh malu, saat kita menghadapi kesulitan, kita bersedih dan langsung bersikap lemah. Kita hanya diam, menyerah, dan berbicara mengeluarkan berbagai alasan-alasan mengapa kita menyerah. Kita menyalahkan orang lain, lingkungan, atau kondisi di sekitar kita. 
Alasan-alasan ini hanyalah bukti kelemahan kita, bukti bahwa kita tidak kuat menghadapi berbagai masalah yang muncul..

Padahal Allah melarang kita bersikap lemah dan bersedih. Kita harus tetap tegar sekokoh batu karang dan tidak bersedih atas segala kesulitan dan beban yang menghimpit. Hapuslah air mata, bangunlah dari tidurmu, bangkitlah, karena kita sesungguhnya kuat untuk menghadapi berbagai cobaan yang menerpa kita..

Semua kesulitan itu ujian dari Allah. Selanjutnya, apakah kita mau bersabar atau menyerah?
Jika kita bersabar dan ikhlas, Insya'Allah semuanya tidak akan sia-sia.
Sebaliknya jika kita menyerah atau berputus asa, kita akan berdosa..

" Barangsiapa diuji lalu bersabar, diberi lalu bersyukur, didzalimin lalu memaafkan dan mendzalimi lalu istighfar maka bagi mereka keselamat dan mereka tergolong orang-orang yang memperoleh hidayah."
(HR. Al-Baihaqi)..

Ya Allah..
Semoga kita termasuk orang-orang yang sabar, tabah dan tawakkal dalam menghadapi masalah,jangan mudah menyerah, bersedih dan putus asa ketika kita menghadapi masalah..!!

ISTIQAMAH




إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا 
وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُون

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih, dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.
” (QS. Fusshilat: 30)



Terkait ayat tersebut, Imam Nawawi menjelaskan bahwa makna bunyi ayat “Inna al-ladziina qaaluu rabbunal-Lah tsummas-Taqaamuu, Tatanazzalu `alaihimul-Malaaikah,” adalah Allah akan menurunkan para malaikat-Nya guna membawa pesan/kabar gembira kepada orang-orang yang istiqamah.

Apa pesan tersebut? Kata Imam Nawawi, pesan itu adalah kelanjutan dari ayat di atas. Yaitu firman Allah Subhanahu Wata’ala, “La Takhaafuu wa Laa Tahzanuu Wa Absyiruu bil-Jannatil-Lati kuntum Tuu`aduun,” (Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih, dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu).


Dalam tafsir, lanjut Imam Nawawi, ketika orang-orang yang istiqamah itu diberi kabar gembira dengan melenggang ke surga, mereka bertanya, “Lalu, bagaimana dengan keadaan anak-anak kami? Apa yang akan mereka makan sepeninggal kami?”

Allah menjawab pertanyaan mereka dengan berfirman,

نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ

“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat.” (QS. Fusshilat : 31)
Buah Istiqomah

Lewat penjelasan di atas, kita bisa mengambil pesan penting mengenai buah dari sikap istiqamah;

Pertama, orang yang istiqamah akan mendapatkan kedudukan mulia di sisi Allah, ditandai dengan turunnya malaikat untuk membawa kabar gembira.


Kedua, orang-orang yang istiqamah akan mendapat garansi kehidupan yang nyaman dan damai, jauh dari duka lara, dan tegar dalam mengarungi bahtera kehidupan dunia yang hanya sementara ini.


Ketiga, orang yang istiqamah akan mendapatkan kesempatan mulus masuk ke dalam surga Allah.


Keempat, manfaat lainnya dari orang yang beristiqamah ialah jaminan kebahagiaan yang tidak saja berlaku kepada pelaku istiqamah bahkan keturunanya mendapatkan hal yang serupa berkat keistiqamahan orangtuanya.


Kesimpulannya, istiqamah tidak saja berlaku pada tataran ubudiyah semata. Istiqamah berlaku dalam konteks akidah, syariah, akhlak, ilmu, dan perjuangan di jalan Allah.


Oleh karena itu, kita harus bersikap istiqamah dalam iman dan keyakinan, istiqamah dalam syariah dengan selalu mendukung tegak hidupnya syariat di tengah-tengah umat dengan diawali dari keluarga kita sendiri, istiqamah dalam akhlak dengan menjadikan akhlak sebagai salah satu ujung tombak menyampaikan dakwah, istiqamah di ranah ilmu dengan mengkaji ilmu Allah yang terbentang luas, dan istiqamah dalam membela tiap inci ajaran Allah, bangga dengan agama Islam, serta benci kepada setiap kekufuran.


Cara istiqamah seperti di atas adalah dengan membangun kesadaran dari tiap pribadi yang didahului niat dan kemauan kuat untuk istiqamah. Setelahnya, diadakan pembinaan secara intensif, dan saling mendukung di antara sesama umat Islam.


Hendaknya kita tidak lupa pula untuk selalu berdoa kepada Allah agar berkenan memberikan sikap istiqamah dengan doa yang dipanjatkan oleh Imam Hasan Al-Bashri, dimana jika beliau selesai membaca surat Fusshilat ayat 30 tersebut, beliau berdoa, “Allaahumma Anta Rabbunaa, FarzuqnaaL-Istiqaamah" (Ya Allah, Engkau adalah Tuhan kami maka anugerahilah kami sikap (istiqamah).




Jangan Sampe ALLAH menyatakan perang kepada kita

seringkali kita ----baik sengaja maupun tanpa sengaja---- menghina, membenci bahkan memusuhi orang-orang shaleh hanya karena 'ga sesuai' atau ga cocok dengan hati kita...

sering kita mendengar dan membaca ada orang-orang  yang sampe mencaci maki
para ulama-ulama  yg shaleh....
seolah-olah  ia lebih sholeh dan lebih alim ketimbang ulama yg dicacinya...
bahkan sampe menghibahnya di hadapan banyak orang....


Padahal.....Rasulullah saw telah berpesan kepada kita  melalui hadits berikut :

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman : “Siapa saja yang
memusuhi kekasih-Ku maka Aku nyatakan perang
terhadapnya. Sesuatu yang paling Aku sukai yang dikerjakan
oleh hamba-Ku untuk mendekatkan diri adalah ia
mengerjakan apa yang Aku wajibkan kepadanya, dan tidak
henti-hentinya mendekatkan diri dengan amalan-amalan
sunnah, sehingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya,
maka Aku merupakan pendengaran yang ia gunakan, Aku
merupakan penglihatan yang ia gunakan, Aku merupakan
tangan yang ia gunakan untuk menyerang dan Aku
merupakan kaki yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia
memohon kepada-Ku niscaya Aku mengabulkannya dan jika
ia memohon perlindungan kepada-Ku niscaya Aku
melindunginya .”
(HR.Bukhari)

Semoga hadits tersebut akan selalu menjadi pengingat kita semua...

Jumat, 18 Oktober 2013

yang kupahami tentang Ukhuwah

Jika Kesusahan adalah Hujan        
dan Kebahagiaan adalah Mentari        
Kita tetap membutuhkan keduanya        
Untuk melihat indahnya Pelangi        
Begitulah aku mengibaratkan UKHUWAH ini      
Senantiasa saling melengkapi satu dengan lainnya       
Dan tak ku nafikan jika ada kekurangan yg terjadi di dalamnya
Karena itulah ruang PEMAKLUMAN ini begitu terbuka luas untuknya        
Dan aku senantiasa belajar untuk dapat MEMAHAMI nya        
semoga begitu juga denganmu ...

Rabu, 16 Oktober 2013

Ketika Imam Syafi'i Menangis Ditanya Zina

Suatu saat Asy Syafi’i ditanya
mengapa hukuman bagi pezina sedemikian beratnya?

wajah asy Syafi’ memerah, pipinya rona delima
“karena”, jawabnya dengan mata menyala
“zina adalah dosa yang bala’ akibatnya mengenai semesta
keluarganya, tetangganya, keturunannya
hingga tikus di rumahnya dan semut di liangnya”


***
ia ditanya lagi
dan mengapa tentang pelaksanaan hukuman itu?

Allah berkata,
“Dan janganlah rasa ibamu pada mereka menghalangimu untuk menegakkan agama!”

***
asy Syafi’i terdiam
ia menunduk, ia menangis
setelah sesak sesaat, ia berkata

“karena zina seringkali datang dari cinta
dan cinta selalu membuat kita iba
dan syaithan datang untuk membuat kita lebih mengasihi manusia
daripada mencintaiNya”

***
ia ditanya lagi
dan mengapa, Allah berfirman pula
“Dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”

bukankah untuk pembunuh, si murtad, pencuri
Allah tak pernah mensyaratkan menjadikannya tontonan?

***
janggut Asy Syafi’i telah basah
bahunya terguncang-guncang

“agar menjadi pelajaran”
ia terisak

“agar menjadi pelajaran”
ia tersedu

“agar menjadi pelajaran”
ia tergugu

***
lalu ia bangkit dari duduknya
matanya kembali menyala

“karena ketahuilah oleh kalian..
sesungguhnya zina adalah hutang
hutang, sungguh hutang..
dan.. salah seorang dalam nasab pelakunya
pasti harus membayarnya!”

***
kutulis dengan menangis, semoga menjadi pengingat yang terwaris


sumber : milis...

Ketika berbeda Pendapat dengan Qiyadah Dakwah

Hari itu Madinah sedang genting. Sangat genting. Dari depan, 10 ribu pasukan Ahzab menunggu kesempatan untuk menyerang. Langkah mereka memang terhenti oleh parit yang menutup akses masuk Madinah, tetapi bukan berarti mereka diam. Sesekali pasukan berkuda mencoba menerobos. Sesekali pasukan lain melepaskan anak panah.

Dari belakang, Bani Quraizhah mengkhianati perjanjian. Melalui Huyai bin Akhtab, mereka membuat kesepakatan dengan pasukan Ahzab untuk menyerang Madinah dari belakang.


Melihat situasi itu, Rasulullah berinisiatif mengadakan perjanjian dengan pemimpin Ghathafan. Rasulullah menghendaki Ghathafan menarik pasukannya dari Madinah. Sebagai balasannya, Madinah memberikan sepertiga hasil kurmanya kepada Ghathafan. Rasulullah berharap, jika 6.000 pasukan Ghathafan pergi, lebih mudah bagi pasukan Madinah yang jumlahnya hanya 3.000 orang untuk menghantam pasukan Quraisy yang jumlahnya 4.000 orang.


“Wahai Rasulullah,” kata Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah, “Jika Allah memerintahkan engkau untuk mengambil keputusan seperti ini, maka kami akan tunduk dan patuh. Tetapi jika ini merupakan keputusan yang hendak engkau ambil bagi kami, maka kami tidak membutuhkannya. Dulu kami dan mereka adalah orang-orang yang sama-sama menyekutukan Allah dan menyembah berhala. Dulu mereka tidak berhasrat memakan sebuah kurma pun dari Madinah kecuali melalui jual beli atau bila sedang dijamu. Setelah Allah memuliakan kami dengan Islam, memberi petunjuk Islam dan menjadi jaya bersamamu, mengapa kami harus memberikan harta kami kepada mereka? Demi Allah, kami tidak akan memberikan kepada mereka kecuali pedang.”


Mendengar pendapat dua pemimpin Anshar ini, Rasulullah pun mengurungkan rencana perjanjiannya.


Demikianlah interaksi sahabat dengan Rasulullah. Saat para sahabat berbeda pendapat, mereka menyampaikannya kepada Rasulullah dengan cara yang baik. Terlebih dulu mereka ingin memastikan apakah pendapat Rasulullah itu berdasarkan wahyu ataukah pendapat pribadi. Sebab jika itu adalah wahyu, mereka sadar keniscayaan dan kebenarannya. Sikap mereka hanya satu;
sami’na wa atha’na. Tetapi jika itu adalah pendapat Nabi yang tidak lain hanya strategi, maka mereka mengajukan alternatif solusi. Dan bukan kali ini saja para sahabat berbeda pendapat dengan Rasulullah kemudian Rasulullah menerima pendapat mereka.

Dua tahun sebelumnya, saat terdengar pasukan Quraisy hendak menyerbu Madinah, Rasulullah menggelar musyawarah. Rasulullah yang sebelumnya telah bermimpi mengenai perang itu, mengusulkan agar umat Islam bertahan di dalam kota Madinah. Namun, para sahabat –terutama yang belum ikut perang Badar- menginginkan agar umat Islam keluar untuk menyambut mereka di luar Madinah.


“Wahai Rasulullah, sejak dulu kami sudah mengharapkan hari seperti ini dan kami selalu berdoa kepada Allah. Dia sudah menuntun kami dan tempat yang dituju sudah dekat. Keluarlah untuk menghadapi musuh-musuh kita, agar mereka tidak menganggap kita takut kepada mereka.”


Rasulullah pun kemudian mengabaikan pendapatnya dan mengikuti pendapat mayoritas sahabat.


Pun saat perang Badar. Ketika Rasulullah memutuskan menempati tempat tertentu sebagai pangkalan pasukan, Hubab bin Mundzir menyampaikan pendapatnya. “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang keputusan berhenti di tempat ini? Apakah ini tempat berhenti yang diturunkan Allah kepadamu? Jika begitu keadaannya, maka tidak ada pilihan bagi kami maju atau mundur dari tempat ini. Ataukah ini sekedar pendapat, siasat dan taktik perang?” Setelah Rasulullah memberitahu bahwa itu adalah strategi, maka Hubab mengusulkan tempat yang lebih strategis, yang membuat pasukan Islam menguasai sumber air dan pasukan kafir Quraisy kesulitan mengaksesnya. Rasulullah pun setuju dan meninggalkan pendapatnya sendiri.


Subhanallah, begitulah indahnya
al qiyadah wal jundiyah di era nabawiyah. Dan selayaknya kader-kader dakwah dan para qiyadahnya mengambil pelajaran penting ini saat terjadi perbedaan pendapat. Yakni jika seorang atau sejumlah kader berbeda pendapat dengan qiyadah, hendaklah:

1. Meluruskan niatnya semata-mata karena Allah. Ikhlas dalam rangka menyampaikan pendapat yang bertujuan membawa kemaslahatan bagi dakwah dan jama’ah. Keikhlasan ini adalah poin pertama dan utama. Dengan keikhlasan, ia tidak mengejar popularitas saat menyampaikan usul yang lebih baik. Dengan ikhlas pula, ia tidak kecewa atau futur saat pendapatnya belum diterima.


2. Menyampaikannya kepada qiyadah dengan bahasa dan cara yang baik.
Ihtiram (penghormatan) kepada qiyadah dan kepada orang yang lebih tua adalah bagian dari adab Islam.

3. Berhati-hati agar tidak menjatuhkannya di depan umum. Sebab soliditas jama’ah adalah prioritas utama dan faktor penting yang menentukan kemenangan. Jika qiyadah dijatuhkan di depan publik, hal itu dapat mengurangi ke-
tsiqoh-an anggota dan bisa menjadi celah yang dimanfaatkan musuh-musuh dakwah untuk menyerang jama’ah.

4. Berorientasi pada substansi ide, bukan berorientasi pada pribadi di balik ide. Maka menyampaikan pendapat berbeda dengan kalimat, “pendapat tersebut menurut saya keliru” lebih baik daripada “Anda sering keliru.” Berorientasi pada substansi ide ini juga membuat kita membatasi diri hanya pada persoalan yang dibahas, bukan melebar pada kesalahan lain yang pernah dilakukan di masa lalu.


5. Menyampaikan alternatif solusi dan argumentasi dengan jelas


6. Tidak kecewa jika pendapatnya ditolak, dan hendaklah ia menyadari bahwa ia (insya Allah) telah mendapatkan pahala karena niat sucinya dan caranya yang baik pula


7. Melaksanakan keputusan dan hasil syuro, baik pendapatnya yang diterima atau pendapat orang lain yang diterima. Jika pada tiga contoh di atas Rasulullah selalu menerima pendapat sahabat, pada perjanjian Hudaibiyah Rasulullah kokoh dengan keputusannya. Semula sahabat tidak setuju karena tidak memahami hikmah di balik perjanjian itu. Namun, saat Rasulullah telah memutuskan untuk bertahalul dan menyembelih hewan qurban, mereka pun mengikuti Rasulullah. Sami’na wa atha’na.


Wallahu a’lam bish shawab. [Abu Nida]

Aset Utama Gerakan Dakwah


Dalam pergerakan Islam, aset utamanya bukan harta, gedung-gedung yang dimiliki, ataupun pos-pos jabatan strategis yang telah diraihnya. Yang menjadi aset utama gerakan (rashidul harakah) adalah kader. Satu orang kader tidak dapat dibandingkan dengan sekian milyar dana, karena menyadarkan seseorang hingga mendapatkan hidayah adalah pekerjaan amat besar yang tidak bisa ditukar dengan materi seberapapun.

Rasulullah SAW sendiri telah memberikan kabar betapa besarnya “nilai” hidayah, hingga satu orang saja yang berhasil didakwahi, itu lebih baik dari onta merah.



فَوَاللَّهِ لأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ

Demi Allah, sungguh Allah memberi hidayah kepada seorang laki-laki melalui tanganmu adalah lebih baik bagimu daripada onta merah
(HR. Bukhari Muslim)

Onta merah adalah harta orang Arab yang paling mahal saat itu. Sementara dalam hadits lain disebutkan “lebih baik dari dunia seisinya.”

Menyadari bahwa kita adalah aset utama dakwah
Hakikat besar ini perlu disadari oleh semua kader dakwah. Bahwa dirinya adalah aset utama harakah. Kesadaran ini dengan sendirinya akan mengarahkan seorang kader untuk sungguh-sungguh menempa dirinya menjadi yang terbaik. Sebab kemajuan dakwah akan dipengaruhi oleh kemajuan kader-kader seperti dirinya. Sebab masa depan dan pencapaian dakwah akan berbanding lurus dengan kualitasnya.

Menempa diri menjadi kader-kader pilihan (rijaalul khiyariyah) merupakan keniscayaan. Dan pekerjaan besar ini bukan semata tanggung jawab struktur gerakan (tanzhim harakah), melainkan juga tanggung jawab pribadi masing-masing kader. Itulah sebabnya ada istilah tarbiyah dzatiyah yang harus secara serius dilaksanakan oleh kader dakwah.

Kader dakwah, yang dalam Al-Qur'an dicitrakan dengan gelar “rabbani” sesungguhnya menyiratkan perbaikan kualitas yang harus menjadi agenda prioritas kader sebagai aset utama gerakan (rashidul harakah).

مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah.” Akan tetapi, (dia berkata) “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya." (QS. Ali Imran : 79)

terkait dengan makna rabbani ini, Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari yang dikenal dengan sebutan Imamul Mufassirin mengatakan bahwa rabbani adalah seseorang yang memenuhi beberapa kualifikasi sebagai berikut:

1. faqih, dalam arti memahami Islam dengan sangat baik
2. 'alim, dalam arti memiliki ilmu pengetahuan
3. bashir bi as-siyasah, dalam arti melek politik
4. bashir bi at-tadbir, dalam arti melek manajemen
5. qaim bi syu'uni ar-ra'iyah bimaa yuslihuhum fi dunyaahum wa diinihim, yaitu melaksanakan segala urusan rakyat yang mendatangkan kemaslahatan mereka, baik dalam urusan dunia maupun agama.

Secara da'awiyah, hamba yang rabbani akan menjadi syakhshiyyah da'iyah yang pada akhirnnya mampu menjadi murabbi dan beramal jamai, lalu bersama-sama dengan kader yang lain akan melakukan aktifitas yang tertata dengan rapi. Ia terus aktif dan bergerak dalam sebuah barisan yang kokoh, serta berkontribusi di tengah masyarakatnya.

Secara sosial, hamba yang rabbani menjadi syakhshiyyah ijtima'iyah yang memiliki keahlian, kepedulian dan menjadi tokoh di masyarakat. Ia menjadi rujukan dalam mencari solusi setiap problem di tengah masyarakat. Akhirnya, hamba yang rabbani pun dapat mengarahkan masyarakat pada pengamalan Islam yang utuh.

Selanjutnya, sampailah hamba yang rabbani menjadi syakhshiyyah dauliyah yang memiliki wawasan global, menjadi pelopor perubahan, dan menjadi negarawan. Dalam konteks sekarang, kader dakwah yang telah menjadi hamba rabbani akan menjadi politisi yang unik dan khas di dunia perpolitikan. Ia bergaul dengan para politisi yang lain, namun memiliki keistimewaan dibanding mereka. Ada visi dan misi yang diemban yang menjadi landasan geraknya. Ia menjadi orang yang kuat karena visi misi tarbiyahnya.

Tarbiyah Madal Hayah
Bahwa kader adalah aset utama gerakan (rashidul harakah), maka ia harus dijaga sebaik-baiknya. Jangan sampai ada kerusakan, jangan sampai ada fluktuasi nilai, jangan sampai futur dan stagnan. Sebaliknya, seiring berjalannya waktu dan besarnya tugas dakwah, kader sebagai aset utama gerakan harus semakin tinggi nilainya, semakin dinamis dan berkualitas.

Maka tidak ada cara lain kecuali mengimplementasikan tarbiyah madal hayah; pembinaan dan pendidikan sepanjang hidup. Tarbiyah merupakan pintu gerbang bagi tegaknya aspek kekuatan umat Islam. Ia merupakan aspek pokok yang menjadi akar bagi aspek-aspek yang lain, baik itu kekuatan ekonomi, politik, hukum, sosial, maupun militer.

Allah SWT telah memerintahkan kepada umat Islam dalam surat Al-Anfal ayat 60 agar menyiapkan berbagai kekuatan secara maksimal dengan berfirman:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآَخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu} kamu menggetarkan musuh Allah, dan musuh kamu, serta orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS. Al-Anfal : 60)

Kata min quwwatin pada ayat di atas berbentuk isim nakirah. Artinya, ayat tersebut mengandung perintah yang besar dan menyeluruh. Seluruh kekuatan wajib disiapkan oleh umat Islam baik pada setor ekonomi, pendidikan, sosial, ruhiyah, jasadiyah dan lain-lain. Adapun tarbiyah adalah penopang seluruh kekuatan yang harus disiapkan umat Islam. Dari tarbiyah inilah ruh dakwah yang syumul akan tumbuh berkembang menjadi pribadi muslim yang komitmen dengan Islam dan bergerak bersama Islam. Selain itu, juga tumbuh menjadi sosok panutan di tengah masyarakatnya dengan keteladanan dan kontribusi positif.

Ungkapan tokoh umat untuk menyemangati proses tarbiyah kita
Imam Syafi'i mengingatkan:

Siapa yang tidak belajar (ta'lim) pada masa mudanya maka takbirkanlah empat kali untuk kematiannya. Demi Allah, yang namanya pemuda adalah yang berilmu dan bertaqwa. Jika tidak ada keduanya maka jangan anggap dia itu ada.

Dalam risalah Hal Nahnu Qaumum 'Amaliyun Hasan Al-Banna mengatakan :

Sesungguhnya tujuan pertama gerakan dakwah adalah mentarbiyah jiwa, memperbarui spirit, dan penguatan akhlak serta menumbuhkan peran pentingnya di tengah-tengah umat. Mereka meyakini bahwa itu adalah asas pertama yang harus dibangun untuk kebangkitan umat dan bangsa.

Sedangkan Yusuf Qardhawi mengungkapkan:

Adapun tarbiyah adalah hal terpenting dan utama dalam gerakan dakwah, karena tarbiyah adalah asas perubahan, dan gelombang kebaikan serta perbaikan. Jika tida ada maka kehidupan yang islami atau merealisasikan undang-undang Islam hanyalah menjadi mimpi.

Musthofa Masyhur mengatakan:

Pribadi muslim adalah pilar bagi keluarga, masyarakat, dan negaranya. Jika tarbiyahnya kuat maka kuat pula bangunannya tersebut.

Semoga ungkapan para ulama tersebut menjadi spirit tersendiri bagi kita untuk mengoptimalkan tarbiyah setelah menyadari bahwa kita adalah aset utama gerakan (rashidul harakah).

[Referensi: Madza Ya'ni Intima'i lil Islam & Menghidupkan Suasana Tarbawi di Mihwar Muassasi]

3 Penyebab Kekalahan


وَلَقَدْ كُنْتُ، وَمَا زِلْتُ أَقُوْلُ لِلْإِخْوَانِ فِيْ كُلِّ مُنَاسَبَةٍ أَنَّكُمْ لَنْ تُغْلَبُوْا أَبَدًا مِنْ
أ‌- قِلَّةِ عَدَدِكُمْ
ب‌- وَلَا مِنْ ضَعْفِ وَسَائِلِكُمْ
ت‌- وَلَا مِنْ كَثْرَةِ خُصُوْمِكُمْ
ث‌- وَلَا مِنْ تَآلُبِ الْأَعْدَاءِ عَلَيْكُمْ، وَلَوْ تُجْمِعُ أَهْلُ الْأَرْضِ جَمِيْعًا، مَا اسْتَطَاعُوْا أَنْ يَنَالُوْا مِنْكُمْ إِلَّا مَا كَتَبَ اللهُ عَلَيْكُم

وَلَكِنَّكُمْ تُغْلَبُوْنَ أَشْنَعَ الْغَلَبِ، وَتَفْقِدُوْنَ كُلَّ مَا يَتَّصِلُ بِالنَّصْرِ، بِسَبَبِ إِذَا
أ‌- فَسَدَتْ قُلُوْبُكُمْ
ب‌- وَلَمْ يُصْلِحِ اللهُ أَعْمَالَكُمْ
ت‌- أَوْ إِذَا تَفَرَّقَتْ كَلِمَتُكُمْ، وَاخْتَلَفَتْ آرَاؤُكُمْ

أَمَّا مَا دُمْتُمْ
أ‌- عَلَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ
ب‌- مُتَّجَهٍ إِلَى اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
ت‌- آَخِذٍ فِيْ سَبِيْلِ طَاعَتِهِ
ث‌- سَائِرٍ عَلَى نَهْجِ مَرْضَاتِهِ

فَلَا تَهِنُوْا أَبَدًا، وَلَا تَحْزَنُوْا أَبَدًا، وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ شَاءَ اللهُ، وَاللَّهُ مَعَكُمْ وَلَنْ يَتِرَكُمْ أَعْمَالَكُمْ

Semenjak dulu, dan sampai sekarang, saya selalu katakan kepada Ikhwan, dalam setiap momentum: bahwa kalian selamanya tidak akan terkalahkan karena:
1. Sedikitnya jumlah kalian,
2. Lemahnya sarana kalian,
3. Banyaknya musuh kalian,
4. Konspirasi para musuh kalian, dan seandainya seluruh penghuni bumi bersepakat, mereka tidak akan mampu menimpakan apa pun kepada kalian kecuali yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Namun, kalian terkalahkan dengan seburuk-buruk kekalahan, dan kalian kehilangan segala yang berhubungan dengan kemenangan, disebabkan jika:

1. Hati kalian telah rusak,
2. Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak lagi memperbaiki amal kalian,
3. Atau kalimat kalian telah terpecah belah, dan pandangan kalian telah saling berselisih

Adapun jika kalian selalu

1. Satu hati,
2. Berorientasi kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala,
3. Berjalan pada jalan ketaatan kepada-Nya,
4. Berjalan di atas manhaj meraih ridha-Nya

Maka, kalian tidaklah menjadi hina selamanya, tidaklah menjadi sedih selamanya, dan kalian selalu berada pada posisi tertinggi insyaAllah, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala akan selalu bersama kalian,


وَاللَّهُ مَعَكُمْ وَلَنْ يَتِرَكُمْ أَعْمَالَكُمْ
“dan sama sekali Dia tidaklah akan mengurangi pahala kalian” (QS. Muhammad: 35)

Sumber:

Kitab Manhaj Ishlah wat-Taghyir
(كتاب منهج الإصلاح والتغيير), hal. 35

Minggu, 13 Oktober 2013

Surat Cinta untuk Jiwa


(sebuah renungan bagi kita --- khususnya saya-- yang selama ini mengaku sebagai penyeru kebaikan)

Surat ini kutujukan untuk diriku sendiri serta saudara-saudaraku yang Insya Allah tetap mencintai Allah swt dan Rasul-Nya di atas segala-galanya. Karena hanya cinta itulah yang dapat mengalahkan segalanya, cinta hakiki yang membuat manusia melihat segalanya dari sudut pandang yang berbeda, lebih bermakna dan indah.

Surat ini kutujukan pula untuk jiwaku serta jiwa saudara-saudaraku yang mulai lelah menapaki jalan-Nya, ketika seringkali mengeluh, merasa terbebani bahkan terpaksa untuk menjalankan amanah dakwah yang sangat mulia. Padahal tiada kesakitan, kelelahan, serta kepayahan yang dirasakan oleh seorang hamba melainkan Allah swt akan mengampuni dosa-dosanya dan memberinya ganjaran dengan sebaik-baik ganjaran.

Surat ini kutujukan untuk hatiku dan hati saudara-saudaraku yang kerap kali terisi oleh cinta selain-Nya, yang mudah sekali terlena oleh indahnya dunia, yang terkadang melakukan segalanya bukan karena-Nya. Lalu di ruang hatinya yang kelam merasa senang jika dilihat dan dipuji orang lain, entah dimana keikhlasan. Maka saat ini kurasakan kekecewaan dan kelelahan karena kulakukan tidak sepenuhnya berlandaskan keikhlasan, padahal Allah tidak pernah menanyakan hasil. Dia hanya akan melihat kesungguhan dalam berproses dan dalam berusaha.

Surat ini kutujukan untuk ruh-ku dan ruh saudara-saudaraku yang mulai terkikis oleh dunia yang menipu, serta membiarkan fitrahnya tertutup oleh maksiat yang membiarkannya untuk dinikmati. Lalu dimanakah kejujuran diletakkan ? , dan kini terabaikan sudah secara nurani yang bersih, saat ibadah hanya rutinitas belaka, saat fisik dan pikiran disibukkan oleh dunia, saat wajah menampakkan kebahagiaan yang semu. 
Cobalah sejenak luangkan waktu untuk  melihat hatimu menangis, tertawa, atau merana.

Surat ini kutujukan untuk diriku dan saudara-saudaraku yang sombong, yang terkadang bangga pada dirinya sendiri, sungguh tiada satupun yang membuat kita lelah di hadapan-Nya, selain ketaqwaan. Padahal kita menyadari bahwa tiap-tiap jiwa akan merasakan mati namun kita bergulat terus dengan kefanaan.

Surat ini kutujukan untuk hatiku dan hati saudara-saudaraku yang mulai mati, saat tiada getar penyesalan ketika kebaikan terlewat begitu saja, saat tiada rasa berdosa ketika menzhalimi diri dan saudaranya.

Akhirnya, surat ini kutujukan untuk jiwa yang masih memiliki cahaya meskipun sedikit, cobalah kau jaga agar cahaya itu tak padam. Maka terus kumpulkan cahaya itu hingga ia dapat menerangi wajah-wajah di sekelilingnya, memberikan keindahan Islam yang sesungguhnya. Hanya dengan kekuatan dari-Nya. 
Ya Allah saksikanlah, sesungguhnya aku telah menyampaikan.

Wallahu a'lam bish-shawab.
Semoga tetap istiqamah di jalan-Nya. 
Sungguh, surga takkan pernah pantas ditukar dengan lalai dan kemalasan.

Kamis, 10 Oktober 2013

memberi itu membahagiakan


Ada seorang gadis mengontrak rumah bersebelahan dengan rumah seorang ibu miskin dengan 2 anak.
Pada satu malam tiba-tiba listrik padam.(mati lampu)..... dengan bantuan cahaya HP dia ke dapur mau mengambil lilin...
tiba-tiba ada yang mengetuk pintu... ternyata anak miskin sebelah rumah.
Anak itu bertanya panik : "Kakak, punya lilin ?"
Gadis itu berpikir : JANGAN PINJAMKAN nanti jadi satu kebiasaan,
maka si gadis menjawab , "TIDAK ADA!!".
Saat itulah si anak miskin berkata riang:
"Saya sudah duga kakak tidak punya lilin, Ini ada 2 lilin untuk kakak. Kami khawatir karena kakak tinggal sendiri dan tidak punya lilin."
Si gadis merasa bersalah, dalam linangan airmata, dia memeluk anak kecil itu erat-erat.
saudaraku...
janganlah kita mudah BERPRASANGKA Buruk...
Berbagilah....karena memberi itu menangkan hati.....
Karena kekayaan tidak tergantung berapa banyak kita PUNYA, tetapi seberapa banyak KITA BISA MEMBERI....
Memberi itu membahagiakan lagi menentramkan.....

Rabu, 09 Oktober 2013

Nasehat ALI bin Abi Thalib


Ali r.a. menasihati seorang lelaki yang meminta nasihat kepadanya, maka Ali RA pun menasehatinya dengan berucap :

Jangan menjadi orang yang mengharap akhirat tanpa persiapan amal. Jangan mengundur taubat kerana panjang angan-angan. Jangan bertutur kata seperti orang zuhud,tetapi beramal seperti orang durhaka. Jika diberi, tidak pernah puas, jika tidak diberi,selalu menuntut. Tidak mensyukuri pemberian, selalu mengharap tambahan. Melarang, tetapi dia terus melakukan. Menyuruh sesuatu yang tidak dia lakukan. Mencintai orang saleh,tetapi tidak beramal seperti mereke. Benci terhadap orang yang melakukan dosa,padahal dia selalu melakukannya. Takut terhadap kematian,kerana banyaknya dosa yang dia lakukan.

Ketika sakit
, dia sangat menyesal. Ketika sehat, dia merasa aman untuk berbuat dosa. Merasa sombong ketika diberi maaf. Berputus asa bila ditimpa cobaan. Ketika diuji dengan musibah, dia berdoa seperti orang yang sangat memerlukan. Ketika dalam keadaan lapang, dia berpaling dengan kesombongan. Dia dikalahkan oleh hawa nafsu melebihi dugaannya. Dia tidak mampu menundukkan hawa nafsunya. Dia takut menghadapi orang lain walau kerana sedikit kesalahan. Dia selalu mengharapkan imbalan melebihi amal yang dia lakukan.


Ketika
diberi kekayaan, dia masih merasa kurang dan merasa selalu mendapat cobaan. Ketika dalam keadaan fakir, dia berputus asa dan takut menghadapi mati. Jika beramal, dia melakukannya sedikit saja. Ketika bertanya, dia ber tele-tele(buat bodoh). Dia selalu berbuat maksiat dan menunda-nunda taubat.

Dia mampu memberi pelajaran, tetapi dirinya tidak mendapatkan pelajaran. Pintar menasihati, tetapi dia sendiri tidak mendapatkanya.Ucapannya meyakinkan, amalnya sangat minimal. Senang berbuat sesuatu yang cepat sirna, sementara yang pasti kekal dia abaikan. Dia melihat kekayaan sebagai hutang, dan melihat hutang sebagai satu keberhasilan. Dia takut menghadapi kematian, tetapi tidak menyiapkan bekal. Membesar-besarkan maksiat yang dilakukan orang lain, padahal yang dia lakukan lebih banyak. Membesar-besarkan kebaikan yang dia lakukan, sehingga kebaikan yang dilakukan orang lain dia sepelekan(dia remehkan)


Selalu
menuduh orang lain, padahal dia sendiri melakukannya. Lebih senang bersenda gurau dan menyanyi ketimbang(perbandingan) berzikir bersama orang-orang fakir. Dia telah menghukum orang lain untuk dirinya, dan tidak mau menghukum dirinya untuk orang lain. Dia membimbing orang lain, sementara dia mejerumuskan dirinya sendiri.”

belajar dari NAPOLEON

18 Juni 1815. Panglima besar Napoleon Bonaparte mengalami kekalahan besar dalam pertempuran di Waterloo. Kekalahan yang mengakhiri segala peperangan yg disulut oleh Napoleon sendiri. Kekalahan yg juga menajadi penutup sejarah Napoleon sebagai Kaisar Perancis.

Peristiwa “The Battle Of Waterloo” ini dianalisa oleh banyak peneliti dari berbagi sudut pandang. Mengapa Napolen Bonaparte, kaisar besar dengan kemapuan besar, membawa visi besar denagan misi besar, tumbang. Ada analisa pinggiran yg bagi kita aktivis dakwah justru cukup kontekstual dan selalu actual untuk dijadikan pelajaran.

Napoleon kalah dalam pertempuran itu konon katanya karena penyakit ambeien yg dideritanya kambuh. Sehingga ia tidak bisa menunggang kuda dan memimpin langusng pertempuran di garis depan. Maka ambeien itu berbuah kekalahan.

Ada cerita, pimpinan pasukan kavalerinya yg bangun kesiangan. Marshall Grouchy, komandan kavaleri pasukan napoleon ternyata tidak biasa bangun pagi. Dan ketika ia terbangun, keadaan sudah teralu parah untuk di perbaiki.

Ada juga tuturan yg lain, tentang pengaruh jeleknya tulisan tangan Napoleon yg mempengaruhi kesalahan interpretasi komandan-komandan tempur di lapangan. Konon Napolen menulis memo agar pasukannya menghadang pasukan Prussia yg datang di bawah pimpinan Marshall Blucher untuk membantu pasukan Wellington di Waterloo. Tapi karena tulisan tangan Napoleon lebih buruk dari goresan cakar ayam, maka memo dinas yg teramat penting itu terabaikan.

Ikhwahfillah, bagi kita meski terasa guyonan, kisah-kisah diatas menyumbang pelajaran besar. Untuk kita, yg mengemban visi besar tentang kemenangan dakwah. Seringkali kita berujar dengan gagah perkasa bahwa kita sedang memperjuangkan hal-hal besar, ide-ide peradaban dengan jargon KERJA BESAR UNTUK PERUBAHAN BESAR. Tapi setiap hari justru kita disuguhi oleh pemandangan dan kenyataan betapa kita abai pada hal-hal kecil yg sering kali kita anggap rutin.

Kita lihat di sekitar kita, berapa banyak ikhwah, pejuang dakwah yg abai dan tak ambil pusing dengan kesehatannya. Dia bicara tentang peradaban besar, tapi dia lupa tentang perkara-perkara “kecil” seperti kesehatan, olahraga serta kebiasaan baik lainnya. Betapa banyak ikhwah yg usianya masih tergolong muda terkena beragam penyakit yg menjeratnya. Biasanya tak jauh-jauh dari penyakit yg ditimbulkan oleh gaya hidup. Mereka terserang asam urat, mereka mengeluh tentang gula darah yg tinggi, cepat capek dan banyak lagi.

Mana mungkin agama dan kemenangan dakwah ini ditegakkan oleh orang-orang yg tak sehat badan dan jiwanya?! Mana bisa dakwah yg berat dan panjang ini diusung oleh prajurit-prajurit dengan penyakit kencing manis, lemah fisik?!
Ingatlah.... Allah lebih mencintai mukmin yang lebih kuat.

begitu jg dengan kisah kedua dari Napoleon yg harus kita ambil hikmahnya. Bangun kesiangan, telat merespon keadaan dan keperluan. Urgensi memelihara kebiasaan-kebiasaan baik yg kecil-kecil adalah, melatih respon kita jika saatnya tiba. Kita sering telat merespon masalah. Para pemimpin dakwah ini seharusnya bukan hanya mampu bereaksi, tapi harus pula mampu mengantisipasi.

Masihkah hari ini, dengan tuntutan dakwah dan perjuangan yg semakin berat, kita tetap istiqamah dengan kebiasaan-kebiasaan baik yg kecil? Seperti menyapa orang-orang yg tidak kita kenal di pinggir jalan. Sekadar hello, tak jadi soal. Masih jugakah kita menengok sahabat-sahabat lama yg hilang dari peredaran. Atau sekadar berkirim SMS tanda rindu dan sayang. Silaturahim jarang-jarang, itupun kalau ada perlu. Jangan-jangan kita terlalu sibuk dengan urusan-urusan yg besar, lalu abai pada perihal remeh temeh yg kita anggap tak penting dan tak ada urusan.

Kisah terakhir, tentang kualitas komunikasi kita, sudahkah pada tingkat yg prima? Jangan hanya karena tulisan yg mirip cakar ayam, lalu kita kalah dalam perang. Jangan hanya karena komunikasi yg tak jelas, lalu pesan-pesan penting tak tersampaikan. Lalu karena ketidakjelasan pesan, kita berkutat, bertengkar, menghabiskan energi pada sesuatu yg sesungguhnya bukan persoalan. Jangan pernah merasa minder untuk berbicara di depan banyak orang. Salah satu alasan ikhwah tidak mau membina karena konon katanya dia tidak bisa berbicara. Padahal Rasulullah saw berdakwah dengan lisan beliau. Makanya dari awal, kita memang harus berlatih untuk itu.

janganlah kita menjadi orang-orang yg berjenggot panjang, tapi bernapas pendek. Sebab, perjuangan ini menuntut stamina yg besar. Janganlah kita menjadi orang-orang yg abai pada hal-hal yg kecil. Sebab dakwah ini seperti menyatukan kepingan puzzle yg berukuran sangat kecil.
Wallahu A'lam.

*dari berbagai sumber

Jangan Menjadi Yang Keempat


Menjadi penolong agama Allah merupakan profesi yang sangat mulia. Menjadi penolong agama Allah artinya kita menegakkan Islam di muka bumi ini. Menegakkannya dalam jiwa kita, dalam diri kita, dalam keluarga kita, dalam lingkungan kerja kita, dalam masyarakat kita, dalam kehidupan berbangsa kita. Bahkan juga menegakkannya dalam urusan-urusan kecil keseharian kita.

Bukankah makan dengan tangan kanan adalah tuntunan agama Islam? (hal ini terus di-propagandakan oleh walikota Depok, Dr Nur Mahmudi Isma'il).
Bukankah tersenyum kepada saudara seiman adalah ajakan agama kita? Bukankah menghormati yang lebih tua merupakan ajaran agama Allah? Bukankah berbakti dan mendo’akan ayah dan ibu kita adalah seruan agama Allah? Bukankah membaca do’a sebelum masuk kamar kecil anjuran agama Allah? Tentu. Semua menjadi bukti bahwa tak ada yang disebut perkara remeh dalam Islam, meskipun perkara itu kecil.

Menjadi penolong agama Allah, sekali lagi, merupakan amal dan profesi yang sangat mulia. Apa dasarnya? Banyak sekali. Antara lain:

Pertama, Allah sendiri telah memberikan label, bahwa menjadi penolong agama Allah – dalam bentuk berda’wah dan menyeru manusia – merupakan amal yang sangat mulia. Lihat dan perhatikan firman-Nya, yang artinya, "Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru (manusia) kepada Allah, mengerjakan amal shalih, dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’” (Qs. Fushilat: 33).

Kedua, menolong agama Allah sama artinya dengan mewarisi tugas mulia para Rasul. “Dia-lah (Allah) yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci.” (Qs. Asshaf: 9).
Setelah Rasulullah wafat, tugas menolong agama Allah menjadi tanggung jawab generasi seterusnya. Ibarat mata rantai, para penolong agama Allah menjadi penjaga terpeliharanya kejayaan agama itu. Karenanya, di zaman kapan pun seorang muslim lahir dan hidup, maka ia menjadi penanggung jawab bagi tegaknya agama Allah pada zamannya itu. Dan, kini, di zaman ini, adalah tugas kita yang hidup saat ini untuk menjadi penolong agama Allah.

Ketiga, menolong agama Allah bisa menjadi penghalang dari azab Allah. Dalam Al-Qur’an, dengan tegas Allah SWT menyatakan, bahwa salah satu yang menghalangi-Nya untuk mengazab sebuah kaum, adalah bila mereka adalah orang-orang yang melakukan perbaikan (mushlihun). (Qs. Hud: 17).

Lalu, bagaimana caranya menjadi penolong agama Allah? Mudah. Tinggal sejauh mana kesiapan kita untuk mau dan mampu menjadi penolong agama Allah? Jawaban pertanyaan ini penting kita ketahui, sebab fakta Sirah Rasulullah menunjukkan, penolong agama Allah itu berbeda-beda.

Setidaknya ada 4 golongan atau kelompok 'responden' terhadap aktifitas dakwah..

Pertama, Kader inti. Ialah mereka yang bersedia menjadi kader inti bagi sebuah perjuangan da‘wah. Orang-orang seperti ini secara tulus membina diri mereka lalu menyerahkan diri sepenuh hati untuk menolong dan menegakkan agama Allah. Yang paling menonjol dari karakter penolong inti adalah, mereka melakukan transaksi hidup dan perjuangannya dengan Allah, meski secara amal ia berjuang bersama saudara-saudaranya seaqidah. Simak firman Allah, yang artinya, “Dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya karena mencari ridha Allah. Dan Allah Maha penyantun kepada hamba-hamban-Nya.” (Qs. Al-Baqarah: 207)

Dalam catatan perjuangan Rasulullah, banyak contoh kader dan penolong inti tersebut. Betapa banyak penghargaan-penghargaan terhormat yang diberikan Allah kepada para kader inti itu, yang diabadikan dalam Al-Qur’an. Baca misalnya, “Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka…” (Qs. Al-Fath: 10).

Atau ayat lain, ”Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh…” (Qs. Attaubah: 111). Juga bacalah, “Di antara orang-orang mukmin ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Maka, di antara mereka ada gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu. Dan mereka sedikitpun tidak mengubah (janjinya).” (Qs Al-Ahzab: 23).

Kedua, pendukung. Kelompok kedua ini adalah orang-orang yang mendukung perjuangan Islam, menolong agama Allah tapi keterikatan dirinya masih dibawah para penolong inti, atau kader inti di atas. Dalam sejarah perjuangan Rasulullah, banyak juga orang yang menerima Islam dan mendukung perjuangan Rasulullah, meski kelasnya tidak sehebat para kader inti.
Fakta ini diberitakan sendiri oleh Al-Qur’an, “Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk dengan satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (Qs. An-Nisa’: 95).

Ayat di atas nyata sekali menjelaskan adanya penolong inti bagi Islam, ada juga yang menjadi pendukung saja, dengan balasan yang berbeda-berbeda.

Ketiga, simpatisan. Artinya, ada orang-orang yang kemampuannya menolong agama Allah hanya bisa sampai tingkat menjadi simpatisan perjuangan Islam. Orang-orang seperti ini dalam Islam tidak ditolak perannya. Sebab, karena satu dan lain hal mungkin saja orang tidak bisa memberi kontribusi yang luar biasa bagi perjuangan Islam.

Di masa Rasulullah, ada orang-orang yang tidak bisa menjadi kader inti bagi perjuangan-nya. Tapi begitupun mereka tidak disingkirkan dari pusaran perjuangan, apalagi dianggap orang buangan. Seperti kisah seorang wanita tukang sapu di masjid Rasulullah. Suatu hari Rasulullah tidak menemukan wanita tukang sapu itu seperti biasanya. Segera beliau bertanya kepada para sahabat. Ternyata wanita itu telah meninggal dunia. Rasulullah heran dan bertanya-tanya, mengapa ia tidak diberitahu.
Abu Bakar rodhiyallahu ‘anhu memberi alasan, barangkali para sahabat menganggapnya sepele. Akhirnya Rasulullah meminta ditunjukkan kuburan wanita itu. Di sana Rasulullah melakukan shalat gaib. Inilah yang oleh para ulama fiqih dijadikan salah satu dalil tentang dianjurkannya shalat gaib.

Hal serupa juga terjadi pada orang-orang miskin di Makkah yang dengan tulus menerima ajakan da’wah Rasulullah. Umayyah bin Khalaf pernah mengajak Rasulullah untuk mengusir sahabat-sahabat yang miskin itu agar bisa mendekatkan tokoh-tokoh besar Quraisy kepada Rasulullah. Hal serupa juga dilakukan oleh Umayyah bin Hishnin. “Jika kami datang, hendaknya orang-orang ini (menunjuk ke sahabat yang miskin) dikeluarkan, dan baru kami dipersilakan masuk.” Segera saja Allah menurunkan ayatnya, “Dan bersabarlah kamu bersama-sama orang-orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan senja hari karena mengharap ridha-Nya. Dan janganlah kedua mata-mu berpaling dari mereka (karena) mengharap perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya, dan adalah keadaannya melewati batas.” (Qs Al-Kahfi: 28).

Wilayah simpatisan da’wah sangat luas. Bahkan bisa sampai kepada kaum non muslim sekalipun. Di masa Rasulullah ada sebuah kabilah yang semuanya kafir, tetapi mereka menjadi informan Rasulullah dalam perang melawan kaum musyrik Quraisy. Dalam kisah hijrah Rasulullah ada ‘Amir bin Fuhairah, yang dibayar Rasulullah untuk menjadi penunjuk jalan. Di Makkah ada Muth’im bin Addy, kafir Qurays yang menjadi penjamin Rasulullah ketika masuk Makkah sepulang Rasulullah dari berda’wah ke Thaif. Lebih dari itu, paman Rasulullah Abu Thalib, yang mati dalam kondisi kafir pun memberi andil besar bagi perjuangan Rasul.

Jelaslah sudah. Untuk menjadi penolong agama Allah bisa dilakukan siapa saja meski dalam pilihan yang berbeda. Perbedaan itu bukan kasta-kasta, tapi sunnatullah. Karena tabiat manusia sendiri berbeda-beda, kemampuan-nya pun berbeda pula. Ada yang layak menjadi kader inti, ada yang cukup baik menjadi pendukung, ada pula yang bisanya menjadi simpatisan.
Selain itu, tuntunan amal da‘wah pun berbeda-beda. Kadang membutuhkan ketajaman lisan, kadang membutuhkan berjuta uang, membutuhkan tenaga dan pikiran, membutuhkan waktu, tapi kadang juga membutuhkan keberanian untuk mati di jalan agama ini, atau membutuhkan banyak lagi pengorbanan besar lainnya.

Alasan lain, tantangan amal da’wah berbeda-beda. Lain tempat lain tantangannya. Lain kondisi lain halangannya. Lain zaman lain pula rintangannya. Rasulullah sendiri pernah berkata kepada para sahabat, ”Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari yang menuntut kesabaran. Bagi mereka yang berpegang teguh seperti kalian, akan mendapat pahala limapuluh kali kalian.” Para sahabat bertanya, “Limapuluh kali dari mereka ya Rasulullah?” “Tidak, tapi limapuluh kali dari kalian,”jawab Rasulullah. (HR. Tirmidzi dan dihasankannya)

Seruan untuk menjadi penolong agama Allah itu telah lama berkumandang, “Hai orang-orang yang beriman jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah…” (QS. Asshaf: 14). Karenanya, setiap muslim, setiap da’i, setiap organisasi da’wah, harus mengelola diri sendiri dan juga umat ini dengan baik. Agar lahir penolong-penolong agama Allah yang handal, tulus, dan punya semangat kerja tinggi. Jangan biarkan agama ini kehilangan penolong. Jangan biarkan da’wah ini kehabisan kader.

Kian hari seruan itu kian bergema. Maka sambutlah, dan jadilah kader, pendukung, atau simpatisan da’wah. Dan, jangan jadi yang keempat: pengkhianat dan penghancur agama Allah.

Wallahu A'lam



karena Berbagi tak kan pernah Rugi

Ini kisah seorang pedagang bubur
Tukang bubur ini memiliki  keponakan yang sudah yatim piatu...
dagangan buburnya laku dan laris...
sang paman selalu menjaga dan mengajari pemuda yatim piatu ini sampai remaja..
"Ayoo dagang bubur..!!!" ajak si paman suatu ketika...
lalu diajarkanlah sang keponakan ini berdagang bubur hingga bisa mandiri..
Sampailah si-anak yatim ini berdagang bubur....
Sebagaimana pamannya, dagangan sang keponakan pun laris manis sampai banyak yg ngantri beli.. bahkan dari luar kota...
Melihat semakin banyak pembelinya.... pemuda ini tidak tega banyak orang antri untuk beli buburnya...
dan kemudian dia menuliskan resep masakan buburnya yang dia dapat dari pamannya, dicopy....diperbanyak dan dibagikan kepada para langganan yg membeli buburnya tsb.
"Mengapa kamu melakukan ini..?!!" salah seorang pelanggannya bertanya... 
"Yaa.. dari pada antri di sini kan bisa buat bubur sendiri di rumah...
atau buat usaha yg sama di tempat lain..!!" demikian jawab si pemuda..
"Nanti gimana kalo jualanmu  tdk laku lagi kalo resepnya dibagi-bagikan..." tanya pelanggan.
"Bagaimana tdk laku.... paman saya saja yg mendidik sy begini tetep rezekinya cukup dan dagangan buburnya rame dan saya juga maju.... 
mengapa saya harus takut membagikan ilmu ini" jawab pemuda penjual bubur.
Pemuda ini melihat pamannya senang membagikan ilmu, yg diberi ilmu maju, yg memberi ilmu juga tidak  berkurang ilmunya.
Karena sang paman yakin rezeki dari al-ghoniy dr Allah yg Maha Pemberi kekayaan.
Ciri-ciri orang kaya adalah orang yg tdk membutuhkan/tdk bergantung kepada siapapun,
tapi orang sekaya apapun pasti bergantung pada Allah.
Dan Allah Maha Kaya yg tdk perlu apapun dari siapapun...
karena segala-galanya adalah milik Allah...

Siapakah Kita ?


“Di dunia ini, dari banyaknya jumlah manusia hanya sedikit saja dari mereka yang sadar. Dari sedikit yang sadar itu hanya sedikit yang ber-Islam. Dari sedikit yang ber-Islam itu hanya sedikit yang berdakwah. Dari mereka yang berdakwah lebih sedikit lagi yang berjuang. Dari mereka yang berjuang sedikit sekali yang bersabar. Dan dari mereka yang bersabar hanya sedikit sekali dari mereka yang sampai akhir perjalanan” (Hasan Al-Banna)


dari sekian banyak hamba Allah....
kita dipilihNYA menjadi hambaNYA yg beriman...
dari sekian hambaNYA yg beriman...
kita dipilihNYA sebagai kader dakwah...
dari sekian kader dakwah...
kita dipilihNYA sebagai  kader yg peduli dengan kerja-kerja dakwah..
Semoga Allah senantiasa menjaga dan menguatkan kita
dalam mengemban tugas dakwah ini....


“Dan mereka yang bejuang untuk menegakkan agama Kami,
niscaya akan Kami tunjuki ke jalan Kami.
Dan sesungguhnya Allah selalu bersama-sama
dengan orang-orang yang berbuat baik.” 

 (Surah Al-’Ankabut (29) ayat 69)
 

Selasa, 08 Oktober 2013

belajar dari SAHABAT Rasulullah saw

Dengarkanlah ungkapan dari lisan seorang sahabat bernama Abu Dhamdham radhiallahu anhu. “Ya Allah, aku tidak punya harta lagi untuk aku sedekahkan kepada orang yang membutuhkan. Karenanya, sudah aku sedekahkan kehormatanku untuk mereka. Siapa saja yang menghinaku, atau mencaciku, itu adalah halal untukku.”

Hampir tidak ada, orang yang keinginannya untuk memberi kepada orang lain lebih besar daripada keinginannya untuk diri sendiri. Seperti sahabat Abu Dhamdam radhiallahu anhu dan juga para sahabat lainnya. Karenanya, kita pasti aneh mendengarkan ucapan itu. Ternyata ada seseorang yang sangat ingin menghibahkan apa yang menjadi miliknya untuk orang lain. Ternyata ada hati seseorang yang begitu lapang, yang tak mengisi jiwanya untuk kepentingan dirinya, kecuali untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya. Sampai tatkala tak ada lagi yang layak diberikan kepada orang lain, ia menghadirkan kehormatan, kemuliaan, harga dirinya, untuk diberikan kepada orang lain. Lalu, semua caci maki, umpatan, hinaan, akan dijadikan sedekah dari dirinya untuk orang yang mencaci, mengumpat dan menghinanya. Subhanallah.

Abu Dhamdham pasti mempunyai logika keimanannya sendiri untuk memiliki sikap seperti itu. Sebab semua orang lazimnya mempunyai keinginan diri, menyimpan obsesinya untuk diri sendiri. Ibnul Qayyim rahimahullah mengomentari ungkapan Abu Dhamdham ra ini. Katanya, ”Kedermawanan Abu Dhamdham ini mencerminkan kelapangan hati, ketenangan jiwa, dan kebersihannya dari rasa memusuhi orang lain.” (Tahdzib Madarij As Saalikin, 407). Hati yang lapang, jiwa yang tenang dan tak menyimpan masalah dalam hati. Ketiganya saling bertautan. Hati yang sempit, menandakan jiwa yang selalu resah, dan keadaan itu umumnya dipicu oleh suasana tidak nyaman saat berinteraksi dengan orang lain. Dan ketiga hal itulah yang bisa diatasi oleh Abu Dhamdham hingga ia sangat ingin memberi, melebihi keinginannya untuk dirinya sendiri 
 
Membersihkan hati dari rasa tidak enak dengan saudara sesama Muslim, tidak mudah dan bahkan membutuhkan kesabaran berlipat. Melapangkan dada, setelah melihat prilaku saudara yang mungkin membuat luka, membikin kecewa, memunculkan amarah, seiring sejalan dengan kemampuan seseorang melatih diri untuk mengendalikan diri saat marah. Dan itu tidak gampang. Karena itulah, sikap tidak menyimpan luka, sikap lapang dada, sikap lapang jiwa yang tidak menyimpan sedikitpun rasa yang mengganggu persaudaraan, adalah sifat-sifat yang menjamin seseorang masuk surga. 
 
Masalah ini yang ingin disampaikan Rasulullah saw, saat ia tiga kali memuji seorang pemuda yang datang ke majlisnya, bahwa pemuda yang datang itu adalah penghuni surga. Di tengah nasihat dan arahannya di dalam masjid, Rasulullah saw tiba-tiba mengatakan, ”Akan datang pada kalian sekarang seorang yang menjadi ahli surga.” Tak lama setelah itu, datanglah seorang pemuda Anshar yang bersih janggutnya karena wudhu. Sedangkan tangannya yang kiri menenteng dua sandalnya. Peristiwa serupa ini terjadi lagi keesokan harinya, hingga tiga kali berulang.

Abdullah bin Umar radhiallahu anhu tersentak rasa keingintahuannya, dan berniat untuk bermalam di rumah pemuda itu, sampai ia tahu apa rahasianya, hingga mendapat sebutan ahli surga oleh Rasulullah saw, sebanyak tiga kali. Setelah tiga hari bermalam di rumah pemuda itu, Abdullah bin Umar ra merasa tak ada bagian hidupnya yang istimewa. Ia pun bertanya, dan menjelaskan maksud sebenarnya ia bermalam bersama pemuda itu. Pemuda itu menjawab, ”Saya tidak lebih seperti apa yang engkau lihat. Tapi, dalam jiwa saya tak sedikitpun ganjalan perasaan, dan saya tidak hasad sedikitpun atas kebaikan yang mereka terima.” Lalu, Abdullah bin Umar ra pun mengatakan, ”Inilah yang meninggikan kedudukanmu, yang kami tidak sanggup melakukannya.” 
 
Hati yang lapang, hati yang tak mempunyai dendam, hati yang tak memiliki rasa kesal, dengan saudara sesama Muslim, adalah surga dunia. Itu kesimpulan dari hadits panjang tentang Abdulah bin Umar dan pemuda Anshar tersebut. Abdullah bin Umar radhiallahu anhu yang terkenal zuhud dan ahli ibadah bahkan mengakui, bila dirinya tidak mampu memiliki kebersihan hati, kelapangan dada, seperti pemuda itu. 
 
Setidaknya kita harus berusaha mengusir rasa benci, atau sekedar meminimalisir suasana yang tidak bersih dengan orang lain. Sebab bila rasa dengki, hasad, ganjalan yang ada tak kunjung mampu kita redam, ada bahaya besar yang akan menimpa kita. Hasad, dengki, memang pasti punya logikanya sendiri, dalam arti pasti memiliki alasan untuk bisa dibenarkan. Tapi juga bisa menjadi alasan untuk disalahkan. Alasan yang membenarkan itu sendiri, belum tentu asli kebenarannya karena sangat mungkin ada dalam buaian dan bisikan syetan yang membenarkan sesuatu yang keliru. Dan itu semua berakibat pada perpecahan, perkubuan, bisa merebak, bahkan melebar tak melibatkan satu atau dua orang tertentu melainkan satu kelompok orang. Sampai kita benar-benar menjadi lemah dan berada dalam kondisi seperti yang tegas dilarang Allah swt dalam surat Al Anfal ayat 46, ”... Dan janganlah kalian bertikai, lalu kalian menjadi gagal dan kekuatan kalian hilang.... ” 
 
Camkan dalam-dalam bagaimana persaudaraan yang dihidupkan oleh Rasulullah saw di zaman kenabian, dan hidup bergerak dalam dunia para sahabat dan orang-orang shalih. Mereka bukan tak pernah mengalami masalah, merasa terluka, kecewa, dalam interaksi sesamanya. Mereka orang-orang yang hatinya lapang, jiwanya bersih lalu paras mukanya menjadi bercahaya. Mereka berhasil mengatasi permasalahan dalam hubungan mereka dengan sangat baik. 
 
Dengar bagaimana perkataan Abu Dujjanah radhiallahu anhu saat sakit. Ketika itu, para sahabatnya terkejut melihat wajah Abu Dujjanah berseri dan bercahaya, padahal mereka tahu Abu Dujjanah dalam kondisi sakit parah yang mengantarkan ajalnya. Merekapun bertanya kepada Abu Dujjanah, dan ia menjawab, ”Tak ada suatu amalanpun yang paling aku pegang teguh kecuali dua hal. Pertama, aku tidak mau bicara yang tidak bermanfaat. Kedua, hatiku bersih dari perasaan yang mengganjal dengan kaum muslimin.”
 
 
 
 
 

militansi ABU DZAR

Musim panas akan segera berakhir. Namun sengatan udaranya masih terasa mencekik penduduk kota madinah. Kering sepanjang tahun, dan harga barang-barang yang semakin mahal, menambah penderitaan penduduk kota itu.

Musim memetik kurma tiba. Penduduk Madinah baru hendak bernafas lega, Tiba – tiba Nabi – disebabkan berita dan ancaman pasukan Romawi terhadap kaum Muslimin yang berdomisili di Timur Laut – mengumandangkan jihad dan memerintahkan kaum Muslimin bersiap – siaga.
Penduduk Madinah baru melalui musim kemarau dan ingin menikmati buah – buahan yang segar. Tidak mudah memang, meninggalkan panen dan buah-buahan, terlebih lagi setelah melewati musim kemarau; lalu berjalan ke Syam dalam jarak yang begitu jauh. Orang-orang munafik mempunyai alasan untuk melakukan provokasi. Namun udara panas musim kemarau dan usaha provokasi orang-orang munafik, tidak dapat menghambat kepergian pasukan Islam yang berjumlah 30.000 orang, untuk menghadapi kemungkinan serangan pasukan dari Romawi itu. 
 
Nabi dan sahabat – sahabatnya bergerak melalui padang pasir, dibawah panas terik matahari dan kekurangan kendaraan serta bekal yang dibawa. Hal ini sebenarnya, tidak kurang bahayanya dari ancaman musuh itu sendiri. Di tengah jalan, sebagian yang lemah iman merasa menyesal setibanya di medan. Tidak diduga, tiba – tiba seseorang yang bernama Ka’ab bin Malik pulang.”

“Biarlah, kata Nabi. “Kalau memang kehadirannya akan membawa kebaikan, Allah tentu akan mengembalikannya kepada kalian, dan jika tidak, berarti Allah telah menyelamatkan kalian dari bahayanya.” 
 
Tidak lama kemudian, sahabat yang lain berkata; “Ya Rasulullah, Mararah bin Rabi’ juga pulang.”
“Biarlah, kalau memang kehadirannya membawa kebaikan, Allah tentu akan mengembalikannya kepada kalian: dan jika tidak, berarti Allah telah menyelamatkan kalian dari bahayanya.”

Sejenak kemudian, sahabat berkata lagi, “Ya Rasulullah, Hilal bin Umayyah juga pulang!”
Rasulullah tetap menjawab seperti yang dikatakannya untuk dua orang sebelum ini. 
 
Sementara itu, unta Abu Dzar yang tadinya berangkat bersama – sama dengan rombongan kafilah, tiba – tiba mogok di tengah jalan. Betapapun Abu Dzar berusaha menggerakkan untanya itu, namun hasilnya tetap saja sia – sia. Tiba – tiba sahabat sadar bahwa Abu Dzar ternyata tidak ada. “Ya Rasulullah, Abu Dzar juga tidak ada!” Mereka berteriak.”

Dengan tenang Nabi menjawab: “Biarkanlah! Kalau memang kehadirannya akan membawa kebaikan, Allah tentu akan mengembalikannya kepada kalian, dan jika tidak, berarti Allah telah menyelamatkan kalian dari bahayanya.” 
 
Betapapun Abu Dzar berusaha untuk mendorong untanya agar dapat mengejar kafilah, namun hasilnya masih tetap sia – sia. Akhirnya diambilnya barang – barangnya, dan dia berjalan kaki meninggalkan untanya. Matahari dengan dahsyatnya menyengat kepala Abu Dzar. Dia amat sangat kehausan. Tidak dihiraukannya dirinya lagi. Yang dipikirkannya hanyalah keinginannya untuk segera sampai ke kafilah Nabi dan sahabat – sahabatnya, serta bergabung dengan mereka.
 
Dengan semangat baja. Abu Dzar terus melangkahkan kakinya menelusuri padang pasir. Entah bagaimana. Tiba – tiba matanya terpandang pada segumpalan awan yang hinggap di suatu sudut langit. Abu Dzar berkesimpulan bahwa hujan baru saja turun, beberapa saat lalu. Dibelokkannya jalannya kea rah itu. Disana dia menjumpai batu besar yang menampung sedikit sisa – sisa hujan. Abu Dzar menghirupnya sedikit, dan tidak meneguknya sampai puas. “Sebaiknya air ini kubawakan untuk Rasulullah, mungkin beliau merasa haus dan tidak mempunyai persediaan air yang cukup, “pikirnya.
 
Dituangkannya air itu ke dalam qirbah (tempat air) yang dibawanya, lalu dipikulnya bersama – sama barang bawaannya yang lain. Dengan semangat yang tinggi, dia menelusuri tinggi rendahnya padang pasir, hingga dari kejauhan, tampak bayangan hitam pasukan kaum Muslimin. Hatinya semakin bergelora, dan dia memacu jalannya lebih cepat lagi. 
 
Dari jauh pula, salah seorang prajurit Islam melihat bayangan hitam tengah mendekati mereka. “Ya Rasulullah! Seakan – akan ada seseorang yang tengah datang ke arah kita,” katanya kepada Nabi.
“Alangkah baiknya kalau itu Abu Dzar, “ jawab Nabi.
Bayangan tadi bertambah dekat. Tiba – tiba seseorang berteriak: “Demi Allah, dia adalah Abu Dzar.!”
Lalu Nabi berkata: “Semoga Allah ampunkan Abu Dzar. Abu Dzar hidup sendirian, mati sendirian, dan akan dibangkitkan sendirian.”
Nabi menyambut Abu Dzar. Diambilnya pikulan Abu Dzar dari pundaknya, lalu diletakkannya di tanah. Karena terlalu letih dan haus, Abu Dzar pun terjatuh tanpa daya.
“Ambilkan air. Beri dia minum, dia sangat haus.”
“ Ya Rasulullah, aku punya air,” sahut Abu Dzar.
“Engkau mempunyai air, tapi kau tidak minum?” Tanya Nabi.
“Betul Ya Rasulullah. Demi Allah, tadi aku melihat batu besar yang menampung air dingin sekadarnya. Setelah kuhirup sedikit, kukatakan kepada diriku: tenggorokan ini tidak akan meneguknya sebelum kekasihku, Muhammad Rasulullah, meneguknya.”

======

pelajaran apa yg bisa kita ambil dari kisah tsb ? 
 
sangat mungkin kita akan mengalami seperti apa yg dialami oleh para sahabat diatas...
mundur dari aktifitas, mendapat hambatan dan cobaan, mengalami berbagai kesulitan yg sangat...
apakah kita akan menjadi spt Abu Dzar yg kuat militansinya dan, atau spt Ka'ab bin Malik dkk yg dikalahkan nafsunya, meski akhirnya mereka bertobat dan Allah pun menerima tobat mereka ?
 
 
 
 
 
 

belajar ZUHUD dari Abu Ubaidah

Abu Ubaidah adalah seorang sahabat yang terpercaya dan dicintai Rasulullah saw. Dia ikut banyak peperangan membela panji-panji Islam. Bahkan, menjadi panglima perang yang sangat memperhatikan keselamatan tentaranya.

Bahkan Abdullah bin Mas’ud bangga dengannya. “Paman-pamanku yang paling setia sebagai sahabat Rasulullah saw. Cuma tiga orang. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah,” begitu ujarnya.

Rasulullah saw. sendiri mengakui kualitas Abu Ubaidah. “Bagi suatu kaum adalah seseorang yang paling mereka percayai dan bagi kaum ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah,” begitu sabda Rasulullah saw.

Di masa pemerintahan Abu Bakar sebagi Khalifah, Abu Ubaidah dipercaya sebagai Ketua Pengawas Perbendaharaan Negara. Abu Bakar kemudian mengangkatnya menjadi Gubernur Syam. Jabatan ini diemban Abu Ubaidah hingga di masa pemerintahan Umar bin Khattab.
Tak lama kemudian Umar mengangkat Abu Ubaidah sebagai Panglima Perang menggantikan Khalid bin Walid.

Suatu ketika, ketika di masa pemerintahan Abu Ubaidah, Syam dikepung musuh. Umar berkirim surat kepada Abu Ubaidah. Isinya, “Sesunggunya tidak akan pernah ada seorang mukmin yang dibiarkan Allah dalam suatu penderitaan melainkan Dia akan melapangkan jalannya, hingga kesulitan akan dibalas-Nya dengan kemudahan.”

Surat itu dibalas oleh Abu Ubadah dengan kalimat, “Sesungguhnya Allah swt. telah berfirman: Ketahuilah bahwasanya kehidupan dunia ini hanyalah main-main dan senda gurau, bermewah-mewah, dan saling membanggakan kekayaan dan anak pinak di antaramu, ibarat hujan (menyirami bumi), tumbuh-tumbuhan (menjadi subur menghijau), mengagumkan para petani. Lalu tanaman itu mengering, tampak menguning, kemudian menjadi rapuh dan hancur. Sedang di akhirat kelak, ada azab yang berat (bagi mereka yang menyenangi kemewahan dunia) namun ada pula ampunan dan keridhaan Allah (bagi yang mau bertobat). Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu belaka.” (Al-Haddid: 20)

Surat balasan Abu Ubaidah ini oleh Umar dibacakan di depan kaum muslimin seusai melaksanakan shalat berjamah. “Wahai penduduk Madinah, sesungguhnya Abu Ubaidah mengharapkan aku dan kalian semua suka berjihad,” kata Umar.

Memang Abu Ubaidah dikenal orang di zamannya sebagai orang yang zuhud. Umar pernah berkunjung ke Syam ketika Abu Ubaidah menjabat sebagai gubernur. “Abu Ubaidah, untuk apakah aku datang ke rumahmu?” tanya Umar. Jawab Abu Ubaidah, “Untuk apakah kau datang ke rumahku? Sesungguhnya aku takut kau tak kuasa menahan air matamu begitu mengetahui keadaanku nanti.”

Namun Umar memaksa. Akhirnya Abu Ubaidah mengizinkan Umar berkunjung ke rumahnya. Sungguh Umar terkejut. Ia mendapati rumah Sang Gubernur Syam kosong melompong. Tidak ada perabotan sama sekali.

Umar bertanya, “Hai Abu Ubaidah, di manakah penghidupanmu? Mengapa aku tidak melihat apa-apa selain sepotong kain lusuh dan sebuah piring besar itu, padahal kau seorang gubernur?”
“Adakah kau memiliki makanan?” tanya Umar lagi. Abu Ubaidah kemudian berdiri dari duduknya menuju ke sebuah ranjang dan memungut arang yang didalamnya.

Umar pun meneteskan air mata melihat kondisi gubernurnya seperti itu. Abu Ubaidah pun berujar, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah sudah kukatakan tadi bahwa kau ke sini hanya untuk menangis.” Umar berkata, “Ya Abu Ubaidah, banyak sekali di antara kita orang-orang yang tertipu oleh godaan dunia.”

Suatu ketika Umar mengirimi uang kepada Abu Ubaidah sejumlah empat ribu dinar. Orang yang diutus Umar melaporkan kepada Umar, “Abu Ubaidah membagi-bagi kirimanmu.” Umar berujar, “Alhamdulillah, puji syukur kepada-Nya yang telah menjadikan seseorang dalam Islam yang memiliki sifat seperti dia.”

Begitulah Abu Ubaidah. Hidup baginya adalah pilihan. Ia memilih zuhud dengan kekuasaan dan harta yang ada di dalam genggamannya. Baginya jabatan bukan aji mumpung buat memperkaya diri. Tapi, kesempatan untuk beramal lebih intensif guna meraih surga.